Perlukah Masyarakat Umum Mendapatkan Vaksin Booster?
loading...
A
A
A
JAKARTA - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta agar negara-negara tidak memprioritaskan pemberian vaksin booster secara bebas karena masih ada negara yang belum mendapat jatah vaksin Covid-19. Bahkan, dengan pemberian booster, akan terjadi situasi yang lebih mengerikan.
Baca juga: Aktor Michael Constantine Embuskan Napas Terakhir di Usia Hampir 1 Abad
"Kami prihatin ada negara maju yang membiarkan ingin tetap memberikan vaksin booster, sedangkan mereka membiarkan negara berkembang tidak menerima vaksin karena stok dipakai untuk vaksin booster. Ini yang kemudian mendorong terciptanya varian baru, seperti varian Delta ," kata Kepala Ilmuwan WHO, dr Soumya Swaminathan seperti dikutip Fox News, pertengahan Agustus lalu.
Keyakinan Swaminathan dan rekan-rekannya jelas bahwa untuk saat ini vaksin booster belum diperlukan masyarakat umum. "Beda ketika bicara mengenai orang dengan masalah kekebalan tubuh lemah yang terbukti memerlukan booster," kata dia.
Indonesia sendiri menggunakan vaksin booster Moderna hanya untuk tenaga kesehatan yang berhadapan langsung dengan virus SARS-CoV2 penyebab Covid-19. Kementerian Kesehatan yakin betul bahwa penggunaan vaksin booster hanya untuk kelompok nakes, bukan yang lainnya. Termasuk pejabat pemerintah.
Kemudian, jika WHO merasa saat ini masyarakat umum belum membutuhkan vaksin booster, mengapa ide ini muncul terlebih ada penelitian yang mengungkapkan bahwa setelah beberapa bulan pasca-suntikan dosis lengkap kekuatan antibodi mulai melemah? Seberapa penting vaksin booster tersebut?
Mengacu pada data yang dipaparkan The Guardian pada 19 Agustus lalu, data awal menunjukkan bahwa orang mengalami penurunan tingkat antibodi pelindung berminggu-minggu atau berbulan-bulan pasca-suntikan dosis lengkap, khususnya akibat paparan varian Delta yang sangat menular. Namun, tidak jelas mengenai tingkat antibodi atau 'alat lain dalam persenjataan sistem kekebalan' yang memberikan kekebalan protektif.
"Yang penting dipahami adalah tingkat antibodi atau tentara sistem kekebalan lainnya, seperti sel-T, masih tetap diperlukan untuk melindungi tubuh dari Covid-19, terutama dalam mencegah terjadi penyakit serius atau kematian," terang laporan tersebut.
"Jika itu dapat diukur dengan pasti, lalu laboratorium membenarkan bahwa terjadi penurunan yang sangat signifikan pada antibodi setelah berupaya melawan varian baru, baru kemudian akan ada kasus yang jelas untuk pemberian vaksin booster," sebut laporan yang sama.
Menjadi catatan di sini adalah bahwa pakar WHO dengan tegas mengatakan bahwa sampai sekarang tidak ada cukup bukti ilmiah untuk penggunaan booster bagi masyarakat umum. Tapi, beda untuk mereka yang memiliki masalah sistem kekebalan yang memang membutuhkan.
"Idealnya adalah pengambil kebijakan paham betul kelompok masyarakat seperti apa yang memang berhak menerima vaksin booster. Di Inggris misalnya, booster terbukti memberi manfaat perlindungan pada kelompok lansia dalam upaya menjaga mereka dari serangan varian Delta," kata Danny Altmann, seorang profesor imunologi di Imperial College, London, Inggris.
Pernyataan lain disampaikan dr. Simon Clarke, profesor mikrobiologi seluler di University of Reading, "Bukti yang kami pegang menyatakan bahwa efektivitas vaksin booster cukup baik untuk individu yang sangat rentan, bukan masyarakat pada umumnya," terangnya.
Jadi, untuk sementara ini dapat dikatakan bahwa urgensi pemberian vaksin booster untuk masyarakat umum belum ada. Terlebih, data-data yang ada masih memberikan gambaran bahwa vaksin yang beredar masih cukup baik memberikan perlindungan terhadap kasus parah ataupun kematian.
"Diperlukan lebih banyak studi akademis untuk menguraikan dengan tepat bagaimana sistem kekebalan merespons vaksin Covid-19. Ini yang kemudian memengaruhi keputusan seberapa penting vaksin booster diberikan untuk kelompok di luar masyarakat rentan," papar laporan National Geographic.
"Saya pikir 6 bulan ke depan akan terlihat lebih jelas datanya seperti apa komponen lain dari respons imun itu pada orang sehat dan di beberapa populasi rentan," kata E. John Wherry, Direktur Institute for Immunology di University of Pennsylvania.
Baca juga: Resmi Diluncurkan, Cafe Dangdut New York Siap Goyang Negeri Paman Sam
"Ini memberi kami keyakinan bahwa diperlukan banyak studi lanjutan untuk memperbanyak referensi terkait masalah ini," tambahnya.
Baca juga: Aktor Michael Constantine Embuskan Napas Terakhir di Usia Hampir 1 Abad
"Kami prihatin ada negara maju yang membiarkan ingin tetap memberikan vaksin booster, sedangkan mereka membiarkan negara berkembang tidak menerima vaksin karena stok dipakai untuk vaksin booster. Ini yang kemudian mendorong terciptanya varian baru, seperti varian Delta ," kata Kepala Ilmuwan WHO, dr Soumya Swaminathan seperti dikutip Fox News, pertengahan Agustus lalu.
Keyakinan Swaminathan dan rekan-rekannya jelas bahwa untuk saat ini vaksin booster belum diperlukan masyarakat umum. "Beda ketika bicara mengenai orang dengan masalah kekebalan tubuh lemah yang terbukti memerlukan booster," kata dia.
Indonesia sendiri menggunakan vaksin booster Moderna hanya untuk tenaga kesehatan yang berhadapan langsung dengan virus SARS-CoV2 penyebab Covid-19. Kementerian Kesehatan yakin betul bahwa penggunaan vaksin booster hanya untuk kelompok nakes, bukan yang lainnya. Termasuk pejabat pemerintah.
Kemudian, jika WHO merasa saat ini masyarakat umum belum membutuhkan vaksin booster, mengapa ide ini muncul terlebih ada penelitian yang mengungkapkan bahwa setelah beberapa bulan pasca-suntikan dosis lengkap kekuatan antibodi mulai melemah? Seberapa penting vaksin booster tersebut?
Mengacu pada data yang dipaparkan The Guardian pada 19 Agustus lalu, data awal menunjukkan bahwa orang mengalami penurunan tingkat antibodi pelindung berminggu-minggu atau berbulan-bulan pasca-suntikan dosis lengkap, khususnya akibat paparan varian Delta yang sangat menular. Namun, tidak jelas mengenai tingkat antibodi atau 'alat lain dalam persenjataan sistem kekebalan' yang memberikan kekebalan protektif.
"Yang penting dipahami adalah tingkat antibodi atau tentara sistem kekebalan lainnya, seperti sel-T, masih tetap diperlukan untuk melindungi tubuh dari Covid-19, terutama dalam mencegah terjadi penyakit serius atau kematian," terang laporan tersebut.
"Jika itu dapat diukur dengan pasti, lalu laboratorium membenarkan bahwa terjadi penurunan yang sangat signifikan pada antibodi setelah berupaya melawan varian baru, baru kemudian akan ada kasus yang jelas untuk pemberian vaksin booster," sebut laporan yang sama.
Menjadi catatan di sini adalah bahwa pakar WHO dengan tegas mengatakan bahwa sampai sekarang tidak ada cukup bukti ilmiah untuk penggunaan booster bagi masyarakat umum. Tapi, beda untuk mereka yang memiliki masalah sistem kekebalan yang memang membutuhkan.
"Idealnya adalah pengambil kebijakan paham betul kelompok masyarakat seperti apa yang memang berhak menerima vaksin booster. Di Inggris misalnya, booster terbukti memberi manfaat perlindungan pada kelompok lansia dalam upaya menjaga mereka dari serangan varian Delta," kata Danny Altmann, seorang profesor imunologi di Imperial College, London, Inggris.
Pernyataan lain disampaikan dr. Simon Clarke, profesor mikrobiologi seluler di University of Reading, "Bukti yang kami pegang menyatakan bahwa efektivitas vaksin booster cukup baik untuk individu yang sangat rentan, bukan masyarakat pada umumnya," terangnya.
Jadi, untuk sementara ini dapat dikatakan bahwa urgensi pemberian vaksin booster untuk masyarakat umum belum ada. Terlebih, data-data yang ada masih memberikan gambaran bahwa vaksin yang beredar masih cukup baik memberikan perlindungan terhadap kasus parah ataupun kematian.
"Diperlukan lebih banyak studi akademis untuk menguraikan dengan tepat bagaimana sistem kekebalan merespons vaksin Covid-19. Ini yang kemudian memengaruhi keputusan seberapa penting vaksin booster diberikan untuk kelompok di luar masyarakat rentan," papar laporan National Geographic.
"Saya pikir 6 bulan ke depan akan terlihat lebih jelas datanya seperti apa komponen lain dari respons imun itu pada orang sehat dan di beberapa populasi rentan," kata E. John Wherry, Direktur Institute for Immunology di University of Pennsylvania.
Baca juga: Resmi Diluncurkan, Cafe Dangdut New York Siap Goyang Negeri Paman Sam
"Ini memberi kami keyakinan bahwa diperlukan banyak studi lanjutan untuk memperbanyak referensi terkait masalah ini," tambahnya.
(nug)