Mulai Uji Klinis Kedua, Epidemiolog Beri Dua Catatan Terhadap Vaksin Nusantara
loading...
A
A
A
JAKARTA - Vaksin Nusantara yang diinisiasi mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto memulai tahap uji klinis kedua di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dokter Kariadi Semarang, 16 Februari lalu. Penelitian ini dilaksanakan di RS Kariadi Semarang bekerjasama dengan RSPAD Gatot Subroto dan Balitbangkes Kementerian Kesehatan.
Baca juga: Begini Tips Weekend Seru yang Tetap Perhatikan Protokol Kesehatan
Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono berpandangan, vaksin nusantara yang mengandung vaksin dendritik, sebelumnya banyak digunakan untuk terapi pada pasien kanker yang merupakan terapi yang bersifat individual.
Menurut Pandu, untuk imunoterapi kanker bukan karena setiap orang diberi jumlah sel dendritik, tetapi karena setiap orang sel dendritik-nya bisa mendapat perlakuan yang berbeda. Dalam hal ini yang disesuaikan adalah perlakuan terhadap sel dendritik tersebut.
"Jadi pada imunoterapi kanker sel dendritik tetap diberi antigen, tetapi antigennya bisa dari tumornya dia sendiri. Karena itu sifatnya personal," kata Pandu ketika dihubungi awak media di Jakarta, Sabtu (20/2).
Terkait hal itu, Pandu memberikan dua catatan. Pertama, membandingkan perbedaan sel dendritik pada terapi kanker dengan vaksin dendritik. Bahwa untuk terapi kanker sel dendritik tidak ditambahkan apa-apa, hanya diisolasi dari darah pasien untuk kemudian disuntikkan kembali kepada pasien tersebut.
"Sementara, pada vaksin, sel dendritik ditambahkan antigen virus," ujarnya.
Kedua, bahwa sel dendritik perlu pelayanan medis khusus karena membutuhkan peralatan canggih, ruang steril, dan inkubator CO2, dan adanya potensi risiko.
Dengan demikian, sangat besar risiko, antara lain sterilitas, pirogen (ikutnya mikroba yang menyebabkan infeksi), dan tidak terstandar potensi vaksin karena pembuatan individual.
"Jadi, sebenarnya sel deindritik untuk terapi bersifat individual, dikembangkan untuk terapi kanker. Sehingga tidak layak untuk vaksinasi massal," tegas Pandu.
Oleh karena itu, Pandu Riono meminta Menteri Kesehatan, Budi G. Sadikin untuk menghentikan vaksin nusantara demi kepentingan kesehatan masyarakat Indonesia. "Itu kan menggunakan anggaran pemerintah (Kemenkes) atas kuasa pak Terawan sewaktu menjabat Menkes," tegasnya.
Sementara itu, ahli biomolekuler dan vaksinolog, Ines Atmosukarto berpandangan bahwa Vaksin Nusantara datanya diduga belum terlihat. Data uji klinis I belum terlihat dan belum di-update ke data uji klinis global.
"Seharusnya tercatat semua di situ, terakhir saya cek belum ada update hasil uji klinisnya. Apakah vaksin tersebut aman, datanya belum aman," kata Ines.
Baca juga: Banjir Diskon di eMShop, Cek Solusi Tidur Sehat dengan Bantal Latex di Sini!
Menurut Ines, ada prosedur yang harus dilewati, yakni mendapat izin dari Komite Etik, setiap protokol uji klinis dapat izin dari mereka. "Yang perlu dicari Komisi Etik mana yang mengizinkan ini, apakah mereka sudah mendapatkan data yang lengkap," tanya Ines.
Lihat Juga: Rencana Indonesia Bertransisi dari Pandemi ke Endemi, Ahli Epidemiologi: Harus Siap dan Butuh Strategi
Baca juga: Begini Tips Weekend Seru yang Tetap Perhatikan Protokol Kesehatan
Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono berpandangan, vaksin nusantara yang mengandung vaksin dendritik, sebelumnya banyak digunakan untuk terapi pada pasien kanker yang merupakan terapi yang bersifat individual.
Menurut Pandu, untuk imunoterapi kanker bukan karena setiap orang diberi jumlah sel dendritik, tetapi karena setiap orang sel dendritik-nya bisa mendapat perlakuan yang berbeda. Dalam hal ini yang disesuaikan adalah perlakuan terhadap sel dendritik tersebut.
"Jadi pada imunoterapi kanker sel dendritik tetap diberi antigen, tetapi antigennya bisa dari tumornya dia sendiri. Karena itu sifatnya personal," kata Pandu ketika dihubungi awak media di Jakarta, Sabtu (20/2).
Terkait hal itu, Pandu memberikan dua catatan. Pertama, membandingkan perbedaan sel dendritik pada terapi kanker dengan vaksin dendritik. Bahwa untuk terapi kanker sel dendritik tidak ditambahkan apa-apa, hanya diisolasi dari darah pasien untuk kemudian disuntikkan kembali kepada pasien tersebut.
"Sementara, pada vaksin, sel dendritik ditambahkan antigen virus," ujarnya.
Kedua, bahwa sel dendritik perlu pelayanan medis khusus karena membutuhkan peralatan canggih, ruang steril, dan inkubator CO2, dan adanya potensi risiko.
Dengan demikian, sangat besar risiko, antara lain sterilitas, pirogen (ikutnya mikroba yang menyebabkan infeksi), dan tidak terstandar potensi vaksin karena pembuatan individual.
"Jadi, sebenarnya sel deindritik untuk terapi bersifat individual, dikembangkan untuk terapi kanker. Sehingga tidak layak untuk vaksinasi massal," tegas Pandu.
Oleh karena itu, Pandu Riono meminta Menteri Kesehatan, Budi G. Sadikin untuk menghentikan vaksin nusantara demi kepentingan kesehatan masyarakat Indonesia. "Itu kan menggunakan anggaran pemerintah (Kemenkes) atas kuasa pak Terawan sewaktu menjabat Menkes," tegasnya.
Sementara itu, ahli biomolekuler dan vaksinolog, Ines Atmosukarto berpandangan bahwa Vaksin Nusantara datanya diduga belum terlihat. Data uji klinis I belum terlihat dan belum di-update ke data uji klinis global.
"Seharusnya tercatat semua di situ, terakhir saya cek belum ada update hasil uji klinisnya. Apakah vaksin tersebut aman, datanya belum aman," kata Ines.
Baca juga: Banjir Diskon di eMShop, Cek Solusi Tidur Sehat dengan Bantal Latex di Sini!
Menurut Ines, ada prosedur yang harus dilewati, yakni mendapat izin dari Komite Etik, setiap protokol uji klinis dapat izin dari mereka. "Yang perlu dicari Komisi Etik mana yang mengizinkan ini, apakah mereka sudah mendapatkan data yang lengkap," tanya Ines.
Lihat Juga: Rencana Indonesia Bertransisi dari Pandemi ke Endemi, Ahli Epidemiologi: Harus Siap dan Butuh Strategi
(nug)