Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 20 Bagian 3
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
"Aahhhh...!" Swat Hong menjadi lemas dan tentu akan roboh kalau tidak disambar oleh kakek itu. Dara itu pingsan dengan muka pucat sekali. Kakek itu merebahkannya dan mengerutkan alisnya, merasa kasihan sekali karena dia dapat menyelami perasaan gadis ini, cucu buyutnya yang agaknya amat mencinta suhengnya.
Setelah siuman dari pingsannya, Swat Hong menangis dengan sedihnya, Kakek itu membiarkan dia menangis beberapa lamanya, kemudian berkata dengan suara halus dan penuh pengertian, "Han Swat Hong, aku tidak menyalahkan engkau berduka dan menangis, karena memang kematian Suhengmu itu amat menyedihkan.
Akan tetapi, kita harus berani membuka mata melihat dan menghadapi kenyataan seperti apa adanya. Suhengmu tewas, hal itu adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diubah oleh siapa dan oleh apapun juga. Sudah demikianlah jadinya, tidak akan berubah biarpun kita akan berduka sampai menangis air mata darah sekalipun. Karena itu lihatlah kenyataan ini dan bersikaplah tenang dan tabah."
Swat Hong menyusut matanya. "Dia.. ... dia adalah satu-satunya orang... setelah aku kehilangan Ibu dan Ayah...." Sukar membendung membanjirnya air mata akan tetapi perlahan-lahan, mendengarkan nasihat kakek buyutnya, dapat juga Swat Hong menekan kedukaannya dan menghentikan tangisnya.
"Kong-couw, apakah yang terjadi dengan Suheng? Harap ceritakan dengan sejelasnya."
Kakek itu menarik napas panjang. "Aku terlambat. Ketika tiba di sana, tempat itu sudah kosong. The Kwat tin dan teman-temannya sudah meiarikan diri dari Rawa Bangkai. Aku menangkap seorang katai yang masih tinggal di sana dan dari orang inilah aku mendengar betapa Suhengmu dikeroyok dan akhirnya dapat ditangkap dan dilempar ke dalam sumur ular."
"Ketika dia diiempar belum mati, apakah dia tidak dapat ditolong?" Swat Hong bertanya penuh harapan.
Kakek itu, yang selama dalam perantauannya setelah meninggalkan Pulau Es, menyebut diri sendiri Man Lojin (Kakek Han), menggeleng kepala. "Guha terowongan itu diruntuhkan oleh Kwat Lin, sumur ular telah tertutup batu-batu besar. Suhengmu tidak mungkin dapat ditolong lagi karena sumur itu penuh ular berbisa dan Suhengmu pingsan ketika dilempar ke situ."
Sepasang mata yang merah karena tangis itu mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangan itu dikepal, "Aku harus bunuh mereka! Aku harus balaskan kematian Suheng! Kalau tidak, hidupku tidak ada artihya lagi. Kong-couw, sekarang juga aku akan cari mereka!" Dia sudah bangkit berdiri dan hendak pergi dari situ. Akan tetapi kakek itu memegang lengannya dan berkata dengan suara penuh wibawa, "Tahan dulu!"
Swat Hong memandang kakek itu dengan alis berkerut. "Mengapa engkau menghalangi niatku membalas dendam?"
"Melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa tanpa pertimbangan lebih dulu adalah perbuatan bodoh dan sikap yang ceroboh. Karena tidak mengukur kekuatan sendiri, Suhengmu telah membeli dengan nyawanya. Apakah perbuatan bodoh seperti itu hendak kau contoh pula? Aku mendengar keterangan dari si katai itu bahwa mereka itu bersama anak buahnya pergi ke utara, ke Telaga Utara untuk menggabungkan diri dengan pemberontak An Lu Shan. Kalau engkau menyusul ke utara, mana mungkin engkau seorang diri akan menghadapi mereka yang mempunyai pasukan ratusan ribu orang? Apakah kau hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia belaka di sana?"
"Aku tidak takut, Kong-couw!"
Kakek itu tersenyum. "Tentu saja tidak takut, akan tetapi bodoh kalau sampai begitu. Kau ini akan membalaskan kematian Suhengmu ataukah akan membunuh diri?"
Swat Hong sadar dan terkejut juga karena baru sekarang terbuka matanya bahwa dia hanya menuruti hati duka dan sakit. Dia menunduk dan berkata dengan lirih, "Aku harus membalaskan kematian Suheng, dan juga aku harus merampas kembali semua pusaka Pulau Es yang dilarikan The Kwat Lin untuk memenuhi pesan terakhir Ayahku."
"Baiklah, akan tetapi engkau tidak mungkin bisa melaksanakan tugas berat itu seorang diri saja. Marilah pergi bersamaku, aku sudah hafal akan keadaan di Telaga Utara dan biarlah aku yang akan menyelidiki di sana nanti." (Bersambung)
"Aahhhh...!" Swat Hong menjadi lemas dan tentu akan roboh kalau tidak disambar oleh kakek itu. Dara itu pingsan dengan muka pucat sekali. Kakek itu merebahkannya dan mengerutkan alisnya, merasa kasihan sekali karena dia dapat menyelami perasaan gadis ini, cucu buyutnya yang agaknya amat mencinta suhengnya.
Setelah siuman dari pingsannya, Swat Hong menangis dengan sedihnya, Kakek itu membiarkan dia menangis beberapa lamanya, kemudian berkata dengan suara halus dan penuh pengertian, "Han Swat Hong, aku tidak menyalahkan engkau berduka dan menangis, karena memang kematian Suhengmu itu amat menyedihkan.
Akan tetapi, kita harus berani membuka mata melihat dan menghadapi kenyataan seperti apa adanya. Suhengmu tewas, hal itu adalah suatu kenyataan yang tidak dapat diubah oleh siapa dan oleh apapun juga. Sudah demikianlah jadinya, tidak akan berubah biarpun kita akan berduka sampai menangis air mata darah sekalipun. Karena itu lihatlah kenyataan ini dan bersikaplah tenang dan tabah."
Swat Hong menyusut matanya. "Dia.. ... dia adalah satu-satunya orang... setelah aku kehilangan Ibu dan Ayah...." Sukar membendung membanjirnya air mata akan tetapi perlahan-lahan, mendengarkan nasihat kakek buyutnya, dapat juga Swat Hong menekan kedukaannya dan menghentikan tangisnya.
"Kong-couw, apakah yang terjadi dengan Suheng? Harap ceritakan dengan sejelasnya."
Kakek itu menarik napas panjang. "Aku terlambat. Ketika tiba di sana, tempat itu sudah kosong. The Kwat tin dan teman-temannya sudah meiarikan diri dari Rawa Bangkai. Aku menangkap seorang katai yang masih tinggal di sana dan dari orang inilah aku mendengar betapa Suhengmu dikeroyok dan akhirnya dapat ditangkap dan dilempar ke dalam sumur ular."
"Ketika dia diiempar belum mati, apakah dia tidak dapat ditolong?" Swat Hong bertanya penuh harapan.
Kakek itu, yang selama dalam perantauannya setelah meninggalkan Pulau Es, menyebut diri sendiri Man Lojin (Kakek Han), menggeleng kepala. "Guha terowongan itu diruntuhkan oleh Kwat Lin, sumur ular telah tertutup batu-batu besar. Suhengmu tidak mungkin dapat ditolong lagi karena sumur itu penuh ular berbisa dan Suhengmu pingsan ketika dilempar ke situ."
Sepasang mata yang merah karena tangis itu mengeluarkan sinar berapi dan kedua tangan itu dikepal, "Aku harus bunuh mereka! Aku harus balaskan kematian Suheng! Kalau tidak, hidupku tidak ada artihya lagi. Kong-couw, sekarang juga aku akan cari mereka!" Dia sudah bangkit berdiri dan hendak pergi dari situ. Akan tetapi kakek itu memegang lengannya dan berkata dengan suara penuh wibawa, "Tahan dulu!"
Swat Hong memandang kakek itu dengan alis berkerut. "Mengapa engkau menghalangi niatku membalas dendam?"
"Melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa tanpa pertimbangan lebih dulu adalah perbuatan bodoh dan sikap yang ceroboh. Karena tidak mengukur kekuatan sendiri, Suhengmu telah membeli dengan nyawanya. Apakah perbuatan bodoh seperti itu hendak kau contoh pula? Aku mendengar keterangan dari si katai itu bahwa mereka itu bersama anak buahnya pergi ke utara, ke Telaga Utara untuk menggabungkan diri dengan pemberontak An Lu Shan. Kalau engkau menyusul ke utara, mana mungkin engkau seorang diri akan menghadapi mereka yang mempunyai pasukan ratusan ribu orang? Apakah kau hanya akan mengantar nyawa dengan sia-sia belaka di sana?"
"Aku tidak takut, Kong-couw!"
Kakek itu tersenyum. "Tentu saja tidak takut, akan tetapi bodoh kalau sampai begitu. Kau ini akan membalaskan kematian Suhengmu ataukah akan membunuh diri?"
Swat Hong sadar dan terkejut juga karena baru sekarang terbuka matanya bahwa dia hanya menuruti hati duka dan sakit. Dia menunduk dan berkata dengan lirih, "Aku harus membalaskan kematian Suheng, dan juga aku harus merampas kembali semua pusaka Pulau Es yang dilarikan The Kwat Lin untuk memenuhi pesan terakhir Ayahku."
"Baiklah, akan tetapi engkau tidak mungkin bisa melaksanakan tugas berat itu seorang diri saja. Marilah pergi bersamaku, aku sudah hafal akan keadaan di Telaga Utara dan biarlah aku yang akan menyelidiki di sana nanti." (Bersambung)
(dwi)