Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 15 Bagian 6
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo : Bukek Siansu
Jauh dari rawa, tampak di tengah-tengah rawa itu sebuah pulau dan di situ terdapat bangunan-bangunan yang tampak dari jauh. Namun, tidak ada orang dari luar rawa yang berani mencoba untuk mendekati pulau ini, karena selain jalan menuju ke situ harus menyeberangi rawa maut itu, juga telah terkenal bahwa bangunan-bangunan itu adalah sarang dari iblis betina yang ditakuti semua orang, yaitu Kiam-mo Cai-li.
Karena seringkali terdapat bangkai-bangkai binatang-binatang yang terperosok ke dalam perangkap alam sekitar rawa, juga bahkan kadang-kadang tampak mayat manusia-manusia yang sampai membusuk dimakan lumpur, maka terkenallah rawa itu dengan sebutan Rawa Bangkai!
Karena Kiam-mo Cai-li yang cerdik itu melarang para anak buahnya untuk mengganggu rakyat di sekitar tempat itu, maka tidak akan ada alasan bagi alat pemerintah untuk memusuhinya, pula pembesar setempat merasa ngeri untuk menentang iblis betina itu. Dengan demikian, datuk kaum sesat ini hidup aman dan tenteram di kaki Pegunungan Lu-liang-san itu, dan tempat ini menjadi tempat persembunyian yang baik sekali bagi The Kwat Lin dan anak buahnya.
Kita kembali kepada lima orang yang pada hari itu berada di tepi rawa. Tiga orang di antara mereka adalah laki-laki tua berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun. Seorang lagi adalah laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan gagah dan bertubuh tegap sedangkan wanita itu masih muda, seorang gadis berusia paling banyak enam belas tahun, tubuhnya langsing dan wajahnya manis namun sepasang matanya mengandung sinar keras.
Wanita ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan laki-laki muda tampan gagah itu adalah penolongnya ketika dia hendak membunuh diri setelah malam itu dia diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong! Bagaimana dia sekarang bersama laki-laki dan tiga orang kakek dapat berada di tepi Rawa Bangkai?
Malam itu, setelah diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong dalam keadaan mabok dan tak sadar, Swi Nio hendak membunuh diri dengan pedang, akan tetapi dia dicegah oleh laki-laki yang ternyata adalah seorang mata-mata dari An Lu Shan. Dia dapat diingatkan oleh laki-laki itu bahwa membunuh diri bukanlah jalan terbaik untuk membalas sakit hati, maka Swi Nio lalu ikut dengan orang itu dan menjadi petunjuk jalan sehingga mata-mata itu berhasil menyelamatkan diri bersama Swi Nio, keluar dari tembok Bu-tong-pai.
Kedua orang ini tanpa bicara melarikan diri terus dengan cepatnya sampai matahari naik tinggi dan mereka tiba di kaki Pegunungan Bu-tong-san, barulah mereka berhenti mengaso di dalam sebuah hutan lebat. Begitu duduk di bawah pohon melepaskan lelah, Swi Nio teringat akan nasib yang menimpa dirinya, maka serta merta dia menangis mengguguk.
Laki-laki itu memandang ke arahnya dan menghela napas panjang, mengepal tinju dan hanya mendiamkannya saja karena pengalamannya membuat dia mengerti bahwa dalam keadaan berduka seperti itu, tidak ada obat yang lebih baik bagi gadis itu kecuali tangis dan air mata yang bercucuran.
Setelah agak mereda tangis Swi Nio, dia berkata, "Nona, seperti kukatakan pagi tadi, tidak perlulah hal yang telah terjadi dan yang telah lalu ditangisi dan disedihkan. Yang penting, kita melihat ke depan. Jalan hidup masih lebar dan terbentang luas di depan kita. Mengubur diri dengan kedukaan saja tidak ada artinya dan pula hanya akan melemahkan semangat kita yang perlu kita pupuk untuk dapat membalas kepada orang-orang yang telah merusak hidup kita."
Kata-kata yang dikeluarkan dengan suara gagah ini membuat Swi Nio mengangkat mukanya yang pucat dan basah, memandang. Mereka berdua saling pandang sejenak, keduanya baru melihat nyata akan wajah masing-masing. Wajah pria itu menimbulkan kepercayaan di hati Swi Nio sedangkan wajah gadis itu membuat jantung laki-laki itu berdebar dan tertarik.
"Kau siapakah?" Akhirnya Swi Nio bertanya.
"Sudah kukatakan kepadamu, aku adalah seorang mata-mata, seorang kepercayaan Jenderal An Lu Shan. Namaku Liem Toan Kie. Dalam penyelidikanku di Bu-tong-pai, aku telah mengenal namamu, Nona. Engkau adalah Nona Bu Swi Nio, bersama kakakmu Bu Swi Liang engkau adalah murid dari Ketua Bu-tong-pai yang baru. Aku pun telah mengetahui akan nasibmu semalam...."
"Ahhh...! Si Jahanam Tang Sin Ong...!" Engkau benar! Aku tidak perlu berputus asa, aku tidak perlu mengubur diri dalam kedukaan, aku harus berusaha untuk membalas semua penghinaan ini. Akan kubunuh Si Jahanam Tang Sin Ong!" Gadis itu mengepal kedua tangannya dengan penuh kemarahan. (Bersambung)
Jauh dari rawa, tampak di tengah-tengah rawa itu sebuah pulau dan di situ terdapat bangunan-bangunan yang tampak dari jauh. Namun, tidak ada orang dari luar rawa yang berani mencoba untuk mendekati pulau ini, karena selain jalan menuju ke situ harus menyeberangi rawa maut itu, juga telah terkenal bahwa bangunan-bangunan itu adalah sarang dari iblis betina yang ditakuti semua orang, yaitu Kiam-mo Cai-li.
Karena seringkali terdapat bangkai-bangkai binatang-binatang yang terperosok ke dalam perangkap alam sekitar rawa, juga bahkan kadang-kadang tampak mayat manusia-manusia yang sampai membusuk dimakan lumpur, maka terkenallah rawa itu dengan sebutan Rawa Bangkai!
Karena Kiam-mo Cai-li yang cerdik itu melarang para anak buahnya untuk mengganggu rakyat di sekitar tempat itu, maka tidak akan ada alasan bagi alat pemerintah untuk memusuhinya, pula pembesar setempat merasa ngeri untuk menentang iblis betina itu. Dengan demikian, datuk kaum sesat ini hidup aman dan tenteram di kaki Pegunungan Lu-liang-san itu, dan tempat ini menjadi tempat persembunyian yang baik sekali bagi The Kwat Lin dan anak buahnya.
Kita kembali kepada lima orang yang pada hari itu berada di tepi rawa. Tiga orang di antara mereka adalah laki-laki tua berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun. Seorang lagi adalah laki-laki berusia tiga puluh tahun, berwajah tampan gagah dan bertubuh tegap sedangkan wanita itu masih muda, seorang gadis berusia paling banyak enam belas tahun, tubuhnya langsing dan wajahnya manis namun sepasang matanya mengandung sinar keras.
Wanita ini bukan lain adalah Bu Swi Nio dan laki-laki muda tampan gagah itu adalah penolongnya ketika dia hendak membunuh diri setelah malam itu dia diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong! Bagaimana dia sekarang bersama laki-laki dan tiga orang kakek dapat berada di tepi Rawa Bangkai?
Malam itu, setelah diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong dalam keadaan mabok dan tak sadar, Swi Nio hendak membunuh diri dengan pedang, akan tetapi dia dicegah oleh laki-laki yang ternyata adalah seorang mata-mata dari An Lu Shan. Dia dapat diingatkan oleh laki-laki itu bahwa membunuh diri bukanlah jalan terbaik untuk membalas sakit hati, maka Swi Nio lalu ikut dengan orang itu dan menjadi petunjuk jalan sehingga mata-mata itu berhasil menyelamatkan diri bersama Swi Nio, keluar dari tembok Bu-tong-pai.
Kedua orang ini tanpa bicara melarikan diri terus dengan cepatnya sampai matahari naik tinggi dan mereka tiba di kaki Pegunungan Bu-tong-san, barulah mereka berhenti mengaso di dalam sebuah hutan lebat. Begitu duduk di bawah pohon melepaskan lelah, Swi Nio teringat akan nasib yang menimpa dirinya, maka serta merta dia menangis mengguguk.
Laki-laki itu memandang ke arahnya dan menghela napas panjang, mengepal tinju dan hanya mendiamkannya saja karena pengalamannya membuat dia mengerti bahwa dalam keadaan berduka seperti itu, tidak ada obat yang lebih baik bagi gadis itu kecuali tangis dan air mata yang bercucuran.
Setelah agak mereda tangis Swi Nio, dia berkata, "Nona, seperti kukatakan pagi tadi, tidak perlulah hal yang telah terjadi dan yang telah lalu ditangisi dan disedihkan. Yang penting, kita melihat ke depan. Jalan hidup masih lebar dan terbentang luas di depan kita. Mengubur diri dengan kedukaan saja tidak ada artinya dan pula hanya akan melemahkan semangat kita yang perlu kita pupuk untuk dapat membalas kepada orang-orang yang telah merusak hidup kita."
Kata-kata yang dikeluarkan dengan suara gagah ini membuat Swi Nio mengangkat mukanya yang pucat dan basah, memandang. Mereka berdua saling pandang sejenak, keduanya baru melihat nyata akan wajah masing-masing. Wajah pria itu menimbulkan kepercayaan di hati Swi Nio sedangkan wajah gadis itu membuat jantung laki-laki itu berdebar dan tertarik.
"Kau siapakah?" Akhirnya Swi Nio bertanya.
"Sudah kukatakan kepadamu, aku adalah seorang mata-mata, seorang kepercayaan Jenderal An Lu Shan. Namaku Liem Toan Kie. Dalam penyelidikanku di Bu-tong-pai, aku telah mengenal namamu, Nona. Engkau adalah Nona Bu Swi Nio, bersama kakakmu Bu Swi Liang engkau adalah murid dari Ketua Bu-tong-pai yang baru. Aku pun telah mengetahui akan nasibmu semalam...."
"Ahhh...! Si Jahanam Tang Sin Ong...!" Engkau benar! Aku tidak perlu berputus asa, aku tidak perlu mengubur diri dalam kedukaan, aku harus berusaha untuk membalas semua penghinaan ini. Akan kubunuh Si Jahanam Tang Sin Ong!" Gadis itu mengepal kedua tangannya dengan penuh kemarahan. (Bersambung)
(dwi)