Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 12 Bagian 6
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
Setelah Soan Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu mengeluarkan kedua lengannya dan sambil tersenyum tenang dia berkata, "Nah, Locianpwe. Tidak ada yang perlu diributkan lagi. Aku sudah mengaku bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku menerima hukuman rangket seratus kali itu agar hatimu puas."
Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru oleh Siangkoan Houw. Matanya terbelalak lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya, menantang ancaman hukumannya.
"Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para muridnya.
Empat orang muridnya menyerbu dan Sin Liong hanya tersenyum saja ketika bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali yang diikatkan pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya setengah tergantung.
"Ayah...!" Tiba-tiba dara cantik jelita yang sejak tadi hanya menonton dan selalu memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata kepada Tee-tok, "Apakah tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu ke salahan."
"Dipikir apalagi? Kita telah dihina orang, kalau tidak memperlihatkan kekuatan, bukankah akan menjadi bahan tertawaan orang sedunia?"
Mendengar kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melink ke arah Sin Liong yang telah siap menerima hukuman.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah, aku sudah siap menghadapi hukuman. Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu takkan marah lagi."
"Diam kau!" Tee-tok membentak, kemudian menuding kepada seorang muridnya yang bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk dan rangket dia seratus kali!"
Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali membawa sebatang cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah menerima isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun cambuknya.
Terdengar suara meledak-ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas yang telanjang itu.
"Tar...! Tar...! Tar....!"
Semua orang terbelalak memandang, penuh keheranan. Cambuk itu menyambar bertubi-tubi, melecuti tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada dan punggungnya, namun sama sekali tidak membekas pada kulit halus putih itu! Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi Si Pemegang Cambuk lebih banyak lagi peluhnya!
Sampai seratus kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah pecah-pecah, namun jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan tampak merah saja tidak ada seolah-olah cambuk itu bukan melecut kulit membungkus daging, melainkan melecuti baja saja!
Setelah menghitung sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan dia menggosok-gosok telapak tangan kanannya yang terasa panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan dan kengerian.
Semua anak buah atau murid Tee-tok terbelalak dan pucat. Akan tetapi muka Tee-tok sendiri menjadi merah sekali. Tahulah dia bahwa pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi telah menggunakan sinkangnya sehingga tubuhnya kebal dan tentu saja lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini menambah kemarahan hatinya.
Dia merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu. Tanduk rusa itu bukanlah sebuah senjata sembarangan saja. Tee-tok merupakan seorang ahli racun dan dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh terhadap kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh kekebalan yang bagaimana kuat pun dan kini dalam kemarahannya, dia hendak menghajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini!
Pada saat itulah Swat Hong datang dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah hampir meloncat keluar untuk menolong suhengnya ketika dia melihat seorang gadis datang berlati dan berlutut di depan kakek yang memegang senjata tanduk rusa itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.
"Ayah, jangan.,., jangan pukul dia dengan ini....!"
"Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah menghina kita, memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai di mana kekebalannya kalau dia merasai pukulanku dengan ini!" Dia mengamangkan senjata aneh itu.
"Jangan, Ayah! Jangan... aku akan melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah, dia... dia orang gagah yang budiman, luar biasa... mengapa Ayah tak bisa melihat orang....?" (Bersambung)
Setelah Soan Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu mengeluarkan kedua lengannya dan sambil tersenyum tenang dia berkata, "Nah, Locianpwe. Tidak ada yang perlu diributkan lagi. Aku sudah mengaku bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku menerima hukuman rangket seratus kali itu agar hatimu puas."
Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru oleh Siangkoan Houw. Matanya terbelalak lebar dan dia menganggap pemuda itu menantangnya, menantang ancaman hukumannya.
"Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para muridnya.
Empat orang muridnya menyerbu dan Sin Liong hanya tersenyum saja ketika bajunya dibuka, kedua pergelangan lengannya diikat dengan tali yang diikatkan pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya setengah tergantung.
"Ayah...!" Tiba-tiba dara cantik jelita yang sejak tadi hanya menonton dan selalu memandang ke arah Sin Liong penuh kagum, berkata kepada Tee-tok, "Apakah tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu ke salahan."
"Dipikir apalagi? Kita telah dihina orang, kalau tidak memperlihatkan kekuatan, bukankah akan menjadi bahan tertawaan orang sedunia?"
Mendengar kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melink ke arah Sin Liong yang telah siap menerima hukuman.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah, aku sudah siap menghadapi hukuman. Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu takkan marah lagi."
"Diam kau!" Tee-tok membentak, kemudian menuding kepada seorang muridnya yang bertubuh tinggi besar. "Ambil cambuk dan rangket dia seratus kali!"
Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali membawa sebatang cambuk hitam yang besar dan panjang. Setelah menerima isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun cambuknya.
Terdengar suara meledak-ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas yang telanjang itu.
"Tar...! Tar...! Tar....!"
Semua orang terbelalak memandang, penuh keheranan. Cambuk itu menyambar bertubi-tubi, melecuti tubuh itu, mukanya, lehernya, lengannya, dada dan punggungnya, namun sama sekali tidak membekas pada kulit halus putih itu! Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi Si Pemegang Cambuk lebih banyak lagi peluhnya!
Sampai seratus kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah pecah-pecah, namun jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan tampak merah saja tidak ada seolah-olah cambuk itu bukan melecut kulit membungkus daging, melainkan melecuti baja saja!
Setelah menghitung sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan dia menggosok-gosok telapak tangan kanannya yang terasa panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan matanya terbelalak penuh keheranan dan kengerian.
Semua anak buah atau murid Tee-tok terbelalak dan pucat. Akan tetapi muka Tee-tok sendiri menjadi merah sekali. Tahulah dia bahwa pemuda itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi telah menggunakan sinkangnya sehingga tubuhnya kebal dan tentu saja lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini menambah kemarahan hatinya.
Dia merasa dihina dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu. Tanduk rusa itu bukanlah sebuah senjata sembarangan saja. Tee-tok merupakan seorang ahli racun dan dia telah menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh terhadap kekebalan. Tanduk ini mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh kekebalan yang bagaimana kuat pun dan kini dalam kemarahannya, dia hendak menghajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini!
Pada saat itulah Swat Hong datang dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah hampir meloncat keluar untuk menolong suhengnya ketika dia melihat seorang gadis datang berlati dan berlutut di depan kakek yang memegang senjata tanduk rusa itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.
"Ayah, jangan.,., jangan pukul dia dengan ini....!"
"Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah menghina kita, memperlihatkan dan memamerkan kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai di mana kekebalannya kalau dia merasai pukulanku dengan ini!" Dia mengamangkan senjata aneh itu.
"Jangan, Ayah! Jangan... aku akan melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah, dia... dia orang gagah yang budiman, luar biasa... mengapa Ayah tak bisa melihat orang....?" (Bersambung)
(dwi)