Multifaktor Penyebab Stunting, Cegah Sedini Mungkin

Sabtu, 13 Januari 2024 - 01:30 WIB
loading...
Multifaktor Penyebab Stunting, Cegah Sedini Mungkin
Berdasarkan SSGI pada tahun 2022, angka stunting mencapai 21,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa satu dari lima anak Indonesia mengalami stunting. Foto/The Guardian
A A A
JAKARTA - Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) pada tahun 2022, angka stunting mencapai 21,6 persen. Hal ini menunjukkan bahwa satu dari lima anak Indonesia mengalami stunting. Kondisi ini tentu masih jauh dari target pemerintah yang akan menurunkan angka stunting menjadi 14 persen pada 2024.

Stunting adalah kondisi yang ditandai dengan tinggi badan anak yang tidak sesuai menurut umurnya. Hal ini menjadi pertanda bahwa anak mengalami gangguan pertumbuhan yang diakibatkan kekurangan gizi kronis atau infeksi berulang. Stunting bisa terjadi sejak bayi baru lahir hingga dalam rentang usia 24 bulan.

Kementerian kesehatan menyebutkan kelompok usia paling tinggi mengalami kenaikan prevalensi stunting adalah sejak bayi usia 6 bulan hingga berusia 23 bulan. “Pada bayi baru lahir prevalensinya 18,5 persen. Sementara pada bayi usia 6-11 bulan prevalensinya 13,7 persen dan bayi usia 12-23 bulan mencapai 22,4 persen. Artinya pada kelompok usia 6-11 bulan dan 12-23 bulan terjadi prevalensi stuntingnya meningkat hingga 1,6 kali,” papar Ketua Tim Kerja Standar Kecukupan Gizi Bapak Mahmud Fauzi, S.K.M., M.Kes.

Fauzi kemudian menyebutkan penyebab stunting sangatlah multifaktor, mulai dari ada tidaknya masalah gizi sejak remaja putri, asupan gizi yang tidak optimal saat ibu hamil, pemberian makan pada bayi yang tidak adekuat, ada tidaknya infeksi yang dialami anak, pola asuh hingga sosial ekonomi keluarga. Namun jika dilihat dari prevalensi kelompok usia 6-23 bulan, salah satu faktor penyebab langsung terjadinya stunting menurut Fauzi adalah pemberian makanan pendamping ASI (MPASI) yang kurang bergizi serta minim protein hewani.



“Hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan dan pemahaman ibu akan kesehatan dan gizi anak, ditambah faktor lingkungan setempat yang kurang mendukung,” tegas Fauzi.

Hal senada juga ditegaskan oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai Ketua Pelaksana Program Percepatan Penurunan Stunting. Sering kali orang menghubungkan stunting dengan kemiskinan, karena ini merujuk pada salah satu penyebab terjadinya sanitasi yang buruk dan air minum tidak layak.

“Tapi penelitian menunjukkan, justru yang paling menentukan adalah bagaimana pola asuh di keluarga, kata Direktur Ketahanan Remaja BKKBN Edi Setiawan. Pola asuh, sambung Edi, akan diaktualisasikan dengan mencukupi kebutuhan gizi mulai dari ibu mengandung yang kemudian dioptimalkan dengan pemberian ASI eksklusif serta MPASI bergizi, tinggi protein hewani dan aman. Semuanya balik lagi ke pola asuh, karena pola asuh menentukan pola makan,“ imbuh Edi.

Bicara tentang pola makan maka tentu akan berkaitan dengan faktor gizi. Lantas bagaimanakah pengaruh konsumsi gula menjadi penyebab stunting? Terlebih beberapa waktu lalu terdapat kasus stunting yang dicurigai karena pemberian Susu Kental Manis (SKM) dan makanan tinggi gula. Fauzi menegaskan, hal pertama yang harus dicermati adalah apakah anak sudah mengonsumsi aneka ragam makanan bergizi. Pada dasarnya masalah under nutrition seperti stunting sangat dipengaruhi karena kurangnya konsumsi makanan yang bergizi, terutama protein hewani dan adanya masalah infeksi yang dialami anak.



“Terkait makanan minuman yang tinggi gula, kita ketahui bahwa untuk anak< 2 tahun asupan gula dalam bentuk gula tambahan dibatasi < 5 persen total kalori yaitu: 50-60 kalori. Jadi kurang tepat kalau konsumi gula yang tinggi dikatakan penyebab stunting," papar Fauzi.

Edi pun berpendapat hal yang sama. Menurutnya sampai saat ini belum ada yang menyebutkan gula menjadi penyebab stunting. “Sejauh asupan gizi tercukupi tidak masalah. Dampak konsumsi gula berlebih adalah obesitas pada baduta dan balita," lanjutnya.

Lebih lanjut Edi juga menegaskan konsumsi makanan manis merupakan bagian dari pola asuh. Jika dibiasakan dengan makanan sehat maka akan lebih terjaga pola gizinya. “Inilah mengapa pola asuh, termasuk pemberian makanan yang akan menentukan apakah anak stunting atau tidak," ungkapnya.

Mengingat pentingnya memasukkan protein hewani dalam makanan anak sebagai cara untuk mencegah terjadinya stunting, bagaimanakah sebenarnya pemahanan orangtua terhadap hal ini? Lucia Nauli Simbolon menjelaskan, Masyarakat masih banyak yang belum berani memberikan makanan pertama protein hewani. “Orangtua ketika anak mulai MPASI selalu bertanya apakah makanan pertama tidak kuah dulu atau sayur dulu? Mereka menyakini makanan pertama anak adalah buah atau sayur daripada protein hewani,” kata dokter spesialis anak ini.



Padahal, sambung Lucia, anak membutuhkan nutrisi makro dan mikro. Makro dari karbohidrat, lemak dan protein. “Untuk karbohidrat, orang Indonesia suka nasi dan makanan yang manis. Padahal karbohidrat bisa juga diganti dengan ubi ungu atau kentang,“ jelasnya.

Untuk protein hewani bisa berasal dari ikan karena memiliki kadar DHA tinggi yang penting untuk otak. Tapi untuk pembentukan otot, Lucia menyebutkan daging merah dan ayam sebagai sumbernya. Sementara sumber lemak juga bukan hanya dari butter atau keju, tapi juga bisa santan. Menurut Lucia penting bagi orangtua untuk mengoptimalkan asupan protein hewani pada makan anak, dimana 20 persen adalah protein hewani dan 30 persen lemak juga wajib berasal dari hewani.

“Hitung prosi anak sekitar 20-25 gram protein hewani. Awal-awal ditimbang agar tahu misalnya berapa banyak ikan Lele yang harus diberikan untuk mendapatkan 25 gram protein hewani. Protein nabati itu bonus saja,“ sarannya.

Pentingnya pemberian asupan protein hewani juga sejalan dengan pedoman baru MPASI yang dikeluarkan WHO. Dalam keterangannya,WHO merekomendasikan pemberian ASI seharusnya dilanjutkan hingga usia 2 tahun. Pada bayi usia 6-11 bulan yang tidak mendapatkan ASI bisa diberikan susu formula atau susu hewani.

Adapun untuk anak berusia 12-23 bulan yang diberikan susu selain ASI, susu yang diberikan sebaiknya merupakan susu hewani. Dalam keterangannya disebutkan bahwa produk susu termasuk cairan susu hewani, adalah bagian dari pola makan beragam yang berkontribusi pada kecukupan gizi.

Hal yang juga penting dilakukan adalah mencegah terjadinya stunting. Kemenkes sendiri disebutkan Fauzi memiliki 11 intervensi spesifik untuk mencegah terjadinya stunting mulai dari masa kehamilan, sebelum lahir, dan setelah melahirkan. “Intervensinya bahkan dimulai sejak masih remaja putri, yaitu dengan memberikan tablet tambah darah (TTD) untuk mencegah anemia," ungkapnya.

Remaja putri dengan anemia tentunya akan berisiko mengalami anemi pada saat hamil bila tidak diobati. Inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya stunting dari masa kehamilan. Untuk itu menurut Lucia, merencanakan kehamilan juga menjadi faktor penting dalam mencegah terjadinya stunting.

“Karena ibunya akan rajin memeriksakan kehamilan ke fasilitas kesehatan. Setelah melahirkan, ibunya akan memberikan ASI eksklusif selama enam bulan dan tetap memberikan ASI hingga 2 tahun. Kemudian dilanjutkan dengan memberikan MPASI yang tinggi protein hewani," ucapnya.

Intervensi dini juga dilakukan oleh BKKBN pada calon pengantin melalui program Elektronik Siap Nikah Siap Hamil (Elsimil). Dijelaskan Edi, ini adalah perangkat berbasis aplikasi dan website untuk menskrining status kesehatan calon pengantin. Kalau sudah ideal akan dikeluarkan sertifikat siap nikah siap hamil.

Lantas untuk calon pengantin yang status kesehatannya tidak ideal apakah berarti tidak boleh menikah?

“Tetap boleh menikah, tetapi dalam pengawasan tim pendamping keluarga. Harapannya tidak hamil dulu, maksimal 3 bulan sampai status kesehatannya membaik. Mereka juga diedukasi apa risikonya kalau tetap hamil, misal ibu yang anemia akan melahirkan anak yang stunting dan sebagainya," ujarnya.

Selain itu BKKBN juga memiliki Tim Pendamping Keluarga yang ada di semua desa. Tim ini terdiri dari bidan desa atau tenaga kesehatan, kader BKKBN dan kader PKK. Tugasnya, sambung Edi, adalah mengawal dan mendampingi keluarga yang punya anak stunting atau berisiko stunting.

Sementara program intervensi gizi yang dilakukan BKKBN adalah Dapur Sehat Atasi Stunting (Dasat). Konsepnya adalah menghidupkan sumber pangan bergizi yang ada di wilayah tersebut. Misalnya satu daerah berbasis talas, maka dibuatlah makanan bergizi dengan bahan utama talas yang dicampur ikan, telur, atau daging ayam.

“Ini dikelola oleh Kampoeng KB dan makanan begizi tersebut didistribusikan ke anak yang stunting atau berisiko stunting," paparnya.

Ada juga program Bapak Asuh atau Bunda Asuh Anak Stunting (BAAS) yang unsur utamanya adalah kepala daerah atau semua komponen masyarakat. Mereka kemudian menyumbang melalui badan zakat untuk bisa menyalurkan makanan bergizi selama 6 bulan untuk memperbaiki status gizi anak stunting.

Dengan program-program tersebut dan ditambah melibatkan semua kementerian, Edi optimis target menurunkan stunting hingga 14 persen akan tercapai. “Kuncinya adalah pelaksanaan dan sinergitas di akar rumput,” pungkasnya.
(dra)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1609 seconds (0.1#10.140)