Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 21 Bagian 9
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
Banyak orang membantah, mengatakan bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan, tanpa cita-cita kita tidak akan maju. Apakah cita-cita itu? Apakah kemajuan itu?
Cita-cita adalah keinginan akan sesuatu yang belum terdapat oleh kita. Dan keinginan seperti ini merupakan dorongan nafsu yang tak mengenal kenyang, makin dituruti makin lapar dan haus, menghendaki yang lebih. Dan akhirnya akan sukar dibedakan lagi dengan ketamakan, kerakusan yang mendatangkan pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan.
Dan apakah kemajuan itu? Sudah menjadi pendapat umum bahwa kemajuan adalah keduniawian, harta benda, kedudukan, nama besar. Apakah "kemajuan" seperti ini mendatangkan kebahagiaan? Hanya mereka yang telah memiliki nama terkenal saja yang mampu menjawab, dan jawabannya pasti TIDAK! Bahkan sebaliknya malah.
Makin banyak kedudukan atau nama besar, makin ketat kita melekat kepada duniawi, makin banyak pula kesengsaraan hidup yang kita derita berupa kekecewaan, pertentangan dan kekhawatiran, Karena yang sudah pasti saja, hanya mereka yang masih memiliki lahir batin yang akan kehilangan! Dan kehilangan berarti kekecewaan, kedukaan dan sebelum terjadi kehilangan, kita digerogoti kekhawatiran.
Kembali kepada keadaan The Kwat Lin. Hasil yang dicapai sampai ke taraf itu disambut dengan pesta pora di dalam sebuah gedung besar, sebuah istana kepunyaan seorang pangeran yang telah dibunuh. The Kwat Lin mengadakan pesta besar dan mengundang banyak teman-teman para pembeaar di kota raja.
Amat meriah pesta yang diadakan di istana Pangeran Han Bu Ong itu. The Kwat Lin yang menyambut para tamu bersama puteranya, mengenakan pakaian yang amat mewah dan indah, pakaian yang sepatutnya dipakai oleh seorang ratu atau seorang ibu suri tulen. Ada pun Han Bu Ong yang biarpun masih belum dewasa namun bertubuh tinggi dan berwajah tampan itu mengenakan pakaian yang pantas pula lagi seorang pangeran tulen.
Biarpun An Lu Shan sendiri yang kini telah menjadi kaisar baru tidak datang dan hanya mengirim wakil karena dia sendiri sibuk merayakan kemenangannya, namun hampir semua pembantu An Lu Shan yang kini menjadi orang-orang berpangkat dan bangsawan baru itu memenuhi halaman istana yang luas.
Ratusan lampu penerangan membuat tempat itu terang benderang seperti siang hari saja, dan suasana menjadi gembira oleh suara tetabuhan yang menyambut datangnya para tamu yang berbondong-bondong.
Biasanya, kalau ada pembesar atau bangsawan mengadakan pesta, rakyat tentu bergerombol di luar untuk menonton. Akan tetapi pada waktu itu tidak nampak seorang pun karena pada waktu itu, rakyat penghuni ibu kota sedang dicekam ketakutan hebat.
Seperti biasa setelah perang berakhir, rakyatlah yang menjadi sasaran mereka yang memperoleh kemenangan. Para anggauta pasukan baru berkeliaran keluar masuk perkampungan, keluar masuk rumah orang seperti rumahnya sendiri, bahkan tidak jarang terjadi mereka memasuki kamar tidur orang seperti memasuki kamar tidur sendiri sambil menyeret nyonya rumah yang masih muda atau anak gadis mereka!
Seperti para atasannya yang mengadakan pesta besar-besaran, kaum rendahan juga berpesta dengan gayanya tersendiri. Seperti biasanya pula, penduduk hanya pandai menangis dan mengeluh mengadu kepada Thian sebagai hiburan satu-satunya.
Menjelang tengah malam, pesta masih amat ramai. Ouwyang Cin Cu sebagai seorang yang berkedudukan tinggi sekali sekarang, seorang koksu, datang juga hanya sekedar memberi selamat dan tidak tinggal lama. Akan tetapi para pengawal baru, tentu saja mereka yang berpangkat perwira ke atas, masih berpesta pora karena memang The Kwat Lin ingin mengambil hati para rekannya ini yang kelak dia harapkan bantuan mereka.
Bahkan ketika para tamu orang penting sudah meninggalkan tempat pesta dalam keadaan setengah mabok dan tempat itu mulai sepi. The Kwat Lin masih menahan para pembesar pengawal yang jumlahnya belasan orang itu untuk diajak berunding mengenai tugas mereka yang baru sebagai pengawal-pengawal istana, bahkan mereka merupakan dewan pimpinannya.
Lewat tengah malam, para tamu sudah pulang dan yang tinggal hanyalah empat belas orang pimpinan pengawal yang kini dijamu dan diajak berunding di ruangan dalam, adapun ruangan luar tempat pesta mulai dibersih-bersihkan oleh sejumlah pelayan yang kelihatan lelah dan mengantuk. (Bersambung)
Banyak orang membantah, mengatakan bahwa cita-cita mendatangkan kemajuan, tanpa cita-cita kita tidak akan maju. Apakah cita-cita itu? Apakah kemajuan itu?
Cita-cita adalah keinginan akan sesuatu yang belum terdapat oleh kita. Dan keinginan seperti ini merupakan dorongan nafsu yang tak mengenal kenyang, makin dituruti makin lapar dan haus, menghendaki yang lebih. Dan akhirnya akan sukar dibedakan lagi dengan ketamakan, kerakusan yang mendatangkan pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan.
Dan apakah kemajuan itu? Sudah menjadi pendapat umum bahwa kemajuan adalah keduniawian, harta benda, kedudukan, nama besar. Apakah "kemajuan" seperti ini mendatangkan kebahagiaan? Hanya mereka yang telah memiliki nama terkenal saja yang mampu menjawab, dan jawabannya pasti TIDAK! Bahkan sebaliknya malah.
Makin banyak kedudukan atau nama besar, makin ketat kita melekat kepada duniawi, makin banyak pula kesengsaraan hidup yang kita derita berupa kekecewaan, pertentangan dan kekhawatiran, Karena yang sudah pasti saja, hanya mereka yang masih memiliki lahir batin yang akan kehilangan! Dan kehilangan berarti kekecewaan, kedukaan dan sebelum terjadi kehilangan, kita digerogoti kekhawatiran.
Kembali kepada keadaan The Kwat Lin. Hasil yang dicapai sampai ke taraf itu disambut dengan pesta pora di dalam sebuah gedung besar, sebuah istana kepunyaan seorang pangeran yang telah dibunuh. The Kwat Lin mengadakan pesta besar dan mengundang banyak teman-teman para pembeaar di kota raja.
Amat meriah pesta yang diadakan di istana Pangeran Han Bu Ong itu. The Kwat Lin yang menyambut para tamu bersama puteranya, mengenakan pakaian yang amat mewah dan indah, pakaian yang sepatutnya dipakai oleh seorang ratu atau seorang ibu suri tulen. Ada pun Han Bu Ong yang biarpun masih belum dewasa namun bertubuh tinggi dan berwajah tampan itu mengenakan pakaian yang pantas pula lagi seorang pangeran tulen.
Biarpun An Lu Shan sendiri yang kini telah menjadi kaisar baru tidak datang dan hanya mengirim wakil karena dia sendiri sibuk merayakan kemenangannya, namun hampir semua pembantu An Lu Shan yang kini menjadi orang-orang berpangkat dan bangsawan baru itu memenuhi halaman istana yang luas.
Ratusan lampu penerangan membuat tempat itu terang benderang seperti siang hari saja, dan suasana menjadi gembira oleh suara tetabuhan yang menyambut datangnya para tamu yang berbondong-bondong.
Biasanya, kalau ada pembesar atau bangsawan mengadakan pesta, rakyat tentu bergerombol di luar untuk menonton. Akan tetapi pada waktu itu tidak nampak seorang pun karena pada waktu itu, rakyat penghuni ibu kota sedang dicekam ketakutan hebat.
Seperti biasa setelah perang berakhir, rakyatlah yang menjadi sasaran mereka yang memperoleh kemenangan. Para anggauta pasukan baru berkeliaran keluar masuk perkampungan, keluar masuk rumah orang seperti rumahnya sendiri, bahkan tidak jarang terjadi mereka memasuki kamar tidur orang seperti memasuki kamar tidur sendiri sambil menyeret nyonya rumah yang masih muda atau anak gadis mereka!
Seperti para atasannya yang mengadakan pesta besar-besaran, kaum rendahan juga berpesta dengan gayanya tersendiri. Seperti biasanya pula, penduduk hanya pandai menangis dan mengeluh mengadu kepada Thian sebagai hiburan satu-satunya.
Menjelang tengah malam, pesta masih amat ramai. Ouwyang Cin Cu sebagai seorang yang berkedudukan tinggi sekali sekarang, seorang koksu, datang juga hanya sekedar memberi selamat dan tidak tinggal lama. Akan tetapi para pengawal baru, tentu saja mereka yang berpangkat perwira ke atas, masih berpesta pora karena memang The Kwat Lin ingin mengambil hati para rekannya ini yang kelak dia harapkan bantuan mereka.
Bahkan ketika para tamu orang penting sudah meninggalkan tempat pesta dalam keadaan setengah mabok dan tempat itu mulai sepi. The Kwat Lin masih menahan para pembesar pengawal yang jumlahnya belasan orang itu untuk diajak berunding mengenai tugas mereka yang baru sebagai pengawal-pengawal istana, bahkan mereka merupakan dewan pimpinannya.
Lewat tengah malam, para tamu sudah pulang dan yang tinggal hanyalah empat belas orang pimpinan pengawal yang kini dijamu dan diajak berunding di ruangan dalam, adapun ruangan luar tempat pesta mulai dibersih-bersihkan oleh sejumlah pelayan yang kelihatan lelah dan mengantuk. (Bersambung)
(dwi)