Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 16 Bagian 7
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo : Bukek Siansu
"In-kong, jangan kau menyebutku Paduka. Aku bukanlah seorang permaisuri lagi melainkan seorang buangan seperti engkau pula, kau tahu bahwa namaku Liu Bwee, orang biasa anak nelayan, hanya bekas ratu sekarang menjadi orang buangan."
"Hem, baiklah Liu-toanio. Dan aku pun tidak suka disebut Inkong, aku lebih tua dari padamu, sebut saja aku Twako. Sebetulnya, aku bukanlah musuh langsung dari Pulau Es, karena aku bukan seorang buangan, melainkan keturunan seorang buangan. Akan tetapi aku pun hanya bekas putera Ketua Pulau Neraka, karena sudah lima belas tahun lamanya aku meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah menjenguknya lagi dan menjadi perantau di antara pulau-pulau kosong ini...." Tiba-tiba wajah yang gagah itu kelihatan menyuram.
"Eh, kenapakah Ouw-twako? Apa yang terjadi denganmu maka engkau menjadi demikian?" Liu Bwee bertanya, tertarik hatinya.
Ouw Sian Kok menghela napas panjang, agaknya tidak suka menceritakan peristiwa masa lalu yang telah meroboh jalan hidupnya sama sekali.
"Aku memang sudah tidak senang tinggal di Pulau Neraka. Keadaan pulau itu membuat orang yang tinggal di situ menjadi buas, liar dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman di pulau itu. Akan tetapi sebagai putera Ketua, aku menekan senanganku dan terutama karena aku hidup penuh kasih sayang dengan isteriku. Kami mempunyai seorang anal perempuan yang sudah lima belas tahun tidak pernah kulihat. Tuhan menghukum aku. Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku... aku lalu pergi meninggalkan Ayah, anakku, dan Pulau Neraka sampai sekarang."
Sehabis bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali-kali menghela napas panjang. Liu Bwee memandang dengan mata penuh belas kasihan, bengong dan tidak dapat berkata-kata.
Betapa besar persamaan penderitaan di antara mereka. Dia pun kehilangan suami, sungguhpun suaminya masih hidup akan tetapi apa bedanya dengan mati kalau suaminya sudah tidak mencintanya lagi? Dan dia kehilangan anaknya pula, sama benar dengan nasib Ouw Sian Kok yang kehilangan isteri dan anaknya. Hanya bedanya, kalau dia mencari-cari Swat Hong, adalah laki-laki ini sengaja meninggalkan puterinya.
"Kasihan engkau, Ouw-twako," katanya sambil menyentuh tangan laki-laki yang telah menolongnya itu.
Ouw Sian Kok menghela napas, kemudian tiba-tiba mengangkat mukanya dan tersenyum. "Betapa aneh dan lucunya. Engkau yang bernasib malang ini menaruh kasihan kepada aku! Hemm, isteriku dirampas oleh Tuhan, aku tidak mungkin bisa mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas wanita lain, itu merupakan hal yang lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita melupakan semua itu dan yang terpenting kita memperhatikan keadaan kita sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat badai mulai berhenti dan air yang merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut, cuaca sudah terang tidak segelap tadi!"
Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan kiri dan benar saja, badai telah berhenti. Seketika lupalah dia akan segala kedukaannya dan wajahnya berseri. Dia tidak tahu betapa Ouw Sian Kok memandangnya dengan penuh kagum melihat wajah yang cantik itu, dengan air mata masih menempel di pipi, kini tersenyum dan berseri-seri.
"Mari kita turun!" keta Liu Bwee setelah melihat bahwa dengan amat cepatnya air telah meninggalkan pulau, seperti serombongan anak-anak nakal yang pulang ke rumah dipanggil ibunya.
Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi pantai di mana Ouw Sian Kok menaruh perahunya. Girang hatinya bahwa sebelum meninggalkan perahu ketika badai mulai mengamuk, dia telah mengikat perahunya dengan kuat sekali pada batu karang sehingga kini perahunya itu masih berada di situ. Akan tetapi perahu Liu Bwee lenyap tak meninggalkan bekas.
"Liu-toanio, mari kita berangkat."
"Eh, ke mana?" Liu Bwee memandang penuh keheranan dan mengerutkan alis.
"Ke Pulau Es."
"Apa...? Apa maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak mau kembali hanya untuk menerima penghinaan saja."
"Liu-toanio, seorang wanita seperti Toanio tidak selayaknya hidup sengsara seperti ini, Han Ti Ong telah berlaku sewenang-wenang dan tersesat. Biarlah aku yang akan menegur dan mengingatkannya akan kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat Toanio diperlakukan dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup sengsara. Marilah dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan lebih mudah menyadarkan suamimu yang sedang tergila-gila kepada wanita lain itu. Akulah yang bertanggung jawab, dan kupertaruhkan nyawaku untuk itu." (Bersambung)
"In-kong, jangan kau menyebutku Paduka. Aku bukanlah seorang permaisuri lagi melainkan seorang buangan seperti engkau pula, kau tahu bahwa namaku Liu Bwee, orang biasa anak nelayan, hanya bekas ratu sekarang menjadi orang buangan."
"Hem, baiklah Liu-toanio. Dan aku pun tidak suka disebut Inkong, aku lebih tua dari padamu, sebut saja aku Twako. Sebetulnya, aku bukanlah musuh langsung dari Pulau Es, karena aku bukan seorang buangan, melainkan keturunan seorang buangan. Akan tetapi aku pun hanya bekas putera Ketua Pulau Neraka, karena sudah lima belas tahun lamanya aku meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah menjenguknya lagi dan menjadi perantau di antara pulau-pulau kosong ini...." Tiba-tiba wajah yang gagah itu kelihatan menyuram.
"Eh, kenapakah Ouw-twako? Apa yang terjadi denganmu maka engkau menjadi demikian?" Liu Bwee bertanya, tertarik hatinya.
Ouw Sian Kok menghela napas panjang, agaknya tidak suka menceritakan peristiwa masa lalu yang telah meroboh jalan hidupnya sama sekali.
"Aku memang sudah tidak senang tinggal di Pulau Neraka. Keadaan pulau itu membuat orang yang tinggal di situ menjadi buas, liar dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman di pulau itu. Akan tetapi sebagai putera Ketua, aku menekan senanganku dan terutama karena aku hidup penuh kasih sayang dengan isteriku. Kami mempunyai seorang anal perempuan yang sudah lima belas tahun tidak pernah kulihat. Tuhan menghukum aku. Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku... aku lalu pergi meninggalkan Ayah, anakku, dan Pulau Neraka sampai sekarang."
Sehabis bercerita, Ouw Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali-kali menghela napas panjang. Liu Bwee memandang dengan mata penuh belas kasihan, bengong dan tidak dapat berkata-kata.
Betapa besar persamaan penderitaan di antara mereka. Dia pun kehilangan suami, sungguhpun suaminya masih hidup akan tetapi apa bedanya dengan mati kalau suaminya sudah tidak mencintanya lagi? Dan dia kehilangan anaknya pula, sama benar dengan nasib Ouw Sian Kok yang kehilangan isteri dan anaknya. Hanya bedanya, kalau dia mencari-cari Swat Hong, adalah laki-laki ini sengaja meninggalkan puterinya.
"Kasihan engkau, Ouw-twako," katanya sambil menyentuh tangan laki-laki yang telah menolongnya itu.
Ouw Sian Kok menghela napas, kemudian tiba-tiba mengangkat mukanya dan tersenyum. "Betapa aneh dan lucunya. Engkau yang bernasib malang ini menaruh kasihan kepada aku! Hemm, isteriku dirampas oleh Tuhan, aku tidak mungkin bisa mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas wanita lain, itu merupakan hal yang lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita melupakan semua itu dan yang terpenting kita memperhatikan keadaan kita sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat badai mulai berhenti dan air yang merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut, cuaca sudah terang tidak segelap tadi!"
Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan kiri dan benar saja, badai telah berhenti. Seketika lupalah dia akan segala kedukaannya dan wajahnya berseri. Dia tidak tahu betapa Ouw Sian Kok memandangnya dengan penuh kagum melihat wajah yang cantik itu, dengan air mata masih menempel di pipi, kini tersenyum dan berseri-seri.
"Mari kita turun!" keta Liu Bwee setelah melihat bahwa dengan amat cepatnya air telah meninggalkan pulau, seperti serombongan anak-anak nakal yang pulang ke rumah dipanggil ibunya.
Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi pantai di mana Ouw Sian Kok menaruh perahunya. Girang hatinya bahwa sebelum meninggalkan perahu ketika badai mulai mengamuk, dia telah mengikat perahunya dengan kuat sekali pada batu karang sehingga kini perahunya itu masih berada di situ. Akan tetapi perahu Liu Bwee lenyap tak meninggalkan bekas.
"Liu-toanio, mari kita berangkat."
"Eh, ke mana?" Liu Bwee memandang penuh keheranan dan mengerutkan alis.
"Ke Pulau Es."
"Apa...? Apa maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak mau kembali hanya untuk menerima penghinaan saja."
"Liu-toanio, seorang wanita seperti Toanio tidak selayaknya hidup sengsara seperti ini, Han Ti Ong telah berlaku sewenang-wenang dan tersesat. Biarlah aku yang akan menegur dan mengingatkannya akan kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat Toanio diperlakukan dengan tidak adil, aku tidak rela melihat Toanio hidup sengsara. Marilah dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan lebih mudah menyadarkan suamimu yang sedang tergila-gila kepada wanita lain itu. Akulah yang bertanggung jawab, dan kupertaruhkan nyawaku untuk itu." (Bersambung)
(dwi)