Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 10 Bagian 9

Selasa, 15 Agustus 2017 - 18:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 10 Bagian 9
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

Sungguhpun tingkat kepandaian jenderal muda ini tentu saja sama sekali tidak dapat dibandingkan dengan tingkat kepandaian Kwee Seng, namun kalau dibandingkan dengan para pemuda yang pernah datang ke Beng-kauw, Kam Si Ek boleh dibilang paling unggul. Tidak banyak selisihnya daripada tingkatnya sendiri.

Kalau ia mau, tentu lambat laun ia dapat mendesak dan mengalahkan Kam Si Ek. Maka ia sudah merasa puas. Bakat ilmu silat dalam diri Kam Si Ek amat baik, kalau pemuda ini menerima pelajaran ilmu silat tinggi, tentu dia sendiri pun akan kalah! Ia sudah mencoba kepandaiannya, akan tetapi belum mencoba hatinya.

Biarlah ia mainkan ujian berbahaya ini. Setelah berpikir demikian, ia sengaja memperlambat gerakan pedangnya dan ketika golok menyambar lehernya, ia sengaja tidak menangkis, bahkan meramkan kedua matanya menanti maut!

Betapa terkejutnya hati Kam Si Ek, tak usah diceritakan lagi. Pemuda ini berseru kaget dan karena ia sudah tak mungkin menarik pulang goloknya, maka sedapat mungkin ia menyelewengkan bacokannya ke arah leher.

Namun, tetap saja goloknya itu membabat ke arah pundak dan "makan" ke dalam daging di pangkal lengan Lu Sian. Darah mengucur, membasahi baju gadis itu. Kam Si Ek berdiri tegak seperti patung, mukanya pucat, matanya terbelalak, lalu ia memandang wajah Lu Sian dengan bingung.

"Kau bunuhlah. Mengapa tidak jadi? Bukankah engkau hendak membunuhku?" Lu Sian berkata, biarpun pangkal lengannya terasa sakit, namun jantungnya berdebar girang melihat hasil ujiannya yang berbahaya ini. Jelas bahwa pemuda itu tidak membencinya, buktinya tidak tega membunuhnya dan tadi serangan pemuda itu hanya digerakkan oleh kemarahan yang tiba-tiba.

"Kau.. kau mengapa begini aneh...? Mengapa membunuh orang... dengan kejam...?"

"Mengapa aku membunuh mereka berenam tadi? Hemm, dengarlah. Mereka adalah anak buah pasukan yang telah menawanmu, mereka adalah musuh. Pula, kita sedang dikejar-kejar dua orang kakek iblis, dan mereka ini sudah melihat kita. Kalau tidak dibunuh, apakah mereka tidak akan membocorkan keadaan kita kepada mereka? Kau seorang jenderal, dengan pasukanmu sudah biasa kau membunuh laksaan orang musuh tanpa berkedip, membunuh laksaan orang yang tidak kau ketahui apa kesalahan mereka dan apa kejahatan mereka. Sekarang aku membunuh enam orang yang terang-terangan adalah orang jahat dan yang akan mendatangkan bahaya bagi kita, mengapa kau marah-marah? Kau mengucapkan fitnah busuk, mengira aku akan membujukmu untuk mengabdi kepada Nan-cao! Alangkah tipis kepercayaanmu, tanda bahwa cintamu palsu belaka, hanya di bibir. Aku... aku... ahhhh....!" Tubuh Lu Sian terhuyung-huyung lalu ia roboh terguling.

Kam Si Ek kaget sekali, cepat ia melompat maju dan memeluk tubuh gadis itu, dan melihat betapa wajah gadis itu pucat, matanya meram, mulutnya terkancing rapat, ia makin gugup.

"Moi-moi... Moi-moi..., kaumaafkan aku... ah, aku bodoh sekali! Lu Sian...! Moi-moi...!" Kam Si Ek lalu memondong tubuh gadis itu, menyambar pedang dan golok, lalu berlari ke belakang rumah dan meloncat ke atas dek perahu besar. Hanya di perahu itulah tempat kering, maka ia lalu meletakkan tubuh Lu Sian ke atas sebuah pembaringan yang berada di bilik perahu.

"Ah, benar-benar aku lancang tangan... Moi-moi, kau ampunkan aku...!" Kam Si Ek merobek baju di pundak Lu Sian dan memeriksa. Luka itu cukup dalam dan mengeluarkan banyak sekali darah. Dengan hati penuh kegelisahan pemuda itu lalu merobek ikat pinggangnya dan membalut pundak dengan erat sekali untuk mencegah mengalirnya darah terlalu banyak.

Kemudian, melihat wajah gadis itu masih pucat dan matanya masih meram, napasnya tersengal-sengal seperti orang sekarat, ia lari kesana kemari, mengambil panci dari belakang perahu, membuat api dan memanaskan air. Tidak ada yang lebih baik daripada air matang untuk mencuci luka, pikirnya. Di musim banjir seperti itu, air sungai amat kotor dan amat tidak baik untuk mencuci luka sebelum dimasak mendidih.

Ia sama sekali tidak tahu betapa napas gadis yang tadinya terengah-engah itu menjadi biasa kembali, mata yang tadinya meram itu, terbuka satu dan bergerak mengikuti gerak-geriknya dengan mulut menahan senyum geli! Kalau ia mendekat, mata itu tertutup lagi dan napas itu tersengal-sengal lagi! Setelah air matang Kam Si Ek lalu membuka balutan pada pundak Lu Sian, mencuci luka sampai bersih lalu membalut lagi. Kemudian, melihat di perahu itu banyak perlengkapan bahan makan ia lalu membuat bubur dan membakar daging asin.

Bukan main gelisah hati Kam Si Ek melihat gadis itu biarpun sudah siuman, namun belum sadar, masih bergerak-gerak gelisah di atas pembaringan, matanya tetap ditutup dan sekarang malah mulutnya mengigau seperti orang terserang demam! Dapat dibayangkan betapa terharu hatinya ketika dalam igauannya, sambil meramkan mata gadis itu selalu menyebut-nyebut namanya! (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.1254 seconds (0.1#10.140)