Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 16 Bagian 8
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo : Bukek Siansu
Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran-heran, bengong dan seperti terpesona sehingga dia menurut saja ketika diajak naik ke perahu oleh Ouw Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat berkata, "Ouw-twako... mengapa kau melakukan semua ini untukku? Mengapa engkau menolongku, membelaku mati-matian? Mengapa engkau begini baik kepadaku?"
Sambil mendayung perahunya dengan gerakan tangkas dan kuat sekali sehingga perahu itu meluncur amat cepatnya di permukaan air laut yang kini amat tenang, setenang-tenangnya seolah-olah raksasa yang sehabis mengamuk hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga, Ouw Sian Kok menjawab tanpa menoleh kepada Liu Bwee, "Engkau begitu sengsara, dan begitu tenang, mengingatkan aku kepada isteriku yang tercinta. Engkau begitu membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan bantuan. Siapa lagi kalau bukan aku yang membantumu, Toanio?"
Liu Bwee memandang laki-laki itu dari samping, tak terasa lagi kedua matanya basah dan beberapa butir air mata turun di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak mampu menjawab.
Memang dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, hanya Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya berada di mana. Tidak ada seorang pun yang menemaninya, apalagi membelanya. Maka kemunculan laki-laki gagah perkasa ini yang memperlihatkan sikap membelanya mati-matian itu menimbulkan keharuan hatinya, apalagi mendengar betapa laki-laki itu ketika melihat dia teringat akan isterinya tercinta yang telah meninggal dunia, hatinya menjadi terharu sekali dan dia tidak tega untuk menolak lagi.
Di samping ini, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di dalam hati wanita ini karena dia seperti mendapat bisikan hatinya bahwa laki-laki penolongnya ini menaruh hati kepadanya dan rela membelanya dengan taruhan nyawa! Hal ini bukan membuat dia merasa bangga dan girang seperti yang mungkin akan dirasakannya jika dia masih seorang gadis muda, melainkan mendatangkan rasa sungkan dan malu sehingga pelayaran itu dilanjutkan dengan diam-diam karena Liu Bwee merasa sukar sekali untuk membuka mulut.
Beberapa jam berlalu dengan sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang, merasa tidak tahan berkata, "Toanio, aku mohon maaf sebanyaknya kalau semua ucapanku yang sudah-sudah menyinggung perasaanmu."
Liu Bwee menggigit bibirnya. Laki-laki ini, yang gagah perkasa dan budiman harus diakuinya memiliki sifat jantan dan rendah hati.
"Tidak ada yang harus dimaafkan," katanya lirih.
"Toanio marah kepadaku?" sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi, sekali ini dia tidak dapat menahan kenginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan menatap wajah wanita itu. Kebetulan sekali pada saat itu Liu Bwee juga memandang kepadanya. Sedetik dua pasang mata itu bertemu, akan tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab dengan gerakan kepalanya menggeleng.
Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia berkata, "Aku girang bahwa kau tidak marah kepadaku, Toanio."
Perahu didayungnya kuat-kuat dan pwrahu itu meluncur cepat sekali menuju ke tujuan, yaitu Pulau Es yang biarpun tidak pernah didatanginya namun sudah diketahui di mana letaknya, karena seringkali dalam perantauannya dia memandang pulau itu dari jauh.
Kegembiraan besar seperti yang belum pernah dialaminya selama lima belas tahun ini memenuhi hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ, kalau saja dia tidak merasa malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang sebagai peluapan rasa gembiranya.
Dua hari dua malam mereka melakukan pelayaran, kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas perahu dan minum air es yang mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya tibalah mereka di Pulau Es dan dari jauh saja sudah kelihatan perbedaan pulau itu yang amat mengherankan hati Liu Bwee.
"Mengapa begitu sunyi? Dan begitu bersih licin? Ouw-twako,, cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi apa-apa di sana," katanya dengan jantung berdebar, tidak saja karena melihat pulau di mana dia dibesarkan sejak kecil itu akan tetapi juga tegang hatinya membayangkan pertemuannya dengan suaminya dan dengan selir suaminya. (Bersambung)
Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran-heran, bengong dan seperti terpesona sehingga dia menurut saja ketika diajak naik ke perahu oleh Ouw Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat berkata, "Ouw-twako... mengapa kau melakukan semua ini untukku? Mengapa engkau menolongku, membelaku mati-matian? Mengapa engkau begini baik kepadaku?"
Sambil mendayung perahunya dengan gerakan tangkas dan kuat sekali sehingga perahu itu meluncur amat cepatnya di permukaan air laut yang kini amat tenang, setenang-tenangnya seolah-olah raksasa yang sehabis mengamuk hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga, Ouw Sian Kok menjawab tanpa menoleh kepada Liu Bwee, "Engkau begitu sengsara, dan begitu tenang, mengingatkan aku kepada isteriku yang tercinta. Engkau begitu membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan bantuan. Siapa lagi kalau bukan aku yang membantumu, Toanio?"
Liu Bwee memandang laki-laki itu dari samping, tak terasa lagi kedua matanya basah dan beberapa butir air mata turun di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak mampu menjawab.
Memang dia sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, hanya Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya berada di mana. Tidak ada seorang pun yang menemaninya, apalagi membelanya. Maka kemunculan laki-laki gagah perkasa ini yang memperlihatkan sikap membelanya mati-matian itu menimbulkan keharuan hatinya, apalagi mendengar betapa laki-laki itu ketika melihat dia teringat akan isterinya tercinta yang telah meninggal dunia, hatinya menjadi terharu sekali dan dia tidak tega untuk menolak lagi.
Di samping ini, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di dalam hati wanita ini karena dia seperti mendapat bisikan hatinya bahwa laki-laki penolongnya ini menaruh hati kepadanya dan rela membelanya dengan taruhan nyawa! Hal ini bukan membuat dia merasa bangga dan girang seperti yang mungkin akan dirasakannya jika dia masih seorang gadis muda, melainkan mendatangkan rasa sungkan dan malu sehingga pelayaran itu dilanjutkan dengan diam-diam karena Liu Bwee merasa sukar sekali untuk membuka mulut.
Beberapa jam berlalu dengan sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang, merasa tidak tahan berkata, "Toanio, aku mohon maaf sebanyaknya kalau semua ucapanku yang sudah-sudah menyinggung perasaanmu."
Liu Bwee menggigit bibirnya. Laki-laki ini, yang gagah perkasa dan budiman harus diakuinya memiliki sifat jantan dan rendah hati.
"Tidak ada yang harus dimaafkan," katanya lirih.
"Toanio marah kepadaku?" sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi, sekali ini dia tidak dapat menahan kenginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan menatap wajah wanita itu. Kebetulan sekali pada saat itu Liu Bwee juga memandang kepadanya. Sedetik dua pasang mata itu bertemu, akan tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab dengan gerakan kepalanya menggeleng.
Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia berkata, "Aku girang bahwa kau tidak marah kepadaku, Toanio."
Perahu didayungnya kuat-kuat dan pwrahu itu meluncur cepat sekali menuju ke tujuan, yaitu Pulau Es yang biarpun tidak pernah didatanginya namun sudah diketahui di mana letaknya, karena seringkali dalam perantauannya dia memandang pulau itu dari jauh.
Kegembiraan besar seperti yang belum pernah dialaminya selama lima belas tahun ini memenuhi hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ, kalau saja dia tidak merasa malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang sebagai peluapan rasa gembiranya.
Dua hari dua malam mereka melakukan pelayaran, kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas perahu dan minum air es yang mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya tibalah mereka di Pulau Es dan dari jauh saja sudah kelihatan perbedaan pulau itu yang amat mengherankan hati Liu Bwee.
"Mengapa begitu sunyi? Dan begitu bersih licin? Ouw-twako,, cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi apa-apa di sana," katanya dengan jantung berdebar, tidak saja karena melihat pulau di mana dia dibesarkan sejak kecil itu akan tetapi juga tegang hatinya membayangkan pertemuannya dengan suaminya dan dengan selir suaminya. (Bersambung)
(dwi)