Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 7 Bagian 8

Selasa, 18 Juli 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 7 Bagian 8
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

Gadis puteri Beng-kauw itupun menolak cintanya. Padahal ia tergila-gila kepada nona itu. Penolakan cinta yang menyakitkan hati. Kwee Seng terkejut teringat akan hal ini. Nenek itu pun mencintanya, mencinta dengan suci, sudah dibuktikan dengan perawatan dan pelayanan yang demikian sungguh-sungguh penuh kasih sayang selama seribu hari! Dan dia menolak cinta nenek itu.

Menolak begitu saja! Padahal nenek itupun hanya menghendaki pembalasan cinta hanya untuk beberapa hari lamanya! Ah, betapa sakit hati nenek itu, dapat ia membayangkannya. Ia menjadi seorang yang tak kenal budi! Mungkin nenek itu pun hanya ingin diakui sebagai isteri saja, hanya ingin ia dekati dan ia sebut isteri, tak lebih daripada itu.

Mungkin nenek itu, ingin menjadikan pengalaman manis ini sebagai kenang-kenangan manis untuk dibawa mati! Nenek ini semenjak kecil berada di sini, demikian pengakuannya beberapa hari yang lalu secara pendek ketika ia tanya. Berarti bahwa nenek ini tak pernah mengalami dewasa di dunia ramai! Sebagai wanita yang selamanya tak pernah menjadi isteri orang, tentu timbul keinginan untuk menerima perlakuan manis dari seorang pria yang mengaku sebagai suaminya! Ah, betapa bodohnya.

Apa sih artinya pengorbanan sekecil ini? Hanya bermain sandiwara, menyebut nenek itu sebagai isteri, bicara manis dan menghibur dengan kata-kata penuh sayang. Kiranya cukup bagi Si Nenek yang tak mungkin menghendaki lebih daripada itu.

Berjam-jam Kwee Seng duduk termenung. Terjadi perang di dalam hatinya sendiri, sedangkan suara sedu-sedan nenek itu tetap terdengar olehnya makin lama makin menusuk jantung. Teringat ia akan pengalamannya bersama Ang-siauw-hwa.

Selama ia hidup, baru sekali itu ia bercinta kasih dengan seorang wanita. Mencinta dan dibalas cinta. Merasai kemesraan seorang kekasih yang mencinta sepenuh hatinya. Mendengar bisikan halus yang menyatakan cinta kasih Ang-siauw-hwa, melihat mata indah dari dekat, mata yang memandang kepadanya penuh bayangan kasih sayang, mata yang...! Kwee Seng tersentak kaget. Mata itu! Mata nenek itu! Itulah mata Ang-siauw-hwa! Tak salah lagi.

Mata Ang-siauw-hwa Si Kembang Pelacur Telaga Barat. Sama jernihnya, sama lebarnya, sama tajamnya dan lirikannya pun sama. Mata Ang-siauw-hwa! Pantas ia merasa seperti pernah mengenal mata itu apabila Si Nenek memandangnya.

"Ahhh...!" terdengar Kwee Seng berseru melalui kerongkongannya. Akan tetapi Ang-siauw-hwa sudah mati. Hanya persamaan yang kebetulan saja. Banyak mata wanita yang cantik-cantik hampir serupa dan agaknya nenek ini dahulu pun seorang wanita cantik. Seorang wanita terpelajar dan cantik jelita. Kecantikan hanya sebatas kulit. Kalau orang sudah mencinta, apa artinya usia? Apa artinya keburukan rupa?

Nenek itu masih menangis terus. Dari suara tangisnya, Kwee Seng tahu bahwa nenek itu tentu pergi menyendiri di kamar kitab. Memang seringkali nenek itu tidur di sana, di tempat yang sunyi, tempat istirahat yang paling jauh dalam "rumah tinggal" itu. Kalau ia menangis terus sampai jatuh sakit dan mati, maka akulah pembunuhnya! Aku membalas budinya dengan menghancurkan hatinya. Ah, betapa rendah perbuatan ini!

Kwee Seng berdiri, meraba-raba dalam gelap, membawa pelita dan batu api, akan tetapi tidak berani menyalakannya. Pertama, karena ia takut kalau-kalau nenek itu marah melihat ia menyalakan pelita. Ke dua, karena untuk melakukan "sandiwara" yang bertentangan dengan hatinya ini, lebih baik di dalam gelap, tanpa melihat wajah Si Nenek! Ia meraba-raba dan akhirnya kedua kakinya yang sudah hafal keadaan di situ, membawanya ke depan pintu kamar kitab. Nenek itu masih terisak-isak perlahan.

"Nek... aku datang..."

"...pergi! Mau apa lagi kau datang? Kalau kau mengejekku, mau menghinaku......, demi setan...... akan kubunuh kau!"

"Tidak, aku berhutang budi kepadamu, berhutang nyawa, bagaimana aku sampai hati melukai hatimu? Aku datang kepadamu untuk...... untuk memenuhi permintaanmu..."

Tiba-tiba isak tangis itu berhenti dan sejenak keadaan menjadi sunyi sekali. Tak terdengar sesuatu oleh Kwee Seng, seakan-akan nenek itu tidak hanya berhenti menangis tapi juga berhenti bernapas! Kemudian tedengar gerakan nenek itu mendekat, terdengar suaranya menggetar berbisik.

"Apa...? Kau... kau tidak menipuku...? Kau... kau mau menerimaku sebagai... sebagai isterimu...?" (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.1262 seconds (0.1#10.140)