Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 24 Bagian 5

Rabu, 31 Mei 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Bukek...
Bukek Siansu, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu

Swat Hong mengangguk-angguk, memang dia tahu bahwa Toan Ki adalah murid Hoa-san, akan tetapi dia lupa bahwa dia tidak pernah menceritakan hal ini kepada suhengnya!

"Bagaimana kalau mereka tidak berada di sana, Suheng?"

Kembali senyum itu. Senyum seorang yang begitu pasti akan segala sesuatu, senyum penuh pengertian, seperti senyum seorang tua yang melihat kenakalan anak-anak dan maklum mengapa anak itu nakal! "Sumoi, apakah gunanya memikirkan hal-hal yang belum terjadi?

Membayangkan hal-hal yang belum terjadi adalah permainan buruk. dan pikiran, karena hal itu hanya akan menghasilkan kecemasan dan kekhawatiran belaka. Apa yang akan terjadi kelak kita hadapi sebagaimana mestinya kalau sudah terjadi di depan kita."

Swat Hong tertarik sekali. "Apakah rasa cemas itu timbul dari pikiran yang membayangkan masa depan, Suheng?"

"Agaknya jelas demikian, bukan? Yang takut akan sakit tentulah dia yang belum terkena penyakit itu, kalau sudah sakit, dia tidak takut iagi kepada sakit, melainkan takut kepada kematian yang belum tiba.

Perlukah hidup dicekam rasa takut dan kekhawatiran? Pikiran yang bertanggung jawab atas timbulnya rasa takut. Pikiran mengingat-ingatan kesenangan di masa lalu, dan mengharapkan terulangnya kesenangan itu di masa depan, maka timbullah kekhawatiran kalau-kalau kesenangan itu tidak akan terulang.

Pikiran mengenang penderitaan masa lalu dan ingin menjauhinya, ingin agar di masa depan hal itu tidak terulang kembali maka timbullah kekhawatiran kalau-kalau dia tertimpa penderitaan itu lagi!"

"Habis bagaimana, Suheng?"

"Hiduplah saat ini, curahkan seluruh perhatian, seluruh hati dan pikiran, untuk menghadapi saat ini, apa yang terjadi kepadamu di saat ini, bukan apa yang boleh terjadi di masa depan, bukan pula mengenang apa yang telah terjadi di masa lalu."

"Kalau begitu kita menjadi tidak acuh dan bersikap masa bodoh...."

"Justru biasanya kita bersikap masa bodoh dan tidak acuh, tidak menaruh perhatian yang mendalam terhadap saat ini, karena seluruh perhatian kita sudah dihabiskan untuk mengingat-ingat masa lalu dan untuk membayang-bayangkan masa depan dengan seluruh pengharapannya, seluruh cita-citanya, seluruh nafsu keinginannya, seluruh kesenangan dan kekecewaannya. Justeru kalau bebas dari masa lalu tidak ada lagi bayangan masa depan dan kita hidup saat demi saat penuh perhatian, dan ini barulah dinamakan hidup sepenuhnya, hidup sempurna dan lengkap karena kita menghayati hidup dengan penuh kewajaran, tidak terbuai dalam alam kenangan dan harapan yang muluk-muluk namun sesungguhnya kosong belaka,"

Sampai lama hening di situ. Pengertian yang mendalam meresap di hati sanubari Swat Hong, dan di dalam keheningan itu tercakup seluruh alam mayapada.

"Suheng, telah dua tahun pusaka itu berada di tangan mereka. Aku telah mencari ke mana-mana, hanya ke Hoa-san-pai yang belum. Kurasa mereka itu tidak jujur, dan agaknya tentu mereka telah menyembunyikan pusaka itu. Kalau tidak demikian mengapa mereka tidak pergi menanti aku di Puncak Awan Merah seperti yang kupesankan?

Memang hati manusia tidak atau jarang sekali ada yang jujur. Sekali saja melihat sesuatu yang dapat menguntungkan diri pribadi, maka terlupalah semua pelajaran tentang kegagahan dan kebaikan. Aku ingin mencari dan menghajar mereka itu!"

"Sumoi, prasangka adalah satu di antara racun-racun yang merusak kehidupan kita. Prasangka dilahirkan oleh pikiran yang mengada-ada, yang membayangkan sesuatu yang direka-reka, yang timbul karena kekhawatiran.

Prasangka adalah suatu kebodohan yang menyiksa diri sendiri. Kalau kita sudah bertemu dengan mereka dan sudah melihat keadaan yang sesungguhnya, apakah kegunaannya prasangka?

Prasangka dan sebagainya lenyap setelah kita membuka mata melihat kenyataan apa adanya, dan sebelum itu, berprasangka berarti membiarkan pikiran mempermainkan diri. Apakah kegunaannya bagi kehidupan kita?"

Kembali hening. Swat Hong tak mampu menjawab karena dia dihadapkan dengan keadaan yang nyata. Memang, dia memikirkan hal-hal yang belum terjadi, maka timbullah kekhawatiran, dan dan kekhawatiran ini timbullah prasangka yang bukan-bukan. Yang salah dalam, semua itu adalah pikiran! (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0342 seconds (0.1#10.140)