Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 18 Bagian 4
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
Mereka berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, meneduh di dalam bayangan pohon. Hari itu amat panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan jauh sejak pagi tadi sehari itu.
"Suheng...."
Sesuatu dalam suara dara itu membuat Sin Liong cepat menengok dan dia melihat wajah yang cantik itu menunduk. Aneh sekali! Ada apa lagi gadis ini bersikap seperti orang malu?
"Ada apakah, Sumoi?"
Swat Hong mencabut sebatang rumput, mempermainkannya dengan jari-jari tangannya, kemudian dalam keadaan tidak sadar meremas rumput itu sampai hancur di tangannya. "Suheng, setelah selesai tugas kita memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu bagaimana?"
Tersentuh hati Sin Liong. Baru saja dia membayangkan nasib dara itu dan sekarang agaknya Swat Hang juga membayangkan masa depannya. "Kalau kita sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita akan mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Pulau Es."
"Hemm, kemudian?" Swat Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah mencabut lagi sebatang rumput dan dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil dan rumput itu digigit-gigitnya.
"Kemudian? Aku akan membantumu mencari Ibumu sampai dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi seluruh pulau-pulau di sekitar Pulau Es, dan kalau tidak berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar dan mencari sampai ketemu. Sebelum bertemu dengan Ibumu, aku tidak akan berhenti mencari."
Lama tiada kata-kata keluar dan mulut yang menggigit-gigit rumput itu. Akhirnya Swat Hong bertanya juga, "Kalau sudah ketemu. dengan Ibu?"
"Kalau sudah ketemu?" Sin Liong mengulang pertanyaan itu dengan heran, karena hal itu anehlah kalau ditanyakan. "Tentu saja engkau hidup bersama Ibumu...."
"Dan kau?"
"Aku? Aku... aku agaknya akan pergi merantau karena tidak ada apa-apa lagi yang mengikatku, tidak ada tugas. Aku bebas seperti burung di udara, terbang ke mana pun angin membawaku."
Kembali suasana hening, bahkan kini Sin Liong terpengaruh oleh pernyataan itu dan merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya bebas terbang di udara tanpa beban tugas sedikit pun.
"Suheng..."
"Hemm....?"
"Kalau bertemu dengan Ibu engkau akan meninggalkan kami?"
"Sudah kukatakan begitu, bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?"
"Bagaimana kalau... kalau kita gagal mencari Ibu? Bagaimana kalau sampai tidak bertemu? Bagaimana pula andaikata Ibu... Ibu sudah meninggal?"
Sin Liong terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan dan dihadapkan dengan kemungkinan kenyataan ini dia terkejut dan bingung, sejenak tidak mampu menjawab. Dia berpikir kemudian menjawab tanpa keraguan sedikitpun juga, "Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu, Sumoi."
"Kita tinggal di mana?"
"Di mana saja sesukamu."
"Kita berkumpul?"
"Ya."
"Sampai kapan?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu dan tak dapat menjawab. Swat Hong berkata lagi. "Kalau demikian, aku jadi merepotkanmu, Suheng. Aku merampas kebebasan yang kauidam-idamkan tadi."
"Ah, tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan seorang diri di dunia itu memang terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam melakukan sesuatu untuk orang, terutama untukmu, juga terdapat kenikmatan besar."
"Engkau menjadi seperti seekor burung yang terikat kakimu dengan kakiku, Suheng."
"Tidak, tidak begitu! Kita seperti dua ekor burung bebas yang melakukan penerbangan bersama!"
"Untuk selamanya, Suheng?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu. "Aihh, tentu saja tidak. Engkau harus menikah, dan aku akan menjadi wakil orang tuamu, aku yang akan meneliti, memilihkan calon suami, sampai engkau berhasil menjadi isteri seorang laki-laki yang patut menjadi suamimu."
"Tidak sudi!!" Tiba-tiba Swat Hong bangkit berdiri, menjauh dan membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi rumput di mulutnya sudah dikunyah-kunyah!
Sin Liong terbelalak memandang tubuh belakang sumoinya. Dia benar-benar terkejut dan heran sekali mengapa sumoinya mendadak marah seperti itu, padahal dia bicara dengan setulus hatinya, menyatakan keinginnya yang baik terhadap sumoinya yang akan dibelanya itu.
"Sumoi...!" dia memanggil dan gadis itu membalikkan tubuh. Untuk kedua kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoinya itu, biarpun tidak sesenggukan, telah menangis. Sepasang pipinya basah air mata dan masih ada butiran air mata yang bergerak menurun dari pelupuk matanya. (Bersambung)
Mereka berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, meneduh di dalam bayangan pohon. Hari itu amat panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan jauh sejak pagi tadi sehari itu.
"Suheng...."
Sesuatu dalam suara dara itu membuat Sin Liong cepat menengok dan dia melihat wajah yang cantik itu menunduk. Aneh sekali! Ada apa lagi gadis ini bersikap seperti orang malu?
"Ada apakah, Sumoi?"
Swat Hong mencabut sebatang rumput, mempermainkannya dengan jari-jari tangannya, kemudian dalam keadaan tidak sadar meremas rumput itu sampai hancur di tangannya. "Suheng, setelah selesai tugas kita memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu bagaimana?"
Tersentuh hati Sin Liong. Baru saja dia membayangkan nasib dara itu dan sekarang agaknya Swat Hang juga membayangkan masa depannya. "Kalau kita sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita akan mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Pulau Es."
"Hemm, kemudian?" Swat Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah mencabut lagi sebatang rumput dan dimasukkan ke dalam mulutnya yang kecil dan rumput itu digigit-gigitnya.
"Kemudian? Aku akan membantumu mencari Ibumu sampai dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi seluruh pulau-pulau di sekitar Pulau Es, dan kalau tidak berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar dan mencari sampai ketemu. Sebelum bertemu dengan Ibumu, aku tidak akan berhenti mencari."
Lama tiada kata-kata keluar dan mulut yang menggigit-gigit rumput itu. Akhirnya Swat Hong bertanya juga, "Kalau sudah ketemu. dengan Ibu?"
"Kalau sudah ketemu?" Sin Liong mengulang pertanyaan itu dengan heran, karena hal itu anehlah kalau ditanyakan. "Tentu saja engkau hidup bersama Ibumu...."
"Dan kau?"
"Aku? Aku... aku agaknya akan pergi merantau karena tidak ada apa-apa lagi yang mengikatku, tidak ada tugas. Aku bebas seperti burung di udara, terbang ke mana pun angin membawaku."
Kembali suasana hening, bahkan kini Sin Liong terpengaruh oleh pernyataan itu dan merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya bebas terbang di udara tanpa beban tugas sedikit pun.
"Suheng..."
"Hemm....?"
"Kalau bertemu dengan Ibu engkau akan meninggalkan kami?"
"Sudah kukatakan begitu, bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?"
"Bagaimana kalau... kalau kita gagal mencari Ibu? Bagaimana kalau sampai tidak bertemu? Bagaimana pula andaikata Ibu... Ibu sudah meninggal?"
Sin Liong terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan dan dihadapkan dengan kemungkinan kenyataan ini dia terkejut dan bingung, sejenak tidak mampu menjawab. Dia berpikir kemudian menjawab tanpa keraguan sedikitpun juga, "Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu, Sumoi."
"Kita tinggal di mana?"
"Di mana saja sesukamu."
"Kita berkumpul?"
"Ya."
"Sampai kapan?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu dan tak dapat menjawab. Swat Hong berkata lagi. "Kalau demikian, aku jadi merepotkanmu, Suheng. Aku merampas kebebasan yang kauidam-idamkan tadi."
"Ah, tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan seorang diri di dunia itu memang terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam melakukan sesuatu untuk orang, terutama untukmu, juga terdapat kenikmatan besar."
"Engkau menjadi seperti seekor burung yang terikat kakimu dengan kakiku, Suheng."
"Tidak, tidak begitu! Kita seperti dua ekor burung bebas yang melakukan penerbangan bersama!"
"Untuk selamanya, Suheng?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu. "Aihh, tentu saja tidak. Engkau harus menikah, dan aku akan menjadi wakil orang tuamu, aku yang akan meneliti, memilihkan calon suami, sampai engkau berhasil menjadi isteri seorang laki-laki yang patut menjadi suamimu."
"Tidak sudi!!" Tiba-tiba Swat Hong bangkit berdiri, menjauh dan membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi rumput di mulutnya sudah dikunyah-kunyah!
Sin Liong terbelalak memandang tubuh belakang sumoinya. Dia benar-benar terkejut dan heran sekali mengapa sumoinya mendadak marah seperti itu, padahal dia bicara dengan setulus hatinya, menyatakan keinginnya yang baik terhadap sumoinya yang akan dibelanya itu.
"Sumoi...!" dia memanggil dan gadis itu membalikkan tubuh. Untuk kedua kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoinya itu, biarpun tidak sesenggukan, telah menangis. Sepasang pipinya basah air mata dan masih ada butiran air mata yang bergerak menurun dari pelupuk matanya. (Bersambung)
(dwi)