Dua Pasang Hati
A
A
A
Keenan membalikkan badannya, tak peduli dengan ucapan sang adik, hatinya tetap tak mengizinkan permintaan sang adik. Sampai kapanpun... ”Kak, lo harus tau sesuatu tentang Lara,” lagi-lagi sang adik berhasil mencegah kakaknya.
”Dia... gadis baik-baik dan nggak pantes disakitin sama siapapun. Pekerja keras, dan tahu jelas apa tujuan hidupnya. Gue cinta dan sayang banget sama Lara. Siapapun yang berani nyakitin dia, akan berurusan sama gue,” Suara lantang Gavin menohok kerongkongan Keenan sampai ke titik akhir.
Delapan Belas
Hari Minggu ini cuaca begitu bersahabat. Tidak ada dua faktor yang begitu dibencinya; hujan dan macet. Mentari sepertinya sedang tersipu-sipu, meski tak selalu muncul di langit biru, tetapi kecerahannya tetap dibutuhkan mahkluk hidup di dunia.
Maka itu, Lara bersiul-siul riang sambil mencuci mobilnya, di halaman depan rumahnya. Rutinitas yang Lara lakukan sepulang gereja pagi ini, selalu membuat moodnya jauh lebih baik. Dia bermain di bawah matahari pagi juga semprotan dari selang air yang membuat dirinya, psst... merasa lebih seksi.
Padahal, pagi ini dia sudah berganti kaus gombrong bergambar Snoopy berwarna putih lengan pendek, dan celana tidur sepanjang betis kaki bergambar beruang coklat. Ia terkikik sendiri setelahnya, membayangkan priapria tampan sekelas Chris Pine atau Chris Evans melenggang tampan di depannya sambil melambaikan tangan. Alih-alih Chris Pine atau Chris Evans yang melenggang di depannya, dipikirannya malah terlintas satu wajah.
Rahang tegas, tinggi, kulit sawo matang, rambut cepak yang diberi pomade dan disisir ke belakang, selalu egois, menyebalkan, dingin, menyakiti hatinya selama bertahun-tahun. Dan, astaga! Bukankah Lara baru saja memikirkan kakak kandung pacarnya? Apa-apaan ini! Lara terkesiap, seharusnya sekarang dia memikirkan Gavin, bukan dokter petai itu. Lara berlari kecil - mencoba melupakan pikiran ngaconya, ia membuka pintu mobilnya dan menarik karpet mobil yang hendak dicucinya.
Jam tangan! Tibatiba saja dia baru ingat, kepingan jam tangan itu belum sama sekali dipungutnya. Rencananya sih, siang ini Lara akan ditemani Echa, membetulkan jam tangan berkelas itu sebelum Senin besoknya diserahkan lagi ke rumah sakit.
Sayangnya, Gavin hari ini tidak bisa menemaninya karena dalam empat hari ke depan, arsitek muda ganteng itu sedang ditugaskan di Semarang. Sedangkan, Ardio sedang menjalani masa fellowshipnya di Malaysia dua bulan ke depan. Jadilah Lara dan Echa, pacar-pacar kesepian yang ditinggal pasangannya. Ia pun dengan hati-hati memungut kepingan-kepingan kaca jam tangan yang berserakan di bawah mobilnya.
Lara diam-diam mengamati kepingan kaca ini, pasti harganya selangit , gumam Lara dalam hati. Semoga saja... setelah membetulkan kepingan kaca jam tangan itu, barang tak berpemilik ini layak dikembalikan. Lara tiba-tiba terperanjat menatap buah jam tangan tersebut, di dalam jarum dan angka-angka itu, terukir satu huruf dari emasemas berlian yang begitu cantik dan bersinar.
Ini pasti hadiah dari seseorang kali, ya? Lara tersenyum kemudian. Ia meniup lingkaran jam tangan itu agar terbersih dari debu, samar-samar ia melihat ukiran huruf F di dalamnya. F? Siapa ya, kira-kira? Lara memilih bersikap acuh, ia segera meletakkannya di sebuah kotak jam tangan pemberian Revan, lalu menyimpannya baik-baik.
Suara klakson mobil Freed berwarna hitam pekat milik sahabatnya menghentikan langkahnya masuk ke ruang tamunya. Wajahnya langsung memancarkan sinar bahagia, saat Echa berteriak-teriak memanggil namanya. ”Nyonya Gavin, buruan mandi sama ganti bajunya ya. Udah laper sama gatel pengen jalan!” Echa mengedipkan matanya, membuat Lara membalas meledeknya, ”Mata lo kenapa, Cha? Habis ngintipin Ardio mandi, ye?” ”Buru ah lo, Neng.
Gue tunggu pokoknya!” Lara hanya bisa berdecak heran menanggapi sahabat karibnya yang otaknya setengah sableng itu. Dia lebih memilih ngeloyor ke kamar mandi, membasuh tubuh sekaligus dosanya karena mikirin orang lain, bukan pacar sendiri. Sekalian, mempercantik diri mau mejeng di mall paling gaul se-Jakarta. (bersambung )
Vania m. Bernadette
”Dia... gadis baik-baik dan nggak pantes disakitin sama siapapun. Pekerja keras, dan tahu jelas apa tujuan hidupnya. Gue cinta dan sayang banget sama Lara. Siapapun yang berani nyakitin dia, akan berurusan sama gue,” Suara lantang Gavin menohok kerongkongan Keenan sampai ke titik akhir.
Delapan Belas
Hari Minggu ini cuaca begitu bersahabat. Tidak ada dua faktor yang begitu dibencinya; hujan dan macet. Mentari sepertinya sedang tersipu-sipu, meski tak selalu muncul di langit biru, tetapi kecerahannya tetap dibutuhkan mahkluk hidup di dunia.
Maka itu, Lara bersiul-siul riang sambil mencuci mobilnya, di halaman depan rumahnya. Rutinitas yang Lara lakukan sepulang gereja pagi ini, selalu membuat moodnya jauh lebih baik. Dia bermain di bawah matahari pagi juga semprotan dari selang air yang membuat dirinya, psst... merasa lebih seksi.
Padahal, pagi ini dia sudah berganti kaus gombrong bergambar Snoopy berwarna putih lengan pendek, dan celana tidur sepanjang betis kaki bergambar beruang coklat. Ia terkikik sendiri setelahnya, membayangkan priapria tampan sekelas Chris Pine atau Chris Evans melenggang tampan di depannya sambil melambaikan tangan. Alih-alih Chris Pine atau Chris Evans yang melenggang di depannya, dipikirannya malah terlintas satu wajah.
Rahang tegas, tinggi, kulit sawo matang, rambut cepak yang diberi pomade dan disisir ke belakang, selalu egois, menyebalkan, dingin, menyakiti hatinya selama bertahun-tahun. Dan, astaga! Bukankah Lara baru saja memikirkan kakak kandung pacarnya? Apa-apaan ini! Lara terkesiap, seharusnya sekarang dia memikirkan Gavin, bukan dokter petai itu. Lara berlari kecil - mencoba melupakan pikiran ngaconya, ia membuka pintu mobilnya dan menarik karpet mobil yang hendak dicucinya.
Jam tangan! Tibatiba saja dia baru ingat, kepingan jam tangan itu belum sama sekali dipungutnya. Rencananya sih, siang ini Lara akan ditemani Echa, membetulkan jam tangan berkelas itu sebelum Senin besoknya diserahkan lagi ke rumah sakit.
Sayangnya, Gavin hari ini tidak bisa menemaninya karena dalam empat hari ke depan, arsitek muda ganteng itu sedang ditugaskan di Semarang. Sedangkan, Ardio sedang menjalani masa fellowshipnya di Malaysia dua bulan ke depan. Jadilah Lara dan Echa, pacar-pacar kesepian yang ditinggal pasangannya. Ia pun dengan hati-hati memungut kepingan-kepingan kaca jam tangan yang berserakan di bawah mobilnya.
Lara diam-diam mengamati kepingan kaca ini, pasti harganya selangit , gumam Lara dalam hati. Semoga saja... setelah membetulkan kepingan kaca jam tangan itu, barang tak berpemilik ini layak dikembalikan. Lara tiba-tiba terperanjat menatap buah jam tangan tersebut, di dalam jarum dan angka-angka itu, terukir satu huruf dari emasemas berlian yang begitu cantik dan bersinar.
Ini pasti hadiah dari seseorang kali, ya? Lara tersenyum kemudian. Ia meniup lingkaran jam tangan itu agar terbersih dari debu, samar-samar ia melihat ukiran huruf F di dalamnya. F? Siapa ya, kira-kira? Lara memilih bersikap acuh, ia segera meletakkannya di sebuah kotak jam tangan pemberian Revan, lalu menyimpannya baik-baik.
Suara klakson mobil Freed berwarna hitam pekat milik sahabatnya menghentikan langkahnya masuk ke ruang tamunya. Wajahnya langsung memancarkan sinar bahagia, saat Echa berteriak-teriak memanggil namanya. ”Nyonya Gavin, buruan mandi sama ganti bajunya ya. Udah laper sama gatel pengen jalan!” Echa mengedipkan matanya, membuat Lara membalas meledeknya, ”Mata lo kenapa, Cha? Habis ngintipin Ardio mandi, ye?” ”Buru ah lo, Neng.
Gue tunggu pokoknya!” Lara hanya bisa berdecak heran menanggapi sahabat karibnya yang otaknya setengah sableng itu. Dia lebih memilih ngeloyor ke kamar mandi, membasuh tubuh sekaligus dosanya karena mikirin orang lain, bukan pacar sendiri. Sekalian, mempercantik diri mau mejeng di mall paling gaul se-Jakarta. (bersambung )
Vania m. Bernadette
(ars)