Penting dan Dibutuhkan Bayi, ASI Makin Tersia-siakan
Rabu, 29 Juli 2020 - 07:10 WIB
Menurut Anggia, sebenarnya tidak ada cerita seorang ibu tidak bisa menyusui. Karena itu, diperlukan dukungan dari pemerintah untuk mengedukasi pentingnya ASI secara masif. "Pemerintah juga perlu mengoptimalkan peran puskesmas sebagai pusat informasi kepada warganya mengenai pentingnya memberikan asupan ASI kepada bayi," ujarnya.
Anggia lantas menuturkan, minimnya pemberian ASI kepada bayi di Indonesia disebabkan persoalan pola asuh. Padahal, agama seperti Islam sudah mewajibkan para perempuan untuk memberikan kolostrom, ASI yang keluar pertama kali setelah melahirkan, kepada bayinya.
"Artinya, kalau kita bicara konteks agama, sudah jelas. Di Alquran juga sudah jelas. Fatayat NU juga punya bukunya itu. Tapi, masalahnya kalau hanya Fatayat pesan ini tidak maksimal tersampaikan kepada masyarakat," ujarnya.
Netty Prasetiyani juga menegaskan bahwa pemberian ASI eksklusif masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Dia mengakui tanggung jawab mendorong program tersebut bukan hanya di pundak pemerintah, tapi harus didistribusikan secara merata ke pihak terkait.
“Pemerintah harus bekerja keras dengan ASI ini, apalagi menjadi salah satu agenda promosi kesehatan (promkes). Jadi, dari 10 perilaku hidup bersih dan sehat dalam tatanan rumah tangga itu adalah pemberian ASI eksklusif,” kata Netty. (Baca juga: Pria Dewasa Ketagihan Minum Air Susu Ibu, Ini Efeknya)
Dia kemudian mengingatkan amanat UU Nomor 36/2009 yang menyebut setiap pihak, masyarakat, dunia usaha mestinya menyediakan ruang laktasi. Bagi yang menghalangi ibu yang memberikan ASI, maka bisa dikenai ancaman hukuman kurungan dan denda hingga Rp100 juta.
Menurut dia, pemerintah harus menjalankan fungsi pengawasan dan kerja koordinatif dengan lintas sektoral. Termasuk memastikan penerapan dan ketersediaan ruang laktasi di kantor maupun ruang publik. “Yang tidak kalah penting dan menjadi hal mendasar adalah sosialisasi melalui sentra-sentra kegiatan masyarakat, di mana perempuan-perempuan atau ibu-ibu berkumpul,” ujarnya.
Dalam pandangan Netty, banyak hal yang membuat seorang ibu tidak memberikan ASI kepada anaknya, dari minimnya informasi dan pengetahuan, mitos, hingga tersedianya layanan kesehatan. Karena itu, fasilitas layanan kesehatan melakukan upaya ‘jemput bola’ sebagai wujud promotif-preventif dalam mencegah stunting, gizi buruk.
“Yang sekarang menjadi andalan pemerintah itu posyandu. Ada 50-100 ibu setiap bulan kumpul di posyandu. Mulai dari hamil di bulan pertama sampai proses kehamilan. Seharusnya di situlah peran pemerintah dengan ujung tombaknya posyandu yang harus terus ditingkatkan kapasitas, seperti capacity building bagi kader-kadernya sehingga ibu-ibu yang hamil sudah mulai dilakukan penjangkauan, diberi pengetahuan tentang ASI dan pentingnya pemberian ASI untuk bayi kita,” tambahnya.
Sebelumnya, peneliti Ray Wagiu Basrowi dari Iluni Kedokteran Kerja FKUI, menjelaskan, lebih dari 70% ibu Indonesia yang merupakan pekerja buruh dan sedang masa menyusui, sama sekali tidak mengerti bahwa menyusui merupakan perilaku sehat yang bisa bermanfaat bagi tumbuh kembang bayi dan juga kesehatan ibu itu sendiri. (Baca juga: Mantan Menkeu Sebut Ada Tiga Bisnis yang Terancam Tutup)
Anggia lantas menuturkan, minimnya pemberian ASI kepada bayi di Indonesia disebabkan persoalan pola asuh. Padahal, agama seperti Islam sudah mewajibkan para perempuan untuk memberikan kolostrom, ASI yang keluar pertama kali setelah melahirkan, kepada bayinya.
"Artinya, kalau kita bicara konteks agama, sudah jelas. Di Alquran juga sudah jelas. Fatayat NU juga punya bukunya itu. Tapi, masalahnya kalau hanya Fatayat pesan ini tidak maksimal tersampaikan kepada masyarakat," ujarnya.
Netty Prasetiyani juga menegaskan bahwa pemberian ASI eksklusif masih menjadi pekerjaan rumah di Indonesia. Dia mengakui tanggung jawab mendorong program tersebut bukan hanya di pundak pemerintah, tapi harus didistribusikan secara merata ke pihak terkait.
“Pemerintah harus bekerja keras dengan ASI ini, apalagi menjadi salah satu agenda promosi kesehatan (promkes). Jadi, dari 10 perilaku hidup bersih dan sehat dalam tatanan rumah tangga itu adalah pemberian ASI eksklusif,” kata Netty. (Baca juga: Pria Dewasa Ketagihan Minum Air Susu Ibu, Ini Efeknya)
Dia kemudian mengingatkan amanat UU Nomor 36/2009 yang menyebut setiap pihak, masyarakat, dunia usaha mestinya menyediakan ruang laktasi. Bagi yang menghalangi ibu yang memberikan ASI, maka bisa dikenai ancaman hukuman kurungan dan denda hingga Rp100 juta.
Menurut dia, pemerintah harus menjalankan fungsi pengawasan dan kerja koordinatif dengan lintas sektoral. Termasuk memastikan penerapan dan ketersediaan ruang laktasi di kantor maupun ruang publik. “Yang tidak kalah penting dan menjadi hal mendasar adalah sosialisasi melalui sentra-sentra kegiatan masyarakat, di mana perempuan-perempuan atau ibu-ibu berkumpul,” ujarnya.
Dalam pandangan Netty, banyak hal yang membuat seorang ibu tidak memberikan ASI kepada anaknya, dari minimnya informasi dan pengetahuan, mitos, hingga tersedianya layanan kesehatan. Karena itu, fasilitas layanan kesehatan melakukan upaya ‘jemput bola’ sebagai wujud promotif-preventif dalam mencegah stunting, gizi buruk.
“Yang sekarang menjadi andalan pemerintah itu posyandu. Ada 50-100 ibu setiap bulan kumpul di posyandu. Mulai dari hamil di bulan pertama sampai proses kehamilan. Seharusnya di situlah peran pemerintah dengan ujung tombaknya posyandu yang harus terus ditingkatkan kapasitas, seperti capacity building bagi kader-kadernya sehingga ibu-ibu yang hamil sudah mulai dilakukan penjangkauan, diberi pengetahuan tentang ASI dan pentingnya pemberian ASI untuk bayi kita,” tambahnya.
Sebelumnya, peneliti Ray Wagiu Basrowi dari Iluni Kedokteran Kerja FKUI, menjelaskan, lebih dari 70% ibu Indonesia yang merupakan pekerja buruh dan sedang masa menyusui, sama sekali tidak mengerti bahwa menyusui merupakan perilaku sehat yang bisa bermanfaat bagi tumbuh kembang bayi dan juga kesehatan ibu itu sendiri. (Baca juga: Mantan Menkeu Sebut Ada Tiga Bisnis yang Terancam Tutup)
Lihat Juga :
tulis komentar anda