Perokok 50 Kali Lipat Berisiko Idap Kanker Paru
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rokok merupakan salah satu biang keladi penyakit kanker paru. Semakin tinggi Anda mengonsumsi rokok harian, semakin besar pula kemungkinan Anda mengalami kanker paru.
Peringatan yang ada di kemasan rokok pun jelas diabaikan perokok. Ancaman kanker hingga kematian dianggap sekadar peringatan basa-basi bagi sebagian perokok dan itu terbukti dari masih tingginya angka perokok di Indonesia.
Menurut data International Agency for Research on Cancer tahun 2020, kasus kanker paru di Indonesia menduduki posisi 3 teratas, dengan total pasien 34.783 kasus baru. Mirisnya, penyakit ini banyak menggugurkan pasien, yaitu 30.843 kematian akibat kanker paru.
Artinya, kematian akibat kanker paru sangat tinggi. "Sederhananya, dalam setahun, yang tersisa hanya 3-4 orang per 100 pasien," terang Prof Aru Sudoyo, Ahli Penyakit Dalam Konsultan Hematologi dan Onkologi Medik dalam webinar Hari Kanker Paru Sedunia 2021, Kamis (26/8).
Soal kematian akibat kanker paru, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hematologi dan Onkologi Medik dr Ikhwan Rinaldi, Sp.PD-KHOM menerangkan bahwa 80%-nya adalah perokok.
"Jadi, perokok sangat berisiko tinggi alami kanker paru. Mereka memang tidak merasakan penyakitnya dalam waktu dekat, karena pembentukan sel kanker dalam tubuh memerlukan waktu yang panjang. Tapi, bisa kami katakan, 80% kematian akibat kanker paru itu adalah perokok," ungkapnya.
Perokok, sambung dr Ikhwan, memiliki risiko terkena kanker paru sebesar 20-50 kali lipat dibandingkan mereka yang tidak merokok. "Sayangnya, perokok pasif pun kena imbasnya, meski mereka hanya 20-30 kali lipat berisiko kanker paru. Namun, ini sesuatu yang harus diatasi dan dapat dicegah," katanya.
Selain rokok, penyebab kanker paru lain ialah diet tinggi daging merah yang diolah sangat matang, paparan radon, paparan asbes, paparan zat di tempat kerja seperti radioaktif, juga air yang mengandung arsen.
"Overdose suplemen yang mengandung beta karoten juga meningkatkan faktor risiko seseorang mengembangkan kanker paru. Oleh karena itu, konsumsi suplemen harus sangat bijak dan sesuai anjuran ahli," papar dr Ikhwan.
Peringatan yang ada di kemasan rokok pun jelas diabaikan perokok. Ancaman kanker hingga kematian dianggap sekadar peringatan basa-basi bagi sebagian perokok dan itu terbukti dari masih tingginya angka perokok di Indonesia.
Menurut data International Agency for Research on Cancer tahun 2020, kasus kanker paru di Indonesia menduduki posisi 3 teratas, dengan total pasien 34.783 kasus baru. Mirisnya, penyakit ini banyak menggugurkan pasien, yaitu 30.843 kematian akibat kanker paru.
Artinya, kematian akibat kanker paru sangat tinggi. "Sederhananya, dalam setahun, yang tersisa hanya 3-4 orang per 100 pasien," terang Prof Aru Sudoyo, Ahli Penyakit Dalam Konsultan Hematologi dan Onkologi Medik dalam webinar Hari Kanker Paru Sedunia 2021, Kamis (26/8).
Soal kematian akibat kanker paru, Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Hematologi dan Onkologi Medik dr Ikhwan Rinaldi, Sp.PD-KHOM menerangkan bahwa 80%-nya adalah perokok.
"Jadi, perokok sangat berisiko tinggi alami kanker paru. Mereka memang tidak merasakan penyakitnya dalam waktu dekat, karena pembentukan sel kanker dalam tubuh memerlukan waktu yang panjang. Tapi, bisa kami katakan, 80% kematian akibat kanker paru itu adalah perokok," ungkapnya.
Perokok, sambung dr Ikhwan, memiliki risiko terkena kanker paru sebesar 20-50 kali lipat dibandingkan mereka yang tidak merokok. "Sayangnya, perokok pasif pun kena imbasnya, meski mereka hanya 20-30 kali lipat berisiko kanker paru. Namun, ini sesuatu yang harus diatasi dan dapat dicegah," katanya.
Selain rokok, penyebab kanker paru lain ialah diet tinggi daging merah yang diolah sangat matang, paparan radon, paparan asbes, paparan zat di tempat kerja seperti radioaktif, juga air yang mengandung arsen.
"Overdose suplemen yang mengandung beta karoten juga meningkatkan faktor risiko seseorang mengembangkan kanker paru. Oleh karena itu, konsumsi suplemen harus sangat bijak dan sesuai anjuran ahli," papar dr Ikhwan.