Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 13 Bagian 7
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
Tiba-tiba Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan ketika lirikan matanya membuat dia maklum bahwa ada dua orang bekas anak buah Bu-tong-pai yang mendekati tongkat pusaka itu dan berusaha mencabut tongkat pusaka dari dalam tanah. Peristiwa itu terjadi cepat sekali namun Kwat Lin yang cerdik lebih cepat lagi mengambil kesimpulan bahwa dua orang itu tentulah pengkhianat-pengkhianat yang berpura-pura takluk kepadanya namun diam-diam mencari kesempatan untuk mencuri tongkat pusaka, tentu dengan maksud mengembalikan tongkat itu kepada Kui Tok Tojin!
Pada saat itu, dua pedang ayah dan anak itu menusuk dari depan dan belakang dengan cepatnya. Kwat Lin tentu saja agak terlambat gerakannya oleh perhatian yang terpecah tadi, maka cepat dia menggulingkan tubuhnya, mengelak dari tusukan pedang di depan, sedangkan tusukan pedang dari belakang yang masih mengancamnya di tangkisnya dengan lengan kiri yang dilindungi gelang-gelang emas.
"Cringggg...!!" Coa Khi terkejut bukan main ketika lengan yang memegang pedang itu tergetar hebat dan hampir saja pedangnya terjepas dari pegangan ketika bertemu dengan gelang di pergelangan tangan kiri ketua Bu-tong-pai itu! Ketika dia dan ayahnya memandang, ternyata wanita itu telah lenyap dan tahu-cahu terdengar jerit-jerit mengerikan dari kiri.
Ketika mereka memandang, ternyata wanita itu telah merobohkan dua orang laki-laki yang tadi mencoba mencuri tongkat pusaka, Dua orang laki-laki itu roboh dengan kepala pecah di sambar jari-jari tangan Kwat Lin yang marah.
Setelah membunuh kedua orang itu, sekali meloncat Kwat Lin sudah kembali menghadapi dua orang lawannya. Kini dialah yang menerjang, menyerang dengan kedua tangan terbuka, cepatnya bukan main sehingga ayah dan anak itu terpaksa mundur sambil melindungi tubuhnya dengan pedang.
Seru dan indah dipandang pertandingan itu. Tubuh Kwat Lin lenyap dan hanya kadang-kadang saja tampak, bergerak-gerak di antara gulungan dua sinar pedang. Dia seolah-olah seorang penari yang amat indah dan lemah gemulai gerakannya, seperti sering bermain-main dengan gulungan sinar pedang yang dipandang sepintas lalu seperti dua helai selendang yang dimainkan oleh wanita itu.
Tiba-tiba kedua orang ayah dan anak itu mengeluarkan pekik yang menggetarkan bumi dan tampak mereka menerjang secara berbareng dari depan dengan pedang terangkat ke atas dan membacok sambil meloncat.
Inilah jurus paling ampuh dari ilmu pedang mereka lakukan dengan berbareng, jurus terakhir dari Hok-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga). Serangan ini demikian dahsyatnya sehingga tidak memungkinkan lawan yang diserangnya untuk mengelak lagi karena jalan keluar sudah tertutup dan ke mana pun lawan mengelak, ujung pedang tentu akan mengejar terus.
Akan tetapi, sambil tersenyum Kwat Lin tidak menghindarkan diri sama sekali tidak mengelak, bahkan menubruk ke depan, tiba-tiba ketika tubuh Coa Khi yang meloncat ke atas itu sudah dekat dan pedang pemuda itu sudah menyambar ke arah kepalanya, dia menjatuhkan diri ke bawah, berjongkok dan kedua tangannya menyambar ke atas dan depan dengan jari-jari terbuka.
"Hyaaaattt...!!" Pekik melengking yang keluar dari mulut Kwat Lin ini dahsyat sekali dan kedua tangan yang mengandung sepenuhnya tenaga Inti Salju yang ampuh itu telah menyambar perut kedua orang lawannya.
"Plak! Plak!" Tampan jari-jari tangan yang mengandung tenaga sinkang mujijat ini tepat mengenai perut Coa Khi yang sedang melayang di atas dan Coa Hok yang berada di depan. Ayah dan anak itu mengeluarkan jerit tertahan yang mengerikan.
Mereka merasa tubuh mereka dimasuki hawa dingin yang tak tertahankan hebatnya dan robohlah ayah dan anak itu, roboh tanpa dapat berkutik lagi karena mereka telah tewas dengan muka membiru karena darah mereka telah beku terkena pukulan yang mengandung Swat-im-sinking hebat dari Pulau Es!
"Bagus sekali...!!" Kiam-mo Cai-li Liok Si memuji dan melayang turun dari atas batang pohon dan berdiri berhadapan dengan ketua Bu-tong-pai itu. Keduanya sama cantik dan aama mewah pakaiannya, dan sejenak mereka saling pandang seperti hendak mengukur kelebihan lawan dengan pandang mata.
"Hebat kepandaianmu, Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu, engkau pantas menjadi lawanku bertanding, mari kita coba-coba, siapa diantara kita yang lebih lihai!" (Bersambung)
Tiba-tiba Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan ketika lirikan matanya membuat dia maklum bahwa ada dua orang bekas anak buah Bu-tong-pai yang mendekati tongkat pusaka itu dan berusaha mencabut tongkat pusaka dari dalam tanah. Peristiwa itu terjadi cepat sekali namun Kwat Lin yang cerdik lebih cepat lagi mengambil kesimpulan bahwa dua orang itu tentulah pengkhianat-pengkhianat yang berpura-pura takluk kepadanya namun diam-diam mencari kesempatan untuk mencuri tongkat pusaka, tentu dengan maksud mengembalikan tongkat itu kepada Kui Tok Tojin!
Pada saat itu, dua pedang ayah dan anak itu menusuk dari depan dan belakang dengan cepatnya. Kwat Lin tentu saja agak terlambat gerakannya oleh perhatian yang terpecah tadi, maka cepat dia menggulingkan tubuhnya, mengelak dari tusukan pedang di depan, sedangkan tusukan pedang dari belakang yang masih mengancamnya di tangkisnya dengan lengan kiri yang dilindungi gelang-gelang emas.
"Cringggg...!!" Coa Khi terkejut bukan main ketika lengan yang memegang pedang itu tergetar hebat dan hampir saja pedangnya terjepas dari pegangan ketika bertemu dengan gelang di pergelangan tangan kiri ketua Bu-tong-pai itu! Ketika dia dan ayahnya memandang, ternyata wanita itu telah lenyap dan tahu-cahu terdengar jerit-jerit mengerikan dari kiri.
Ketika mereka memandang, ternyata wanita itu telah merobohkan dua orang laki-laki yang tadi mencoba mencuri tongkat pusaka, Dua orang laki-laki itu roboh dengan kepala pecah di sambar jari-jari tangan Kwat Lin yang marah.
Setelah membunuh kedua orang itu, sekali meloncat Kwat Lin sudah kembali menghadapi dua orang lawannya. Kini dialah yang menerjang, menyerang dengan kedua tangan terbuka, cepatnya bukan main sehingga ayah dan anak itu terpaksa mundur sambil melindungi tubuhnya dengan pedang.
Seru dan indah dipandang pertandingan itu. Tubuh Kwat Lin lenyap dan hanya kadang-kadang saja tampak, bergerak-gerak di antara gulungan dua sinar pedang. Dia seolah-olah seorang penari yang amat indah dan lemah gemulai gerakannya, seperti sering bermain-main dengan gulungan sinar pedang yang dipandang sepintas lalu seperti dua helai selendang yang dimainkan oleh wanita itu.
Tiba-tiba kedua orang ayah dan anak itu mengeluarkan pekik yang menggetarkan bumi dan tampak mereka menerjang secara berbareng dari depan dengan pedang terangkat ke atas dan membacok sambil meloncat.
Inilah jurus paling ampuh dari ilmu pedang mereka lakukan dengan berbareng, jurus terakhir dari Hok-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga). Serangan ini demikian dahsyatnya sehingga tidak memungkinkan lawan yang diserangnya untuk mengelak lagi karena jalan keluar sudah tertutup dan ke mana pun lawan mengelak, ujung pedang tentu akan mengejar terus.
Akan tetapi, sambil tersenyum Kwat Lin tidak menghindarkan diri sama sekali tidak mengelak, bahkan menubruk ke depan, tiba-tiba ketika tubuh Coa Khi yang meloncat ke atas itu sudah dekat dan pedang pemuda itu sudah menyambar ke arah kepalanya, dia menjatuhkan diri ke bawah, berjongkok dan kedua tangannya menyambar ke atas dan depan dengan jari-jari terbuka.
"Hyaaaattt...!!" Pekik melengking yang keluar dari mulut Kwat Lin ini dahsyat sekali dan kedua tangan yang mengandung sepenuhnya tenaga Inti Salju yang ampuh itu telah menyambar perut kedua orang lawannya.
"Plak! Plak!" Tampan jari-jari tangan yang mengandung tenaga sinkang mujijat ini tepat mengenai perut Coa Khi yang sedang melayang di atas dan Coa Hok yang berada di depan. Ayah dan anak itu mengeluarkan jerit tertahan yang mengerikan.
Mereka merasa tubuh mereka dimasuki hawa dingin yang tak tertahankan hebatnya dan robohlah ayah dan anak itu, roboh tanpa dapat berkutik lagi karena mereka telah tewas dengan muka membiru karena darah mereka telah beku terkena pukulan yang mengandung Swat-im-sinking hebat dari Pulau Es!
"Bagus sekali...!!" Kiam-mo Cai-li Liok Si memuji dan melayang turun dari atas batang pohon dan berdiri berhadapan dengan ketua Bu-tong-pai itu. Keduanya sama cantik dan aama mewah pakaiannya, dan sejenak mereka saling pandang seperti hendak mengukur kelebihan lawan dengan pandang mata.
"Hebat kepandaianmu, Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu, engkau pantas menjadi lawanku bertanding, mari kita coba-coba, siapa diantara kita yang lebih lihai!" (Bersambung)
(dwi)