Mengenal Penyebab Obesitas pada Anak, Tak Melulu karena Makanan
loading...
A
A
A
JAKARTA - Kasus obesitas pada anak meningkat pesat di dunia. Pada dasarnya tidak ada faktor tunggal penyebab obesitas, termasuk satu jenis makanan. Prinsipnya adalah makanan yang dikonsumsi harus seimbang dengan energi yang dikeluarkan.
Dokter spesialis anak konsultan endokrinologi, dr. Frida Soesanti SpA(K) mengatakan kasus anak obesitas di Bekasi, masih terus diselidiki tim dokter di RSCM. Kemungkinan besar ada kelainan genetik atau faktor internal yang tidak normal, bukan faktor makanan seperti susu kental manis.
Menurut dr. Firda, sebagian besar penyebab obesitas pada anak adalah faktor eksogen atau faktor dari lingkungan luar. Berawal dari orang tua yang membiarkan anak makan berlebihan dan mengonsumsi makanan tinggi kalori terus menerus, tanpa disertai aktivitas fisik cukup.
“Ada pandangan dari keluarga bahwa anak gendut itu lucu. Padahal kalau kita tahu konsekuensinya, anak obes itu tidak ada lucu-lucunya sama sekali,” kata dokter dari RS Brawijaya Antasari ini.
Konsekuensi jangka panjang yang dimaksud dr. Frida adalah munculnya komplikasi serius akibat obesitas, seperti diabetes tipe 2, kolesterol tinggi, hingga perlemakan hati yang datang lebih dini. "Obesitas menyebabkan peradangan di sel-sel tubuh secara terus menerus yang berujung munculnya berbagai penyakit kronis,” tambah sekretaris Unit Kerja Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Faktor internal seperti kelainan genetik dan faktor gangguan hormonal, lanjut dr. Frida, memang bisa menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas. Tetapi, kasusnya relatif kecil dibandingkan dengan obesitas yang disebabkan gaya hidup tidak sehat.
Kasus obesitas yang disebabkan kelainan genetik atau gangguan hormonal, biasanya disertai gejala lain yang tidak normal. Misalnya, kelainan genetik prader willi syndrome, yang ditandai dengan nafsu makan yang sangat besar, kelebihan hormon kortisol, atau kekurangan hormon tiroid yang juga bisa menyebabkan obesitas.
“Tetapi umumnya obesitas karena kelainan genetik atau hormonal, tidak disertai peningkatan tinggi badan. Jadi anaknya pendek tetapi gemuk. Sementara pada anak yang kelebihan berat badan, tinggi badannya kan juga bertambah. Syndrome karena kelainan genetik biasanya disertai dengan gejala lain, misalnya kelainan mata atau jantung,” papar dr. Frida.
Untuk mencegah anak mengalami obesitas, orang tua perlu memantau tumbuh kembang anak sejak dilahirkan. Ukur tinggi dan berat badan anak secara rutin, minimal saat datang untuk imunisasi. Saat anak mengalami kenaikan berat badan yang tidak wajar, pastikan proporsi dengan tinggi badannya seimbang.
“Kriteria obesitas pada anak berbeda dengan orang dewasa. Pada orang dewasa, nilai BMI ditentukan dengan angka. Tetapi pada anak kita menggunakan kurva pertumbuhan karena memperhitungkan penambahan tinggi badan. Jika berat badan anak menurut tinggi badannya lebih dari 120% maka sudah termasuk obesitas,” ungkap dr. Frida.
Dijelaskan dr. Frida, penanganan obesitas pada anak perlu kerjasama seluruh anggota keluarga. Pemahaman gizi penting, minimal orang tua harus paham makanan mana yang sehat dan makanan yang harus dibatasi untuk anak.
Hal senada disampaikan oleh dr. Diana F. Suganda, M.Kes, SpGK, dari RSPI Bintaro Jaya. Menurutnya salah satu bentuk edukasi gizi di dalam keluarga adalah calon orang tua mesti memiliki ilmu gizi yang cukup. Edukasi ini bisa dilakukan jauh sebelum merencanakan pernikahan, saat hamil, melahirkan, dan seterusnya.
“Masuk fase MPASI, pastikan orang tua memahami bahwa anak butuh makan dalam bentuk gizi seimbang. Makan sesuai kebutuhan bukan keinginan si anak atau keinginan orangtua,” jelas dr. Diana.
Komposisi gizi seimbang yang dibutuhkan anak berupa karbohidrat, protein hewani dan protein nabati, serta zat gizi mikro lainnya. Pastikan makan sesuai kebutuhan anak dan kelompok usia tumbuh kembangnya.
“Prinsipnya makan dengan kebutuhan kalori sesuai kelompok usia. Orang tua harus paham hal ini untuk menghindari asupan kalori berlebih pada anak sehingga terhindar dari risiko obesitas,” ujar dr. Diana.
Selain memilih jenis makanan, perhatikan juga cara masaknnya. Kurangi makanan yang digoreng, misalnya cukup 1-2 kali seminggu. Selebihnya atur cara masak dengan ditumis, sop bening, pepes, panggang. Semua cara itu sangat efektif mengurasi asupan kalori si anak.
“Hindari makanan olahan dan makanan frozen, kaleng, snack. Kenalkan anak pada makanan segar dan olahan sendiri. Daripada makan naget mending makan ayam, daripada sosis mending masak daging cincang. Pilih makanan segar seperti buah-buahan dan sayuran segar,” ucap dr. Diana.
“Anak jangan disuruh diet. Karena kalau makanannya dikurangi secara dratis dan tiba-tiba, anak akan kelaparan dan malah akan menjadi craving dan akan makan lebih banyak lagi," sambung. dr. Frida.
Cara paling direkomendasikan adalah mengembalikan kebutuhan kalori anak sesuai usia dan kebutuhannya. Buat jadwal makan tiga kali sehari dan dua kali snack. Makan harus lebih banyak daripada snack. Berikan menu bervariasi terdiri dari karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. “Pastikan menunya berwarna-warni karena yang berwarna-warni pasti sehat, berarti di situ ada buah dan sayuran,” lanjutnya.
Salah satu bentuk literasi gizi yang baik adalah membiasakan membaca label kemasan pada produk makanan dan minuman. Perhatikan jumlah kalori yang tersedia dalam nutrition facts atau informasi nilai gizi sesuai kebutuhan harian.
“Pastikan orang tua paham cara membaca label kemasan ini. Informasi gizi ini biasanya diukur per-penyajian. Jumlah kalori yang ada misalnya persaji 200 kalori, tapi setiap 1 kemasan mengandung 2 kali saran penyajian. Jadi kalau langsung dihabiskan berarti kalori yang dikonsumsi sebanyak 2 x 200 kalori jadi 400 kalori. Jumlah yang sangat berlebihan untuk sebuah camilan atau makanan selingan," tandasnya.
Pastikan juga kadar gula dan kadar garamnya. Orang yang peduli pada kebutuhan gizi, pasti akan selalu membaca label kemasan, membatasi porsi kalori, garam, dan gula sesuai kebutuhan harian dan usia anak.
Dokter spesialis anak konsultan endokrinologi, dr. Frida Soesanti SpA(K) mengatakan kasus anak obesitas di Bekasi, masih terus diselidiki tim dokter di RSCM. Kemungkinan besar ada kelainan genetik atau faktor internal yang tidak normal, bukan faktor makanan seperti susu kental manis.
Menurut dr. Firda, sebagian besar penyebab obesitas pada anak adalah faktor eksogen atau faktor dari lingkungan luar. Berawal dari orang tua yang membiarkan anak makan berlebihan dan mengonsumsi makanan tinggi kalori terus menerus, tanpa disertai aktivitas fisik cukup.
“Ada pandangan dari keluarga bahwa anak gendut itu lucu. Padahal kalau kita tahu konsekuensinya, anak obes itu tidak ada lucu-lucunya sama sekali,” kata dokter dari RS Brawijaya Antasari ini.
Konsekuensi jangka panjang yang dimaksud dr. Frida adalah munculnya komplikasi serius akibat obesitas, seperti diabetes tipe 2, kolesterol tinggi, hingga perlemakan hati yang datang lebih dini. "Obesitas menyebabkan peradangan di sel-sel tubuh secara terus menerus yang berujung munculnya berbagai penyakit kronis,” tambah sekretaris Unit Kerja Endokrinologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI).
Faktor internal seperti kelainan genetik dan faktor gangguan hormonal, lanjut dr. Frida, memang bisa menyebabkan kelebihan berat badan dan obesitas. Tetapi, kasusnya relatif kecil dibandingkan dengan obesitas yang disebabkan gaya hidup tidak sehat.
Kasus obesitas yang disebabkan kelainan genetik atau gangguan hormonal, biasanya disertai gejala lain yang tidak normal. Misalnya, kelainan genetik prader willi syndrome, yang ditandai dengan nafsu makan yang sangat besar, kelebihan hormon kortisol, atau kekurangan hormon tiroid yang juga bisa menyebabkan obesitas.
“Tetapi umumnya obesitas karena kelainan genetik atau hormonal, tidak disertai peningkatan tinggi badan. Jadi anaknya pendek tetapi gemuk. Sementara pada anak yang kelebihan berat badan, tinggi badannya kan juga bertambah. Syndrome karena kelainan genetik biasanya disertai dengan gejala lain, misalnya kelainan mata atau jantung,” papar dr. Frida.
Untuk mencegah anak mengalami obesitas, orang tua perlu memantau tumbuh kembang anak sejak dilahirkan. Ukur tinggi dan berat badan anak secara rutin, minimal saat datang untuk imunisasi. Saat anak mengalami kenaikan berat badan yang tidak wajar, pastikan proporsi dengan tinggi badannya seimbang.
“Kriteria obesitas pada anak berbeda dengan orang dewasa. Pada orang dewasa, nilai BMI ditentukan dengan angka. Tetapi pada anak kita menggunakan kurva pertumbuhan karena memperhitungkan penambahan tinggi badan. Jika berat badan anak menurut tinggi badannya lebih dari 120% maka sudah termasuk obesitas,” ungkap dr. Frida.
Baca Juga
Dijelaskan dr. Frida, penanganan obesitas pada anak perlu kerjasama seluruh anggota keluarga. Pemahaman gizi penting, minimal orang tua harus paham makanan mana yang sehat dan makanan yang harus dibatasi untuk anak.
Hal senada disampaikan oleh dr. Diana F. Suganda, M.Kes, SpGK, dari RSPI Bintaro Jaya. Menurutnya salah satu bentuk edukasi gizi di dalam keluarga adalah calon orang tua mesti memiliki ilmu gizi yang cukup. Edukasi ini bisa dilakukan jauh sebelum merencanakan pernikahan, saat hamil, melahirkan, dan seterusnya.
“Masuk fase MPASI, pastikan orang tua memahami bahwa anak butuh makan dalam bentuk gizi seimbang. Makan sesuai kebutuhan bukan keinginan si anak atau keinginan orangtua,” jelas dr. Diana.
Komposisi gizi seimbang yang dibutuhkan anak berupa karbohidrat, protein hewani dan protein nabati, serta zat gizi mikro lainnya. Pastikan makan sesuai kebutuhan anak dan kelompok usia tumbuh kembangnya.
“Prinsipnya makan dengan kebutuhan kalori sesuai kelompok usia. Orang tua harus paham hal ini untuk menghindari asupan kalori berlebih pada anak sehingga terhindar dari risiko obesitas,” ujar dr. Diana.
Selain memilih jenis makanan, perhatikan juga cara masaknnya. Kurangi makanan yang digoreng, misalnya cukup 1-2 kali seminggu. Selebihnya atur cara masak dengan ditumis, sop bening, pepes, panggang. Semua cara itu sangat efektif mengurasi asupan kalori si anak.
“Hindari makanan olahan dan makanan frozen, kaleng, snack. Kenalkan anak pada makanan segar dan olahan sendiri. Daripada makan naget mending makan ayam, daripada sosis mending masak daging cincang. Pilih makanan segar seperti buah-buahan dan sayuran segar,” ucap dr. Diana.
“Anak jangan disuruh diet. Karena kalau makanannya dikurangi secara dratis dan tiba-tiba, anak akan kelaparan dan malah akan menjadi craving dan akan makan lebih banyak lagi," sambung. dr. Frida.
Cara paling direkomendasikan adalah mengembalikan kebutuhan kalori anak sesuai usia dan kebutuhannya. Buat jadwal makan tiga kali sehari dan dua kali snack. Makan harus lebih banyak daripada snack. Berikan menu bervariasi terdiri dari karbohidrat, protein, vitamin dan mineral. “Pastikan menunya berwarna-warni karena yang berwarna-warni pasti sehat, berarti di situ ada buah dan sayuran,” lanjutnya.
Salah satu bentuk literasi gizi yang baik adalah membiasakan membaca label kemasan pada produk makanan dan minuman. Perhatikan jumlah kalori yang tersedia dalam nutrition facts atau informasi nilai gizi sesuai kebutuhan harian.
“Pastikan orang tua paham cara membaca label kemasan ini. Informasi gizi ini biasanya diukur per-penyajian. Jumlah kalori yang ada misalnya persaji 200 kalori, tapi setiap 1 kemasan mengandung 2 kali saran penyajian. Jadi kalau langsung dihabiskan berarti kalori yang dikonsumsi sebanyak 2 x 200 kalori jadi 400 kalori. Jumlah yang sangat berlebihan untuk sebuah camilan atau makanan selingan," tandasnya.
Pastikan juga kadar gula dan kadar garamnya. Orang yang peduli pada kebutuhan gizi, pasti akan selalu membaca label kemasan, membatasi porsi kalori, garam, dan gula sesuai kebutuhan harian dan usia anak.
(dra)