Kenapa Orang Membagikan Informasi Menyesatkan atau Hoax?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Era digitalisasi kerap sekali menjadi bahasan kompleks karena adaptasi yang terjadi diruang publik menghadapi kemajuan alat teknologi. Informasi yang menjadi sangat mudah diterima oleh masyarakat karena aksesnya yang cepat.
Informasi yang diterima oleh sosial ini sifatnya beragam, hingga sampailah kepada informasi yang tidak jelas kebenarannya. Informasi yang tidak jelas kebenarannya ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan.
Agar mudah dipahami, informasi palsu ini penulis bagikan menjadi tiga golongan:
Pertama, informasi yang sifatnya mengarah kepada kontroversial. Karena bersifat menghebohkan terdapat arus atau sinyal perhatian masyarakat media sosial yang membawa popularitas terhadap informasi tersebut. Popularitas inilah yang pada akhirnya akan menjadi “alat” bagi beberapa oknum untuk melakukan kepentingannya.
Dalam hal ini, secara psikologis masyarakat memiliki kecendrungan untuk menyukai dan membagikan informasi yang ada tanpa menilik lebih jauh isi dari informasi yang disampaikan, beberapa justru tidak peduli terhadap isinya.
Beberapa penelitian menunjukkan bahkan masyarakat dunia maya kerap kali membagikan link yang berisi headline tertentu tanpa membuka link yang dibagikan. Eksperimen yang sama dilakukan oleh National Public Radio (NPR) yang membagikan satu postingan di media sosial dengan headlines kontroversial berjudul “Why Doesn’t America Doesn’t Read Anymore.”
Di dalam artikel yang dibagikan tersebut terdapat penjelasan bahwa headlines yang diambil merupakan jokes sarkastik. Tapi lagi-lagi masyarakat media sosial langsung membagikan artikel tersebut dengan begitu cepat, menyukai dan memberikan komentar tanpa membaca isi informasi yang dibagikan.
Kedua, informasi palsu yang memiliki keberpihakan. Biasanya informasi seperti ini memiliki refleks yang sangat kuat atau memiliki “keinginan” untuk menjatuhkan satu pihak.
Ketiga, informasi palsu yang tidak jelas apa tujuannya seolah-olah ini menjadi bahan “permainan” oleh suatu pihak.
Fenomena arus informasi palsu ini kemudian membawa “keindahan” teknologi ini menjadi “bandwagon effect” atau efek berkelanjutan yang semestinya menjadi refleksi kita sebagai masyarakat Indonesia yang juga sebagai warga “media sosial” harus memikirkan: Apa jadinya informasi palsu saat ini yang sebegitu gampangnya mengecohkan masyarakat? Apakah masyarakat akan terus membiarkan hal seperti ini terjadi?
Apakah masyarakat secara mandiri mau mengubah cara untuk mendapatkan informasi dengan mengkurasi kebenaran dari informasi yang diterimanya atau mencoba menggunakan aplikasi informasi terkurasi memberikan kemudahan untuk menimalisir informasi palsu yang menyesatkan seperti itu? Negara Indonesia memiliki aplikasi informasi yang terkurasi diluncurkan pada tahun 2021 oleh MNC Group bernama BuddyKu .
Aplikasi ini berupaya membantu masyarakat menghadapi permasalahan informasi di era digitalisasi saat ini. Informasi yang akan diterima sudah dikurasi sehingga masyarakat tidak perlu melakukan cek berulang yang mungkin bagi sebagian orang cenderung melelahkan atau menguras banyak waktu.
Tapi, apakah masyarakat mau memulai menerima informasi dengan aplikasi seperti BuddyKu ini? Atau sebaliknya, apakah justru aplikasi dengan informasi yang jelas tanpa adanya kontroversi justru tidak menarik bagi masyarakat?
Informasi yang diterima oleh sosial ini sifatnya beragam, hingga sampailah kepada informasi yang tidak jelas kebenarannya. Informasi yang tidak jelas kebenarannya ini dapat dibagi menjadi beberapa golongan.
Agar mudah dipahami, informasi palsu ini penulis bagikan menjadi tiga golongan:
Pertama, informasi yang sifatnya mengarah kepada kontroversial. Karena bersifat menghebohkan terdapat arus atau sinyal perhatian masyarakat media sosial yang membawa popularitas terhadap informasi tersebut. Popularitas inilah yang pada akhirnya akan menjadi “alat” bagi beberapa oknum untuk melakukan kepentingannya.
Dalam hal ini, secara psikologis masyarakat memiliki kecendrungan untuk menyukai dan membagikan informasi yang ada tanpa menilik lebih jauh isi dari informasi yang disampaikan, beberapa justru tidak peduli terhadap isinya.
Baca Juga
Beberapa penelitian menunjukkan bahkan masyarakat dunia maya kerap kali membagikan link yang berisi headline tertentu tanpa membuka link yang dibagikan. Eksperimen yang sama dilakukan oleh National Public Radio (NPR) yang membagikan satu postingan di media sosial dengan headlines kontroversial berjudul “Why Doesn’t America Doesn’t Read Anymore.”
Di dalam artikel yang dibagikan tersebut terdapat penjelasan bahwa headlines yang diambil merupakan jokes sarkastik. Tapi lagi-lagi masyarakat media sosial langsung membagikan artikel tersebut dengan begitu cepat, menyukai dan memberikan komentar tanpa membaca isi informasi yang dibagikan.
Kedua, informasi palsu yang memiliki keberpihakan. Biasanya informasi seperti ini memiliki refleks yang sangat kuat atau memiliki “keinginan” untuk menjatuhkan satu pihak.
Ketiga, informasi palsu yang tidak jelas apa tujuannya seolah-olah ini menjadi bahan “permainan” oleh suatu pihak.
Fenomena arus informasi palsu ini kemudian membawa “keindahan” teknologi ini menjadi “bandwagon effect” atau efek berkelanjutan yang semestinya menjadi refleksi kita sebagai masyarakat Indonesia yang juga sebagai warga “media sosial” harus memikirkan: Apa jadinya informasi palsu saat ini yang sebegitu gampangnya mengecohkan masyarakat? Apakah masyarakat akan terus membiarkan hal seperti ini terjadi?
Baca Juga
Apakah masyarakat secara mandiri mau mengubah cara untuk mendapatkan informasi dengan mengkurasi kebenaran dari informasi yang diterimanya atau mencoba menggunakan aplikasi informasi terkurasi memberikan kemudahan untuk menimalisir informasi palsu yang menyesatkan seperti itu? Negara Indonesia memiliki aplikasi informasi yang terkurasi diluncurkan pada tahun 2021 oleh MNC Group bernama BuddyKu .
Aplikasi ini berupaya membantu masyarakat menghadapi permasalahan informasi di era digitalisasi saat ini. Informasi yang akan diterima sudah dikurasi sehingga masyarakat tidak perlu melakukan cek berulang yang mungkin bagi sebagian orang cenderung melelahkan atau menguras banyak waktu.
Tapi, apakah masyarakat mau memulai menerima informasi dengan aplikasi seperti BuddyKu ini? Atau sebaliknya, apakah justru aplikasi dengan informasi yang jelas tanpa adanya kontroversi justru tidak menarik bagi masyarakat?
(dra)