Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 18 Bagian 10

Kamis, 13 April 2017 - 18:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Bukek...
Bukek Siansu, karya Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu

Tiba-tiba, seolah-olah muncul dari dalam dinding batu, tampak seorang kerdil yang luar biasa. Bentuknya pendek tegap seperti orang-orang kerdil yang tadi, akan tetapi wajahnya menandakan bahwa dia sudah tua dan sepasang matanya seperti bintang pagi, tajam bersinar-sinar sedangkan kumis dan jenggotnya panjang, juga bentuk pakaiannya lebih mewah dari yang lain.

Kakek kerdil ini memegang sebatang pedang yang bersinar-sinar tanda bahwa pedang itu adalah sebuah benda pusaka yang ampuh. Selagi Sin Liong memandang penuh perhatian dan maklum bahwa tentu di dinding kiri ini terdapat pintu rahasianya yang tadi terbuka cepat untuk dilewati kakek ini, tiba-tiba terdengar suara dari sebelah kiri dan kembali secara tiba-tiba muncul seorang kerdil lain yang tubuhnya amat tegap besar membayangkan kekuatan.

Juga orang kerdil ke dua ini pakaiannya mewah, sikapnya gagah dan mukanya penuh dengan berewok tebal menghitam. Kedua orang ini dari tubuh atas sampai ke pinggang ukurannya seperti manusia biasa, akan tetapi dan pinggang ke bawah amatlah pendeknya sehingga kelihatan aneh dan lucu. Orang ke dua yang brewok dan mukanya membayangkan kekerasan dan kegagahan ini memegang sebatang toya yang lebih panjang dari pada tubuhnya sendiri. Juga toya ini bersinar-sinar tanda sebatang senjata yang baik.

Sin Liong yang selalu bersikap sabar dan tidak menghendaki permusuhan, biarpun dilanda kekhawatiran, masih dapat menekan perasaannya dan menjura dengan penuh hormat, "Harap Jiwi-locianpwe sudi memaafkan kalau saya lancang tanpa diundang memasuki daerah kekuasaan Jiwi ini. Akan tetapi saya kehilangan Sumoi di sini dan kalau Jiwi sudi berlaku demikian baik hati untuk mengembalikan Sumoi kepada saya, saya berjanji akan meninggalkan tempat ini bersama Sumoi dan tidak akan berani mengganggu lagi."

Dua orang kakek itu saling pandang dan melihat betapa Sin Liong mengamat-amati dinding yang kini telah tertutup kembali dan sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa di situ ada pintu rahasianya, mereka tertawa dan kakek berjenggot yang rambutnya sudah mulai ada ubannya itu berkata, "Orang muda, kalian memusuhi The-lihiap dan bilang tidak ada permusuhan dengan kami? Ha-ha, orang muda, siapakah engkau? Dan siapa pula Sumoimu itu?"

"Namaku Kwa Sin Liong dan...sesungguhnya kami tidak mempunyai permusuhan dengan Cuwi di tempat ini."

"Kalau begitu mengapa mencari The Kwat Lin Lihiap?"

"Kami mempunyai urusan pribadi dengan dia, hanya urusan yang sama sekali tidak menyangkut diri orang lain."

Kembali dua orang kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, aku Ji Bhong dan semua anak buahku, kami bangsa kerdil memang tidak ada urusan denganmu, akan tetapi sekali kalian memusuhi The-lihiap, berarti kalian adalah musuh kami juga. Menyerahlah, orang muda, kalau kau tidak ingin mengalami kesengsaraan seperti Sumoimu."

Sin Liong terkejut sekali, bukan hanya karena mendengar bahwa mereka ini ternyata adalah kaki tangan The Kwat Lin, terutama sekali mendengar akan sumoinya.

"Di mana Sumoi? Apa yang kalian lakukan dengan dia?" bentaknya.

"Ha-ha-ha, menyerahlah dan baru kita bicara!" Ji Bhong, kakek yang menjadi ketua bangsa kerdil itu menjawab.

Tentu saja Sin Liong menjadi gelisah sekali dan dia lalu menerjang maju dengan tongkat pendeknya.

"Sing... siuuut... trang-trang...!!"

Dua orang kakek itu sudah menggerakkan pedang dan toya, cepat dan kuat tekali gerakan mereka. Namun kini kedua orang itu berhadapan dengan Kwa Sin Liong murid utama Raja Pulau Es yang telah mewarisi ilmu yang hebat-hebat, maka dalam keadaan penuh kekhawatiran itu, Sin Liong sudah menggerakkan tongkat pendeknya sedemikian rupa sehingga ketika menangkis, dua orang kakek itu berteriak keras karena merasa betapa ada hawa dingin menyusup ke dalam lengan mereka melalui senjata, membuat lengan mereka seperti hampir membeku!

Namun keduanya memang lihai. Cepat mereka memindahkan senjata di tangan kiri dan mengirim serangan-serangan bertubi-tubi. Biarpun berada dalam keadaan gelisah dan marah, Sin Liong masih merasa tidak tega untuk membunuh orang, maka dia mengeluarkan suara melengking keras, tongkatnya dibuang ke bawah dan dengan dua tangan kosong dia memapaki pedang dan toya yang menyambarnya dari kanan kiri, lalu dengan berani dia menangkap dua senjata itu dengan kedua tangan kosong!

Dua orang kakek itu terbelalak. Kalau orang menangkap toya dengan tangan kosong hal ini masih biasa saja, akan tetapi menangkap pedang pusaka dengan tangan telanjang? Benar-benar berani mati karena tangan yang bagaimana kuat pun tentu akan tersayat! (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0613 seconds (0.1#10.140)