Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 23 Bagian 9

Jum'at, 26 Mei 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Bukek...
Bukek Siansu, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu

Pada saat itu terdengar suara hiruk pikuk dan berbondong-bondong datanglah pasukan besar dipimpin oleh Bouw-ciang-kun sendiri! Melihat Bouw-ciangkun, Swat Hong menjadi marah sekali.

Dari mulutnya terdengar suara melengking nyaring dan tubuhnya melesat seperti terbang cepatnya, pedangnya menyambar sebagai sinar kilat ke arah Bouw-ciangkun. Panglima ini terkejut, menggerakkan pedang menangkis.

Terdengar suara berdencing nyaring dan pedang di tangan panglima itu patah disusul robohnya tubuhnya yang berkelojotan karena ternyata lehernya hampir putus terbabat pedang di tangan Swat Hong!

"Nona, jangan...." Kwee Lun lari mendekat dan mereka sudah dikepung oleh ratusan orang perajurit yang menjadi bengong menyaksikan kematian komandan mereka secara yang sama sekali tidak disangka-sangka itu. Semua orang, menduga bahwa tentu nona yang tadinya melamar sebagai sukarelawati dan pemuda yang menjadi sukarelawan ini tentulah mata-mata dari pihak pemberontak!

"Tangkap mata-mata!"

"Bunuh mereka!"

"Tahan semua senjata...!!" Kwee Lun berteriak dan suaranya mengatasi semua keributan itu, semua orang manahan senjata dan memandang kepada pemuda itu dengan marah. Mau bicara apa lagi mata-mata yang sudah membunuh komandan mereka ini?

"Saudara-saudara sekalian! Kami berdua bukan mata-mata pemberontak, sama sekali bukan! Bahkan kami adalah musuh-musuh pemberontak. Kami berdua adalah sungguh-sungguh hendak membantu gerakan Sri Baginda Kaisar untuk menghalau pemberontak dari kota raja. Akan tetapi celakanya, Nona Han Swat Hong yang beriktikad baik ini dicurangi oleh Bouw-ciangkun, Sukarelawati yang gagah perkasa ini, yang akan dapat membantu banyak sekali kepada Sri Baginda, oleh Bouw-ciangkun hendak dikorbankan sebagai hadiah kepada Panglima Arab, untuk diperkosa! Tentu saja kami melawan kejahatan ini!"

"Tangkap...!"

"Bunuh...! Dia telah membunuh Bouw-ciangkun...!"

"Jangan percaya hasutan mulut mata-mata pemberontak!"

Kini tempat itu penuh dengan perajurit, tidak hanya ratusan, bahkan ribuan banyaknya. Mereka sudah marah semua karena biarpun di antara mereka ada yang dapat memaklumi kebenaran ucapan Kwee Lun, namun kenyataan dibunuhnya Bouw-ciangkun tentu saja menggegerkan dan mengacaukan mereka. Dengan senjata di tangan mereka sudah mengeroyok dua orang itu.

"Menyesal tidak berhasil, Nona."

"Tidak apa, Toako. Mati di sampingmu membesarkan hati."

"Benarkah?"

"Tentu saja, karena engkau seorang yang baik sekali, Kwee-toako"

"Kalau begitu, marilah mati bersama!" Pemuda itu dengan wajah berseri sudah siap dengan sepasang senjatanya, mereka saling membelakangi dan saling melindungi.

Para perajurit sudah berdesak-desakan hendak menyerbu. Tiba-tiba terdengar suara yang halus dan tenang, namun penuh wibawa, "Harap Cu-wi sekalian tidak menggerakkan senjata...!"

Sungguh ajaib sekali. Biarpun ada di antara mereka yang tidak mempedulikan kata-kata ini dan hendak tetap menyerang, tiba-tiba saja merasa bahwa tangan mereka tidak mampu bergerak! Terdengar seruan-seruan kaget dan heran, dan kini semua mata memandang kepada seorang pemuda yang dengan tenangnya berjalan memasuki kepungan itu, dengan membuka jalan di antara para perajurit.

Juga Kwee Lun dan Swat Hong mengeluarkan seruan tertahan. Mereka berdua pun merasa betapa tangan mereka tidak dapat digerakkan! Otomatis mereka pun menoleh dan melihat pula seorang pemuda yang memasuki kepungan itu dengan sikap tenang sekali. Seorang pemuda yang pakaiannya sederhana, agak kurus, matanya memancarkan sinar yang luar biasa, pemuda yang memandang kepada Swat Hong dengan senyum di bibir.

"Su.... Suhengggg...!" Tiba-tiba Swat Hong menjerit, pedangnya terlepas dari pegangan dan sambil terisak dia lari menghampiri lalu menubruk pemuda itu yang bukan lain adalah Kwa Sin Liong!

"Suheng... aihhh, Suheng... Ibuku...."

"Tenanglah, Sumoi, tenanglah...." Suara Sin Liong mengandung wibawa yang luar biasa sehingga Swat Hong yang dilanda kekagetan dan keharuan hebat karena sama sekali tidak menyangka bahwa suhengnya masih hidup itu, dapat menenangkan hatinya.

"Suheng... betapa bahagia rasa hatiku! Suheng, jangan kautinggalkan aku lagi...."

"Tidak, Sumoi. Tidak lagi."

"Aku cinta padamu, Suheng! Aku cinta padamu!" Tanpa malu-malu Swat Hong meneriakkan suara hatinya ini di tengah-tengah kepungan ratusan, bahkan ribuan orang perajurit! (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0651 seconds (0.1#10.140)