Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 8 Bagian 1
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
SIN LIONG memegang erat-erat lengan sumoinya dan membiarkan dirinya diseret dleh biruang itu. Binatang itu mengajaknya setengah paksa berlompatan dan berlarian ke gunung es lain yang berdekatan. Baru saja mereka melompat ke atas gunung es lain itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan gunung es di mana mereka tadi berada telah pecah berantakan menjadi keping-keping kecil. Kiranya gunung es itu ditabrak oleh gunung es lain dan hal ini agaknya telah diketahui oleh si Biruang tanpa melihat datangnya gunung es yang tak tampak dan situ. Ternyata binatang itu hanya diperingatkan oleh nalurinya yang tidak ada pada manusia!
Sin Liong berdiri dengau muka pucat, kemudian dia merangkul biruang itu. "Terima kasih, kakak biruang. Kiranya engkau malah menyelamatkan Kami berdua."
Akan tetapi Swat Hong merasa tidak senang. "Suheng, mari kita segera pergi dari sini. Tempat ini amat berbahaya. Lihat, gunung es tadi hancur dan itu kelihatan dari sini perahu kita. Untung tidak hilang. Marilah, Suheng."
"Nanti dulu, Sumoi. Aku harus mencarikan daun obat untuk mengobati luka-luka di tubuh biruang ini."
"Ah, perlu apa? Kita bisa celaka di sini...."
"Sumoi, dia telah menyelamatkan nyawa kita!"
"Hemm, begitukah? Engkau pun tadi telah menyelamatkan nyawanya ketika kau mengusir burung-burung nazar itu, bukan? Aku melihat dari jauh. Berarti sudah terbalas semua budi, bukan? Marilah, Suheng."
"Tidak, Surnoi. Kita tinggal di sini dulu sampai aku selesai mengobatinya."
Swat Hong menjadi marah. "Agaknya kau lebih sayang biruang betina ini dari pada aku!"
"Sumoi...!"
Akan tetapi Swat Hong sudah berlari pergi, berloncatan di atas pecahan es dan menuju ke perahu mereka, meloncat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu pergi dari situ! Sin Liong menjadi bingung dan hampir membuka mulut menegur, akan tetapi karena maklum bahwa hal itu percuma saja, dia membatalkan niatnya.
"Ngukkk... nguuuuukkkk...." Biruang itu mendengus-dengus dan menciumi kepalanya.
"Ahh, Enci (Kakak Perempuan) biruang, betapa sukarnya menyelami watak wanita. Aku telah membuat hatinya kecewa dan marah, akan tetapi bagaimana hatiku dapat tega meninggalkan engkau yang terancam bahaya maut oleh lukamu?"
Sin Liong lalu mengajak biruang itu mencari daun. Karena perahu sudah dibawa pergi Swat Hong, maka terpaksa dia mencari pulau yang masih ada tetumbuhannya dengan jalan berloncatan dari batu es ke batu es lainnya, dan kalau jaraknya terlalu jauh, biruang itu menggendongnya dan membawanya berenang ke batu es lainnya atau kadang-kadang Sin Liong menggunakan sebongkah es yang mengambang sebagai perahu, didayung dengan tangannya yang kuat. Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang amat sukar, dapat juga dia menemukan pulau yang masih ada tetumbuhannya dan di pulau kecil itu, mulailah dia mengobati luka-luka biruang itu sampai sembuh.
Pada suatu hari dia melihat sebuah perahu kosong terbalik mengambang tidak jauh dari pulau. Dia merasa girang sekali. Cepat menyuruh biruang mengambilnya dan hatinya terharu ketika
mengenal perahu itu sebagai sebuah di antara perahu Pulau Es. Tentu penumpangnya telah lenyap ditelan badai, pikirnya. Dia lalu membuat dayung dari cabang pohon dan setelah biruang hitam itu sembuh benar, dia lalu melompat ke perahu dan mendayungnya meninggalkan pulau. Akan tetapi tiba-tiba biruang itu terjun ke air dan berenang mengejar perahunya.
"Heii, kakak biruang, kembalilah, Engkau sudah sembuh, dan aku harus pergi mencari Sumoi!"
"Nguuuk... nguukkk..,!" Biruang hitam itu mengeluarkan suara mengeluh dan mukanya seperti orang menangis!
Sin Liong tersenyum. "Hemm, kau hendak ikut, ya? Nah, loncatlah ke atas!"
Seolah-olah mengerti arti kata-kata Sin Liong, biruang itu lalu meloncat ke dalam perahu kini mukanya kelihatan berseri, matanya bersinar-sinar dan lidahnya terjulur keluar seperti sikap seekor anjing yang kegirangan.
"Kau boleh ikut sampai. aku dapat menemukan kembali Sumoi!" kata Sin Liong. "Kalau Sumoi tidak menghendaki kau ikut, kau harus kutinggalkan karena kau telah sembuh."
Demikianlah, Sin Liong kini melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka. Dari puncak sebuah gunung es, dia dapat melihat dari jauh dan kini dia tahu di mana letaknya Pulau Neraka. Biruang yang kini menggantikan tempat Swat Hong," menjadi temannya berlayar itu kelihatan girang sekali ketika perahu meluncur, dan binatang ini sekarang telah jinak benar-benar. Setelah kini dia mengenal kembali keadaan dan tahu di mana letaknya Pulau Neraka, perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.
Setelah dekat dengan Pulau Neraka, dia menyaksikan sesuatu yang membuatnya terheran dan merasa tegang. Sebuah perahu besar kelihatan mendarat di Pulau Neraka. Jelas bukan perahu Pulau Neraka yang kecil-kecil. Perahu itu besar sekali, perahu layar yang hanya dipergunakan untuk pelayaran jauh. Dan perahu itu pun dalam keadaan payah, jelas kelihatan bekas diamuk badai. Tiang layarnya patah, layarnya cabik-cabik dan perahu itu tidak ada orangnya sama sekali, berdiri miring di pantai Pulau Neraka.
Apakah yang telah terjadi di Pulau Neraka? Ternyata bahwa seperti juga pulau lain. Pulau Neraka tidak luput dari amukan badai. Hanya karena letaknya agak jauh dari pusat amukan badai, maka penderitaannya tidaklah sehebat pulau lain, terutama Pulau Es. Air juga naik tinggi dan menenggelamkan setengah bagian pulau ini, banyak pula penghuninya yang tidak keburu lari ke tempat tinggi, diseret dan ditelan badai. Perahu-perahu lenyap, pohon-pohon yang berada di tepi pantai bobol semua. Dan setelah badai mereda, sebuah perahu besar terdampar di tepi pantai. Perahu itu adalah perahu bajak laut! Setelah air menyurut, para bajak laut yang terdiri dari dua puluh lima orang itu segera mendarat. Mereka itu kelelahan dan kelaparan, bahkan ada lima orang di antara mereka tewas ketika badai mengamuk sehingga jumlah mereka hanya tinggal dua puluh lima orang itulah. Mereka mendarat di kepalai oleh raja bajak yang memimpin mereka, raja yang amat terkenal di sepanjang pantai muara-muara Sungai Huangho dan Yangce. Kepala bajak ini adalah seorang laki-laki tinggi besar yang buta sebelah matanya. Mata kiri yang buta karena tusukan pedang lawan dalam pertandingan, kini ditutupi oleh sebuah kain hitam sehingga ia kelihatan lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar dan di antara para nelayan dan pedagang yang suka berperahu, dia dikenal sebagai Tok-gan-hai-liong (Naga Laut Mata Satu) dan namanya adalah Koan Sek.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa perahu mereka yeng diamuk oleh badai dahsyat itu telah mendarat di Pulau Neraka! Andaikata mereka tahu juga, mereka tentu tidak merasa takut karena pada waktu itu, nama Pulau Neraka hanya dikenal oleh orang-orang Pulau Es. Untuk dunia ramai, yang dikenal hanyalah Pulau Es, yang dikenal sebagai tempat yang hanya terdapat dalam sebuah dongeng. Betapapun juga, Pulau Es merupakan nama yang ditakuti oleh semua orang termasuk para bajak. Akan tetapi karena pulau dimana perahu mereka mendarat bukanlah Pulau Es, melainkun pulau yang hitam penuh tetumbuhan, mereka menjadi berani dan setelah badai mereda dan air menyurut, mereka lalu menyerbu ketengah pulau.
Untung bagi mereka bahwa badai yang amat dahsyat itu membuat air laut naik dan mengamuk di daratan pulau sehingga binatang-binatang berbisa pun menjadi panik dan ketakutan, lari bersembunyi dan belum berani keluar. Andaikata mereka itu berani menyerbu pulau dalam keadaan biasa tentu mereka akan menjadi korban binatang-binatang itu dan sukarlah dibayangkan apa akan jadinya. Mungkin sekali tidak ada di antara mereka yang akan dapat lolos betapapun liar, ganas dan lihai mereka itu.
Dapat dibayangkan betapa heran dan girangnya hati para bajak itu ketika mendapat kenyataan bahwa di tengah pulau itu terdapat pondok-pondok yang dibuat oleh manusia! Akan tetapi keheranan mereka segera berubah menjadi kekagetan hebat ketika para penghuni pulau itu menyambut mereka dengan serangan dahsyat tanpa peringatan apa-apa. Karena mereka adalah bajak-bajak yang sudah biasa berkelahi dan mengadu nyawa, maka serbuan para penghuni Pulau Neraka itu mereka sambut dengan gembira. Mereka mengira bahwa penghuni pulau itu adalah orang-orang biasa saja.
Maka besar sekali kekagetan mereka ketika mendapat kenyataan betapa kurang lebih dua puluh orang, yaitu sisa penghuni Pulau Neraka yang tidak dibasmi oleh badai, yang berani menyambut mereka dengan serangan itu rata-rata memiliki kepandaian hebat! Terjadilah perang tanding yang seru dan mati-matian. Bajak laut pimpinan Tok-gan-hai-liong itu pun bukan orang-orang biasa melainkan penjahat-penjahat pilihan yang selain kuat dan ganas, juga rata-rata pandai ilmu silat. Apalagi Tok-gan-hai-liong sendiri bersama seorang pembantu yang sebetulnya adalah sutenya (adik seperguruan) sendiri yang bernama Coa Liok Gu, seorang ahli pedang yang lihai sekali. Sedangkan Tok-gan-hai-liong Koan Sek sendiri adalah seorang ahli bermain senjata ruyung yang ujungnya merupakan sebuah bola baja yang berat dan keras.
Para penghuni Pulau Neraka masih terguncang oleh amukan badai, bahkan ketua mereka, Ouw Kong Ek, sedang menderita sakit hebat. Semenjak penyerbuan pasukan Pulau Es yang dipimpin oleh Han Ti Ong, Ouw Kong Ek jatuh sakit. Mungkin karena dia merasa terlalu marah, dan mungkin juga karena usianya yang sudah tua. Penyerbuan dari Pulau Es itu merupakan hal yang amat menyakitkan hatinya, dan juga hati para penghuni Pulau Neraka, mendatangkan rasa dendam yang lebih mendalam. Apalagi melihat betapa catatan pengobatan dari Kwa Sin Liong telah dihancurkan oleh Han Ti Ong, hati Ouw Kong Ek merasa sakit sekali. Untung masih ada beberapa macam obat yang hafal olehnya, akan tetapi sebagian besar telah dibasmi oleh Raja Pulau Es yang marah itu.
Pada saat bajak laut menyerbu, Ouw Kong Ek tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Dia dijaga dan dirawat oleh cucunya, Ouw Soan Cu. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hati kakek ini ketika ada anak buahnya yang datang melapor bahwa pulau yang baru saja diamuk badai itu kini diserbu oleh sepasukan bajak laut yang ganas dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi!
"Keparat,..!" Kakek itu meloncat bagun akan tetapi terguling kembali dan Soan Cu segera memegang lengan kakeknya membantunya untuk rebah kembali.
"Tenanglah, Kong-kong! Biarlah aku yang keluar untuk membantu teman-teman membasmi bajak laut yang tidak tahu diri itu."
Ouw Kong Ek terpaksa hanya mengangguk karena dia sendiri masih tidak kuat untuk bangun, apalagi bertempuf., "Hati-hatilah, Soan Cu..." Dia percaya akan kepandaian cucunya yang tentu akan dapat mengusir bajak-bajak laut yang biasanya hanya terdiri orang-orang kasar itu.
Dengan pedang di tangan Soan Cu lalu berlari keluar. Melihat anak buahnya sudah bertanding mati-matian melawan bajak-bajak yang ganas, apalagi melihat seorang wanita Pulau Neraka digeluti, oleh dua orang laki-laki kasar sampai wanita itu menjerit-jerit namun dua orang laki-laki itu malah tertawa-tawa dan marobek-robek pakaian wanita itu, Soan Cu menjadi marah aekali. Dia mengeluarkan teriakan marah, tubuhnya yang ramping mencelat ke depan, pedangnya menyambar dan dua orang bajak yang sedang memperkosa wanita itu roboh dengan leher terkuak lebar dan hampir putus! Wanita itu cepat membereskan pakaiannya, menyambar goloknya dan seperti seekor harimau kelaparan dia membacoki tubuh dua orang bajak tadi.
Melihat sepak terjang Soan Cu yang kembali sudah merobohkan dua orang bajak, Tok-gan-hai-liong Koan Sek dan Coa Liok Gu, dibantu oleh beberapa orang bajak lain cepat mengepung dan mengeroyoknya. Namun Soan Cu mengamuk hebat dan pedangnya berubah segulung sinar , terang yang menyambar dahsyat, membuat dua orang pimpinan bajak itu terkejut dan harus memainkan senjata dengan hati-hati sekali agar jangan sampai mereka menjadi korban kedahsyatan sinar pedang yang dimainkan oleh dara itu.
"Lepas tulang ikan!!" Tiba-tiba kepala bajak itu memberi aba-aba kepada sutenya dan mereka berdua telah meloncat mundur, membiarkan anak buah mereka yang empat orang banyaknya melanjutkan pengeroyokan, sedangkan mereka berdua lalu mengayun tangan berkali-kali ke arah Soan Cu. Sinar lembut bertubi-tubi menyambar ke arah Soan Cu dari depan dan belakang. Dara ini memandang rendah senjata rahasia mereka. Dia adalah seorang dara Pulau Neraka, sudah terlalu banyak racun dikenalnya bahkan dia telah menggunakan obat anti racun maka dia tidak terlalu khawatir ketika sebuah di antara senjata rahasia lawan yang lembut itu mengenai pahanya.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kakinya itu setengah lumpuh, dan begitu dia menggerakkan pedang, tubuhnya terhuyung, kepalanya pening.
"Aihhh...!" Dia berseru nyaring, lebih merasa heran daripada khawatir. Dara ini tidak tahu bahwa lawannya menggunakan am-gi (senjata gelap) berupa tulang berbentuk duri dari sirip semacam ikan laut yang berbisa. Bisa dari ikan laut ini tentu saja tidak dapat disamakan dengan bisa dari binatang darat, maka bisa yang asing ini tidak dapat ditolak oleh obat anti racun yang dipakainya.
"Sute, tangkap Nona manis ini...!"
Teriak Koan Sek dengan girang akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gerengan yang dahsyat dan yang membuat mereka kaget bukan main. Dua orang bajak yang mendengar suara itu dekat sekali di belakang mereka menengok dan... mereka itu terjengkang dan merangkak untuk melarikan diri dengan ketakutan. Kiranya yang menggereng itu adalah seekor binatang raksasa hitam yang menakutkan. Seekor biruang yang lebar moncongnya cukup untuk mencaplok kepala mereka sekaligus!
Sin Liong yang datang bersama biruang itu cepat meloncat mendekati Soan Cu merampas pedang dari tangan dara itu dan memondongnya dengan tangan kiri, kemudian sekali meloncat dia telah berada di punggung biruang, lengan kiri memeluk dan menjaga tubuh Soan Cu yang dipangkunya karena dara itu telah menjadi pingsan sedangkan tangan kanan menggerakkan pedang dara itu sambil berseru "Kakak biruang, lawan mereka yang berani mendekat!"
Biruang itu menggereng-gereng dan ketika melihat dari kiri ada sinar menyambar, yaitu sinar pedang yang digerakan oleh Coa Liok Gu sute dari kepala bajak, tiba-tiba kaki depan kiri yang kini dipergunakan seperti tangan itu bergerak menangkis, bukan menangkis pedang melainkan mencengkeram kepala Coa Liok Gu. Tentu saja orang ini kaget dan sekali merendahkan tubuh, membalikkan pedang dan siap untuk menyerang lagi. Begitu lengan biruang itu menyambar lewat, dia meloncat ke atas dan menusukkan pedangnya mengarah bagian antara kedua mata biruang itu.
"Cringgg...!!" Pedangnya terpental dan dia harus cepat melempar tubuh ke belakang kalau tidak ingin dadanya robek oleh cakar biruang setelah pedangnya ditangkis eleh Sin Liong tadi.
"Siuuut...!!" Senjata ruyung berujung baja di tangan Koan Sek sudah bergerak menyambar dengan ganas, menghantam punggung biruang hitam dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga dahsyat.
"Cringgg...! Tranggg...!!" Dua kali senjata berat itu ditangkis oleh Sin Liong dan dua kali pula kepala bajak itu berseru kaget karena telapak tangannya hampir terkupas kulitnya dan terasa panas dan perih. Pada saat dia terbetalak dan terheran, biruang itu sudah membalikkan tubuh dari sekali kaki depannya yang kanan menampar, kepala bajak itu mencoba menangkis, namun senjatanya terlepas dari pegangannya dan biruang itu sudah menubruknya dan mencengkeram ke arah lehernya.
"Kakak biruang, jangan...!" Sin Liong membentak. Biruang itu terkejut dan ragu-ragu sehingga kesempatan itu dapat dipergunakan oleh Koan Sek untuk melocat jauh ke belakang. Dia dan pembantu utamanya, Coa Liok Gu berdiri dengan muka pucat memandang pemuda yang menunggang biruang itu membawa pergi tubuh dara jelita yang pingsan, Biarpun pedang masih berada di tangannya, Coa Liok Gu tidak lagi berani menyerang karena dia maklum bahwa selain biruang raksasa itu amat kuat, juga pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa sekali.
Sin Liong merasa bingung dan gelisah menyaksikan pertempuran hebat itu. "Hentikan pertempuran...!" Dia bersaru berkali-kali namun percuma saja, para bajak laut dan penghuni Pulau Neraka adalah orang-orang kasar yang pada saat itu sedang marah, maka sukar untuk dibujuk.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan panjang dan suara ini segera disusul suara berdengung-dengung dan berdesis-desis. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Sin Liong ketiKa alia melihat datangnya binatang binatang kecil yang berbisa. Ular, kelabang, kalajengking dan sebangaanya berdatangan dari semua penjuru, merayap cepat seolah-olah digerakkan oleh suara melengking itu, dan yang lebih mengerikan lagi, lebah-lebah putih datang pula beterbangan! Saking kagetnya Sin Liong melompat turun dari punggung biruang dan kini biruang itu pun terkejut dan ketakutan, seolah-olah binatang raksasa ini sudah mengerti bahwa bahaya maut datang mengancamnya.
"Uhhh... apa yang terjadi...?" Soan Cu mengeluh dan siuman dari pingsannya.
Melihat dara itu sudah siuman. Sin Liong agak lega. "Bagaimana lukamu?"
"Nyeri sekali, panas... eh, siapa yang memimpin binatang-binatang berbisa itu?" Soan Cu turun dari pondongan Sin Liong. "Cepat pergunakan obat penolak ini..." Dia mengeluarkan sebungkus obat dari ikat pinggangnya. Setelah menaburkan obat bubuk di sekeliling mereka bertiga, yaitu Soan Cu, Sin Liong dan biruang betina, Soan Cu berkata lagi, "Sin Liong tolong... kautangkap Si Mata Satu itu... aku membutuhkan obat penawar racun am-gi-nya (senjata gelapnya)...."
Melihat betapa wajah dara itu pucat sekali tanda menderita kenyerian hebat, Sin Liong maklum bahwa tentu dara itu terkena senjata rahasia yang mengandung racun luar biasa sekali. Maka tanpa menjawab tubuhnya lalu mencelat ke arah Koan Sek yang masih bengong memandang ke depan, matanya terbelalak ketika melihat betapa anak buahnya mulai menjadi korban pengeroyokan binatang-binatang berbisa. Make ketika tubuh Sin Liong menyambar, dia terkejut sekali, mengira bahwa pemuda itu akan menyerangnya. Dia tadi audah mengambil kembali senjatanya, maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah mengayun senjatanya menghantam ke arah Sin Liong. Pemuda ini tadi melepaskan pedangnya, melihat betapa dia disambut serangan dahsyat, cepat dia miringkan tubuhnya, membiarkan senjata berat itu lewat dan secepat kilat kedua tangannya menyambar dan sebelum Koan Sek tahu apa yang terjadi, senjatanya telah terampas dan dibuang oleh pemuda itu sedangkan tubuhnya sudah diangkat dan dipanggul seperti seorang anak kecil saja. Percuma dia meronta, karena pemuda itu sudah meloncat seperti terbang, kembali ke dalam lingkaran obat penolak yang ditaburkan Soan Cu.
Koan Sek mengigil. Selain dia maklum betapa lihainya pemuda ini, juga dia merasa ngeri sekali menyaksikan apa yang terjadi di luar lingkaran obat bubuk itu. Terdengar jerit dan pekik mengerikan. Orang-orang Pulau Neraka telah mundur dan menonton sambil tertawa-tawa. Akan tetapi anak buah bajak laut itu menghadapi penyerangan binatang-binatang berbisa dan sama sekali mereka tak berdaya. Apalagi penyerangan lebah-lebah putih membuat mereka panik. Mengerikan sekali melihat mereka berkelojotan merintih-rintih dan menangis menggerung-gerung karena tidak tahan menderita rasa nyeri yang menyengati sekujur tubuh.
"Cepat bertindak, halau mereka, Soan Cu!" Sin Liong berkata dengan alis berkerut. Biarpun yang dikeroyok binatang-binatang itu adalah kaum bajak, namun dia tidak dapat menyaksikan peristiwa mengerikan itu.
Soan Cu menggeleng kepala. "Tak mungkin. Mereka digerakkan oleh suara melengking itu...."
"Suara apa itu? Siapa yang membunyikan?"
Soan Cu tersenyum dan menggigit bibirnya menahan rasa nyeri. Pahanya seperti dibakar dan rasa nyeri menusuk-nusuk jantung. "Siapa lagi? Satu-satunya orang yang dapat melakukannya hanyalah Kong-kong... augghh ..." Dara itu roboh pingsan lagi dalam rangkulan Sin Liong.
"Aduh celaka..., binatang-binatang itu...." Tok-gan-hai-liong Koan Sek mengigil dan dia hendak lari dari tempat itu ketika melihat bagaimana pembantunya, Coa Liok Gu, sudah sibuk memutar pedang untuk berusaha mengusir lebah-lebah putih yang mengeroyoknya.
"Kalau kau keluar dari sini, engkau pun akan mengalami nasib yang sama," kata Sin Liong, menunjuk ke arah lingkaran putih dari obat penolak. "Binatang-binatang itu tidak berani memasuki lingkaran ini."
Koan Sek memandang dan matanya terbelalak ngeri melihat betapa ular-ular beracun yang bermacam-macam warnanya itu benar saja membalik lagi ketika mendekati garis lingkaran. Bahkan lebah-lebah putih yang terbang dekat, agaknya mencium bau penolak itu dan mereka itu pun terbang membalik, mengamuk dan menyerang para bajak yang berada di luar lingkaran.
Saking ngerinya melihat betapa Coa Liok Gu menjerit dan roboh karena kakinya tergigit seekor ular, kemudian betapa pembantunya yang juga merupakan sutenya melolong-lolong dan bergulingan, dikeroyok banyak sekali binatang yang mengerikan, kepala bajak ini tak dapat lagi menahan dirinya dan dia menjatuhkan diri berlutut!
Sin Liong sendiri merasa ngeri menyaksikan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Kalau saja dia dapat melihat Ouw Kong Ek, tentu dia akan meloncat dan memaksa kakek itu menghentikan pekerjaannya yang kejam, membunuhi para bajak seperti itu. Akan tetapi celakanya, suara itu melengking tinggi dan sukar diketahui dari mana datangnya, bahkan kakek itu pun tidak tampak. Pula, mana mungkin dia berani meninggalkan Soan Cu yang pingsan itu bersama kepala bajak? Maka pemuda ini merasa seperti disayat-sayat jantungnya menyaksikan pembunuhan yang amat kejam itu, melihat betapa dua puluh empat orang bajak menemui kematian secara mengerikan, berkelojotan dan melolong-lolong, akhirnya suara jeritan mereka makin lemah dan berubah seperti suara binatang disembelih, kemudian tubuhnya tidak berkelojotan lagi dan binatang-binatang kecil berbisa yang kelaparan itu masih menggerogoti kulit dan daging mereka!
Kemudian tampaklah Ouw Kong Ek, Tocu Pulau Neraka. Kakek ini datang ke tempat itu sambil merangkak dengan susah payah, tubuhnya kelihatan lemah dan kurus, mukanya pucat dan sambil merangkak itu dia meniup sebatang alat tiup terbuat daripada batang alang-alang, menyerupai suling kecil. Pantas saja suaranya melengking tinggi dan aneh. Beberapa orang anggauta Pulau Neraka segera maju dan mengangkat ketua mereka, memapahnya datang dan kini binatang-binatahg itu berangsur-angsur merayap pergi setelah Ouw Kong Ek merobah suara tiupan sulingnya. Akhirnya yang tinggal hanya mayat-mayat dua puluh empat orang bajak dalam keadaan mengerikan, dan mayat tujuh orang penghuni Pulau Neraka yang tewas dalam pertempuran.
"Ahhh, engkau pula yang menolong cucuku, Taihiap?" Ouw Kong Ek dituntun anak buahnya datang mendekat.
Sin Liong mengerutkan alisnya. "Tocu, engkau sungguh kejam, membunuhi mereka seperti itu."
Kakek itu terbelalak. "Aku? Kejam? Dan mereka ini...?" Dia menuding ke arah mayat-mayat para bajak laut.
"Dan... hei, siapa dia ini? Ah, bukankah dia ini pemimpin mereka?" Ouw Kong Ek sudah melangkah maju menghampiri Koan Sek yang berdiri dengan muka pucat,
"Tahan dulu, Tocu! Memang dia pemimpin bajak, akan tetapi nyawa cucumu berada didalam tangannya!"
"Soan Cu...!" Ouw Kong Ek, memandang tubuh dara yang dipondong oleh Sin Liong dan berada dalam keadaan pingsan itu. "Mengapa dia?"
"Terkena senjata beracun." Kemudian dia memandang Koan Sek dan membentak, "Hayo kauberikan obat penawar senjata gelapmu!"
Tok-gan-hai-liong Koan Sek adalah seorang yang sudah berpengalaman, seorang yang menjelajah di dunia kang-ouw, maka dia tentu saja cerdik sekali. Tadi ketika menyaksikan betapa semua anak buahnya, juga sutenya, tewas secara mengerikan, dia ketakutan setengah mati dan kehilangan akalnya. Akan tetapi sekarang setelah dia melihat kesempatan untuk menolong diri, timbul kembali keberaniannya dan dia tersenyum.
"Agaknya kita telah salah masuk. Tidak tahu pulau apakah ini dan siapa kalian ini?" tanyanya kepada Sin Liong karena dia merasa jerih sekali menghadapi pemuda yang dia tahu amat lihai dan sama sekali bukan tandingannya itu.
"Kau belum tahu? Ini adalah Pulau Neraka dan dia itu adalah ketuanya." Dia menuding kepada Ouw Kong Ek.
"Sedangkan Nona ini adalah cucunya. Maka kau harus cepat memberikan obat penawarnya."
"Ha-ha, mudah saja! Mudah saja memberi obat penawarnya. Aihh, kiranya kami telah memasuki sebuah pulau iblis dengan penghuni-penghuninya seperti iblis pula! Benar-benar kami telah membuat kesalahan besar! Orang muda, mudah saja mengobati luka Nona ini, akan tetapi bagaimana dengan aku sendiri? Anak buahku telah tewas semua dan aku berada dalam cengkeraman kalian!"
"Engkau... engkau akan kusiksa, kucincang sampai hancur!" Ouw Kong Ek membentak.
"Ha-ha-ha, boleh! Lakukan sekarang, karena aku tidak takut mati setelah aku melihat bahwa aku mempunyai banyak teman terutama sekali Cucumu. Kalau orang tidak lagi menyayangkan kematian seorang dara jelita muda remaja seperti dia ini, apalagi kematian seorang tua bangka seperti aku. Ha-ha-ha! Biarlah aku mati ditemani oleh dara remaja ini!"
Ouw Kong Ek sudah marah sekali, kedua tangannya dikepal sehingga suling batang alang-alang itu hancur di tangannya. Melihat kemarahan ketua Pulau Neraka itu, Sin Liong berkata, "Ouw-tocu, apa yang dikatakannya benar. Sudah kuperiksa luka cucumu dan ternyata dia terkena racun yang aneh sekali yang belum pernah aku melihatnya. Maka, biarlah kita menukar keselamatannya dengan keselamatan Soan Cu. Betapapun juga, nyawa Soan Cu jauh lebih berharga dari pada kehidupan seorang sesat seperti dia."
"Ha-ha-ha, itu baru omongan yang tepat!" Tok-gan-hai-liong Koan Sek yang merasa "mendapat angin" berkata dengan dada dibusungkan. Dia tidak takut lagi sekarang. Nyawa cucu ketua Pulau Neraka berada di tangannya. Apa lagi yang ditakutinya?
"Iblis keparat! Hayo kauberikan obat untuk cucuku dan kau boleh minggat dari sini!" Ouw Kong Ek membentak.
"Ha-ha-ha, aku Tok-gan-hai-liong Koan Sek bukan seorang tolol." Dia lalu menoleh kepada Sin Liong. "Orang muda, apakah kedudukanmu di Pulau Neraka ini?" Dia memang tidak dapat menduga karena tadi dia mendengar ketua Pulau Neraka menyebut taihiap (pendekar besar) kepada pemuda ini. Dan kalau ada yang dipercaya di situ, maka satu-satunya orang adalah pemuda ini.
"Aku bukan penghuni Pulau Neraka, aku adalah seorang dari Pulau Es...."
"Heeeh...??" Mata Tok-gan-hai-liong yang tinggal satu itu terbelalak dan mukanya pucat. Dia meresa seolah-olah dalam mimpi. Setelah bertemu dengan Pulau Neraka yang aneh dan mengerikan di mana semua, anak buahnya tewas, dia bertemu pula dengan seorang pemuda sakti yang mengaku datang dari Pulau Es, sebuah sebutan yang tadinya dikira hanya terdapat dalam dongeng tahyul belaka. Mimpikah dia? Ataukah dia sudah mati ditelan badai dan sekarang ini adalah pengalaman dari rohnya?
"Pulau... Pulau,.. Es...?" Dia berkata lirih.
Sin Liong mengangguk tak sabar. Dia tadi mengaku sebenarnya, siapa malah membuat kepala bajak ini menjadi termangu-mangu seperti orang sinting.
"Kalau begitu, aku hanya mau memberikan obat penawar jika engkau yang mengantarku sampai ke sebuah perahu di pantai Pulau Neraka ini."
"Jahanam, kau tidak percaya kepadaku?" Ouw Kong Ek membentak dan para pembantunya sudah mengangkat senjata mengancam.
"Terserah, bunuhlah. Aku toh akan mati bersama dia ini."
Sin Liong menyerahkan tubuh Soan Cu yang masih pingsan kepada kakeknya, kemudian berkata, "Ouw-tocu, biarlah kita memanuhi permintaannya. Harap sediakan perahu untuknya."
Terpaksa Ouw Kang Ek menggerakkan kepalanya memberi isyarat kepada anak buahnya, kemudian memandang kepada kepala bajak itu dengan mata mendelik. Koan Sek lalu berjalan bersam Sin Liong dan dua anak buah Pulau Neraka menuju ke tepi laut. Setelah sebuah perahu dipersiapkan, kepala bajak itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam sakunya. Benda itu ternyata adalah seekor kuda laut sebesar ibu jari tangan, yang sudah kering.
"Nona itu terkena racun yang terkandung dalam duri ikan yang tidak dapat diobati kecuali dengan ini. Bubuklah dan masak, lalu minumkan airnya. Tentu dia akan sembuh."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah banyak pengetahuannya tentang pengobatan akan tetapi tentu saja belum pernah dia mengenal rahasia racun yang keluar dari dalam lautan. Dia menyerahkan bangkai kuda laut kering itu kepada dua orang penghuni Pulau Neraka sambil berkata, "Berikan ini kepada Ouw-tocu, suruh menumbuk halus dan masak dengan air, kemudian minumkan kepada Nona. Bagaimana hasilnya supaya cepat melapor ke sini. Aku menunggu di sini."
Dua orang itu menerima kuda laut mati dan berlari memasuki pulau, sedangkan Sin Liong lalu duduk di tepi pantai dengan sikap tenang.
"Kau tidak mau membiarkan aku pergi?" Koan Sek bertanya penuh khawatir.
"Jangan tergesa-gesa," jawab Sin Liong. "Aku harus yakin dulu bahwa obatmu benar-benar manjur, baru aku akan membolehkan engkau pergi. Bukankah itu adil namanya?"
Koan Sek menghela napas dan menjatuhkan diri duduk di dalam perahu. Dia maklum bahwa kalau melawan, dia tidak akan menang. "Dia pasti akan sembuh. Dalam keadaan seperti ini, mana aku berani main-main?"
Sin Liong diam saja. Kepala bajak itu menggunakan mata tunggalnya untuk memandangi pemuda ini penuh selidik, kemudian bertanya, "Orang muda, benarkah engkau dari Pulau Es?"
Sin Liong mengangguk.
"Dan siapa namamu?"
"Kwa Sin Liong. Mengapa engkau bertanya-tanya?"
"Tadinya aku mengira bahwa Pulau Es hanyalah sebuah dongeng...."
"Hemm..., memang sekarang hanya tinggal dongeng..." Sin Liong berkata sambil merenung jauh membayangkan keadaan Pulau Es yang telah terbasmi oleh badai dan kini tinggal menjadi sebuah pulau kosong yang menyedihkan.
"Nguuk... nguuukkk..."
Sin Liong menoleh dan terseyum. "Eh, Enci biruang. Kau menyusulku?"
Biruang itu menghampiri, dan memperlihatkan taringnya ketika dia melihat Koan Sek di atas perahu di depan pemuda itu.
"Binatang yang hebat!" Koan Sek berkata dan bulu tengkuknya berdiri. Pemuda ini seperti bukan manusia biasa! Dan mempunyai binatang peliharaan seperti itu! Kau bilang tadi... tinggal dongeng, apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa, lupakanlah," kata Sin Liong sambil mengelus kepala biruang yang sudah bertiarap di depannya.
"Orang muda she Kwa... eh, Taihiap... kenapa kau mau membebaskan aku?"
Sin Liong mengangkat mukanya mandang dan kepala bajak itu melebih heran lagi melihat betapa pandang mata pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kebencian atau permusuhan dengannya? "Mengapa tidak? Engkau pun membebaskan Soan Cu."
Sin Liong menengok dan tampaklah dua orang tadi datang berlari-lari. "Kwa-taihiap. Nona sudah sembuh."
Sin Liong mengangguk kepada Koan Sek. "Pergilah, cepat! Lebih cepat lebih baik dan harap kau jangan sekali-kali mendekati pulau ini."
Koan Sek menjawab, "Terima kasih. Satu kalipun sudah cukuplah!" Dia mengkirik. "Pulau iblis sepeti ini siapa yang ingin melihatnya lagi?" Dia lalu menggerakkan dayungnya dan perahu meluncur cepat meninggalkan Pulau Neraka.
Ketika Sin Liong bersama biruangnya tiba kembali ke tengah pulau, benar saja bahwa Soan Cu telah sembuh sama sekali dari pengaruh racun. Hanya luka di pahanya yang tinggal dan luka itu sudah diobati oleh kong-kongnya. Para penghuni Pulau Neraka sedang sibuk menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan mengerikan itu dan Sin Liong lalu diajak masuk ke pondoknye oleh Ouw Kong Ek dan Sian Cu.
"Taihiap, lagi-lagi engkau yang datang menolong kami," kata Ouw Kong Ek.
"Kalau engkau tidak segera datang, entah bagaimana dengan aku. Mungkin sudah mati, Sin Liong," kata Soan Cu dengan mata bersinar-sinar penuh kagum dan terima kasih.
"Ahh, mengapa Tocu dan kau masih bersikap sungkan terhadap aku? Bukankah kita ini sahabat? Kedatanganku bukan hanya kebetulan saja. Aku datang dengan maksud yang sama seperti setahun yang lalu, yaitu mencari Sumoi. Apakah dia tidak datang ke sini?"
Soan Cu dan kakeknya memandang kaget dan juga heran, dan di dalam pandang mata Ouw Kong Ek terkandung rasa hati tidak senang.
Sin Liong maklum akan ketidaksenangan hati kakek itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Harap saja Tocu tidak menyangka yang bukan-bukan terhadap Sumoi. Apa yang dilakukan oleh Suhu di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Sumoi."
"Jadi Taihiap sudah tahu apa yang diperbuat oleh Han Ti Ong di sini?"
Sin Liong mengangguk. "Aku dapat menduganya. Tentu dia marah-marah karena puterinya pernah ditahan di sini."
"Bukan hanya marah-marah!" kata Soan Cu mengepal tinju. "Orang itu sombong sekali! Dia menghina Kakek, biarpun tidak melakukan pembunuhan tapi dia memukul semua orang!"
"Kau juga dipukulnya?" Sin Liong bertanya.
"Tadinya, melihat aku seorang wanita dan masih muda, dia tidak mau memukulku, akan tetapi karena melihat Kakek dipukul, aku menyerangnya dan aku roboh oleh tamparan. Dia memang sakti, akan tetapi ganas dan kejam, bahkan semua catatanmu dihancurkan! Sekali waktu kami akan menuntut balas, kami akan menyerang Pulau Es!"
Sin Liong menarik napas panjang. "Lupakan saja niat itu, selain tidak baik juga tidak ada gunanya. Kerajaan Pulau Es tidak ada lagi sekarang, telah musna."
"Hei...? Apa maksudtnu, Taihiap...?" Kakek itu bertanya, terbelalak.
"Apa yang telah terjadi?" Soan Cu juga bertanya.
"Dilanda badai.... habis seluruhnya, semua penghuninya termasuk Suhu dan seluruh benda di sana habis terbasmi, kecuali bangunan istana yang telah kosong sama sekali...." Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat malapetaka yang menimpa Pulau Es, dan betapa secara aneh dan kebetulan saja dia dan sumoinya terluput dari bencana. Kakek dan cucu itu mendengarkan dengan melongo, kemudian kakek itu bertepuk tangan dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Ha-ha-ha-ha! Dendam ratusan tahun lenyap dalam sekejap mata! Kami orang-orang buangan yang dianggap berdosa, dianggap dikutuk Tuhan, malah masih dapat hidup melanjutkan riwayat, sedangkan penghuni Pulau Es yang suci dan agung, kaum bangsawan yang tinggi, sekali sapu saja musnah! Ha-ha-ha, siapa yang lebih dilindungi Tuhan? Han Ti Ong, tanpa kami bergerak, engkau dan kerajaanmu lenyap sudah!" Kakek itu tertawa-tawa sampai air matanya keluar sehingga sukar dikatakan apakah dia itu tertawa, ataukah menangis.
"Mengapa Taihiap sekarang mencari Nona Swat Hong ke sini? Apa yang terjadi dengan dia?"
SIN LIONG memegang erat-erat lengan sumoinya dan membiarkan dirinya diseret dleh biruang itu. Binatang itu mengajaknya setengah paksa berlompatan dan berlarian ke gunung es lain yang berdekatan. Baru saja mereka melompat ke atas gunung es lain itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan gunung es di mana mereka tadi berada telah pecah berantakan menjadi keping-keping kecil. Kiranya gunung es itu ditabrak oleh gunung es lain dan hal ini agaknya telah diketahui oleh si Biruang tanpa melihat datangnya gunung es yang tak tampak dan situ. Ternyata binatang itu hanya diperingatkan oleh nalurinya yang tidak ada pada manusia!
Sin Liong berdiri dengau muka pucat, kemudian dia merangkul biruang itu. "Terima kasih, kakak biruang. Kiranya engkau malah menyelamatkan Kami berdua."
Akan tetapi Swat Hong merasa tidak senang. "Suheng, mari kita segera pergi dari sini. Tempat ini amat berbahaya. Lihat, gunung es tadi hancur dan itu kelihatan dari sini perahu kita. Untung tidak hilang. Marilah, Suheng."
"Nanti dulu, Sumoi. Aku harus mencarikan daun obat untuk mengobati luka-luka di tubuh biruang ini."
"Ah, perlu apa? Kita bisa celaka di sini...."
"Sumoi, dia telah menyelamatkan nyawa kita!"
"Hemm, begitukah? Engkau pun tadi telah menyelamatkan nyawanya ketika kau mengusir burung-burung nazar itu, bukan? Aku melihat dari jauh. Berarti sudah terbalas semua budi, bukan? Marilah, Suheng."
"Tidak, Surnoi. Kita tinggal di sini dulu sampai aku selesai mengobatinya."
Swat Hong menjadi marah. "Agaknya kau lebih sayang biruang betina ini dari pada aku!"
"Sumoi...!"
Akan tetapi Swat Hong sudah berlari pergi, berloncatan di atas pecahan es dan menuju ke perahu mereka, meloncat ke dalam perahu dan mendayung perahu itu pergi dari situ! Sin Liong menjadi bingung dan hampir membuka mulut menegur, akan tetapi karena maklum bahwa hal itu percuma saja, dia membatalkan niatnya.
"Ngukkk... nguuuuukkkk...." Biruang itu mendengus-dengus dan menciumi kepalanya.
"Ahh, Enci (Kakak Perempuan) biruang, betapa sukarnya menyelami watak wanita. Aku telah membuat hatinya kecewa dan marah, akan tetapi bagaimana hatiku dapat tega meninggalkan engkau yang terancam bahaya maut oleh lukamu?"
Sin Liong lalu mengajak biruang itu mencari daun. Karena perahu sudah dibawa pergi Swat Hong, maka terpaksa dia mencari pulau yang masih ada tetumbuhannya dengan jalan berloncatan dari batu es ke batu es lainnya, dan kalau jaraknya terlalu jauh, biruang itu menggendongnya dan membawanya berenang ke batu es lainnya atau kadang-kadang Sin Liong menggunakan sebongkah es yang mengambang sebagai perahu, didayung dengan tangannya yang kuat. Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang amat sukar, dapat juga dia menemukan pulau yang masih ada tetumbuhannya dan di pulau kecil itu, mulailah dia mengobati luka-luka biruang itu sampai sembuh.
Pada suatu hari dia melihat sebuah perahu kosong terbalik mengambang tidak jauh dari pulau. Dia merasa girang sekali. Cepat menyuruh biruang mengambilnya dan hatinya terharu ketika
mengenal perahu itu sebagai sebuah di antara perahu Pulau Es. Tentu penumpangnya telah lenyap ditelan badai, pikirnya. Dia lalu membuat dayung dari cabang pohon dan setelah biruang hitam itu sembuh benar, dia lalu melompat ke perahu dan mendayungnya meninggalkan pulau. Akan tetapi tiba-tiba biruang itu terjun ke air dan berenang mengejar perahunya.
"Heii, kakak biruang, kembalilah, Engkau sudah sembuh, dan aku harus pergi mencari Sumoi!"
"Nguuuk... nguukkk..,!" Biruang hitam itu mengeluarkan suara mengeluh dan mukanya seperti orang menangis!
Sin Liong tersenyum. "Hemm, kau hendak ikut, ya? Nah, loncatlah ke atas!"
Seolah-olah mengerti arti kata-kata Sin Liong, biruang itu lalu meloncat ke dalam perahu kini mukanya kelihatan berseri, matanya bersinar-sinar dan lidahnya terjulur keluar seperti sikap seekor anjing yang kegirangan.
"Kau boleh ikut sampai. aku dapat menemukan kembali Sumoi!" kata Sin Liong. "Kalau Sumoi tidak menghendaki kau ikut, kau harus kutinggalkan karena kau telah sembuh."
Demikianlah, Sin Liong kini melanjutkan perjalanan mencari Pulau Neraka. Dari puncak sebuah gunung es, dia dapat melihat dari jauh dan kini dia tahu di mana letaknya Pulau Neraka. Biruang yang kini menggantikan tempat Swat Hong," menjadi temannya berlayar itu kelihatan girang sekali ketika perahu meluncur, dan binatang ini sekarang telah jinak benar-benar. Setelah kini dia mengenal kembali keadaan dan tahu di mana letaknya Pulau Neraka, perjalanan dapat dilakukan dengan cepat.
Setelah dekat dengan Pulau Neraka, dia menyaksikan sesuatu yang membuatnya terheran dan merasa tegang. Sebuah perahu besar kelihatan mendarat di Pulau Neraka. Jelas bukan perahu Pulau Neraka yang kecil-kecil. Perahu itu besar sekali, perahu layar yang hanya dipergunakan untuk pelayaran jauh. Dan perahu itu pun dalam keadaan payah, jelas kelihatan bekas diamuk badai. Tiang layarnya patah, layarnya cabik-cabik dan perahu itu tidak ada orangnya sama sekali, berdiri miring di pantai Pulau Neraka.
Apakah yang telah terjadi di Pulau Neraka? Ternyata bahwa seperti juga pulau lain. Pulau Neraka tidak luput dari amukan badai. Hanya karena letaknya agak jauh dari pusat amukan badai, maka penderitaannya tidaklah sehebat pulau lain, terutama Pulau Es. Air juga naik tinggi dan menenggelamkan setengah bagian pulau ini, banyak pula penghuninya yang tidak keburu lari ke tempat tinggi, diseret dan ditelan badai. Perahu-perahu lenyap, pohon-pohon yang berada di tepi pantai bobol semua. Dan setelah badai mereda, sebuah perahu besar terdampar di tepi pantai. Perahu itu adalah perahu bajak laut! Setelah air menyurut, para bajak laut yang terdiri dari dua puluh lima orang itu segera mendarat. Mereka itu kelelahan dan kelaparan, bahkan ada lima orang di antara mereka tewas ketika badai mengamuk sehingga jumlah mereka hanya tinggal dua puluh lima orang itulah. Mereka mendarat di kepalai oleh raja bajak yang memimpin mereka, raja yang amat terkenal di sepanjang pantai muara-muara Sungai Huangho dan Yangce. Kepala bajak ini adalah seorang laki-laki tinggi besar yang buta sebelah matanya. Mata kiri yang buta karena tusukan pedang lawan dalam pertandingan, kini ditutupi oleh sebuah kain hitam sehingga ia kelihatan lebih menyeramkan lagi. Tubuhnya tinggi besar dan di antara para nelayan dan pedagang yang suka berperahu, dia dikenal sebagai Tok-gan-hai-liong (Naga Laut Mata Satu) dan namanya adalah Koan Sek.
Mereka sama sekali tidak tahu bahwa perahu mereka yeng diamuk oleh badai dahsyat itu telah mendarat di Pulau Neraka! Andaikata mereka tahu juga, mereka tentu tidak merasa takut karena pada waktu itu, nama Pulau Neraka hanya dikenal oleh orang-orang Pulau Es. Untuk dunia ramai, yang dikenal hanyalah Pulau Es, yang dikenal sebagai tempat yang hanya terdapat dalam sebuah dongeng. Betapapun juga, Pulau Es merupakan nama yang ditakuti oleh semua orang termasuk para bajak. Akan tetapi karena pulau dimana perahu mereka mendarat bukanlah Pulau Es, melainkun pulau yang hitam penuh tetumbuhan, mereka menjadi berani dan setelah badai mereda dan air menyurut, mereka lalu menyerbu ketengah pulau.
Untung bagi mereka bahwa badai yang amat dahsyat itu membuat air laut naik dan mengamuk di daratan pulau sehingga binatang-binatang berbisa pun menjadi panik dan ketakutan, lari bersembunyi dan belum berani keluar. Andaikata mereka itu berani menyerbu pulau dalam keadaan biasa tentu mereka akan menjadi korban binatang-binatang itu dan sukarlah dibayangkan apa akan jadinya. Mungkin sekali tidak ada di antara mereka yang akan dapat lolos betapapun liar, ganas dan lihai mereka itu.
Dapat dibayangkan betapa heran dan girangnya hati para bajak itu ketika mendapat kenyataan bahwa di tengah pulau itu terdapat pondok-pondok yang dibuat oleh manusia! Akan tetapi keheranan mereka segera berubah menjadi kekagetan hebat ketika para penghuni pulau itu menyambut mereka dengan serangan dahsyat tanpa peringatan apa-apa. Karena mereka adalah bajak-bajak yang sudah biasa berkelahi dan mengadu nyawa, maka serbuan para penghuni Pulau Neraka itu mereka sambut dengan gembira. Mereka mengira bahwa penghuni pulau itu adalah orang-orang biasa saja.
Maka besar sekali kekagetan mereka ketika mendapat kenyataan betapa kurang lebih dua puluh orang, yaitu sisa penghuni Pulau Neraka yang tidak dibasmi oleh badai, yang berani menyambut mereka dengan serangan itu rata-rata memiliki kepandaian hebat! Terjadilah perang tanding yang seru dan mati-matian. Bajak laut pimpinan Tok-gan-hai-liong itu pun bukan orang-orang biasa melainkan penjahat-penjahat pilihan yang selain kuat dan ganas, juga rata-rata pandai ilmu silat. Apalagi Tok-gan-hai-liong sendiri bersama seorang pembantu yang sebetulnya adalah sutenya (adik seperguruan) sendiri yang bernama Coa Liok Gu, seorang ahli pedang yang lihai sekali. Sedangkan Tok-gan-hai-liong Koan Sek sendiri adalah seorang ahli bermain senjata ruyung yang ujungnya merupakan sebuah bola baja yang berat dan keras.
Para penghuni Pulau Neraka masih terguncang oleh amukan badai, bahkan ketua mereka, Ouw Kong Ek, sedang menderita sakit hebat. Semenjak penyerbuan pasukan Pulau Es yang dipimpin oleh Han Ti Ong, Ouw Kong Ek jatuh sakit. Mungkin karena dia merasa terlalu marah, dan mungkin juga karena usianya yang sudah tua. Penyerbuan dari Pulau Es itu merupakan hal yang amat menyakitkan hatinya, dan juga hati para penghuni Pulau Neraka, mendatangkan rasa dendam yang lebih mendalam. Apalagi melihat betapa catatan pengobatan dari Kwa Sin Liong telah dihancurkan oleh Han Ti Ong, hati Ouw Kong Ek merasa sakit sekali. Untung masih ada beberapa macam obat yang hafal olehnya, akan tetapi sebagian besar telah dibasmi oleh Raja Pulau Es yang marah itu.
Pada saat bajak laut menyerbu, Ouw Kong Ek tidak dapat bangun dari tempat tidurnya. Dia dijaga dan dirawat oleh cucunya, Ouw Soan Cu. Maka dapat dibayangkan betapa kaget hati kakek ini ketika ada anak buahnya yang datang melapor bahwa pulau yang baru saja diamuk badai itu kini diserbu oleh sepasukan bajak laut yang ganas dan rata-rata memiliki kepandaian tinggi!
"Keparat,..!" Kakek itu meloncat bagun akan tetapi terguling kembali dan Soan Cu segera memegang lengan kakeknya membantunya untuk rebah kembali.
"Tenanglah, Kong-kong! Biarlah aku yang keluar untuk membantu teman-teman membasmi bajak laut yang tidak tahu diri itu."
Ouw Kong Ek terpaksa hanya mengangguk karena dia sendiri masih tidak kuat untuk bangun, apalagi bertempuf., "Hati-hatilah, Soan Cu..." Dia percaya akan kepandaian cucunya yang tentu akan dapat mengusir bajak-bajak laut yang biasanya hanya terdiri orang-orang kasar itu.
Dengan pedang di tangan Soan Cu lalu berlari keluar. Melihat anak buahnya sudah bertanding mati-matian melawan bajak-bajak yang ganas, apalagi melihat seorang wanita Pulau Neraka digeluti, oleh dua orang laki-laki kasar sampai wanita itu menjerit-jerit namun dua orang laki-laki itu malah tertawa-tawa dan marobek-robek pakaian wanita itu, Soan Cu menjadi marah aekali. Dia mengeluarkan teriakan marah, tubuhnya yang ramping mencelat ke depan, pedangnya menyambar dan dua orang bajak yang sedang memperkosa wanita itu roboh dengan leher terkuak lebar dan hampir putus! Wanita itu cepat membereskan pakaiannya, menyambar goloknya dan seperti seekor harimau kelaparan dia membacoki tubuh dua orang bajak tadi.
Melihat sepak terjang Soan Cu yang kembali sudah merobohkan dua orang bajak, Tok-gan-hai-liong Koan Sek dan Coa Liok Gu, dibantu oleh beberapa orang bajak lain cepat mengepung dan mengeroyoknya. Namun Soan Cu mengamuk hebat dan pedangnya berubah segulung sinar , terang yang menyambar dahsyat, membuat dua orang pimpinan bajak itu terkejut dan harus memainkan senjata dengan hati-hati sekali agar jangan sampai mereka menjadi korban kedahsyatan sinar pedang yang dimainkan oleh dara itu.
"Lepas tulang ikan!!" Tiba-tiba kepala bajak itu memberi aba-aba kepada sutenya dan mereka berdua telah meloncat mundur, membiarkan anak buah mereka yang empat orang banyaknya melanjutkan pengeroyokan, sedangkan mereka berdua lalu mengayun tangan berkali-kali ke arah Soan Cu. Sinar lembut bertubi-tubi menyambar ke arah Soan Cu dari depan dan belakang. Dara ini memandang rendah senjata rahasia mereka. Dia adalah seorang dara Pulau Neraka, sudah terlalu banyak racun dikenalnya bahkan dia telah menggunakan obat anti racun maka dia tidak terlalu khawatir ketika sebuah di antara senjata rahasia lawan yang lembut itu mengenai pahanya.
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia merasa kakinya itu setengah lumpuh, dan begitu dia menggerakkan pedang, tubuhnya terhuyung, kepalanya pening.
"Aihhh...!" Dia berseru nyaring, lebih merasa heran daripada khawatir. Dara ini tidak tahu bahwa lawannya menggunakan am-gi (senjata gelap) berupa tulang berbentuk duri dari sirip semacam ikan laut yang berbisa. Bisa dari ikan laut ini tentu saja tidak dapat disamakan dengan bisa dari binatang darat, maka bisa yang asing ini tidak dapat ditolak oleh obat anti racun yang dipakainya.
"Sute, tangkap Nona manis ini...!"
Teriak Koan Sek dengan girang akan tetapi tiba-tiba terdengar suara gerengan yang dahsyat dan yang membuat mereka kaget bukan main. Dua orang bajak yang mendengar suara itu dekat sekali di belakang mereka menengok dan... mereka itu terjengkang dan merangkak untuk melarikan diri dengan ketakutan. Kiranya yang menggereng itu adalah seekor binatang raksasa hitam yang menakutkan. Seekor biruang yang lebar moncongnya cukup untuk mencaplok kepala mereka sekaligus!
Sin Liong yang datang bersama biruang itu cepat meloncat mendekati Soan Cu merampas pedang dari tangan dara itu dan memondongnya dengan tangan kiri, kemudian sekali meloncat dia telah berada di punggung biruang, lengan kiri memeluk dan menjaga tubuh Soan Cu yang dipangkunya karena dara itu telah menjadi pingsan sedangkan tangan kanan menggerakkan pedang dara itu sambil berseru "Kakak biruang, lawan mereka yang berani mendekat!"
Biruang itu menggereng-gereng dan ketika melihat dari kiri ada sinar menyambar, yaitu sinar pedang yang digerakan oleh Coa Liok Gu sute dari kepala bajak, tiba-tiba kaki depan kiri yang kini dipergunakan seperti tangan itu bergerak menangkis, bukan menangkis pedang melainkan mencengkeram kepala Coa Liok Gu. Tentu saja orang ini kaget dan sekali merendahkan tubuh, membalikkan pedang dan siap untuk menyerang lagi. Begitu lengan biruang itu menyambar lewat, dia meloncat ke atas dan menusukkan pedangnya mengarah bagian antara kedua mata biruang itu.
"Cringgg...!!" Pedangnya terpental dan dia harus cepat melempar tubuh ke belakang kalau tidak ingin dadanya robek oleh cakar biruang setelah pedangnya ditangkis eleh Sin Liong tadi.
"Siuuut...!!" Senjata ruyung berujung baja di tangan Koan Sek sudah bergerak menyambar dengan ganas, menghantam punggung biruang hitam dengan kecepatan kilat dan dengan tenaga dahsyat.
"Cringgg...! Tranggg...!!" Dua kali senjata berat itu ditangkis oleh Sin Liong dan dua kali pula kepala bajak itu berseru kaget karena telapak tangannya hampir terkupas kulitnya dan terasa panas dan perih. Pada saat dia terbetalak dan terheran, biruang itu sudah membalikkan tubuh dari sekali kaki depannya yang kanan menampar, kepala bajak itu mencoba menangkis, namun senjatanya terlepas dari pegangannya dan biruang itu sudah menubruknya dan mencengkeram ke arah lehernya.
"Kakak biruang, jangan...!" Sin Liong membentak. Biruang itu terkejut dan ragu-ragu sehingga kesempatan itu dapat dipergunakan oleh Koan Sek untuk melocat jauh ke belakang. Dia dan pembantu utamanya, Coa Liok Gu berdiri dengan muka pucat memandang pemuda yang menunggang biruang itu membawa pergi tubuh dara jelita yang pingsan, Biarpun pedang masih berada di tangannya, Coa Liok Gu tidak lagi berani menyerang karena dia maklum bahwa selain biruang raksasa itu amat kuat, juga pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa sekali.
Sin Liong merasa bingung dan gelisah menyaksikan pertempuran hebat itu. "Hentikan pertempuran...!" Dia bersaru berkali-kali namun percuma saja, para bajak laut dan penghuni Pulau Neraka adalah orang-orang kasar yang pada saat itu sedang marah, maka sukar untuk dibujuk.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan panjang dan suara ini segera disusul suara berdengung-dengung dan berdesis-desis. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Sin Liong ketiKa alia melihat datangnya binatang binatang kecil yang berbisa. Ular, kelabang, kalajengking dan sebangaanya berdatangan dari semua penjuru, merayap cepat seolah-olah digerakkan oleh suara melengking itu, dan yang lebih mengerikan lagi, lebah-lebah putih datang pula beterbangan! Saking kagetnya Sin Liong melompat turun dari punggung biruang dan kini biruang itu pun terkejut dan ketakutan, seolah-olah binatang raksasa ini sudah mengerti bahwa bahaya maut datang mengancamnya.
"Uhhh... apa yang terjadi...?" Soan Cu mengeluh dan siuman dari pingsannya.
Melihat dara itu sudah siuman. Sin Liong agak lega. "Bagaimana lukamu?"
"Nyeri sekali, panas... eh, siapa yang memimpin binatang-binatang berbisa itu?" Soan Cu turun dari pondongan Sin Liong. "Cepat pergunakan obat penolak ini..." Dia mengeluarkan sebungkus obat dari ikat pinggangnya. Setelah menaburkan obat bubuk di sekeliling mereka bertiga, yaitu Soan Cu, Sin Liong dan biruang betina, Soan Cu berkata lagi, "Sin Liong tolong... kautangkap Si Mata Satu itu... aku membutuhkan obat penawar racun am-gi-nya (senjata gelapnya)...."
Melihat betapa wajah dara itu pucat sekali tanda menderita kenyerian hebat, Sin Liong maklum bahwa tentu dara itu terkena senjata rahasia yang mengandung racun luar biasa sekali. Maka tanpa menjawab tubuhnya lalu mencelat ke arah Koan Sek yang masih bengong memandang ke depan, matanya terbelalak ketika melihat betapa anak buahnya mulai menjadi korban pengeroyokan binatang-binatang berbisa. Make ketika tubuh Sin Liong menyambar, dia terkejut sekali, mengira bahwa pemuda itu akan menyerangnya. Dia tadi audah mengambil kembali senjatanya, maka tanpa banyak cakap lagi dia sudah mengayun senjatanya menghantam ke arah Sin Liong. Pemuda ini tadi melepaskan pedangnya, melihat betapa dia disambut serangan dahsyat, cepat dia miringkan tubuhnya, membiarkan senjata berat itu lewat dan secepat kilat kedua tangannya menyambar dan sebelum Koan Sek tahu apa yang terjadi, senjatanya telah terampas dan dibuang oleh pemuda itu sedangkan tubuhnya sudah diangkat dan dipanggul seperti seorang anak kecil saja. Percuma dia meronta, karena pemuda itu sudah meloncat seperti terbang, kembali ke dalam lingkaran obat penolak yang ditaburkan Soan Cu.
Koan Sek mengigil. Selain dia maklum betapa lihainya pemuda ini, juga dia merasa ngeri sekali menyaksikan apa yang terjadi di luar lingkaran obat bubuk itu. Terdengar jerit dan pekik mengerikan. Orang-orang Pulau Neraka telah mundur dan menonton sambil tertawa-tawa. Akan tetapi anak buah bajak laut itu menghadapi penyerangan binatang-binatang berbisa dan sama sekali mereka tak berdaya. Apalagi penyerangan lebah-lebah putih membuat mereka panik. Mengerikan sekali melihat mereka berkelojotan merintih-rintih dan menangis menggerung-gerung karena tidak tahan menderita rasa nyeri yang menyengati sekujur tubuh.
"Cepat bertindak, halau mereka, Soan Cu!" Sin Liong berkata dengan alis berkerut. Biarpun yang dikeroyok binatang-binatang itu adalah kaum bajak, namun dia tidak dapat menyaksikan peristiwa mengerikan itu.
Soan Cu menggeleng kepala. "Tak mungkin. Mereka digerakkan oleh suara melengking itu...."
"Suara apa itu? Siapa yang membunyikan?"
Soan Cu tersenyum dan menggigit bibirnya menahan rasa nyeri. Pahanya seperti dibakar dan rasa nyeri menusuk-nusuk jantung. "Siapa lagi? Satu-satunya orang yang dapat melakukannya hanyalah Kong-kong... augghh ..." Dara itu roboh pingsan lagi dalam rangkulan Sin Liong.
"Aduh celaka..., binatang-binatang itu...." Tok-gan-hai-liong Koan Sek mengigil dan dia hendak lari dari tempat itu ketika melihat bagaimana pembantunya, Coa Liok Gu, sudah sibuk memutar pedang untuk berusaha mengusir lebah-lebah putih yang mengeroyoknya.
"Kalau kau keluar dari sini, engkau pun akan mengalami nasib yang sama," kata Sin Liong, menunjuk ke arah lingkaran putih dari obat penolak. "Binatang-binatang itu tidak berani memasuki lingkaran ini."
Koan Sek memandang dan matanya terbelalak ngeri melihat betapa ular-ular beracun yang bermacam-macam warnanya itu benar saja membalik lagi ketika mendekati garis lingkaran. Bahkan lebah-lebah putih yang terbang dekat, agaknya mencium bau penolak itu dan mereka itu pun terbang membalik, mengamuk dan menyerang para bajak yang berada di luar lingkaran.
Saking ngerinya melihat betapa Coa Liok Gu menjerit dan roboh karena kakinya tergigit seekor ular, kemudian betapa pembantunya yang juga merupakan sutenya melolong-lolong dan bergulingan, dikeroyok banyak sekali binatang yang mengerikan, kepala bajak ini tak dapat lagi menahan dirinya dan dia menjatuhkan diri berlutut!
Sin Liong sendiri merasa ngeri menyaksikan peristiwa yang terjadi di sekelilingnya. Kalau saja dia dapat melihat Ouw Kong Ek, tentu dia akan meloncat dan memaksa kakek itu menghentikan pekerjaannya yang kejam, membunuhi para bajak seperti itu. Akan tetapi celakanya, suara itu melengking tinggi dan sukar diketahui dari mana datangnya, bahkan kakek itu pun tidak tampak. Pula, mana mungkin dia berani meninggalkan Soan Cu yang pingsan itu bersama kepala bajak? Maka pemuda ini merasa seperti disayat-sayat jantungnya menyaksikan pembunuhan yang amat kejam itu, melihat betapa dua puluh empat orang bajak menemui kematian secara mengerikan, berkelojotan dan melolong-lolong, akhirnya suara jeritan mereka makin lemah dan berubah seperti suara binatang disembelih, kemudian tubuhnya tidak berkelojotan lagi dan binatang-binatang kecil berbisa yang kelaparan itu masih menggerogoti kulit dan daging mereka!
Kemudian tampaklah Ouw Kong Ek, Tocu Pulau Neraka. Kakek ini datang ke tempat itu sambil merangkak dengan susah payah, tubuhnya kelihatan lemah dan kurus, mukanya pucat dan sambil merangkak itu dia meniup sebatang alat tiup terbuat daripada batang alang-alang, menyerupai suling kecil. Pantas saja suaranya melengking tinggi dan aneh. Beberapa orang anggauta Pulau Neraka segera maju dan mengangkat ketua mereka, memapahnya datang dan kini binatang-binatahg itu berangsur-angsur merayap pergi setelah Ouw Kong Ek merobah suara tiupan sulingnya. Akhirnya yang tinggal hanya mayat-mayat dua puluh empat orang bajak dalam keadaan mengerikan, dan mayat tujuh orang penghuni Pulau Neraka yang tewas dalam pertempuran.
"Ahhh, engkau pula yang menolong cucuku, Taihiap?" Ouw Kong Ek dituntun anak buahnya datang mendekat.
Sin Liong mengerutkan alisnya. "Tocu, engkau sungguh kejam, membunuhi mereka seperti itu."
Kakek itu terbelalak. "Aku? Kejam? Dan mereka ini...?" Dia menuding ke arah mayat-mayat para bajak laut.
"Dan... hei, siapa dia ini? Ah, bukankah dia ini pemimpin mereka?" Ouw Kong Ek sudah melangkah maju menghampiri Koan Sek yang berdiri dengan muka pucat,
"Tahan dulu, Tocu! Memang dia pemimpin bajak, akan tetapi nyawa cucumu berada didalam tangannya!"
"Soan Cu...!" Ouw Kong Ek, memandang tubuh dara yang dipondong oleh Sin Liong dan berada dalam keadaan pingsan itu. "Mengapa dia?"
"Terkena senjata beracun." Kemudian dia memandang Koan Sek dan membentak, "Hayo kauberikan obat penawar senjata gelapmu!"
Tok-gan-hai-liong Koan Sek adalah seorang yang sudah berpengalaman, seorang yang menjelajah di dunia kang-ouw, maka dia tentu saja cerdik sekali. Tadi ketika menyaksikan betapa semua anak buahnya, juga sutenya, tewas secara mengerikan, dia ketakutan setengah mati dan kehilangan akalnya. Akan tetapi sekarang setelah dia melihat kesempatan untuk menolong diri, timbul kembali keberaniannya dan dia tersenyum.
"Agaknya kita telah salah masuk. Tidak tahu pulau apakah ini dan siapa kalian ini?" tanyanya kepada Sin Liong karena dia merasa jerih sekali menghadapi pemuda yang dia tahu amat lihai dan sama sekali bukan tandingannya itu.
"Kau belum tahu? Ini adalah Pulau Neraka dan dia itu adalah ketuanya." Dia menuding kepada Ouw Kong Ek.
"Sedangkan Nona ini adalah cucunya. Maka kau harus cepat memberikan obat penawarnya."
"Ha-ha, mudah saja! Mudah saja memberi obat penawarnya. Aihh, kiranya kami telah memasuki sebuah pulau iblis dengan penghuni-penghuninya seperti iblis pula! Benar-benar kami telah membuat kesalahan besar! Orang muda, mudah saja mengobati luka Nona ini, akan tetapi bagaimana dengan aku sendiri? Anak buahku telah tewas semua dan aku berada dalam cengkeraman kalian!"
"Engkau... engkau akan kusiksa, kucincang sampai hancur!" Ouw Kong Ek membentak.
"Ha-ha-ha, boleh! Lakukan sekarang, karena aku tidak takut mati setelah aku melihat bahwa aku mempunyai banyak teman terutama sekali Cucumu. Kalau orang tidak lagi menyayangkan kematian seorang dara jelita muda remaja seperti dia ini, apalagi kematian seorang tua bangka seperti aku. Ha-ha-ha! Biarlah aku mati ditemani oleh dara remaja ini!"
Ouw Kong Ek sudah marah sekali, kedua tangannya dikepal sehingga suling batang alang-alang itu hancur di tangannya. Melihat kemarahan ketua Pulau Neraka itu, Sin Liong berkata, "Ouw-tocu, apa yang dikatakannya benar. Sudah kuperiksa luka cucumu dan ternyata dia terkena racun yang aneh sekali yang belum pernah aku melihatnya. Maka, biarlah kita menukar keselamatannya dengan keselamatan Soan Cu. Betapapun juga, nyawa Soan Cu jauh lebih berharga dari pada kehidupan seorang sesat seperti dia."
"Ha-ha-ha, itu baru omongan yang tepat!" Tok-gan-hai-liong Koan Sek yang merasa "mendapat angin" berkata dengan dada dibusungkan. Dia tidak takut lagi sekarang. Nyawa cucu ketua Pulau Neraka berada di tangannya. Apa lagi yang ditakutinya?
"Iblis keparat! Hayo kauberikan obat untuk cucuku dan kau boleh minggat dari sini!" Ouw Kong Ek membentak.
"Ha-ha-ha, aku Tok-gan-hai-liong Koan Sek bukan seorang tolol." Dia lalu menoleh kepada Sin Liong. "Orang muda, apakah kedudukanmu di Pulau Neraka ini?" Dia memang tidak dapat menduga karena tadi dia mendengar ketua Pulau Neraka menyebut taihiap (pendekar besar) kepada pemuda ini. Dan kalau ada yang dipercaya di situ, maka satu-satunya orang adalah pemuda ini.
"Aku bukan penghuni Pulau Neraka, aku adalah seorang dari Pulau Es...."
"Heeeh...??" Mata Tok-gan-hai-liong yang tinggal satu itu terbelalak dan mukanya pucat. Dia meresa seolah-olah dalam mimpi. Setelah bertemu dengan Pulau Neraka yang aneh dan mengerikan di mana semua, anak buahnya tewas, dia bertemu pula dengan seorang pemuda sakti yang mengaku datang dari Pulau Es, sebuah sebutan yang tadinya dikira hanya terdapat dalam dongeng tahyul belaka. Mimpikah dia? Ataukah dia sudah mati ditelan badai dan sekarang ini adalah pengalaman dari rohnya?
"Pulau... Pulau,.. Es...?" Dia berkata lirih.
Sin Liong mengangguk tak sabar. Dia tadi mengaku sebenarnya, siapa malah membuat kepala bajak ini menjadi termangu-mangu seperti orang sinting.
"Kalau begitu, aku hanya mau memberikan obat penawar jika engkau yang mengantarku sampai ke sebuah perahu di pantai Pulau Neraka ini."
"Jahanam, kau tidak percaya kepadaku?" Ouw Kong Ek membentak dan para pembantunya sudah mengangkat senjata mengancam.
"Terserah, bunuhlah. Aku toh akan mati bersama dia ini."
Sin Liong menyerahkan tubuh Soan Cu yang masih pingsan kepada kakeknya, kemudian berkata, "Ouw-tocu, biarlah kita memanuhi permintaannya. Harap sediakan perahu untuknya."
Terpaksa Ouw Kang Ek menggerakkan kepalanya memberi isyarat kepada anak buahnya, kemudian memandang kepada kepala bajak itu dengan mata mendelik. Koan Sek lalu berjalan bersam Sin Liong dan dua anak buah Pulau Neraka menuju ke tepi laut. Setelah sebuah perahu dipersiapkan, kepala bajak itu mengeluarkan sebuah benda dari dalam sakunya. Benda itu ternyata adalah seekor kuda laut sebesar ibu jari tangan, yang sudah kering.
"Nona itu terkena racun yang terkandung dalam duri ikan yang tidak dapat diobati kecuali dengan ini. Bubuklah dan masak, lalu minumkan airnya. Tentu dia akan sembuh."
Sin Liong mengerutkan alisnya. Sudah banyak pengetahuannya tentang pengobatan akan tetapi tentu saja belum pernah dia mengenal rahasia racun yang keluar dari dalam lautan. Dia menyerahkan bangkai kuda laut kering itu kepada dua orang penghuni Pulau Neraka sambil berkata, "Berikan ini kepada Ouw-tocu, suruh menumbuk halus dan masak dengan air, kemudian minumkan kepada Nona. Bagaimana hasilnya supaya cepat melapor ke sini. Aku menunggu di sini."
Dua orang itu menerima kuda laut mati dan berlari memasuki pulau, sedangkan Sin Liong lalu duduk di tepi pantai dengan sikap tenang.
"Kau tidak mau membiarkan aku pergi?" Koan Sek bertanya penuh khawatir.
"Jangan tergesa-gesa," jawab Sin Liong. "Aku harus yakin dulu bahwa obatmu benar-benar manjur, baru aku akan membolehkan engkau pergi. Bukankah itu adil namanya?"
Koan Sek menghela napas dan menjatuhkan diri duduk di dalam perahu. Dia maklum bahwa kalau melawan, dia tidak akan menang. "Dia pasti akan sembuh. Dalam keadaan seperti ini, mana aku berani main-main?"
Sin Liong diam saja. Kepala bajak itu menggunakan mata tunggalnya untuk memandangi pemuda ini penuh selidik, kemudian bertanya, "Orang muda, benarkah engkau dari Pulau Es?"
Sin Liong mengangguk.
"Dan siapa namamu?"
"Kwa Sin Liong. Mengapa engkau bertanya-tanya?"
"Tadinya aku mengira bahwa Pulau Es hanyalah sebuah dongeng...."
"Hemm..., memang sekarang hanya tinggal dongeng..." Sin Liong berkata sambil merenung jauh membayangkan keadaan Pulau Es yang telah terbasmi oleh badai dan kini tinggal menjadi sebuah pulau kosong yang menyedihkan.
"Nguuk... nguuukkk..."
Sin Liong menoleh dan terseyum. "Eh, Enci biruang. Kau menyusulku?"
Biruang itu menghampiri, dan memperlihatkan taringnya ketika dia melihat Koan Sek di atas perahu di depan pemuda itu.
"Binatang yang hebat!" Koan Sek berkata dan bulu tengkuknya berdiri. Pemuda ini seperti bukan manusia biasa! Dan mempunyai binatang peliharaan seperti itu! Kau bilang tadi... tinggal dongeng, apa maksudmu?"
"Tidak apa-apa, lupakanlah," kata Sin Liong sambil mengelus kepala biruang yang sudah bertiarap di depannya.
"Orang muda she Kwa... eh, Taihiap... kenapa kau mau membebaskan aku?"
Sin Liong mengangkat mukanya mandang dan kepala bajak itu melebih heran lagi melihat betapa pandang mata pemuda itu sama sekali tidak membayangkan kebencian atau permusuhan dengannya? "Mengapa tidak? Engkau pun membebaskan Soan Cu."
Sin Liong menengok dan tampaklah dua orang tadi datang berlari-lari. "Kwa-taihiap. Nona sudah sembuh."
Sin Liong mengangguk kepada Koan Sek. "Pergilah, cepat! Lebih cepat lebih baik dan harap kau jangan sekali-kali mendekati pulau ini."
Koan Sek menjawab, "Terima kasih. Satu kalipun sudah cukuplah!" Dia mengkirik. "Pulau iblis sepeti ini siapa yang ingin melihatnya lagi?" Dia lalu menggerakkan dayungnya dan perahu meluncur cepat meninggalkan Pulau Neraka.
Ketika Sin Liong bersama biruangnya tiba kembali ke tengah pulau, benar saja bahwa Soan Cu telah sembuh sama sekali dari pengaruh racun. Hanya luka di pahanya yang tinggal dan luka itu sudah diobati oleh kong-kongnya. Para penghuni Pulau Neraka sedang sibuk menyingkirkan mayat-mayat yang bergelimpangan mengerikan itu dan Sin Liong lalu diajak masuk ke pondoknye oleh Ouw Kong Ek dan Sian Cu.
"Taihiap, lagi-lagi engkau yang datang menolong kami," kata Ouw Kong Ek.
"Kalau engkau tidak segera datang, entah bagaimana dengan aku. Mungkin sudah mati, Sin Liong," kata Soan Cu dengan mata bersinar-sinar penuh kagum dan terima kasih.
"Ahh, mengapa Tocu dan kau masih bersikap sungkan terhadap aku? Bukankah kita ini sahabat? Kedatanganku bukan hanya kebetulan saja. Aku datang dengan maksud yang sama seperti setahun yang lalu, yaitu mencari Sumoi. Apakah dia tidak datang ke sini?"
Soan Cu dan kakeknya memandang kaget dan juga heran, dan di dalam pandang mata Ouw Kong Ek terkandung rasa hati tidak senang.
Sin Liong maklum akan ketidaksenangan hati kakek itu, maka dia menarik napas panjang dan berkata, "Harap saja Tocu tidak menyangka yang bukan-bukan terhadap Sumoi. Apa yang dilakukan oleh Suhu di sini sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Sumoi."
"Jadi Taihiap sudah tahu apa yang diperbuat oleh Han Ti Ong di sini?"
Sin Liong mengangguk. "Aku dapat menduganya. Tentu dia marah-marah karena puterinya pernah ditahan di sini."
"Bukan hanya marah-marah!" kata Soan Cu mengepal tinju. "Orang itu sombong sekali! Dia menghina Kakek, biarpun tidak melakukan pembunuhan tapi dia memukul semua orang!"
"Kau juga dipukulnya?" Sin Liong bertanya.
"Tadinya, melihat aku seorang wanita dan masih muda, dia tidak mau memukulku, akan tetapi karena melihat Kakek dipukul, aku menyerangnya dan aku roboh oleh tamparan. Dia memang sakti, akan tetapi ganas dan kejam, bahkan semua catatanmu dihancurkan! Sekali waktu kami akan menuntut balas, kami akan menyerang Pulau Es!"
Sin Liong menarik napas panjang. "Lupakan saja niat itu, selain tidak baik juga tidak ada gunanya. Kerajaan Pulau Es tidak ada lagi sekarang, telah musna."
"Hei...? Apa maksudtnu, Taihiap...?" Kakek itu bertanya, terbelalak.
"Apa yang telah terjadi?" Soan Cu juga bertanya.
"Dilanda badai.... habis seluruhnya, semua penghuninya termasuk Suhu dan seluruh benda di sana habis terbasmi, kecuali bangunan istana yang telah kosong sama sekali...." Sin Liong lalu menuturkan dengan singkat malapetaka yang menimpa Pulau Es, dan betapa secara aneh dan kebetulan saja dia dan sumoinya terluput dari bencana. Kakek dan cucu itu mendengarkan dengan melongo, kemudian kakek itu bertepuk tangan dan tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha! Ha-ha-ha-ha! Dendam ratusan tahun lenyap dalam sekejap mata! Kami orang-orang buangan yang dianggap berdosa, dianggap dikutuk Tuhan, malah masih dapat hidup melanjutkan riwayat, sedangkan penghuni Pulau Es yang suci dan agung, kaum bangsawan yang tinggi, sekali sapu saja musnah! Ha-ha-ha, siapa yang lebih dilindungi Tuhan? Han Ti Ong, tanpa kami bergerak, engkau dan kerajaanmu lenyap sudah!" Kakek itu tertawa-tawa sampai air matanya keluar sehingga sukar dikatakan apakah dia itu tertawa, ataukah menangis.
"Mengapa Taihiap sekarang mencari Nona Swat Hong ke sini? Apa yang terjadi dengan dia?"
(dwi)