Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 7 Bagian 1
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
OUW KONG EK dan semua penghuni Pulau Neraka merasa berterima kasih sekali kepada Sin Liong, apalagi setelah terbukti banyak penghuni yang sembuh dari penderitaan penyakit akibat keracunan setelah menggunakan obat-obat seperti yang ditunjuk oleh pemuda itu. Dia dianggap sebagai seorang dewa penolong mereka dan diperlakukan dengan sikap penuh hormat.
Setelah "terpaksa" tinggal di Pulau Neraka selama tiga bulan, akhirnya Swat Hong mendapatkan kenyataan bahwa Soan Cu adalah seorang remaja yang benar-benar tulus, jujur dan wajar sehingga mudah saja di antara mereka terjalin persahabatan yang akrab. Bahkan karena dara Pulau Neraka itu dengan terang-terangan tanpa dibuat-buat dan tanpa usaha menarik hati Sin Liong menyatakan suka dan cintanya kepada Sin Liong, Swat Hong menyambut pernyataan itu dengan hati terharu. Diam-diam dia menaruh hati kasihan kepada dara Pulau Neraka ini karena dia tahu bahwa hati suhengnya itu jauh daripada cinta! Suhengnya belum pernah mengacuhkan tentang hubungan di antara mereka, juga suhengnya sama sekali tidak kelihatan menaruh hati kepada Soan Cu. Dianggapnya suhengnya itu terlalu "dingin" dan sudah seringkali dia sendiri merasa kecewa melihat suhengnya sebagai seorang pemuda yang tidak ada semangat! Padahal dia sendiri belum yakin apakah dia mencinta suhengnya, sungguhpun dia merasa suka sekali kepada pemuda itu namun sebagai seorang dara remaja, tentu saja dia merasa tidak puas menyaksikan sikap pemuda yang "dingin" saja terhadapnya. Sebagai seorang wanita muda yang sehat dan normal, tentu saja Swat Hong juga ingin agar semua orang terutama kaum pria, memandangnya dengan kagum dan suka, bahkan dia pun seperti semua wanita di dunia ini agaknya, akan merasa bangga kalau semua orang laki-laki jatuh cinta kepadanya!
Hari keberangkatan mereka meninggalkan Pulau Neraka pun tibalah. Sin Liong dan Swat Hong diantar oleh semua penghuni Pulau Neraka sampai ke pantai, di mana telah tersedia sebuah perahu yang lengkap dengan layar, dayung, dan bekal makanan. Soan Cu mengantor dengan mata berlinang air mata. Semenjak tadi dara ini menangis, bahkan rewel kepada kakeknya hendak ikut pergi bersama Sin Liong dan Swat Hong.
"Hushhh, apakah kau gila?" demikian kakeknya menjawab. "Kau hendak ikut ke Pulau Es? Tidak tahukah kau bahwa semua penghuni Pulau Neraka dilarang menginjakkan kaki ke Pulau Es? Begitu kau tiba di sana, kau akan dijatuhi hukuman sebagai seorang pelanggar hukum!"
Juga Sin Liong dan Swat Hong melarang dengan alasan bahwa Swat Hong sendiri sedang menghadapi malapetaka, bahkan dia bersama suhengnya sedang berusaha mencari ibunya. Selama tiga bulan ini, Ouw Kong Ek sudah mengerahkan pembantunya untuk mencari Liu Bwee, bekas istri Raja Han Ti Ong, ke pulau-pulau kosong di sekitar Pulau Neraka, namun hasilnya sia-sia belaka. Tentu saja para penghuni Pulau Neraka yang mencari itu tidak berani terlalu mendekati Pulau Es.
Setelah perahu yang ditumpangi Sin Liong dan Swat Hong pergi jauh, Soan Cu menenjatuhkan dirinya menangis "Kong-kong, aku pun mau pergi dari sini. Aku tidak tahan lagi tinggal lebih lama di Pulau Neraka tanpa adanya mereka berdua! Aku harus pergi, aku harus pergi mencari Ayahku, seperti Swat Hong yang pergi mencari Ibunya!"
Kong-kongnya hanya menggeleng kepala, menghela napas dan menggandeng cucunya yang tercinta itu kembali ke tengah pulau. Hati orang tua ini khawatir sekali karena dia tahu bahwa cucunya telah mulai dewasa dan telah tergoda oleh cinta sehingga merasa tidak tahan lagi tinggal lebih lama di Pulau Neraka. Dia maklum bahwa agaknya takkan lama lagi cucunya itu tentu akan nekat meninggalkan pulau dan kalau hal yang dikhawatirkan itu terjadi, apalagi artinya hidup baginya di pulau itu? Puteranya telah lenyap dan satu-satunya orang yang selamanya ini membuat hidupnya berarti hanyalah Soan Cu.
***
Ketika perahu mereka mendarat di Pulau Es, Sin Liong dan Swit Hong saling pandang dengan hati berdebar. Mereka sudah menjelajahi seluruh pulau di sekitar Pulau Es untuk mencari ibu Swat Hong, namun sia-sia belaka. Akhirnya mereka mengambil keputuaan untuk kembali ke Pulau Es, dengan harapan mudah-mudahan ibu dara itu sudah kembali ke Pulau Es.
"Bagaimana kalau Ibu tidak di sana? Bukankah berarti bahwa aku telah melanggar janjiku untuk mewakill ibu yang dibuang ke Pulau Neraka?" Swat Hong bertanya ketika perahu mereka tadi sudah mendekati Pulau Es.
"Jangan khawatir, Sumoi. Suhu adalah Ayahmu sendiri dan betapapun marahnya, aku percaya bahwa Suhu akan dapat memaafkanmu. Aku percaya akan kebijaksanaan Suhu, dia bukanlah seorang yang berbudi rendah...."
"Tapi dia telah terkena racun yang hebat, racun yang seratus kali lebih kejam daripada racun yang paling jahat di Pulau Neraka! Dia telah terkena hasutan mulut wanita jahat itu...."
"Ssttt, Sumoi, jangan mempersulit keadaan dengan menyangka yang bukan-bukan. Sudahlah, kekhawatiranmu itu hanyalah permainan pikiran yang membayangkan hal yang belum terjadi. Singkirkan saja kekhawatiran kosong itu dan mari kita hadapi kenyataan. Percayalah, apa pun yang akan terjadi, aku tidak akan membiarkan engkau terancam bencana. Mari kita hadapi apa saja yang menimpa kita berdua."
"Suheng,,, betulkah? Betulkah kau akan membela dan melindungi aku?"
"Tentu saja, Sumoi."
"Menghadapi ayah sekalipun?"
"Menghadapi siapa saja karena aku yakin bahwa engkau tidak mempunyai kesalahan apa pun."
"Kalau begitu, aku menjadi besar hati, Suheng. Mari kita mendarat,"
Makin tegang hatinya dan juga terheran-heran ketika dia melihat betapa beberapa orang penghuni Pulau Es kebetulan berada di situ, segera berlari pergi menuju ke tengah pulau, bahkan tidak berhenti ketika dia dan suhengnya memanggil mereka.
Makin tidak enak mereka, namun dengan tenang Sin Liong lalu mengajak sumoinya untuk menuju ke Istana Pulau Es di tengah pulau itu menemui Raja Han Ti Ong dan bertanya tentang Liu Bwee. Tak lama kemudian, keduanya berhenti tiba-tiba ketika melihat raja itu sendiri berlari-lari datang bersama permaisuri dan pembantu-pembantu yang terpercaya. Tadinya Swat Hong merasa girang, wajahnya berseri karena dia mengira bahwa ayahnya datang menyambutnya dengan girang melihat dia pulang. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ayahnya sudah tiba di depan mereka, langsung Raja Han Ti Ong menudingkan telunjuknya ke arah mereka sambil membentak, "Manusia-manusia rendah! Kalian masih berani menginjakkan kaki di Pulau Es? Membikin kotor pulau ini? Keparat!"
"Ayah...!!"
"Suhu....!!"
"Plak! Plak!!" Tubuh Sin Liong dan Swat Hong terguling ketika tangan Raja itu dengan kecepatan kilat telah menampar mereka. Dengan alis berdiri Raja Han Ti Ong menudingkan telunjuknya bergantian ke arah muka dua orang muda yang menjadi kaget setengah mati dan merangkak bangun itu.
"Jangan sebut aku Ayah dan Suhu! Kalian berdua telah minggat dengan diam-diam, perbuatan yang tak tahu malu dan mengotorkan nama keluarga Han! Masih berani datang dan menyebut Ayah dan Suhu kepadaku? Huh!!"
"Ayahhhh.... apa... apa yang terjadi...? Mana Ibuku...?"
"Ibumu seorang yang hina, dan engkau anaknya pun tidak berbeda banyak!"
"Ayah...!"
"Diam! Dan minggat engkau dari sini sebelum kubunuh!"
"Ayah, kalau begitu bunuh saja aku! Aku tidak berdosa...!" Swat Hong yang berlutut itu menangis sesenggukan.
"Bagus! Kau minta mati?"
"Suhu...!!" Suara Sin Liong ini mengandung wibawa sedemikian hebatnya sehingga Han Ti Ong sendiri sampai terkejut menghentikan langkahnya yang hendak menghampiri puterinya. Sepasang mata Sin Liong mengeluarkan sinar yang luar biasa dan sejenak Han Ti Ong ragu-ragu. Teringatlah dia akan keadaan dahulu ketika anak ajaib ini menyuruhnya menolong The Kwat Lin, menyuruhnya berhenti untuk menguburkan mayat-mayat. Seperti itu pula kekuatan mujijat yang keluar dari sepasang mata itu. Sepasang mata yang sedikit pun tidak membayangkan takut, atau marah, atau kekerasan, hanya membayangkan yang mengharukan.
"Suhu, harap Suhu bersabar dulu. Menjatuhkan hukuman tanpa memberitahu kesalahan orang, sungguh tidak adil sekali, sungguhpun Sumoi adalah puteri Suhu sendiri."
Bangkit kembali kemarahan Han Ti Ong. "Sin Liong, bagus perbuatanmu, ya? Kau masih berpura-pura lagi? Dia pergi tanpa pamit, hal itu masih belum apa-apa, akan tetapi dia pergi lalu kau susul, bersamamu pergi sampai berbulan-bulan, pantaskah itu? Kalian tidak tahu malu, dan menodakan nama baik keluarga Kerajaan Han!"
Diam-diam Sin Liong terheran. Mengapa suhunya berubah seperti ini? Tentu saja dia tidak tahu betapa para keluarga raja yang membenci Liu Bwee telah menggunakan kesempatan selagi terjadi peristiwa penghukuman atas diri Liu Bwee itu untuk membakar hati raja ini, terutama sekali melalui mulut permaisuri!
"Ayah, jangan menuduh yang bukan-bukan. Aku memang pergi dan bertemu dengan Suheng, akan tetapi apakah salahnya dengan itu?"
"Hemm, apa, salahnya, ya? Tidak salahkah kalau seorang pemuda dan seorang dara berdua saja sampai hampir setengah tahun lamanya? Mungkinkah tidak akan terjadi apa-apa antara kalian, di tempat sunyi, hanya berdua saja! Hem... hemmm... siapa percaya tidak akan terjadi apa-apa yang kotor?" ucapan ini keluar dari mulut permaisuri, The Kwat Lin yang tersenyum mengejek.
"Ibu, kalau Enci Hong dan Suheng melakukan hubungan gelap, kawinkan saja mereka, mengapa ribut-ribut?" Tiba-tiba Bu Ong, putera raja yang baru berusia kurang lebih delapan tahun itu, berkata dengan suara nyaring.
"Hussshh! Tutup mulutmu!" Kwat Lin membentak puteranya yang segera cemberut, tapi memandang kepada Swat Hong dan Sin Liong dengan pandang mata mengejek.
Hampir saja Swat Hong tak dapat percaya akan apa yang didengarnya. Ayah dan ibu tirinya menuduh dia berjina dengan Sin Liong! Dengan dada sesak dan kemarahan yang meluap-luap, Swat Hong lupa diri dan meloncat bangun, menjerit dengan kata-kata yang seperti dilontarkan kepada ayahnya, "Ayah! Mengapa ada fitnah sekeji ini? Ayah, insyaflah, Ayah telah dikelabuhi, Ayah telah mabuk oleh rayuan...."
"Plak! Desss!!" Tubuh Swat Hong terlempar dan terguling-guling ketika terkena tamparan dan pukulan tangan ayahnya sendiri.
"Suhu, ini tidak adil sama sekali!"
"Plak! Desss!!" Tubuh Sin Liong juga terjungkal, akan tetapi pemuda ini sudah meloncat bangun kembali. Sedikit pun dia tidak merasa takut, bahkan kini dia memandang tajam kepada Han Ti Ong.
"Suhu, andaikata Suhu memukul teecu sampai mati sekalipun, sudah sepatutnya karena teecu hanyalah seorang murid yang telah menerima banyak kebaikan dari Suhu dan teecu rela membalasnya dengan nyawa. Akan tetapi, Sumoi adalah puteri Suhu sendiri, darah daging Suhu sendiri! Mengapa Suhu begitu tega? Di manakah rasa kasih di hati Suhu?"
"Keparat!" Han Ti Ong memaki dengan suara gemetar saking marahnya. Melihat betapa Sin Liong berani menentangnya untuk membela Swat Hong makin besar kepercayaannya akan desas-desus bahwa puterinya main gila dengan muridnya ini. "Kau mau raemberi kuliah kepadaku? Kalau dia orang lain, aku tidak akan peduli apa yang dilakukannya. Justru karena dia anakku dan aku cinta kepada anakku, maka aku perlu menghajarnya!"
"Hemmm, begitukah cinta di hati Suhu? Cinta Suhu siap untuk berubah menjadi kemarahan, kebencian yang meluap-luap karena Suhu merasa bahwa puteri Suhu tidak menyenangkan hati Suhu? Itu bukan cinta, Suhu! Suhu hanya mementingkan diri sendiri, kalau disenangkan hati Suhu, biar orang lain sekalipun akan Suhu perlakukan dengan baik, akan tetapi kalau hati Suhu dikecewakan, biar anak sendiri akan dibunuh!"
"Plak-plak! Desss...!" Kembali tubuh Sin Liong terjungkal dan kini darah mengucur dari mulut dan hidungnya.
"Suheng...! Ahhh, Ayah... jangan...!" Swat Hong sudah meloncat ke depan dan menubruk suhengnya.
"Anak durhaka, murid murtad! Desss!" kini Swat Hong yang mengeluh dan terjungkal terkena tendangan ayahnya yang sedang marah itu. Masih untung bagi mereka berdua bahwa Han Ti Ong hanya berniat menghajar dan menghukum, kalau berniat membunuh, tentu mereka berdua sudah tak bernyawa lagi. Saking marahnya, biarpun melihat murid dan puterinya sudah beberapa kali dihantam dan ditendangnya sampai mulut dan hidung mengeluarkan darah dan muka mereka bengkak-bengkak, Han Ti Ong masih saja menghajar mereka.
"Ongya, harap ampunkan mereka...." Tiba-tiba beberapa orang pembantu utama berlutut di depan Raja yang marah ini dan menyabarkan hatinya.
Han Ti Ong berdiri dengan napas terengah-engah, mata terbelalak dan muka merah sekali. Dia menjadi hampir putus napasnya making marahnya.
"Hemmm, mereka ini bocah-bocah kurang ajar yang layak dibunuh!" katanya.
"Ongya, sejak dahulu belum pernah ada hukuman dilaksanakan tanpa diadili lebih dulu, harap Ongya ingat akan keadilan Kerajaan Pulau Es yang sudah terkenal semenjak ratusan tahun," kata seorang pembantu yang sudah berusia lanjut. Han Ti Ong menghela napas panjang dan dia teringat. Sebetulnya, dia sedang berada dalam keadaan duka dan kecewa. Duka mengingat akan istrinya, Liu Bwee, yang kini menimbulkan penyesalan di dalam hatinya karena dia pun mulai meragukan kesalahan istri itu. Kecewa karena serangkaian peristiwa yang tidak menyenangkan hatinya, mengganggu ketenteraman hidupnya di Pulau Es.
"Anak durhaka, untung engkau belum kubunuh! Kau boleh membela diri, kalau memang masih ada yang akan kau katakan!"
Dengan tubuh sakit-sakit dan hampir pingsan, Sin Liong masih dapat membantu sumoinya, bangkit duduk, bahkan tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri, dia menyusuti peluh, air mata dan darah dari muka sumoinya, kemudian menarik sumoinya untuk berlutut di depan raja yang sedang marah itu.
"Sumoi, laporkanlah semuanya kepada Suhu..." bisiknya.
"Apa gunanya? Biarlah aku dibunuh! Biarlah, Ibu lenyap tak berbekas dan akan dibunuhnya... tentu akan puas hatinya... hu-hu-huuuuukkk...." Swat Hong menangis terisak-isak. Melihat keadaan puterinya ini, tersentuh juga rasa hati Raja Han Ti Ong.
"Sin Liong, hayo ceritakan apa yang terjadi! Kami semua menuduh kalian berdua selama berbulan-bulan dan tentu kalian telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Mengakulah! Awas, kalau kau membohong, akan kubunuh kau sekarang juga!"
"Suhu boleh membunuh teecu kalau teecu berbohong. Bahkan kalau teecu tidak membohong sekalipun, teecu menyerahkan nyawa teecu kepada Suhu. Sebetulnya, ketika melihat Sumoi pergi membuang diri ke Pulau Neraka dan melihat Subo juga pergi, teecu merasa kasihan dan berkhawatir sekali. Maka teecu diam-diam lalu mengejar dan menyusul ke Pulau Neraka." Kemudian dengan panjang lebar dan jelas Sin Liong menceritakan semua pengalaman mereka di Pulau Neraka dan mengapa mereka sampai berbulan-bulan berada di pulau itu.
Berkerut Raja Han Ti Ong. Di lubuk hatinya, dia percaya kepada mundnya ini. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat membohong dengan sikap seperti yang diperlihatkan muridnya. Tidak, tentu muridnya tidak berbohong. Akan tetapi hatinya masih marah dan ia makin marah ketika mendengar betapa Pulau Neraka telah berani menahan puterinya sebagai sandera!
"Swat Hong! Benarkah cerita Sin Liong?" bentaknya kepada dara yang masih menangis sesenggukan itu.
"Apa gunanya Ayah bertanya kepadaku? Lebih baik Ayah menyelidiki sendiri ke Pulau Neraka. Kalau aku dan Suheng berbohong, boleh bunuh seribu kali juga tidak apa." Memang sejak dahulu Swat Hong bersikap manja kepada ayah bundanya, pula dia memiliki watak keras, tidak takut mati, maka dalam keadaan seperti itu pun dia bersikap berani dan menantang!
"Siapkan pasukan, tiga puluh orang untuk ikut bersamaku ke Pulau Neraka!" Raja itu memerintah kepada pembantunya dengan suara marah dan pada hari itu juga dia berangkat bersama tiga puluh orang pasukan menuju ke Pulau Neraka!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya para penghuni Pulau Neraka ketika diserbu oleh pasukan Pulau Es yang dipimpin oleh Raja Han Ti Ong sendiri! Ouw Kong Ek sendiri yang maju dan berusaha melawan, dalam belasan jurus saja telah dirobohkan dan dipaksa menceritakan apa yang terjadi ketika puteri Raja Pulau Es itu berada di Pulau Neraka.
Dengan kebencian dan dendam yang makin mendalam, Ouw Kong Ek menceritakan keadaan sebenarnya, tepat seperti yang telah didengar oleh Han Ti Ong dari mulut Sin Liong. Maka mulailah raja ini merasa menyesal mengapa dia telah terburu nafsu menghajar, bahkan hampir saja membunuh Sin Liong dan Swat Hong yang sebetulnya tidak berdosa. Mulailah dia teringat bahwa kemarahannya itu timbul karena bujukan dan kata-kata yang membakar dari permaisurinya. Dia menjadi marah sekali dan kemarahannya itu dia lampiaskan di Pulau Neraka. Pulau itu diobrak-abrik, sebagai hukuman telah berani menahan puterinya. Bahkan kitab catatan Sin Liong tentang racun dan pengobatannya, dihancurkan dan dibakarnya! Setelah puas melampiaskan kemarahannya, Han Ti Ong memimpin pasukannya meninggalkan Pulau Neraka, meninggalkan para penghuni yang banyak menderita luka lahir batin itu dan Raja ini telah menanamkan dendam yang makin menghebat di dalam hati para penghuni Pulau Neraka.
Sepekan kemudian, barulah rombongan Han Ti Ong tiba kembali di Pulau Es dan wajah Raja ini seketika pucat setelah dia mendengar berita yang lebih hebat dan mengejutkan lagi, yaitu bahwa sehari setelah dia dan pasukannya berangkat, permaisuri dan pangeran telah pergi meninggalkan Pulau Es! Dan sampai sekarang ibu dan anak itu belum pulang. Makin terpukul lagi batin Raja Han Ti Ong ketika dia mendapat kenyataan bahwa kitab-kitab pusaka Pulau Es telah lenyap, berikut banyak harta benda berupa emas dan permata yang disimpan di dalam kamarnya! Hampir saja dia roboh pingsan mendapatkan kenyataan bahwa permaisurinya, The Kwat Lin, gadis yang ditolongnya itu, ternyata telah berkhianat!
"Mengapa tidak kalian larang mereka pergi? Mengapa? Sin Liong, engkau muridku, mengapa kau mendiamkan saja pergi membawa pusaka-pusaka kita?" Dalam bingung dan marahnya dia menegur Sin Liong.
"Suhu, Subo pergi hanya memberi tahu bahwa Subo bersama Sute hendak menyusul ke Pulau Neraka. Siapa yang berani menghalangi Subo? Kami semua tidak ada yang mengira bahwa Subo takkan kembali, dan tidak ada yang tahu bahwa Subo membawa sesuatu, harap maafkan teecu."
Han Ti Ong membanting-banting kakinya, lalu berlari memasuki kembali istana setelah tadi dia memeriksa dan melihat kehilangan pusaka Pulau Es. Ketika dia memanggil dua orang muda itu menghadap, Sin Liong dan Swat Hong melihat perubahan hebat terjadi pada diri raja Sakti ini. Wajahnya menjadi suram dan gelap, sepasang mata yang biasanya bersinar dan berpengaruh itu, menjadi redup seperti lampu kekurangan minyak. Dan rambut yang tadinya hanya sedikit putihnya, mendadak berubah hampir seluruhnya, dan suaranya tidak bersemangat ketika berkata, "Sin Liong..., Swat Hong..., kalian ampunkan aku...."
"Suhu,.!" Sin Liong berlutut dan menundukkan muka.
"Ayah.... jangan berkata begitu, Ayah..,!" Swat Hong meloncat dan menubruknya.
Ayah dan anak itu saling rangkul dan Sin Liong makin menundukkan mukanya ketika mendengar suhunya menangis! Suhunya, Raja Han Ti Ong yang sakti seperti dewa itu, kini menangis mengguguk seperti anak kecil! Setelah Han Ti Ong dapat menguasai kembali hatinya, dia mencium dahi puterinya dan menyuruhnya duduk kembali. Swat Hong menyusuti air matanya dan berlutut di dekat Sin Liong.
"Aku telah berdosa. Sekarang baru aku tahu... aku telah berdosa. Mungkin sekali... tidak, aku yakin sekarang, bahwa Ibu Swat Hong tidak bersalah apa-apa, hanya terkena fitnah.. aih, apa yang telah kulakukan? Dan aku hampir saja membunuhmu, Sin Liong, dan kau Swat Hong anakku. Orang macam apa aku ini? Dan aku mengaku cinta kepada anakku? Huh, huh, engkau benar, Sin Liong. Tidak ada cinta di dalam hatiku yang kotor, yang ada hanya nafsu berahi sehingga mudah saja aku dipermainkan oleh wanita itu. Aihhhh... kalian maafkan aku. Swat Hong, hanya satu pesanku kepadamu, anakku. Kau... kau menjadilah jodoh Sin Liong. Jadilah kalian suami istri, baru akan terobati hatiku...."
"Suhu...!"
"Ayah...!"
"Muridku... anakku..., maukah kalian melegakan hatiku? Aku ingin menebus kesalahanku... aku ingin melihat kalian menjadi suami istri, kalian anak-anak malang...."
"Suhu, teecu mohon ampun. Teecu... tidak ada dalam hati teecu untuk memikirkan soal jodoh...."
"Ayah, mengenai jodoh tidak dapat ditentukan begitu saja. Biarkan kami menentukannya sendiri...."
Han Ti Ong menarik napas panjang, memejamkan mata sebentar, kemudian bangkit berdiri, membalikkan tubuh dan berjalan memasuki kamarnya meninggalkan dua orang muda yang masih berlutut itu. Semenjak saat itu, sampai berhari-hari lamanya, Raja itu tidak pernah keluar dari kamarnya sehingga membuat gelisah semua pembantunya. Keadaan di Pulau Es tidak seperti biasa, semua penghuni dapat merasakan ini. Semenjak terjadinya peristiwa yang memalukan dan menyedihkan menimpa keluarga Raja Han Ti Ong, keadaan Pulau Es sunyi dan semua wajah para penghuni kelihatan muram. Bahkan cuaca juga seolah-olah berubah suram, seringkali malah menjadi gelap oleh mendung tebal. Hati semua orang merasa gelisah tanpa mereka ketahui sebabnya, seolah-olah merupakan tanda rahasia bahwa akan terjadi hal-hal yang lebih hebat lagi.
Peristiwa menyedihkan yang menimpa Han Ti Ong bisa menimpa diri setiap orang, dan memang kita sebagai manusia hidup selalu terlupa bahwa mengejar kesenangan sama artinya dengan memanggil kesengsaraan!
Kita hidup dibuai khayal akan keadaan yang lebih baik, lebih menyenangkan daripada keadaan seperti apa adanya. Kita tidak pernah membuka mata, tidak pernah menghayati keadaan saat ini, tidak dapat melihat bahwa saat ini mencakup segala keindahan. Dengan membandingkan keadaan kita dengan keadaan lain, kita selalu menganggap bahwa keadaan buruk tidak menyenangkan, dan kita selalu memandang jauh ke depan, mencari-cari dan mengkhayalkan yang tidak ada, keadaan yang kita anggap lebih menyenangkan. Karena kebodohan kita inilah maka kita hidup dikejar-kejar oleh kebutuhan setiap saat, detik demi detik kita mengejar kebutuhan. Kebutuhan adalah keinginan akan sesuatu yang belum tercapai, yang kita kejar-kejar. Lupa bahwa kalau yang satu itu dapat tercapai, di depan masih menanti seribu yang lain yang akan menjadi keinginan dan kebutuhan kita selanjutnya. Maka, berbahagialah dia yang tidak membutuhkan apa-apa! Bukan berarti menolak segala kesenangan, melainkan tidak mengejar apa-apa sehingga kalau ada sesuatu yang datang menimpa diri, bukan lagi merupakan kesenangan atau kesusahan, melainkan dihadapi sebagai sesuatu yang sudah wajar dan semestinya sehingga tampaklah keindahan yang murni!
Demikian pula keadaan Raja Han Ti Ong. Dia seorang yang sakti dan bijaksana namun tiba saatnya dia lengah dan menganggap bahwa dia menemukan kebahagiaan dalam diri The Kwat Lin. Padahal yang dia temukan hanyalah kesenangan yang timbul dari kenikmatan badani, dari terpuaskannya nafsu. Dia seolah-olah hidup di alam khayal, di alam mimpi. Setelah dia sadar dari mimpi, terasa bahwa yang manis menjadi pahit bukan main, baru sadar bahwa perubahan dari senang ke susah sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan! Dan memanglah, suka dan duka hanyalah dwi-muka (kedua muka) dari sebuah tangan yang sama!
***
Perahu kecil itu terayun-ayun ke kanan kiri seperti menari-nari karena tidak dikuasai oleh layar maupun dayung, melainkan sepenuhnya dikuasai oleh air laut yang tenang. Dua orang yang duduk di perahu itu. seperti dua buah arca, diam dan pandang mata mereka melayang jauh ke kaki langit, melayang-layang di permukaan laut seperti mencari-cari sesuatu yang hilang. Dan memang pikiran Sin Liong dan Swat Hong, dua orang di perahu itu, sedang mencari-cari jawaban pertanyaan hati mereka sendiri. Pulau Es hanya kelihatan sebagai sebuah garis mendatar putih dekat kaki langit. Mereka berangkat pagi-pagi meninggalkan Pulau Es, setelah tiba di tempat jauh yang sunyi ini, mereka menggulung layar dan membiarkan perahu mereka dibuai gelombang kecil. Mereka sudah lama berdiam diri seperti itu, dibuai oleh lamunan masing-masing, lamunan yang timbul karena keadaan di Pulau Es yang menyedihkan.
"Suheng...." Suara panggilan Swat Hong ini lirih saja, namun karena sejak tadi mereka tidak mendengar suara apa-apa, maka suara panggilan ini seolah-olah mengandung getaran hebat yang memenuhi seluruh ruang kesunyian.
Sin Liong menoleh dan dia pun seolah-olah baru sadar dari alam mimpi.
"Hemmmm...?" jawabannya masih ragu-ragu.
"Suheng mengajakku meninggalkan pulau dan seteiah tiba di sini, mengapa Suheng tidak lekas bicara melainkan melamun saja?"
"Aku terpesona akan keindahan alam yang sunyi ini, Sumoi...."
"Aku pun tadi terseret, Suheng. Akan tetapi melihat batu karang menonjol di depan itu, aku tersadar. Apakah aku akan menjadi setua batu karang itu yang kerjanya hanya termenung di tempat sunyi! Suheng, kau tadi bilang bahwa untuk membicarakan urusan kita, engkau mengajakku ke tengah laut. Mengapa?"
"Engkau sudah mengerti sendiri. Fitnah yang dilontarkan kepada kita, bahwa ada terjadi sesuatu yang rendah di antara kita, membuat aku merasa tidak enak kalau mengajak kau bicara berdua saja di tempat sunyi di atas pulau itu. Dapat menimbulkan prasangka yang bukan-bukan. Karena itulah maka kuajak ke sini, agar kita dapat bicara dengan tenang dari hati ke hati tanpa ada yang mendengar dan melihat. Pula, kuharap di tempat yang sunyi ini, yang membuat kita seolah-olah berada di dalam alam lain, kita akan menemukan ilham...."
OUW KONG EK dan semua penghuni Pulau Neraka merasa berterima kasih sekali kepada Sin Liong, apalagi setelah terbukti banyak penghuni yang sembuh dari penderitaan penyakit akibat keracunan setelah menggunakan obat-obat seperti yang ditunjuk oleh pemuda itu. Dia dianggap sebagai seorang dewa penolong mereka dan diperlakukan dengan sikap penuh hormat.
Setelah "terpaksa" tinggal di Pulau Neraka selama tiga bulan, akhirnya Swat Hong mendapatkan kenyataan bahwa Soan Cu adalah seorang remaja yang benar-benar tulus, jujur dan wajar sehingga mudah saja di antara mereka terjalin persahabatan yang akrab. Bahkan karena dara Pulau Neraka itu dengan terang-terangan tanpa dibuat-buat dan tanpa usaha menarik hati Sin Liong menyatakan suka dan cintanya kepada Sin Liong, Swat Hong menyambut pernyataan itu dengan hati terharu. Diam-diam dia menaruh hati kasihan kepada dara Pulau Neraka ini karena dia tahu bahwa hati suhengnya itu jauh daripada cinta! Suhengnya belum pernah mengacuhkan tentang hubungan di antara mereka, juga suhengnya sama sekali tidak kelihatan menaruh hati kepada Soan Cu. Dianggapnya suhengnya itu terlalu "dingin" dan sudah seringkali dia sendiri merasa kecewa melihat suhengnya sebagai seorang pemuda yang tidak ada semangat! Padahal dia sendiri belum yakin apakah dia mencinta suhengnya, sungguhpun dia merasa suka sekali kepada pemuda itu namun sebagai seorang dara remaja, tentu saja dia merasa tidak puas menyaksikan sikap pemuda yang "dingin" saja terhadapnya. Sebagai seorang wanita muda yang sehat dan normal, tentu saja Swat Hong juga ingin agar semua orang terutama kaum pria, memandangnya dengan kagum dan suka, bahkan dia pun seperti semua wanita di dunia ini agaknya, akan merasa bangga kalau semua orang laki-laki jatuh cinta kepadanya!
Hari keberangkatan mereka meninggalkan Pulau Neraka pun tibalah. Sin Liong dan Swat Hong diantar oleh semua penghuni Pulau Neraka sampai ke pantai, di mana telah tersedia sebuah perahu yang lengkap dengan layar, dayung, dan bekal makanan. Soan Cu mengantor dengan mata berlinang air mata. Semenjak tadi dara ini menangis, bahkan rewel kepada kakeknya hendak ikut pergi bersama Sin Liong dan Swat Hong.
"Hushhh, apakah kau gila?" demikian kakeknya menjawab. "Kau hendak ikut ke Pulau Es? Tidak tahukah kau bahwa semua penghuni Pulau Neraka dilarang menginjakkan kaki ke Pulau Es? Begitu kau tiba di sana, kau akan dijatuhi hukuman sebagai seorang pelanggar hukum!"
Juga Sin Liong dan Swat Hong melarang dengan alasan bahwa Swat Hong sendiri sedang menghadapi malapetaka, bahkan dia bersama suhengnya sedang berusaha mencari ibunya. Selama tiga bulan ini, Ouw Kong Ek sudah mengerahkan pembantunya untuk mencari Liu Bwee, bekas istri Raja Han Ti Ong, ke pulau-pulau kosong di sekitar Pulau Neraka, namun hasilnya sia-sia belaka. Tentu saja para penghuni Pulau Neraka yang mencari itu tidak berani terlalu mendekati Pulau Es.
Setelah perahu yang ditumpangi Sin Liong dan Swat Hong pergi jauh, Soan Cu menenjatuhkan dirinya menangis "Kong-kong, aku pun mau pergi dari sini. Aku tidak tahan lagi tinggal lebih lama di Pulau Neraka tanpa adanya mereka berdua! Aku harus pergi, aku harus pergi mencari Ayahku, seperti Swat Hong yang pergi mencari Ibunya!"
Kong-kongnya hanya menggeleng kepala, menghela napas dan menggandeng cucunya yang tercinta itu kembali ke tengah pulau. Hati orang tua ini khawatir sekali karena dia tahu bahwa cucunya telah mulai dewasa dan telah tergoda oleh cinta sehingga merasa tidak tahan lagi tinggal lebih lama di Pulau Neraka. Dia maklum bahwa agaknya takkan lama lagi cucunya itu tentu akan nekat meninggalkan pulau dan kalau hal yang dikhawatirkan itu terjadi, apalagi artinya hidup baginya di pulau itu? Puteranya telah lenyap dan satu-satunya orang yang selamanya ini membuat hidupnya berarti hanyalah Soan Cu.
***
Ketika perahu mereka mendarat di Pulau Es, Sin Liong dan Swit Hong saling pandang dengan hati berdebar. Mereka sudah menjelajahi seluruh pulau di sekitar Pulau Es untuk mencari ibu Swat Hong, namun sia-sia belaka. Akhirnya mereka mengambil keputuaan untuk kembali ke Pulau Es, dengan harapan mudah-mudahan ibu dara itu sudah kembali ke Pulau Es.
"Bagaimana kalau Ibu tidak di sana? Bukankah berarti bahwa aku telah melanggar janjiku untuk mewakill ibu yang dibuang ke Pulau Neraka?" Swat Hong bertanya ketika perahu mereka tadi sudah mendekati Pulau Es.
"Jangan khawatir, Sumoi. Suhu adalah Ayahmu sendiri dan betapapun marahnya, aku percaya bahwa Suhu akan dapat memaafkanmu. Aku percaya akan kebijaksanaan Suhu, dia bukanlah seorang yang berbudi rendah...."
"Tapi dia telah terkena racun yang hebat, racun yang seratus kali lebih kejam daripada racun yang paling jahat di Pulau Neraka! Dia telah terkena hasutan mulut wanita jahat itu...."
"Ssttt, Sumoi, jangan mempersulit keadaan dengan menyangka yang bukan-bukan. Sudahlah, kekhawatiranmu itu hanyalah permainan pikiran yang membayangkan hal yang belum terjadi. Singkirkan saja kekhawatiran kosong itu dan mari kita hadapi kenyataan. Percayalah, apa pun yang akan terjadi, aku tidak akan membiarkan engkau terancam bencana. Mari kita hadapi apa saja yang menimpa kita berdua."
"Suheng,,, betulkah? Betulkah kau akan membela dan melindungi aku?"
"Tentu saja, Sumoi."
"Menghadapi ayah sekalipun?"
"Menghadapi siapa saja karena aku yakin bahwa engkau tidak mempunyai kesalahan apa pun."
"Kalau begitu, aku menjadi besar hati, Suheng. Mari kita mendarat,"
Makin tegang hatinya dan juga terheran-heran ketika dia melihat betapa beberapa orang penghuni Pulau Es kebetulan berada di situ, segera berlari pergi menuju ke tengah pulau, bahkan tidak berhenti ketika dia dan suhengnya memanggil mereka.
Makin tidak enak mereka, namun dengan tenang Sin Liong lalu mengajak sumoinya untuk menuju ke Istana Pulau Es di tengah pulau itu menemui Raja Han Ti Ong dan bertanya tentang Liu Bwee. Tak lama kemudian, keduanya berhenti tiba-tiba ketika melihat raja itu sendiri berlari-lari datang bersama permaisuri dan pembantu-pembantu yang terpercaya. Tadinya Swat Hong merasa girang, wajahnya berseri karena dia mengira bahwa ayahnya datang menyambutnya dengan girang melihat dia pulang. Akan tetapi betapa kagetnya ketika ayahnya sudah tiba di depan mereka, langsung Raja Han Ti Ong menudingkan telunjuknya ke arah mereka sambil membentak, "Manusia-manusia rendah! Kalian masih berani menginjakkan kaki di Pulau Es? Membikin kotor pulau ini? Keparat!"
"Ayah...!!"
"Suhu....!!"
"Plak! Plak!!" Tubuh Sin Liong dan Swat Hong terguling ketika tangan Raja itu dengan kecepatan kilat telah menampar mereka. Dengan alis berdiri Raja Han Ti Ong menudingkan telunjuknya bergantian ke arah muka dua orang muda yang menjadi kaget setengah mati dan merangkak bangun itu.
"Jangan sebut aku Ayah dan Suhu! Kalian berdua telah minggat dengan diam-diam, perbuatan yang tak tahu malu dan mengotorkan nama keluarga Han! Masih berani datang dan menyebut Ayah dan Suhu kepadaku? Huh!!"
"Ayahhhh.... apa... apa yang terjadi...? Mana Ibuku...?"
"Ibumu seorang yang hina, dan engkau anaknya pun tidak berbeda banyak!"
"Ayah...!"
"Diam! Dan minggat engkau dari sini sebelum kubunuh!"
"Ayah, kalau begitu bunuh saja aku! Aku tidak berdosa...!" Swat Hong yang berlutut itu menangis sesenggukan.
"Bagus! Kau minta mati?"
"Suhu...!!" Suara Sin Liong ini mengandung wibawa sedemikian hebatnya sehingga Han Ti Ong sendiri sampai terkejut menghentikan langkahnya yang hendak menghampiri puterinya. Sepasang mata Sin Liong mengeluarkan sinar yang luar biasa dan sejenak Han Ti Ong ragu-ragu. Teringatlah dia akan keadaan dahulu ketika anak ajaib ini menyuruhnya menolong The Kwat Lin, menyuruhnya berhenti untuk menguburkan mayat-mayat. Seperti itu pula kekuatan mujijat yang keluar dari sepasang mata itu. Sepasang mata yang sedikit pun tidak membayangkan takut, atau marah, atau kekerasan, hanya membayangkan yang mengharukan.
"Suhu, harap Suhu bersabar dulu. Menjatuhkan hukuman tanpa memberitahu kesalahan orang, sungguh tidak adil sekali, sungguhpun Sumoi adalah puteri Suhu sendiri."
Bangkit kembali kemarahan Han Ti Ong. "Sin Liong, bagus perbuatanmu, ya? Kau masih berpura-pura lagi? Dia pergi tanpa pamit, hal itu masih belum apa-apa, akan tetapi dia pergi lalu kau susul, bersamamu pergi sampai berbulan-bulan, pantaskah itu? Kalian tidak tahu malu, dan menodakan nama baik keluarga Kerajaan Han!"
Diam-diam Sin Liong terheran. Mengapa suhunya berubah seperti ini? Tentu saja dia tidak tahu betapa para keluarga raja yang membenci Liu Bwee telah menggunakan kesempatan selagi terjadi peristiwa penghukuman atas diri Liu Bwee itu untuk membakar hati raja ini, terutama sekali melalui mulut permaisuri!
"Ayah, jangan menuduh yang bukan-bukan. Aku memang pergi dan bertemu dengan Suheng, akan tetapi apakah salahnya dengan itu?"
"Hemm, apa, salahnya, ya? Tidak salahkah kalau seorang pemuda dan seorang dara berdua saja sampai hampir setengah tahun lamanya? Mungkinkah tidak akan terjadi apa-apa antara kalian, di tempat sunyi, hanya berdua saja! Hem... hemmm... siapa percaya tidak akan terjadi apa-apa yang kotor?" ucapan ini keluar dari mulut permaisuri, The Kwat Lin yang tersenyum mengejek.
"Ibu, kalau Enci Hong dan Suheng melakukan hubungan gelap, kawinkan saja mereka, mengapa ribut-ribut?" Tiba-tiba Bu Ong, putera raja yang baru berusia kurang lebih delapan tahun itu, berkata dengan suara nyaring.
"Hussshh! Tutup mulutmu!" Kwat Lin membentak puteranya yang segera cemberut, tapi memandang kepada Swat Hong dan Sin Liong dengan pandang mata mengejek.
Hampir saja Swat Hong tak dapat percaya akan apa yang didengarnya. Ayah dan ibu tirinya menuduh dia berjina dengan Sin Liong! Dengan dada sesak dan kemarahan yang meluap-luap, Swat Hong lupa diri dan meloncat bangun, menjerit dengan kata-kata yang seperti dilontarkan kepada ayahnya, "Ayah! Mengapa ada fitnah sekeji ini? Ayah, insyaflah, Ayah telah dikelabuhi, Ayah telah mabuk oleh rayuan...."
"Plak! Desss!!" Tubuh Swat Hong terlempar dan terguling-guling ketika terkena tamparan dan pukulan tangan ayahnya sendiri.
"Suhu, ini tidak adil sama sekali!"
"Plak! Desss!!" Tubuh Sin Liong juga terjungkal, akan tetapi pemuda ini sudah meloncat bangun kembali. Sedikit pun dia tidak merasa takut, bahkan kini dia memandang tajam kepada Han Ti Ong.
"Suhu, andaikata Suhu memukul teecu sampai mati sekalipun, sudah sepatutnya karena teecu hanyalah seorang murid yang telah menerima banyak kebaikan dari Suhu dan teecu rela membalasnya dengan nyawa. Akan tetapi, Sumoi adalah puteri Suhu sendiri, darah daging Suhu sendiri! Mengapa Suhu begitu tega? Di manakah rasa kasih di hati Suhu?"
"Keparat!" Han Ti Ong memaki dengan suara gemetar saking marahnya. Melihat betapa Sin Liong berani menentangnya untuk membela Swat Hong makin besar kepercayaannya akan desas-desus bahwa puterinya main gila dengan muridnya ini. "Kau mau raemberi kuliah kepadaku? Kalau dia orang lain, aku tidak akan peduli apa yang dilakukannya. Justru karena dia anakku dan aku cinta kepada anakku, maka aku perlu menghajarnya!"
"Hemmm, begitukah cinta di hati Suhu? Cinta Suhu siap untuk berubah menjadi kemarahan, kebencian yang meluap-luap karena Suhu merasa bahwa puteri Suhu tidak menyenangkan hati Suhu? Itu bukan cinta, Suhu! Suhu hanya mementingkan diri sendiri, kalau disenangkan hati Suhu, biar orang lain sekalipun akan Suhu perlakukan dengan baik, akan tetapi kalau hati Suhu dikecewakan, biar anak sendiri akan dibunuh!"
"Plak-plak! Desss...!" Kembali tubuh Sin Liong terjungkal dan kini darah mengucur dari mulut dan hidungnya.
"Suheng...! Ahhh, Ayah... jangan...!" Swat Hong sudah meloncat ke depan dan menubruk suhengnya.
"Anak durhaka, murid murtad! Desss!" kini Swat Hong yang mengeluh dan terjungkal terkena tendangan ayahnya yang sedang marah itu. Masih untung bagi mereka berdua bahwa Han Ti Ong hanya berniat menghajar dan menghukum, kalau berniat membunuh, tentu mereka berdua sudah tak bernyawa lagi. Saking marahnya, biarpun melihat murid dan puterinya sudah beberapa kali dihantam dan ditendangnya sampai mulut dan hidung mengeluarkan darah dan muka mereka bengkak-bengkak, Han Ti Ong masih saja menghajar mereka.
"Ongya, harap ampunkan mereka...." Tiba-tiba beberapa orang pembantu utama berlutut di depan Raja yang marah ini dan menyabarkan hatinya.
Han Ti Ong berdiri dengan napas terengah-engah, mata terbelalak dan muka merah sekali. Dia menjadi hampir putus napasnya making marahnya.
"Hemmm, mereka ini bocah-bocah kurang ajar yang layak dibunuh!" katanya.
"Ongya, sejak dahulu belum pernah ada hukuman dilaksanakan tanpa diadili lebih dulu, harap Ongya ingat akan keadilan Kerajaan Pulau Es yang sudah terkenal semenjak ratusan tahun," kata seorang pembantu yang sudah berusia lanjut. Han Ti Ong menghela napas panjang dan dia teringat. Sebetulnya, dia sedang berada dalam keadaan duka dan kecewa. Duka mengingat akan istrinya, Liu Bwee, yang kini menimbulkan penyesalan di dalam hatinya karena dia pun mulai meragukan kesalahan istri itu. Kecewa karena serangkaian peristiwa yang tidak menyenangkan hatinya, mengganggu ketenteraman hidupnya di Pulau Es.
"Anak durhaka, untung engkau belum kubunuh! Kau boleh membela diri, kalau memang masih ada yang akan kau katakan!"
Dengan tubuh sakit-sakit dan hampir pingsan, Sin Liong masih dapat membantu sumoinya, bangkit duduk, bahkan tidak mempedulikan keadaan dirinya sendiri, dia menyusuti peluh, air mata dan darah dari muka sumoinya, kemudian menarik sumoinya untuk berlutut di depan raja yang sedang marah itu.
"Sumoi, laporkanlah semuanya kepada Suhu..." bisiknya.
"Apa gunanya? Biarlah aku dibunuh! Biarlah, Ibu lenyap tak berbekas dan akan dibunuhnya... tentu akan puas hatinya... hu-hu-huuuuukkk...." Swat Hong menangis terisak-isak. Melihat keadaan puterinya ini, tersentuh juga rasa hati Raja Han Ti Ong.
"Sin Liong, hayo ceritakan apa yang terjadi! Kami semua menuduh kalian berdua selama berbulan-bulan dan tentu kalian telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh. Mengakulah! Awas, kalau kau membohong, akan kubunuh kau sekarang juga!"
"Suhu boleh membunuh teecu kalau teecu berbohong. Bahkan kalau teecu tidak membohong sekalipun, teecu menyerahkan nyawa teecu kepada Suhu. Sebetulnya, ketika melihat Sumoi pergi membuang diri ke Pulau Neraka dan melihat Subo juga pergi, teecu merasa kasihan dan berkhawatir sekali. Maka teecu diam-diam lalu mengejar dan menyusul ke Pulau Neraka." Kemudian dengan panjang lebar dan jelas Sin Liong menceritakan semua pengalaman mereka di Pulau Neraka dan mengapa mereka sampai berbulan-bulan berada di pulau itu.
Berkerut Raja Han Ti Ong. Di lubuk hatinya, dia percaya kepada mundnya ini. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat membohong dengan sikap seperti yang diperlihatkan muridnya. Tidak, tentu muridnya tidak berbohong. Akan tetapi hatinya masih marah dan ia makin marah ketika mendengar betapa Pulau Neraka telah berani menahan puterinya sebagai sandera!
"Swat Hong! Benarkah cerita Sin Liong?" bentaknya kepada dara yang masih menangis sesenggukan itu.
"Apa gunanya Ayah bertanya kepadaku? Lebih baik Ayah menyelidiki sendiri ke Pulau Neraka. Kalau aku dan Suheng berbohong, boleh bunuh seribu kali juga tidak apa." Memang sejak dahulu Swat Hong bersikap manja kepada ayah bundanya, pula dia memiliki watak keras, tidak takut mati, maka dalam keadaan seperti itu pun dia bersikap berani dan menantang!
"Siapkan pasukan, tiga puluh orang untuk ikut bersamaku ke Pulau Neraka!" Raja itu memerintah kepada pembantunya dengan suara marah dan pada hari itu juga dia berangkat bersama tiga puluh orang pasukan menuju ke Pulau Neraka!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya para penghuni Pulau Neraka ketika diserbu oleh pasukan Pulau Es yang dipimpin oleh Raja Han Ti Ong sendiri! Ouw Kong Ek sendiri yang maju dan berusaha melawan, dalam belasan jurus saja telah dirobohkan dan dipaksa menceritakan apa yang terjadi ketika puteri Raja Pulau Es itu berada di Pulau Neraka.
Dengan kebencian dan dendam yang makin mendalam, Ouw Kong Ek menceritakan keadaan sebenarnya, tepat seperti yang telah didengar oleh Han Ti Ong dari mulut Sin Liong. Maka mulailah raja ini merasa menyesal mengapa dia telah terburu nafsu menghajar, bahkan hampir saja membunuh Sin Liong dan Swat Hong yang sebetulnya tidak berdosa. Mulailah dia teringat bahwa kemarahannya itu timbul karena bujukan dan kata-kata yang membakar dari permaisurinya. Dia menjadi marah sekali dan kemarahannya itu dia lampiaskan di Pulau Neraka. Pulau itu diobrak-abrik, sebagai hukuman telah berani menahan puterinya. Bahkan kitab catatan Sin Liong tentang racun dan pengobatannya, dihancurkan dan dibakarnya! Setelah puas melampiaskan kemarahannya, Han Ti Ong memimpin pasukannya meninggalkan Pulau Neraka, meninggalkan para penghuni yang banyak menderita luka lahir batin itu dan Raja ini telah menanamkan dendam yang makin menghebat di dalam hati para penghuni Pulau Neraka.
Sepekan kemudian, barulah rombongan Han Ti Ong tiba kembali di Pulau Es dan wajah Raja ini seketika pucat setelah dia mendengar berita yang lebih hebat dan mengejutkan lagi, yaitu bahwa sehari setelah dia dan pasukannya berangkat, permaisuri dan pangeran telah pergi meninggalkan Pulau Es! Dan sampai sekarang ibu dan anak itu belum pulang. Makin terpukul lagi batin Raja Han Ti Ong ketika dia mendapat kenyataan bahwa kitab-kitab pusaka Pulau Es telah lenyap, berikut banyak harta benda berupa emas dan permata yang disimpan di dalam kamarnya! Hampir saja dia roboh pingsan mendapatkan kenyataan bahwa permaisurinya, The Kwat Lin, gadis yang ditolongnya itu, ternyata telah berkhianat!
"Mengapa tidak kalian larang mereka pergi? Mengapa? Sin Liong, engkau muridku, mengapa kau mendiamkan saja pergi membawa pusaka-pusaka kita?" Dalam bingung dan marahnya dia menegur Sin Liong.
"Suhu, Subo pergi hanya memberi tahu bahwa Subo bersama Sute hendak menyusul ke Pulau Neraka. Siapa yang berani menghalangi Subo? Kami semua tidak ada yang mengira bahwa Subo takkan kembali, dan tidak ada yang tahu bahwa Subo membawa sesuatu, harap maafkan teecu."
Han Ti Ong membanting-banting kakinya, lalu berlari memasuki kembali istana setelah tadi dia memeriksa dan melihat kehilangan pusaka Pulau Es. Ketika dia memanggil dua orang muda itu menghadap, Sin Liong dan Swat Hong melihat perubahan hebat terjadi pada diri raja Sakti ini. Wajahnya menjadi suram dan gelap, sepasang mata yang biasanya bersinar dan berpengaruh itu, menjadi redup seperti lampu kekurangan minyak. Dan rambut yang tadinya hanya sedikit putihnya, mendadak berubah hampir seluruhnya, dan suaranya tidak bersemangat ketika berkata, "Sin Liong..., Swat Hong..., kalian ampunkan aku...."
"Suhu,.!" Sin Liong berlutut dan menundukkan muka.
"Ayah.... jangan berkata begitu, Ayah..,!" Swat Hong meloncat dan menubruknya.
Ayah dan anak itu saling rangkul dan Sin Liong makin menundukkan mukanya ketika mendengar suhunya menangis! Suhunya, Raja Han Ti Ong yang sakti seperti dewa itu, kini menangis mengguguk seperti anak kecil! Setelah Han Ti Ong dapat menguasai kembali hatinya, dia mencium dahi puterinya dan menyuruhnya duduk kembali. Swat Hong menyusuti air matanya dan berlutut di dekat Sin Liong.
"Aku telah berdosa. Sekarang baru aku tahu... aku telah berdosa. Mungkin sekali... tidak, aku yakin sekarang, bahwa Ibu Swat Hong tidak bersalah apa-apa, hanya terkena fitnah.. aih, apa yang telah kulakukan? Dan aku hampir saja membunuhmu, Sin Liong, dan kau Swat Hong anakku. Orang macam apa aku ini? Dan aku mengaku cinta kepada anakku? Huh, huh, engkau benar, Sin Liong. Tidak ada cinta di dalam hatiku yang kotor, yang ada hanya nafsu berahi sehingga mudah saja aku dipermainkan oleh wanita itu. Aihhhh... kalian maafkan aku. Swat Hong, hanya satu pesanku kepadamu, anakku. Kau... kau menjadilah jodoh Sin Liong. Jadilah kalian suami istri, baru akan terobati hatiku...."
"Suhu...!"
"Ayah...!"
"Muridku... anakku..., maukah kalian melegakan hatiku? Aku ingin menebus kesalahanku... aku ingin melihat kalian menjadi suami istri, kalian anak-anak malang...."
"Suhu, teecu mohon ampun. Teecu... tidak ada dalam hati teecu untuk memikirkan soal jodoh...."
"Ayah, mengenai jodoh tidak dapat ditentukan begitu saja. Biarkan kami menentukannya sendiri...."
Han Ti Ong menarik napas panjang, memejamkan mata sebentar, kemudian bangkit berdiri, membalikkan tubuh dan berjalan memasuki kamarnya meninggalkan dua orang muda yang masih berlutut itu. Semenjak saat itu, sampai berhari-hari lamanya, Raja itu tidak pernah keluar dari kamarnya sehingga membuat gelisah semua pembantunya. Keadaan di Pulau Es tidak seperti biasa, semua penghuni dapat merasakan ini. Semenjak terjadinya peristiwa yang memalukan dan menyedihkan menimpa keluarga Raja Han Ti Ong, keadaan Pulau Es sunyi dan semua wajah para penghuni kelihatan muram. Bahkan cuaca juga seolah-olah berubah suram, seringkali malah menjadi gelap oleh mendung tebal. Hati semua orang merasa gelisah tanpa mereka ketahui sebabnya, seolah-olah merupakan tanda rahasia bahwa akan terjadi hal-hal yang lebih hebat lagi.
Peristiwa menyedihkan yang menimpa Han Ti Ong bisa menimpa diri setiap orang, dan memang kita sebagai manusia hidup selalu terlupa bahwa mengejar kesenangan sama artinya dengan memanggil kesengsaraan!
Kita hidup dibuai khayal akan keadaan yang lebih baik, lebih menyenangkan daripada keadaan seperti apa adanya. Kita tidak pernah membuka mata, tidak pernah menghayati keadaan saat ini, tidak dapat melihat bahwa saat ini mencakup segala keindahan. Dengan membandingkan keadaan kita dengan keadaan lain, kita selalu menganggap bahwa keadaan buruk tidak menyenangkan, dan kita selalu memandang jauh ke depan, mencari-cari dan mengkhayalkan yang tidak ada, keadaan yang kita anggap lebih menyenangkan. Karena kebodohan kita inilah maka kita hidup dikejar-kejar oleh kebutuhan setiap saat, detik demi detik kita mengejar kebutuhan. Kebutuhan adalah keinginan akan sesuatu yang belum tercapai, yang kita kejar-kejar. Lupa bahwa kalau yang satu itu dapat tercapai, di depan masih menanti seribu yang lain yang akan menjadi keinginan dan kebutuhan kita selanjutnya. Maka, berbahagialah dia yang tidak membutuhkan apa-apa! Bukan berarti menolak segala kesenangan, melainkan tidak mengejar apa-apa sehingga kalau ada sesuatu yang datang menimpa diri, bukan lagi merupakan kesenangan atau kesusahan, melainkan dihadapi sebagai sesuatu yang sudah wajar dan semestinya sehingga tampaklah keindahan yang murni!
Demikian pula keadaan Raja Han Ti Ong. Dia seorang yang sakti dan bijaksana namun tiba saatnya dia lengah dan menganggap bahwa dia menemukan kebahagiaan dalam diri The Kwat Lin. Padahal yang dia temukan hanyalah kesenangan yang timbul dari kenikmatan badani, dari terpuaskannya nafsu. Dia seolah-olah hidup di alam khayal, di alam mimpi. Setelah dia sadar dari mimpi, terasa bahwa yang manis menjadi pahit bukan main, baru sadar bahwa perubahan dari senang ke susah sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan! Dan memanglah, suka dan duka hanyalah dwi-muka (kedua muka) dari sebuah tangan yang sama!
***
Perahu kecil itu terayun-ayun ke kanan kiri seperti menari-nari karena tidak dikuasai oleh layar maupun dayung, melainkan sepenuhnya dikuasai oleh air laut yang tenang. Dua orang yang duduk di perahu itu. seperti dua buah arca, diam dan pandang mata mereka melayang jauh ke kaki langit, melayang-layang di permukaan laut seperti mencari-cari sesuatu yang hilang. Dan memang pikiran Sin Liong dan Swat Hong, dua orang di perahu itu, sedang mencari-cari jawaban pertanyaan hati mereka sendiri. Pulau Es hanya kelihatan sebagai sebuah garis mendatar putih dekat kaki langit. Mereka berangkat pagi-pagi meninggalkan Pulau Es, setelah tiba di tempat jauh yang sunyi ini, mereka menggulung layar dan membiarkan perahu mereka dibuai gelombang kecil. Mereka sudah lama berdiam diri seperti itu, dibuai oleh lamunan masing-masing, lamunan yang timbul karena keadaan di Pulau Es yang menyedihkan.
"Suheng...." Suara panggilan Swat Hong ini lirih saja, namun karena sejak tadi mereka tidak mendengar suara apa-apa, maka suara panggilan ini seolah-olah mengandung getaran hebat yang memenuhi seluruh ruang kesunyian.
Sin Liong menoleh dan dia pun seolah-olah baru sadar dari alam mimpi.
"Hemmmm...?" jawabannya masih ragu-ragu.
"Suheng mengajakku meninggalkan pulau dan seteiah tiba di sini, mengapa Suheng tidak lekas bicara melainkan melamun saja?"
"Aku terpesona akan keindahan alam yang sunyi ini, Sumoi...."
"Aku pun tadi terseret, Suheng. Akan tetapi melihat batu karang menonjol di depan itu, aku tersadar. Apakah aku akan menjadi setua batu karang itu yang kerjanya hanya termenung di tempat sunyi! Suheng, kau tadi bilang bahwa untuk membicarakan urusan kita, engkau mengajakku ke tengah laut. Mengapa?"
"Engkau sudah mengerti sendiri. Fitnah yang dilontarkan kepada kita, bahwa ada terjadi sesuatu yang rendah di antara kita, membuat aku merasa tidak enak kalau mengajak kau bicara berdua saja di tempat sunyi di atas pulau itu. Dapat menimbulkan prasangka yang bukan-bukan. Karena itulah maka kuajak ke sini, agar kita dapat bicara dengan tenang dari hati ke hati tanpa ada yang mendengar dan melihat. Pula, kuharap di tempat yang sunyi ini, yang membuat kita seolah-olah berada di dalam alam lain, kita akan menemukan ilham...."
(dwi)