Makna Tradisi Nyadran Jelang Ramadan di Bantul, Ziarah hingga Bagi-Bagi Makanan
loading...
A
A
A
BANTUL - Menjelang bulan puasa, masyarakat Jawa biasanya melakukan tradisi Nyadran atau ziarah ke makam para leluhur, seperti ke Makam Sewu, Padukuhan Pedak, Kalurahan Wijirejo, Kapanewon Pandak, Bantul.
Sejumlah orang mengenakan pakaian adat Jawa mengarak gunungan hasil bumi dan ingkung ayam masuk ke dalam area makam. Nantinya, makanan-makanan tersebut akan dibagikan kepada warga setelah didoakan.
Ketua panitia nyadran Makam Sewu Hariyadi mengatakan, bahwa nyadran merupakan salah satu tradisi yang setiap tahun dilaksanakan menjelang bulan Ramadhan. Tradisi ini sebagai ibadah pensucian diri menghadapi bulan puasa.
"Hubungannya dengan Tuhan dan hubungannya dengan sesama. Termasuk yang sesama ini yang sudah meninggal, leluhur kita kita doakan kita tengok sehingga komunikasi kita dari semua arah itu ada," katanya.
Nyadran juga diartikan sebagai tanda syukur atas kelimpahan rezeki yang diterima. Hal itu ditandai dengan bagi-bagi makanan yang dikemas dengan adat Jawa gunungan.
Tak hanya itu, Nyadran juga dimaknai sebagai wujud bakti kepada orangtua termasuk leluhur yang sudah meninggal. Oleh karenanya, warga yang ikut dalam acara ini akan melakukan doa dan bersih-bersih area makam keluarga.
Dijelaskan, rangkaian tradisi Nyadran diawali dengan kirab yang dilakukan oleh warga sekitar. Kemudian dilanjutkan doa dzikir lalu diakhiri tabur bunga di makam Panembahan Bodho. Panembahan Bodho sendiri merupakan tokoh pertama yang menyebarkan agama Islam di Bantul.
Sebetulnya, kata dia, nama asli Panembahan Bodho adalah Raden Trenggono yang dijuluki Ki Joko Bodo. Julukan bodo (bodoh) karena Raden Trenggono enggan mewarisi jabatan Adipati dan malah memilih mensyiarkan agama Islam.
"Disebut Bodho karena dia tidak mau mewarisi tahta Adipati (Gubernur) di Terung, Sidoarjo, itu bagian dari Kadipaten Majapahit yang terakhir, dia tidak mau mewarisi dan milih mensyiarkan agama Islam," ucapnya.
Pada 1600 Masehi Panembahan Bodho meninggal dan dimakamkan di Makam Sewu. Hariyadi juga menjelaskan mengapa kompleks pemakaman seluas 4 hektare ini bernama Makam Sewu bukan kompleks makam Panembahan Bodho.
Awalnya, kata dia, Panembahan Bodho adalah orang pertama yang dimakamkan di tempat tersebut. Karena areanya luas, makam tersebut digunakan untuk menguburkan keluarga Panembahan dan warga sekitar sehingga bertambah banyak.
"Kenapa sewu? Zaman dulu hitungan sewu itu sudah banyak banget, jadi semuanya yang istilahnya banyak dan tidak terbatas itu sewu, belum ada istilah juta maupun milyar. Makanya makam sewu itu makam yang banyak," imbuh Hariyadi.
Hariyadi mengatakan, tradisi nyadran sendiri merupakan penggabungan dari budaya Islam dan Hindu Jawa. Hal ini tampak pada jenis sesajian yang menyerupai orang Hindu namun memiliki makna atau filosofi Islam.
"Tapi maknanya tidak seperti mereka, kita maknanya untuk sedekah. Seperti nasi uduk, nasi putih, ada ingkung sebagai simbol dari pengorbanan diri, dipecah dan dinikmati bareng-bareng anak cucu," ujarnya.
"Selanjutnya ketan, kolak dan apem. Ketan itu kotokan, kotokan itu artinya kesalahan, apem itu afwan, afwan itu pengampunan. Jadi dengan ubo rampe itu diharapkan semua kesalahan yang sudah meninggal itu diampuni," kata dia lagi.
Sementara itu, Lasimin (65) mengatakan hampir setiap tahunnya ia ikut dalam acara nyadran ini. Sebab, salah satu anggota keluarganya juga dimakamkan di makam tersebut.
"Orangtua dari istri (mertua) yang dimakamkan di sini. Kalau setiap jelang puasa pasti nyekar," katanya.
Menurutnya, hal itu menjadi sesuatu yang lumrah dan selalu dilakukan oleh warga lainnya. Menurutnya, selain menjaga tradisi, nyadran atau ziarah makam juga dimaksudkan untuk merawat makam pendahulu-pendahulunya yang telah meninggal dunia.
Sejumlah orang mengenakan pakaian adat Jawa mengarak gunungan hasil bumi dan ingkung ayam masuk ke dalam area makam. Nantinya, makanan-makanan tersebut akan dibagikan kepada warga setelah didoakan.
Ketua panitia nyadran Makam Sewu Hariyadi mengatakan, bahwa nyadran merupakan salah satu tradisi yang setiap tahun dilaksanakan menjelang bulan Ramadhan. Tradisi ini sebagai ibadah pensucian diri menghadapi bulan puasa.
"Hubungannya dengan Tuhan dan hubungannya dengan sesama. Termasuk yang sesama ini yang sudah meninggal, leluhur kita kita doakan kita tengok sehingga komunikasi kita dari semua arah itu ada," katanya.
Nyadran juga diartikan sebagai tanda syukur atas kelimpahan rezeki yang diterima. Hal itu ditandai dengan bagi-bagi makanan yang dikemas dengan adat Jawa gunungan.
Tak hanya itu, Nyadran juga dimaknai sebagai wujud bakti kepada orangtua termasuk leluhur yang sudah meninggal. Oleh karenanya, warga yang ikut dalam acara ini akan melakukan doa dan bersih-bersih area makam keluarga.
Dijelaskan, rangkaian tradisi Nyadran diawali dengan kirab yang dilakukan oleh warga sekitar. Kemudian dilanjutkan doa dzikir lalu diakhiri tabur bunga di makam Panembahan Bodho. Panembahan Bodho sendiri merupakan tokoh pertama yang menyebarkan agama Islam di Bantul.
Sebetulnya, kata dia, nama asli Panembahan Bodho adalah Raden Trenggono yang dijuluki Ki Joko Bodo. Julukan bodo (bodoh) karena Raden Trenggono enggan mewarisi jabatan Adipati dan malah memilih mensyiarkan agama Islam.
"Disebut Bodho karena dia tidak mau mewarisi tahta Adipati (Gubernur) di Terung, Sidoarjo, itu bagian dari Kadipaten Majapahit yang terakhir, dia tidak mau mewarisi dan milih mensyiarkan agama Islam," ucapnya.
Pada 1600 Masehi Panembahan Bodho meninggal dan dimakamkan di Makam Sewu. Hariyadi juga menjelaskan mengapa kompleks pemakaman seluas 4 hektare ini bernama Makam Sewu bukan kompleks makam Panembahan Bodho.
Awalnya, kata dia, Panembahan Bodho adalah orang pertama yang dimakamkan di tempat tersebut. Karena areanya luas, makam tersebut digunakan untuk menguburkan keluarga Panembahan dan warga sekitar sehingga bertambah banyak.
"Kenapa sewu? Zaman dulu hitungan sewu itu sudah banyak banget, jadi semuanya yang istilahnya banyak dan tidak terbatas itu sewu, belum ada istilah juta maupun milyar. Makanya makam sewu itu makam yang banyak," imbuh Hariyadi.
Hariyadi mengatakan, tradisi nyadran sendiri merupakan penggabungan dari budaya Islam dan Hindu Jawa. Hal ini tampak pada jenis sesajian yang menyerupai orang Hindu namun memiliki makna atau filosofi Islam.
"Tapi maknanya tidak seperti mereka, kita maknanya untuk sedekah. Seperti nasi uduk, nasi putih, ada ingkung sebagai simbol dari pengorbanan diri, dipecah dan dinikmati bareng-bareng anak cucu," ujarnya.
"Selanjutnya ketan, kolak dan apem. Ketan itu kotokan, kotokan itu artinya kesalahan, apem itu afwan, afwan itu pengampunan. Jadi dengan ubo rampe itu diharapkan semua kesalahan yang sudah meninggal itu diampuni," kata dia lagi.
Baca Juga
Sementara itu, Lasimin (65) mengatakan hampir setiap tahunnya ia ikut dalam acara nyadran ini. Sebab, salah satu anggota keluarganya juga dimakamkan di makam tersebut.
"Orangtua dari istri (mertua) yang dimakamkan di sini. Kalau setiap jelang puasa pasti nyekar," katanya.
Menurutnya, hal itu menjadi sesuatu yang lumrah dan selalu dilakukan oleh warga lainnya. Menurutnya, selain menjaga tradisi, nyadran atau ziarah makam juga dimaksudkan untuk merawat makam pendahulu-pendahulunya yang telah meninggal dunia.
(tdy)