Dokter Tirta Ungkap Sisi Gelap di Lingkungan Profesinya: Sengsara
Rabu, 21 Agustus 2024 - 22:56 WIB
Dokter lulusan Universitas Gadjah Mada itu lantas mencontohkan perjuangannya ketika menjalani koas (co-ass) pada tahun 2014, tepatnya pada saat program BPJS Kesehatan di Indonesia perdana diberlakukan. Saat itu, Dokter Tirta sempat mengira, perjuangannya telah selesai usai menjadi dokter umum.
Ia berpikir, setelah itu akan dinas di puskesmas, kemudian mengambil SIP dan lantas berekspetasi mendapat gaji sekitar Rp30-Rp40 juta. Namun, faktanya justru tidak demikian.
“Itu udah keos banget, antrean BPJS panjang. Jadi saat itu aku melihat uncertain, wah pusing banget nih. Kupikir setelah jadi dokter umum, udah. Kita dinas di puskesmas, ambil 3 SIP, atau dokter-dokter kita udah bisa dapet gaji 30-40 (juta). Ternyata nggak,” tuturnya.
Bahkan, Dokter Tirta mengaku, saat itu ia justru hanya menerima upah shift jaga sekitar Rp100-Rp150 ribu per hari. Dari sana, Dokter Tirta mulai merasa bahwa profesi dokter kerap mendapat upah yang tidak sebanding dengan perjuangan mereka.
“Uang duduk aja (saat itu) masih 100-150 ribu sehari. Uang duduk itu di dalam dokter ada yang jaga. Kalau kita jaga duduk doang itu sehari segitu,” katanya.
Namun, di sisi lain, masyarakat dan sejumlah pihak justru berdalih bahwa profesi dokter adalah sebuah pengabdian yang semestinya mereka lakukan dengan ikhlas.
“Lebih ke waktu yang harus dikorbankan, ternyata mendapatkan ganjaran uang segitu. Ketika kita komplain soal uang, masyarakat bilang, kan ini pengabdian. Tapi kan aku butuh duit untuk makan,” ungkap Dokter Tirta.
Mengetahui anggapan masyarakat yang salah tentang profesi dokter itu membuatnya miris sekaligus kesal. Pasalnya, Dokter Tirta menilai, dokter juga manusia yang butuh makan dan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
“Itu tuh hatiku yang kayak, waduh. Kita kan butuh uang buat makan ya. Kita tuh profesi kan ya. Tapi ketika kita komplain soal uang, selalu ada defence, ya kamu kan pengabdian, kalau nggak siap kenapa jadi dokter,” bebernya.
Ia berpikir, setelah itu akan dinas di puskesmas, kemudian mengambil SIP dan lantas berekspetasi mendapat gaji sekitar Rp30-Rp40 juta. Namun, faktanya justru tidak demikian.
“Itu udah keos banget, antrean BPJS panjang. Jadi saat itu aku melihat uncertain, wah pusing banget nih. Kupikir setelah jadi dokter umum, udah. Kita dinas di puskesmas, ambil 3 SIP, atau dokter-dokter kita udah bisa dapet gaji 30-40 (juta). Ternyata nggak,” tuturnya.
Bahkan, Dokter Tirta mengaku, saat itu ia justru hanya menerima upah shift jaga sekitar Rp100-Rp150 ribu per hari. Dari sana, Dokter Tirta mulai merasa bahwa profesi dokter kerap mendapat upah yang tidak sebanding dengan perjuangan mereka.
“Uang duduk aja (saat itu) masih 100-150 ribu sehari. Uang duduk itu di dalam dokter ada yang jaga. Kalau kita jaga duduk doang itu sehari segitu,” katanya.
Namun, di sisi lain, masyarakat dan sejumlah pihak justru berdalih bahwa profesi dokter adalah sebuah pengabdian yang semestinya mereka lakukan dengan ikhlas.
“Lebih ke waktu yang harus dikorbankan, ternyata mendapatkan ganjaran uang segitu. Ketika kita komplain soal uang, masyarakat bilang, kan ini pengabdian. Tapi kan aku butuh duit untuk makan,” ungkap Dokter Tirta.
Mengetahui anggapan masyarakat yang salah tentang profesi dokter itu membuatnya miris sekaligus kesal. Pasalnya, Dokter Tirta menilai, dokter juga manusia yang butuh makan dan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
“Itu tuh hatiku yang kayak, waduh. Kita kan butuh uang buat makan ya. Kita tuh profesi kan ya. Tapi ketika kita komplain soal uang, selalu ada defence, ya kamu kan pengabdian, kalau nggak siap kenapa jadi dokter,” bebernya.
tulis komentar anda