Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 22 Bagian 13
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
Tidak ada hal penting terjadi selama perjalanan Swat Hong menuju ke Secuan. Gadis yang dahulu berwatak periang dan jenaka itu, yang wajahnya selalu berseri dan gembira, kini menjadi pendiam dan ada garis-garis dan bayangan muram di wajahnya yang tetap cantik jelita walaupun tidak pernah bersolek. Perantauan selama dua tahun mencari-cari pusakanya yang hilang tanpa hasil itu membuat dia merasa berduka dan juga penasaran sekali. Di dalam hatinya dia berjanji bahwa dia takkan pernah berhenti mencari sebelum mendapatkan pusaka Pulau Es itu. Dalam perantauannya itu dia mendengar pula tentang kematian An Lu Shan dan puteranya.
Ketika dia tiba di Secuan, pada waktu itu Kaisar yang baru, yaitu Kaisar Su Tiong, memang sedang menyusun tenaga di bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu I sendiri. Panglima Kok ini menyebar para pembantunya, yaitu panglima-panglima bawahan di seluruh daerah secuan untuk menerima dan mendaftar para sukarelawan yang hendak masuk menjadi tentara.
Seorang di antara bawahannya yang bertugas mengumpulkan bala bantuan bahkan menghubungi orang-orang asing dari barat ini adalah Panglima Bouw Kiat. Panglima inilah menghubungi orang-orang Arab sehingga akhirnya Kaliphu (yang berkuasa di Arab) sendiri mengirim pasukan bala bantuan Bouw Kiat berkedudukan di sebuah dusun daerah selatan dan di sini dia menyusun pasukannya sambil menjamu pasukan dari Arab yang sebagian kecil sebagai pasukan pelopor telah tiba di situ. Panglima Kok Cu I yang cerdik memisah-misahkan para pasukan asing yang membantunya agar menjauhkan terjadinya bentrokan. Pasukan bantuan dari Turki berada di utara, dari Tibet berada di selatan dan dari timur adalah pasukan yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa.
Pada suatu hari, Swat Hong tiba dl daerah yang dikuasai oleh Panglima Bouw Kiat inilah. Dara ini merasa heran ketika melihat ada banyak tentara asing yang bertubuh jangkung, bersikap gagah dan berkulit coklat gelap, bermata tajam dan bercambang bauk berkeliaran di daerah itu.
Di tengah jalan, dia melihat seorang laki-laki asing yang tinggi besar dan gagah, memegang gendewa dan anak panah dikelilingi oleh perajurit-perajurit Han dan Arab sambil tertawa-tawa. Laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang gagah itu berkata dalam bahasa Han yang kaku, "Lihat burung-burung itu! Aku akan menurunkannya sekaligus tiga ekor. Yang mana kalian pilih?"
Swat Hong tertarik, berhenti dan memandang ke atas. Diam-diam dia terkejut dan menganggap orang itu sombong. Mana bisa menjatuhkan burung-burung yang terbang begitu tinggi sekaligus tiga ekor kalau orang ini bukan seorang ahli panah yang sakti?
"Tiga ekor dan depan!" terdengar teriakan.
"Tidak, yang paling belakang adalah paling sukar!" kata orang lain.
Perwira bangsa Arab itu tersenyum dan tampaklah giginya yang rata dan putih berkilauan, kumisnya bergerak-gerak. "Biar kujatuhkan dua terdepan dan burung terakhir!"
Kelompok burung yang terbang tinggi Sudan tiba tepat di atas mereka. Perwira itu memasang tiga batang anak panah pada gendewanya, lalu menarik tali gendewa. Terdengar suara menjepret dan meluncurlah tiga batang anak panah seperti tiga sinar berkilauan ke atas. Dari bawah tidak kelihatan bagaimana burung-burung itu terkena anak panah, namun jelas tampak betapa dua ekor burung terdepan dan seekor paling belakang tiba-tiba runtuh ke bawah. Ketika tiga ekor burung itu jatuh ke tanah dan semue orang melihat bahwa dada burung itu tertusuk anak panah, mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.
"Boleh juga dia," pikir Swat Hong sungguhpun dia maklum bahwa kepandaian memanah seperti itu hanyalah berguna untuk pertempuran jarak jauh dan sama sekali tidak ada artinya untuk pertandingan berdepan. Tentu kalah cepat oleh am-gi (senjata rahasia) sepeti jarum, paku, piauw dan lain-lain.
"Hai, Nona! Tepuk tangan untuk kelihaian Perwira Ahmed!" Tiba-tiba ada seorang laki-laki menegur Swat Hong. Laki-laki ini adalah seorang perajurit Han dan sambil menyeringai dia bertepuk tangan dan mendesak Swat Hong untuk ikut bertepuk tangan. (Bersambung)
Tidak ada hal penting terjadi selama perjalanan Swat Hong menuju ke Secuan. Gadis yang dahulu berwatak periang dan jenaka itu, yang wajahnya selalu berseri dan gembira, kini menjadi pendiam dan ada garis-garis dan bayangan muram di wajahnya yang tetap cantik jelita walaupun tidak pernah bersolek. Perantauan selama dua tahun mencari-cari pusakanya yang hilang tanpa hasil itu membuat dia merasa berduka dan juga penasaran sekali. Di dalam hatinya dia berjanji bahwa dia takkan pernah berhenti mencari sebelum mendapatkan pusaka Pulau Es itu. Dalam perantauannya itu dia mendengar pula tentang kematian An Lu Shan dan puteranya.
Ketika dia tiba di Secuan, pada waktu itu Kaisar yang baru, yaitu Kaisar Su Tiong, memang sedang menyusun tenaga di bawah pimpinan Panglima Besar Kok Cu I sendiri. Panglima Kok ini menyebar para pembantunya, yaitu panglima-panglima bawahan di seluruh daerah secuan untuk menerima dan mendaftar para sukarelawan yang hendak masuk menjadi tentara.
Seorang di antara bawahannya yang bertugas mengumpulkan bala bantuan bahkan menghubungi orang-orang asing dari barat ini adalah Panglima Bouw Kiat. Panglima inilah menghubungi orang-orang Arab sehingga akhirnya Kaliphu (yang berkuasa di Arab) sendiri mengirim pasukan bala bantuan Bouw Kiat berkedudukan di sebuah dusun daerah selatan dan di sini dia menyusun pasukannya sambil menjamu pasukan dari Arab yang sebagian kecil sebagai pasukan pelopor telah tiba di situ. Panglima Kok Cu I yang cerdik memisah-misahkan para pasukan asing yang membantunya agar menjauhkan terjadinya bentrokan. Pasukan bantuan dari Turki berada di utara, dari Tibet berada di selatan dan dari timur adalah pasukan yang terdiri dari bermacam-macam suku bangsa.
Pada suatu hari, Swat Hong tiba dl daerah yang dikuasai oleh Panglima Bouw Kiat inilah. Dara ini merasa heran ketika melihat ada banyak tentara asing yang bertubuh jangkung, bersikap gagah dan berkulit coklat gelap, bermata tajam dan bercambang bauk berkeliaran di daerah itu.
Di tengah jalan, dia melihat seorang laki-laki asing yang tinggi besar dan gagah, memegang gendewa dan anak panah dikelilingi oleh perajurit-perajurit Han dan Arab sambil tertawa-tawa. Laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih yang gagah itu berkata dalam bahasa Han yang kaku, "Lihat burung-burung itu! Aku akan menurunkannya sekaligus tiga ekor. Yang mana kalian pilih?"
Swat Hong tertarik, berhenti dan memandang ke atas. Diam-diam dia terkejut dan menganggap orang itu sombong. Mana bisa menjatuhkan burung-burung yang terbang begitu tinggi sekaligus tiga ekor kalau orang ini bukan seorang ahli panah yang sakti?
"Tiga ekor dan depan!" terdengar teriakan.
"Tidak, yang paling belakang adalah paling sukar!" kata orang lain.
Perwira bangsa Arab itu tersenyum dan tampaklah giginya yang rata dan putih berkilauan, kumisnya bergerak-gerak. "Biar kujatuhkan dua terdepan dan burung terakhir!"
Kelompok burung yang terbang tinggi Sudan tiba tepat di atas mereka. Perwira itu memasang tiga batang anak panah pada gendewanya, lalu menarik tali gendewa. Terdengar suara menjepret dan meluncurlah tiga batang anak panah seperti tiga sinar berkilauan ke atas. Dari bawah tidak kelihatan bagaimana burung-burung itu terkena anak panah, namun jelas tampak betapa dua ekor burung terdepan dan seekor paling belakang tiba-tiba runtuh ke bawah. Ketika tiga ekor burung itu jatuh ke tanah dan semue orang melihat bahwa dada burung itu tertusuk anak panah, mereka bersorak dan bertepuk tangan memuji.
"Boleh juga dia," pikir Swat Hong sungguhpun dia maklum bahwa kepandaian memanah seperti itu hanyalah berguna untuk pertempuran jarak jauh dan sama sekali tidak ada artinya untuk pertandingan berdepan. Tentu kalah cepat oleh am-gi (senjata rahasia) sepeti jarum, paku, piauw dan lain-lain.
"Hai, Nona! Tepuk tangan untuk kelihaian Perwira Ahmed!" Tiba-tiba ada seorang laki-laki menegur Swat Hong. Laki-laki ini adalah seorang perajurit Han dan sambil menyeringai dia bertepuk tangan dan mendesak Swat Hong untuk ikut bertepuk tangan. (Bersambung)
(dwi)