Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 2 Bagian 1

Rabu, 15 Februari 2017 - 08:09 WIB
loading...
Kho Ping Hoo : Bukek...
Bukek Siansu, Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
A A A
TIBA-TIBA Kwat Lin bangkit serentak, seolah-olah ada tenaga baru memasuki tubuhnya yang menderita nyeri, lelah dan kelaparan karena selama tiga hari tiga malam dia dipermainkan tanpa diberi makan atau minum oleh kakek iblis itu. Dia berdiri tegak, telanjang bulat, lalu memandang ke arah semua mayat suhengnya, dan matanya menjadi liar, keluar suara parau dari mulutnya yang pecah-pecah bibirnya oleh gigitan kakek iblis. "Suheng sekalian, dengarlah! Aku, The Kwat Lin, bersumpah untuk membalaskan kematian Suheng sekalian. Satu-satunya tujuan hidupku Sekarang hanyalah untuk membalas dendam dan membunuh iblis busuk Pat-jiu Kai-ong!" tiba-tiba dia terhuyung mundur, memandang wajah twa-suhengnya. Pria inilah sebetulnya yang sudah sejak dahulu mencuri hatinya.

"Twa-suheng...!" Dia menubruk dan berlutut di dekat mayat yang sudah mulai membusuk itu. "Jangan berduka, Twa-suheng... jangan menangis...." Dia sendiri sesenggukan.

"Apa...? Aku telanjang,..? Pakaianmu,,,?" Seperti orang gila yang bicara dengan sesosok mayat, Kwat Lin bertanya, kemudian dia membuka baju dan celana luar dari mayat yang sudah kaku kejang itu dengan agak susah, dan mengenakan pakaian itu pada tubuhnya sendiri. Tentu saja agak kebesaran.

"Hi-hi-hik, pakaianmu kebesaran, Suheng...." Dia memandang wajah mayat twa-suhengnya dan tertawa lagi.

"Hi-hik, nah, begitu, tertawalah Twa-suheng, tertawalah para suheng sekalian... tertawa dan bergembiralah karena dendam kalian pasti akan kubalaskan...! Hi-hi-hik... hu-hu-huuuhhh..." Dia menangis lagi terisak-isak dan dengan terhuyung-huyung dia meninggalkan tempat mengerikan itu setelah mengambil pedang twa-suhengnya. Pedang itu adalah pedang pusaka terbaik di antara pedang ketiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu, sebatang pedang pemberian Ketua Bu-tong-pai sendiri, pedang yang di dekat gagangnya ada gambar setangkai bunga Bwee merah, maka pedang itu diberi nama Ang-bwe-kiam (Pedang Bunga Bwee Merah). Dia terhuyung-huyung, pergi tak tentu tujuan, asal menggerakkan kedua kaki melangkah saja, langkah yang kecil-kecil dan terhuyung-huyung karena tubuhnya masih terasa lelah, lapar dan sakit semua. Kadang-kadang terdengar dia terisak menangis, kemudian terkekeh geli sehingga kalau ada orang yang bertemu dengan wanita yang bibirnya pecah-pecah mukanya penuh debu dan air mata, matanya membengkak dan merah, rambutnya riap-riapan dan pakaiannya terlalu besar ini tentu orang itu akan merasa seram, mengira bahwa setidaknya dia adalah seorang wanita gila. Dugaan ini memang tidak meleset terlalu jauh. Penderitaan lahir batin yang melanda diri Kwat Lin membuat wanita malang ini tidak kuat menahan sehingga terjadi ubahan pada ingatannya!

***

Pada hari yang sama ketika Cap-sha Sin-hiap roboh di tangan kakek iblis Pat-Kai-ong di kaki Pejunungan Jeng-hoa-san, terjadi pula peristiwa hebat dl bagian lain dari pegunungan itu. Kalau Cap-sha Sin-hiap roboh di daerah timur pegunungan, maka di daerah barat terjadi pula peristiwa yang hampir sama sungguhpun sifatnya berbeda.

Pada pagi hari itu, seorang wanita berjalan seorang diri mendaki lereng pertama dari pegungan Jeng-hoa-san sebelah barat. Wanita itu memasuki hutan dengan wajah berseri dan harus diakui bahwa wajah wanita ini cantik manis sekali, mempunyai daya tarik yang kuat sungguhpun usianya sudah empat puluh tahun, Tidak ada keriput mengganggu kulit mukanya yang putih halus, mulutnya yang agak lebar itu mempunyai bibir yang senantiasa menantang dan seolah-olah buah masak yang sudah pecah, akan tetapi kalau orang memperhatikan matanya, mata yang jernih dan bersinar tajam, maka hati yang kagum akan kecantikannya tentu akan berubah menjadi ragu-ragu, curiga dan ngeri karena sepasang mata itu tidak pernah, atau jarang sekali berkedip. Mata itu terbukti terus seperti mata boneka!

Dengan langkah-langkah gontai dan lemas, membuat buah pinggulnya menonjol dan bergoyang ke kanan kiri, wanita itu berjalan seorang diri, memutar-matar sebuah payung yang dipanggulnya. Sebuah payung hitam yang tertutup, gagangnya melengkung dan ujungnya meruncing. Pakaiannya serba mewah dan indah, rambutnya panjang sekali, digelung ke atas seperti sebuah menara hitam yang indah, terhias tusuk sanggul dari mutiara dan emas. Yang menarik adalah kuku-kuku jari tangannya. Kuku yang panjang terpelihara, diberi warna merah, penjang meruncing dan agak melengkung seperti kuku kucing atau harimau. Pakaiannya yang mewah itu dibuat terlalu pas dengah tubuhnya sehingga membungkus ketat tubuh itu, membayangkan lekuk lengkung yang menggairahkan dari dada sampai ke kaki karena celananya yang terbuat dari sutera merah muda itu pun ketat sekali!

Biarpun kelihatannya seperti seorang wanita cantik dan genit (tante girang), namun sesungguhnya dia bukanlah manusia biasa saja! Inilah dia yang terkenal sekali di dunia Kang-ouw, terutama sekali di dunia hitam kaum penjahat, karena wanita ini bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li (Wanita Pandai Berpayung Pedang), sebuah julukan yang membuat bulu tengkuk orang yang sudah mengenalnya berdiri saking ngerinya karena wanita yang sebenarnya hanya bernama Liok Si ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi mengerikan dan kekejaman yang sukar dicari bandingnya! Bahkan ia disamakan dengan wanita cantik penjelmaan siluman rase yang biasa mengganggu pria, dan setiap orang pria yang terjebak dalam pelukannya tentu akan mati kehabisan darah, disedot habis oleh siluman ini!

Tentu saja bagi mereka yang belum pernah berjumpa dengannya, sama sekali tidak akan mengira bahwa wanita yang berlenggang-lenggok dengan payung di pundak itulah iblis wanita yang menggegerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang luar biasa. Dan mudah saja diduga mengapa pada hari itu Kiam-mo Cai-li ini mendaki lereng Jeng-hoa-san! Tentu saja dia pun mendengar berita menggegerkan dunia kang-ouw akan adanya Sin-tong, Si Bocah Ajaib dan mendengar ini, kontan keras hatinya berdebar-debar penuh ketegangan dan penuh berahi! Dia dapat membayangkan betapa tenaga mujijat yang dihimpunnya secara ilmu hitam dengan jalan menghisap sari tenaga ratusan orang pria, akan meningkat dengan hebat sekali kalau dia bisa menghisap kejantanan Si Bocah Ajaib itu! Maka begitu mendengar akan bocah ajaib di puncak Pegunungan Jeng-hoa-san di dalam Hutan Seribu Bunga, dia segera menempuh perjalanan jauh mengunjungi pegunungan itu. Perjalanan yang jauh karena biarpun sering kali Liok Si ini pergi merantau namun dia memiliki sebuah pondok kecil seperti istana mewahnya terletak di tempat yang tidak lumrah dikunjungi manusia, yaitu di daerah Rawa Bangkai. Rawa-rawa yang liar ini terdapat di kaki Pegunungan Luliang-san, merupakan daerah maut karena banyak lumpur dan pasir yang berputar, merupakan perangkap maut bagi manusia dan hewan. Namun di tengah-tengah rawa-rawa itu, yang tidak dapat dikunjungi dleh manusia lain, terdapat sebuah tanah datar, tanah keraa semacam pulau dan di atas pulau inilah letaknya istana kecil milik Liok Si yang berjuluk Kiem-mo Cai-li, bersama belasan orang pembantu-pembantu yang sudah menjadi orang-orang kepercayaannya.

Dia disebut Cai-li (Wanita Pandai) karena sebetulnya wanita ini dulunya adalah puteri seorang sasterawan kenamaan dan semenjak kecil Liok Si telah mempelajari kesusastraan sehingga dia mahir sekali akan sastra, bahkan dia menyamar sebagai pria menempuh ujian pemerintah sehingga dia lulus dan mendapat gelar siucai! Akan tetepi, penyamarannya ketahuan dan seorang pembesar tinggi istana yang kagum kepadanya lalu mengambilnya sebagai seorang selir. Selain ilmu sastra, juga Liok Si ini semenjak kecil digembleng ilmu oleh para sahabat ayahnya, apalagi setelah menjadi selir pembesar tinggi di istana, dia meagadakan hubungan dengan kepala-kepala pengawal, dengan pengawal-pengawal kaisar yang berilmu tinggi, menyerahkan tubuhnya sebagai pengganti ilmu silat-ilmu silat tinggi yang diperolehnya sebagai "bayaran". Akhirnya, pembesar itu mengetahui akan tabiat selirnya ini yang ternyata adalah seorang wanita yang gila pria maka dia diusir dari iatana pembesar itu. Akan tetapi, apa yang dilakuken oleh wanita ini? Dia membunuh Si Pembesar, membawa banyak harta benda yang dicurinya dari istana itu, kemudian minggat!

Belasan tahun kemudian, muncullah nama julukan Kiam-mo Cai-li, namun tidak ada yang menduga bahwa dia adalah Liok Si yang dahulu menjadi selir bangsawan dan yang membunuh bangsawan itu sehingga menjadi orang buruan pemerintah.

Liok Si berjalan sambil tersenyum-senyum, kadang-kadang senyumnya melebar dan tampak giginya yang putih mengkilat dan di kedua ujungnya terdapat sebuah gigi yang agak meruncing sehingga sekelebatan mirip gigi caling sihung. Hatinya gembira sekali kalau dia membayangkan betapa akan sedapnya kalau dia dapat memperoleh bocah ajaib itu.

"Hemmm, aku harus bersikap halus dan hati-hati terhadapnya, menikmatinya selama mungkin. Hemmm...."

Tiba-tiba dia terkejut dan menghentikan langkahnya, akan tetapi kembali dia tersenyum manis matanya mengerling tajam penuh kegairahan ketika melihat lima orang laki-laki berdiri di depannya dengan sikap gagah. Pandang matanya menyambar-nyambar dan terbayang kepuasan dan kekaguman. Memang, hati seorang wanita gila pria seperti Liok Si tentu saja menjadi berdebar tegang ketika melihat lima orang pria yang usia-nya rata-rata tiga puluh tahun lebih, bertubuh tegap-tegap dan rata-rata berwajah tampan dan gagah! Seperti melihat lima butir buah yang ranum dan matang hati!

"Aih-aihh... siapakah Ngo-wi (Anda berlima) yang gagah perkasa ini? Dan apakah Ngo-wi sengaja hendak bertemu dan bicara dengan aku?"

Seorang di antara mereka, yang usianya tiga puluh tahun, mukanya bulat dan alisnya seperti golok hitam dan tebal berkata, "Apakah kami berhadapan dengan Kiam-mo Cai-li dari Rawa Bangkai?"

Wanita itu memainkan bola matanya, memandangi wajah mereka berganti-ganti dengan berseri, mulutnya tersenyum ketika menjawab, "Kalau benar mengapa? Kalian ini siapakah?"

"Kami adalah Kee-san Ngo-hohan (Lima Pendekar dari Gunung Ayam)."

Kiam-mo Cai-li mengeluarkan bunyi "tsk-tsk-tsk" dengan lidahnya tanda kagum. Segera dia menjura dan berkata manis. "Aih, kiranya lima pendekar yang namanya sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai murid-murid utama Hoa-san-pai? Aih, terimalah hormatnya seorang wanita bodoh seperti aku."

"Harap Toanio (Nyonya) tidak mengejek dan bersikap merendah. Kami sudah tahu siapa adanya Kiam-mo Cai-li, dank arena melihat engkau mendaki Jeng-hoa-san, maka terpaksa kami memberanikan diri untuk menghadang."

"Ehm...! Maksud kalian?" Senyumnya makin manis dan kerling matanya makin memikat.

"Kami telah mendengar akan berita bahwa tokoh-tokoh kang-ouw sedang berusaha untuk memperebutkan Sin-tong yang berada di Hutan Seribu Bunga dan kami mendengar pula bahwa Kiam-mo Cai-li merupakan seorang di antara mereka yang hendak menculik Sin-tong. Karena kami telah berhutang budi, diberi obat oleh Sin-tong maka kami hanya dapat membalas budinya dengan melindunginya terutama dari tangan... maaf, para tokoh kaum sesat yang tentu tidak mempunyai iktikad balk terhadap dirinya. Andaikata kami tidak berhutang budi sekalipun, mengingat bahwa Sin-tong adalah seorang anak ajaib yang telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu, sudah menjadi kewajiban orang-orang gagah untuk melindunginya."

Kembali Kiam-mo Cai-li tersenyum. "Terus terang saja memang aku mendengar tentang Sin-tong dan aku ingin mendapatkanya, maka hari ini aku mendaki Jeng-hoa-san. Habis kalian mau apa?"

"Kalau begitu, kami minta dengan hormat agar kau suka membatalkan niatmu itu, Toanio, Kalau kau memaksa hendak mengganggu Sin-tong, terpaksa kami akan merintangimu dan tidak membolehkan kau melanjutkan perjalanan!"

"Hi-hi-hik, galak amat! Lima orang laki-laki muda tampan gagah bertemu dengan seorang wanita cantik penuh gairah, sungguH tidak semestinya kalau bermain senjata mengadu nyawa!"

"Hemm, habis semestinya bagaimana?" tanya orang pertama dari Kee-san Ngo-hohan yang betapapun juga merasa jerih mendengar nama besar wanita ini dan mengharapkan wanita itu akan mengalah dan pergi dari situ, tidak mengganggu Sin-tong.

Mata itu tajam mengerling dan senyumnya penuh arti, bibirnya penuh tantangan.

"Mestinya? Mestinya kita bermain cinta memadu kasih!"

"Perempuan hina!"

"Jalang!"

"Siluman betina!"

Lima orang itu telah mencabut senjata masing-masing yaitu senjata golok besar yang selama ini telah mengangkat nama mereka di dunia kang-ouw. Kelima orang pendekar ini memang merupakan abli-ahlt berraain golok dengan Ilmu Hoa-san-to-hoat yang terkenal, dan selain itu juga mereka semua mahir akan ilmu menotok jalan darah yang bernama Sam-ci-tiam-hoat, yaitu ilmu menotok menggunakan tiga buah jari tangan.

"Siaaattt... singg... siang...."

"Ha-ha, bagus! Kalian memang gagah sekali bermain golok, tentu lebih gagah kalau bermain cinta, hi-hik!" Kiam-mo Cai-li mengelak dan tiba-tiba payung hitamnya berkembang terbuka. Payung itu merupakan senjata istimewa, terbuat dari baja yang kuat dan kainnya terbuat dari kulit badak yang kering dan sudah dimasak lemas, namun kuatnya luar biasa dapat menahan bacokan senjata tajam. Adapun ujung payung itu meruncing, merupakan ujung pedang, dan gagangnya yang melengkung itu pun dapat digunakan sebagai senjata kaitan yang lihai.

"Trang-trang-trang...!!" Bunga api berpijar ketika golok-golok itu tertangkis oleh payung dan karena kini tubuh wanita itu tertutup payung yang berkembang dan berputar-putar, maka sukarlah bagi lima orang itu untuk menyerangnya dari depan. Mereka lalu berloncatan dan mengurung wanita itu.

"Hi-hik, hayo keroyoklah. Kalau baru kalian lima orang ini saja, masih terlampau sedikit bagiku. Hi-hik, hendak kulihat sampai di mana kekuatan kalian apakah patut untuk menjadi lawan-lawanku untuk bermain cinta!"

"Perempuan rendah!" Orang pertama dari lima pendekar itu marah sekali, goloknya menyambar dahsyat, tapi tiba-tiba golok itu ternenti di tengah udara karena telah terikat oleh sebuah benda hitam panjang yang lembut. Kiranya wanita itu telah mengibas gelung rambutnya dan ternyata rambut itu panjangnya sampai ke bawah pinggulnya, rambut yang gemuk hitam, panjang dan harum baunya, bahkan bukan itu saja keistimewaannya, rambut itu dapat dipergunakan sebagai senjata ampuh, sebagai cambuk yang kini berhasil membelit golok orang pertama Kee-san Ngo-hohan! Sebelum orang ini sempat menarik goloknya, tangan kiri Kiam-mo Cai-li bergerak menghantam tengkuk orang itu dengan tangan miring.

"Krekk!" Laki-laki itu mengeluh dan roboh tak dapat bangkit kembali karena dia telah terkena totokan istimewa yang membuat tubuhnya lumpuh sungguhpun dia masih dapat melihat dan mendengar.

Empat orang lainnya terkejut dan marah sekali. Mereka memutar golok lebih gencar lagi, bahkan kini tangan kiri mereka membantu dengan serangan totokan Sam-ci-tiam-hoat yang ampuh!

Namun orang yang mereka keroyok itu tertawa-tawa mempermainkan mereka. Setiap serangan golok dapat dihalau dengan mudah oleh payung yang diputar-putar sedangkan ujung rambut yang panjang itu mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan menyambar-nyambar di atas kepala mereka, tidak menyerang, hanya mendatangkan kepanikan saja karena memang dipergunakan untuk mempermainkan mereka.

"Mampuslah!" Orang ke dua yang menyerang dengan golok ketika goloknya ditangkis, cepat dia "memasuki" lowongan dan berhasil mengirim totokan. Karena tempat terbuka yang dapat dimasuki jari tangannya di antara putaran payung itu hanya dibagian dada, maka dia menotok dada kiri wanita itu. Dalam keadaan seperti itu, menghadapi lawan yang amat langguh, pendekar ini sudah tidak mau lagi mempergunakan sopan santun yang tentu tidak akan dilanggarnya kalau keadaan tidak mendesak seperti itu.

"Cusss...!" tiga buah jari tangan itu tepat mengenai buah dada kiri yang besar, tapi dia hanya merasakan sesuatu yang lunak hangat, sedangkan wanita itu sama sekali tidak terpengaruh, bahkan mengerling dan berkata, "Ihhh, kau bersemangat benar, tampan. Belum apa-apa sudah main colek dada, hihik!"

Tentu sate pendekar ini menjadi merah sekali mukanya. Dia merasa malu, akan tetapi penasaran. Ilmu totok yang dimilikinya sudah terkenal dan belum pernah gagal. Tadi jelas dia telah menotok jalan darah yang amat berbahaya di dada wanita itu, mengapa wanita itu sama sekali tidak merasakan apa-apa, bahkan menyindirnya dan di anggap dia mencolek dada?

Dengan marah dia menerjang lagi bersama tiga orang sutenya. "Sudah cukup, sudah cukup, rebah dam beristirahatlah kalian!" Tiba-tiba payung itu tertutup kembali, berubah menjadi pedang yang aneh dan segulung sinar hitam menyambar-nyambar mendesak empat orang itu, kemudian dari atas terdengar ledakan-ledakan dan berturut-turut tiga orang lagi roboh terkena totokan ujung rambut wanita sakti itu. Seperti orang pertama, mereka ini pun roboh tertotok dan lumpuh, hanya dapat memandang dengan mata terbelalak namun tidak menggerakkan kaki tangan mereka!

Orang termuda dari mereka kaget setengah mati melihat betapa empat orang suhengnya telah roboh. Namun dia tidak menjadi gentar, bahkan dengan kemarahan dan kebencian meluap dia memaki, "Perempuan hina, pelacur rendah, siluman betina, aku takkan mau sudah sebelum dapat membunuhmu!"

"Aihhh,,. kau penuh semangat akan tetapi mulutmu penuh makian menyebalkan hatiku!" Golok itu tertangkis oleh payung sedemikian kerasnya sehingga terpental dan sebelum laki-laki itu dapat mengelak, sinar hitam menyambar dan ujung rambut telah membelit lehernya! Pria itu berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan libatan rambut dari lehernya dengan kedua tangan, akan tetapi begitu wanita itu menggerakkan kepalanya, rambutnya terpecah menjadi banyak gumpalan dan tahu-tahu kedua pergelangan lengan orang itu pun sudah terbeht rambut yang seolah-oiah hidup seperti ular-ular hitam yang kuat.

"Nah, ke sinilah, Tampan. Mendekatlah, kekasih. Kau perlu dihajar agar tidak suka memaki lagi!"

Laki-laki itu sudah membuka mulut hendak memaki tegi, akan tetapi libatan rambut pada lehernya makin erat sehingga dia tak dapat bernapas, kemudian rambut itu menariknya mendekat kepada wanita yang tersenyum-senyum itu! Kini laki-laki itu sudah berada dekat sekali, bahkan dada dan perutnya telah menempel pada dada yang membusung dan perut yang menghimpit dari wanita itu. Tercium olehnya bau wangi yang aneh dan memabokkan, akan tetapi karena lehernya terbelit kuat-kuat, dan napasnya tak dapat lancar, maka dia terpaksa menjulurkan lidahnya keluar.

"Aiihh, kau perlu diberi sedikit hajaran. Tampan!"

Empat orang pendekar yang tertotok melihat dengan mata terbelalak penuh kengerian betapa wanita itu kini mendekatkan mukanya pada muka sute mereka yang termuda, kemudian membuka mulut dan mencium mulut sute mereka yang terbuka dan lidah yang terjulur keluar itu. Mereka melihat tubuh sute mereka berkelojot sedikit seperti menahan sakit, mata sute mereka terbelalak, namun wanita itu terus mencium dan menutup mulut pria itu dengan mulutnya sendiri yang lebar. Tak dapat terlihat oleh empat orang pendekar itu betapa wanita itu yang kejam dan keji seperti iblis, telah menggunakan giginya untuk menggigit sampai terluka lidah sute mereka yang terjulur keluar, kemudian menghisap darah dari luka di lidah itu!

Mereka berempat hanya melihat betapa wanita itu memejamkan mata, baru sekarang mereka melihat wanita itu memejamkan mata, kelihatan penuh nikmat, akan tetapi wajah sute mereka makin pucat dan mata sute mereka yang terbelalak itu membayangkan kenyerian dan ketakutan yang hebat. Agaknya wanita itu tidak puas karena darah yang dihisapnya kurang banyak, maka kini dia melepaskan mulut pemuda itu dan memindahkan ciuman mulutnya ke leher Si Pemuda.

Dapat dibayangkan betapa kaget empat orang pendekar itu melihat bahwa mulut sute mereka penuh warna merah. Darah!

"Sute...!!!" Mereka berseru akan tetapi tidak dapat menggerakkan kaki tangan mereka.

Sute mereka meronta-ronta seperti ayam disembelih, matanya melotot memandang ke arah para suhengnya seperti orang minta tolong, kemudian tubuhnya berkelojotan ketika wanita itu kelihatan jelas menghisap-hisap lehernya. Ternyata bahwa urat besar di lehernya telah ditembusi gigi yang meruncing dan kini dengan sepuasnya wanita itu menghisap darah yang membanjir keluar dari urat di leher itu!

Mata yang melotot itu makin hilang sinarnya dan pudar, wajahnya makin pucat dan akhirnya tubuh yang meregang-regang itu lemas. Orang termuda itu pingsan karena kehilangan banyak darah, takut dan ngeri, Kiam-mo Cai-li melepaskan libatan rambutnya dan tubuh itu terguling roboh, terlentang dengan muka pucat dan napas terengah-engah.

"Sute,..!" Kembali mereka mengeluh dan dengan penuh kengerian mereka melihat betapa wanita itu menggunakan lidahnya yang kecil merah dan meruncing itu untuk menjilati darah yang masih berlepotan di bibirnya yang menjadi makin merah. Wajahnya kemerahan, segar seperti kembang mendapat siraman, berseri-seri dan ketika dia mendekati empat orang itu, mereka terbelalak penuh kengerian.

Akan tetapi, wanita itu tidak menyerang mereka, agaknya dia sudah puas menghisap darah orang termuda tadi. Hanya kini kedua tangannya bergerak-gerak dan sekali renggut saja pakaian empat orang itu telah koyak-koyak. Kemudian dia bangkit berdiri, dengan gerakan memikat seperti seorang penari telanjang, dia membuka pakaiannya, menanggalkan satu demi satu sambil menari-nari! Sampai dia bertelanjang bulat sama sekali di depan empat orang itu yang membuang muka dengan perasaan ngeri dan sebal!

"Kalian layanilah aku, puaskanlah aku, senangkan hatiku dan aku akan membebaskan kalian berlima. Lihat, bukankah tubuhku menarik? Aku hanya ingin mendapatkan cinta kalian, aku tidak menginginkan nyawa kalian."

"Cih, siluman betina! Kauanggap kemi ini orang-orang apa? Kami adalah murid-murid Hoa-san-pai yang udak takut mati. Seribu Kali lebih baik mampus daripada memenuhi seleramu yang terkutuk, melayani nafsu berahimu yang menjijikkan!" kata empat orang itu saling susul dan saling bantu.

Kiam-mo Cai-li tersenyum. "Hi-hik, begitukah? Kalau begitu, baiklah, kalian melayani aku sampai mampus!"

Dia lalu membungkuk dan menarik lengan seorang di antara mereka, kemudian menggunakan kuku jari kelingking kiri menggurat beberapa tempat di punggung dan tengkuk pria ini. Orang itu menggigil, menggigit bibir menahan sakit, akan tetapi karena dia tidak mampu mengerahkan sinkang, dia tidak dapat melawan pengaruh hebat yang menggetarkan tubuhnya melalui luka-luka goresan kuku beracun dari kelingking itu. Mukanya menjadi merah, juga matanya menjadi merah dan napasnya terengah-engah. Tiga orang pendekar yang lain memandang penuh kekhawatiran dan kengerian.

Tiba-tiba wanita itu terkekeh, menggunakan tangan membebaskan totokan sehingga orang itu dapat menggerakkan kaki tangannya dan terjadilah hal yang membuat tiga orang pendekar yang masih rebah lumpuh itu terbelalak penuh kengerian. Mereka melihat Sute mereka itu seperti seorang gila menerkam dan mendekap tubuh wanita itu penuh gairah nafsu! Dengan mata terbelalak mereka melihat betapa wanita itu menyambutnya dengan kedua tangan terbuka, bergulingan di atas rumput dan tampak betapa wanita itu membiarkan dirinya diciumi, kemudian mengalihkan mulutnya yang lebar ke leher sute mereka! Mereka bertiga terpaksa memejamkan mata agar tidak usah menyaksikan peristiwa yang memalukan dan terkutuk itu. Mereka mengerti bahwa sute mereka melakukan hal terkutuk itu karena terpengaruh oleh racun yang diguratkan oleh kuku jari kelingking si iblis betina, dan mereka tahu pula bahwa sute mereka yang diamuk pengaruh jahanam itu tidak tahu bahwa darahnya dihisap oleh wanita itu yang seperti telah dilakukan pada orang pertama tadi kini juga menggigit urat lehernya dan menghisap darahnya sepuas hatinya.

Dapat diduga lebih dahulu bahwa tiga orang yang lain juga mengalami siksaan yang sama tanpa dapat berdaya apa-apa tanpa dapat melawan. Hal ini dilakukan berturut-turut oleh Kiam-mo Cai-li dan tiga hari tiga malam kemudian, dia meninggalkan tempat itu sambil menjiiat-jilat bibirnya penuh kepuasan. Setelah dia melempar kerling ke arah lima tubuh telanjang yang sudah menjadi mayat semua itu, bergegas dia pergi mendaki Jeng-hoa-san untuk mencari Sin-tong yang amat diinginkan.

Lima orang Kee-san Ngo-hohan itu mengalami kematian yang amat mengerikan. Tubuh mereka kehabisan darah, kulit mengeriput. Mereka seperti lima ekor lalat yang terjebak ke sarang laba-laba dan setelah semua darah mereka disedot habis oleh laba-laba, mayat mereka yang sudah kering dan habis sarinya itu dilemparkan begitu saja.

***

Kwa Sin Liong, atau yang lebih kenal dengan nama panggilan Sin-tong, pada pagi hari itu seperti biasa setelah mandi cahaya matahari, lalu menjemur obat-obatan dan tidak lama kemudian berturut-turut datanglah orang-orang dusun yang membutuhkan bahan obat untuk bermacam penyakit yang mereka derita.

Sin-tong mendengarkan dengan sabar keluhan dan keterangan mereka tentang penyakit yang mereka derita, menyiapkan obat -obat untuk mereka semua dengan hati penuh belas kasihan. Semua ada sebelas orang dusun, tua muda laki perempuan yang memandang kepada bocah itu dengan sinar mata penuh kagum dan pemujaan. Baru bertemu dan memandang wajah Sin-tong itu saja, mereka sudah merasa banyak berkurang penderitaan sakit mereka, seolah-olah ada wibawa yang keluar dari wajah bocah penuh kasih sayang itu yang meringankan rasa sakit yang mereka derita. Tentu saja hal ini sebenarnya terjadi karena kepercayaan mereka yang penuh bahwa bocah itu akan dapat menyembuhkan penyakit mereka, sehingga keyakinan ini sendiri sudah merupakan obat yang manjur. Dan bocah ajaib itu memang bukanlah seorang dukun yang menggunakan kemujijatan dan sulap atau sihir untuk mengobati orang, melainkan berdasarkan ilmu pengobatan yang wajar. Dia memilih buah, daun, bunga, atau akar obat yang memang tepat mengandung khasiat atau daya penyembuh terhadap penyakit-penyakit tertentu itu.
(lop)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0419 seconds (0.1#10.140)