Mengenal Budaya dan Kekayaan Suku Kamoro di Papua

Selasa, 21 Agustus 2018 - 20:01 WIB
Mengenal Budaya dan Kekayaan Suku Kamoro di Papua
Mengenal Budaya dan Kekayaan Suku Kamoro di Papua
A A A
JAKARTA - Suku Kamoro merupakan salah satu dari sekitar 300 suku yang ada di Papua. Sayangnya suku Kamoro belum dikenal luas masyarakat Indonesia, layaknya suku lain di Papua, seperti suku Dani dan suku Asmat.

Padahal suku Kamoro memiliki budaya yang sangat kaya, mulai ritual alam, upacara adat, seni ukir, anyaman, hingga berbagai tarian dan hasil kerajinan yang bernilai seni. Menariknya, suku yang mendiami di wilayah pesisir Kabupaten Mimika, Papua Barat ini memiliki 12 jenis kerajinan dengan berbagai macam bentuk dari mulai lukisan, ukiran, pahatan dan berbagai bentuk lainnya.

Ini yang membuat Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe bersama Freeport Indonesia memperlihatkan kekayaan suku Kamoro lewat Festival Indonesia Timur di Pendopo Living World Alam Sutera, mulai 1 hingga31 Agustus 2018.

Dalam acara tersebut, suku Kamoro memamerkan karya seni dan sejumlah pernak-pernik hingga karya pahatan dan berbagai ukiran indah. Tak lupa, beberapa seniman suku Kamoro yang terbang langsung dari Timika memberikan pertunjukkan tarian khasnya di acara tersebut.

“Yang kita lakukan dalam Festival Indonesia Timur ini merupakan langkah luar biasa untuk melestarikan sekaligus mempromosikan budaya wilayah Indonesia Timur dan Papua, serta suku Kamoro pada khususnya,” kata Manajer Corporate Communication Freeport Indonesia Kerry Yarangga.

Sebagai putra asli Papua, Kerry merasa Festival Indonesia Timur ini dapat mendorong lebih banyak warga untuk lebih memahami budaya Papua, yang pada akhirnya dapat membangun kedekatan dengan Papua, sebagai sesama anak bangsa Indonesia.

Kerry menjelaskan sekalipun secara administratif wilayah Papua terbagi menjadi Provinsi Papua dan Papua Barat, dalam perspektif adat, wilayah Papua terbagi menjadi 7 wilayah adat.

“Tujuh wilayah adat tersebut terbentang dari Sorong sampai dengan Merauke, yaitu Mamta, Saereri, Ha'anim, Bomberai, Domberai, La Pago, dan Mee Pago. Dalam 7 wilayah adat ini, masing-masing kelompok tersebut dibagi berdasarkan garis budaya. Terdapat sekitar 200 hingga300 suku, dengan bahasa yang berbeda-beda dan salah satu di dalamnya adalah suku Kamoro,” terang Kerry.

Kerry menjelaskan bahwa sebagai salah satu suku yang bertetangga langsung dengan area kerja Freeport Indonesia, maka perusahaan tambang tersebut merasa berkewajiban untuk turut mendukung lestarinya budaya suku Kamoro.

“Kami di Freeport melihat langsung betapa kayanya kebudayaan suku Kamoro ini dan ingin berbagi keindahan ini dengan saudara-saudara kami di Tanah Air,” tambah Kerry.

Pelestarian budaya suku-suku di Papua memang menjadi perhatian besar belakangan ini. Kekayaan budaya yang luar biasa tersebut harus dijaga sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia.

“Ada satu masa ketika budaya suku-suku di Papua sempat mengalami penurunan. Bahkan sempat ada satu tulisan yang menggambarkan bahwa budaya Kamoro berada pada kondisi ‘hidup segan, mati tak mau’. Dari sisi kebudayaan yang masih berjalan, suku ini masih tetap membuat ukiran namun hanya ditujukan untuk keperluan upacara adat dan ritual saja,” jelas Luluk Intarti, pembina Yayasan Maramowe Weaiku Kamorowe yang memberikan pendampingan bagi suku Kamoro dalam melestarikan adat sekaligus membantu akses ekonominya.

Pihaknya sendiri membangun dan memberdayakan masyarakat suku Kamoro dengan melakukan pembinaan selama 20 tahun lebih dan melihat perjuangan suku Kamoro untuk mulai bangkit dan kembali pulih sedikit demi sedikit. Selama ini suku Kamoro belum dapat hidup sendiri dengan mengandalkan budayanya.

“Kami bekerja sama dengan banyak pihak, mulai dari cara dan sumber daya untuk melakukan pembinaan dan pendampingan untuk menjaga budaya suku Kamoro hingga kerjasama dengan berbagi tempat untuk memasarkan hasil kerajinan dari suku Kamoro. Kami sendiri juga tidak bisa hidup kalau tidak ada bantuan dari pihak pihak lain. Dan kebetulan di sana ada Freeport yang dapat memberikan dukungan. Kami juga bisa sampai hari ini hadir, saya terutama bersyukur sekali atas bantuan semua pihak hingga kami bisa hadir di sini,” jelas Luluk.

Suku Kamoro mendiami pesisir Selatan Papua di area yang membentang sepanjang 250 km yang terdiri dari sekitar 40 kampung. Suku Kamoro mendiami kawasan yang berkisar dari sekitar wilayah kerja Freeport hingga mendekati wilayah Fak Fak.

Untuk dapat mencapai salah satu kampung terjauh dalam mengambil hasil karya ukiran bisa memerlukan waktu perjalanan hingga 7 hari. Yayasan Maramowe akan menampung ukiran dari sejumlah kampung suku Kamoro lalu membawanya ke balairung yayasan. Di sana dilakukan kontrol kualitas terlebih dahulu hingga dilakukan perbaikan sebelum akhirnya dipasarkan.

“Untuk dapat menuju proses pemasaran seperti ini, kami juga menghadapi tantangan sendiri. Kami berusaha mempertahankan produk kerajinan dari suku Kamoro ini se-otentik mungkin tanpa ada pengaruh dari luar. Untuk mempertahankan itu, kami duduk bersama-sama dalam mengedukasi komunitas. Langkah itu harus senantiasa dilakukan untuk menjaga kekayaan budaya bangsa ini dan membuatnya lebih dikenal oleh kita semua,” ungkap Luluk.
(tdy)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3568 seconds (0.1#10.140)