Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 14 Bagian 10
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup padam lampu di meja dan mereka bertiga pindah ke pembaringan, melanjutkan permainan mereka yang mengasyikkan hati mereka itu. Mereka merasa semakin bebas setelah keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap, mereka dapat mencurahkan seluruh nafsu mereka tanpa malu-malu lagi.
Tak lama kemudian terdengar jerit tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih menyerupai bisikan kaget bercampur girang, "Eh... kau...."
"Ohhh... kau laki-laki...?"
"Hemm, diamlah sayang...." terdengar suara Swi Liang dan selanjutnya kamar itu sunyi, tidak terdengar keras lagi sehingga kalau didengar dari luar kamar, seolah-olah tiga orang "gadis" itu sedang tidur pulas, padahal tentu saja keadaannya jauh dari pada itu, bahkan sebaliknya.
Menjelang pagi, terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan agak serak karena semalam tidak tidur rupanya, "...engkau... setiap malam harus menemani kami... ya, Koko yang baik?"
"...harus, kalau tidak... hemm, Kami akan melapor bahwa kau adalah seorang pria sejati...." bisik pula Si Baju Merah dengan nada manja mengancam.
Sunyi mengikuti kata-kata bisikan itu, kemudian terdengar jeritan tertahan dan tak lama kemudian, tampak Swi Liang dalam pakaian seperti Liang-cu, meloncat keluar dari dalam kamar itu memondong tubuh dua orang pelayan itu yang sudah menjadi mayat! Dengan tergesa-gesa Swi Liang membawa dua mayat itu ke kebun, menggali lubang, menguburkan dengan cepat sekali kemudian kembali ke kamarnya dengan muka pucat.
Akan tetapi hatinya lega dan diam-diam dia menyesali perbuatannya sendiri. Mengapa dia begitu lemah sehingga tidak dapat menahan diri terjatuh ke dalam rayuan dua orang gadis cantik itu?
Dia terpaksa membunuh mereka, sungguhpun hal itu dilakukannya dengan perasaan penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai gagal, dia akan tewas, akan mati konyol.
Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu, keadaannya tentu terancam hebat. Belum apa-apa dua orang gadis itu telah "memerasnya" untuk setiap malam melayani mereka dengan ancaman akan dibuka rahasianya! Tentu saja dia terpaksa harus membunuh mereka demi keselamatan dirinya sendiri.
Lenyapnya dua orang pelayan itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian puteri. Betapapun juga, mereka itu hanyalah dua orang pelayan dan akhirnya Yang Kui Hui hanya memerintahkan para pengawal untuk melakukan pengejaran karena dikira bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau sampai dapat ditangkap agar supaya dijatuhi hukuman berat.
Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan kalau tidak mau terjadi gangguan lain lagi. Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui, membantu pada setiap kali ada kesempatan, membantu para pelayan yang memandikan selir jelita itu, menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaiannya.
Bahkan pada suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata merem melek seperti seekor kucing malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya untuk memijit-mijit kaki selir itu dengan perlahan, meniru perbuatan pelayan yang suka memijit tubuh selir itu.
Jantungnya berdebar keras sekali. Nafsu hatinya ditekannya keras sekali dia merasa betapa api berahi telah membaar dadanya dan api itu menyala dari ujung jari tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus lunak dan hangat.
"Ehmmm..." Yang Kui Hui menggeliat seperti seekor kucing dan membuka sedikit matanya untuk melihat siapa yang memijat kakinya. Matanya terbuka agaka lebar dan tersenyum.
"Aihhh, kiranya engkau Liang-cu? Engkau pandai pula memijit? Ahhhh, tanganmu kuat sekali, nah, kaulanjutkan, tubuhku memang sedang pegal-pegal..." Dan selir itu sudah memejamkan matanya kembali rebah terlentang di depan Swi Liang. (Bersambung)
Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup padam lampu di meja dan mereka bertiga pindah ke pembaringan, melanjutkan permainan mereka yang mengasyikkan hati mereka itu. Mereka merasa semakin bebas setelah keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap, mereka dapat mencurahkan seluruh nafsu mereka tanpa malu-malu lagi.
Tak lama kemudian terdengar jerit tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih menyerupai bisikan kaget bercampur girang, "Eh... kau...."
"Ohhh... kau laki-laki...?"
"Hemm, diamlah sayang...." terdengar suara Swi Liang dan selanjutnya kamar itu sunyi, tidak terdengar keras lagi sehingga kalau didengar dari luar kamar, seolah-olah tiga orang "gadis" itu sedang tidur pulas, padahal tentu saja keadaannya jauh dari pada itu, bahkan sebaliknya.
Menjelang pagi, terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan agak serak karena semalam tidak tidur rupanya, "...engkau... setiap malam harus menemani kami... ya, Koko yang baik?"
"...harus, kalau tidak... hemm, Kami akan melapor bahwa kau adalah seorang pria sejati...." bisik pula Si Baju Merah dengan nada manja mengancam.
Sunyi mengikuti kata-kata bisikan itu, kemudian terdengar jeritan tertahan dan tak lama kemudian, tampak Swi Liang dalam pakaian seperti Liang-cu, meloncat keluar dari dalam kamar itu memondong tubuh dua orang pelayan itu yang sudah menjadi mayat! Dengan tergesa-gesa Swi Liang membawa dua mayat itu ke kebun, menggali lubang, menguburkan dengan cepat sekali kemudian kembali ke kamarnya dengan muka pucat.
Akan tetapi hatinya lega dan diam-diam dia menyesali perbuatannya sendiri. Mengapa dia begitu lemah sehingga tidak dapat menahan diri terjatuh ke dalam rayuan dua orang gadis cantik itu?
Dia terpaksa membunuh mereka, sungguhpun hal itu dilakukannya dengan perasaan penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai gagal, dia akan tewas, akan mati konyol.
Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu, keadaannya tentu terancam hebat. Belum apa-apa dua orang gadis itu telah "memerasnya" untuk setiap malam melayani mereka dengan ancaman akan dibuka rahasianya! Tentu saja dia terpaksa harus membunuh mereka demi keselamatan dirinya sendiri.
Lenyapnya dua orang pelayan itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian puteri. Betapapun juga, mereka itu hanyalah dua orang pelayan dan akhirnya Yang Kui Hui hanya memerintahkan para pengawal untuk melakukan pengejaran karena dikira bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau sampai dapat ditangkap agar supaya dijatuhi hukuman berat.
Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan kalau tidak mau terjadi gangguan lain lagi. Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui, membantu pada setiap kali ada kesempatan, membantu para pelayan yang memandikan selir jelita itu, menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan mengenakan pakaiannya.
Bahkan pada suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata merem melek seperti seekor kucing malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya untuk memijit-mijit kaki selir itu dengan perlahan, meniru perbuatan pelayan yang suka memijit tubuh selir itu.
Jantungnya berdebar keras sekali. Nafsu hatinya ditekannya keras sekali dia merasa betapa api berahi telah membaar dadanya dan api itu menyala dari ujung jari tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki yang halus lunak dan hangat.
"Ehmmm..." Yang Kui Hui menggeliat seperti seekor kucing dan membuka sedikit matanya untuk melihat siapa yang memijat kakinya. Matanya terbuka agaka lebar dan tersenyum.
"Aihhh, kiranya engkau Liang-cu? Engkau pandai pula memijit? Ahhhh, tanganmu kuat sekali, nah, kaulanjutkan, tubuhku memang sedang pegal-pegal..." Dan selir itu sudah memejamkan matanya kembali rebah terlentang di depan Swi Liang. (Bersambung)
(dwi)