Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 18 Bagian 12

Jum'at, 14 April 2017 - 18:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Bukek...
Bukek Siansu, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu

Selagi dia berjalan maju dengan hati-hati, dia mendengar suara mendengung dari belakang. Sin Liong cepat menoleh akan tetapi tidak melihat apa-apa. Sinar obor itu hanya mendatangkan cahaya dalam jarak terbatas sekali dan di sebelah sananya kelihatan hitam pekat.

Akan tetapi suara itu makin lama makin keras dan akhirnya tampaklah meluncur masuk ke dalam cahaya obor benda-benda hitam kecil yang mengeluarkan suara berdengung-dengung. Lebah! Banyak sekali lebah hitam yang datang beterbangan, seakan berlumba untuk mencapai sinar terang itu.

Sinar api obor itulah yang yang menarik lebah-lebah itu dan Sin Liong maklum sekarang mengapa mereka memberinya sebatang obor. Tentu untuk menarik lebah-lebah itu, dan kalau lebah-lebah itu cukup berharga untuk dipancing mereka, tentu merupakan lebah berbahaya, lebah yang sengatannya mengadung bisa yang mematikan.

Dia sudah tahu akan lebah-lebah beracun seperti ini. Sin Liong cepat mengambil sehelai saputangan, menyelipkan pedang di pingangnya, dan menggunakan saputangan yang diputar-putar untuk mengusir lebah-lebah itu. Namun, tertarik oleh sinar api obor di antara kegelapan yang luar biasa, lebah-lebah itu seperti gila dan sama sekali tidak takut akan usiran menggunakan saputangan ini.

Biarpun mereka tidak dapat menyerang Sin Liong karena terhalang saputangan, namun mereka tetap beterbangan di sekeliling Sin Liong, menanti saat baik untuk menyerang!

Celaka, pikir Sin Liong. Tidak mungkin dia harus berdiri di situ semalaman hanya untuk berkelahi melawan lebah-lebah ini. Apa gunanya ada obor kalau hanya mendatangkan kerepotan ini? Sambil tetap melindungi tubuhnya dengan putaran saputangan, Sin Liong menancapkan gagang obor pada celah-celah batu dinding, lalu pergi menjauh.

Ternyata lebah-lebah itu tidak lagi mempedulikannya setelah dia tidak memegang obor, dan kini binatang-binatang kecil itu beterbangan menyambar ke arah obor. Sin Liong duduk bersandar dinding, memandang dari jauh. Dilihatnya banyak lebah yang mati karena menyerbu api, makin lama makin banyak.

Hatinya tidak tega. Binatang-binatang itu tidak berdosa. Entah mengapa mereka dapat dibikin marah dan menyerbu api seperti gila itu. Dia harus menghentikan bunuh diri massal yang mengerikan itu. Diremasnya batu-batu dari dinding dan ditimpuknya ke arah obor sambil berteriak-teriak. "Aduh...! Aduh, mati aku...!"

Ini adalah siasatnya yang timbul sebelum memadamkan obor. Mereka itu sengaja memberi obor untuk memancing lebah-lebah. Baiklah, dia akan pura-pura menjadi korban sengatan lebah beracun kiranya hanya dengan cara ini dia akan dapat memancing orang-orang kerdil itu. Kalau mereka menggunakan siasat memancing dan menjebak, biarlah demi keselamatan Swat Hong dia pun mempergunakan siasat itu!

Semalam Sin Liong berada di dalam gelap. Tidak ada orang datang mengintai atau menjenguknya. Ketika inilah dia pergunakan untuk beristirahat dan biarpun dia sama sekali tidak dapat tidur. Mana mungkin dia tidur kalau hatinya gelisah memikirkan Swat Hong seperti itu?

Betapapun juga, dia dapat melepaskan lelah dan memulihkan tenaga, dan terbayanglah percakapan dengan Swat Hong di dalam hutan. Dia menghela napas panjang. Biarpun di depan gadis itu dia berpura-pura tidak mengerti, sesungguhnya dia tahu belaka bahwa dara yang tadinya angkuh dan keras hati itu, kini agaknya mulai menyatakan cinta kasihnya kepadanya.

Dia dapat menduga pula bahwa cinta kasih di hati gadis itu bersemi karena memperoleh pupuk cemburu, mencemburukan dia dengan Soan Cu dan Siangkoan Hui! Hal ini membuat hatinya terasa seperti ditusuk, perih dan duka. Tentu saja dia tidak mungkin mau menyakiti hati Swat Hong dengan menyatakan bahwa dia tidak mencinta gadis itu, tidak mencinta seperti diharapkan gadis itu.

Tidak mungkin dia mau melibatkan diri ke dalam cinta kasih seperti itu, yang telah begitu banyak contohnya hanya mendatangkan kesengsaraan belaka. Lihat saja kehidupan ayah Swat Hong, Raja Han Ti Ong yang menjadi rusak dan hancur lebur karena Raja yang bijaksana dan perkasa itu takluk kepada cinta kasih berahi seperti itu.

Lihat saja penghidupan ayah Soan Cu, yang menjadi gua karena kematian isterinya yang tercinta, juga merupakan cinta memiliki yang hanya akan berakhir dengan kesengsaraan. Masih banyak lagi contoh-contoh. Cinta kasih yang terdorong oleh berahi dan kesenangan ini pasti akan disusul dengan keinginan memiliki, menguasai dan mengikat.

Pengikatan diri inilah yang akan mencelakakan, yang akan menimbulkan duka karena kehilangan, perpisahan atau kekecewaan karena cemburu dan lain-lain. Pengikatan diri kepada sesuatu memang menimbulkan kenikmatan duniawi, menimbulkan kesenangan lahir yang hanya sementara saja sifatnya, kemudian diakhiri dengan bermacam duka dan kesengsaraan. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0525 seconds (0.1#10.140)