Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 2 Bagian 2

Rabu, 15 Februari 2017 - 18:49 WIB
loading...
Kho Ping Hoo : Bukek...
Bukek Siansu, Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu

Tiba-tiba terdengar nyanyian yang makin lama makin jelas terdengar oleh mereka semua. Juga Sin Liong, bocah ajaib itu, berhenti sebentar mengumpulkan dan memilih obat yang akan dibagikan karena mendengar suara nyanyian yang aneh itu. Akan tetapi begitu kata-kata nyanyian itu dimengertinya, dia mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng kepala.

"Aihhh, kalau hidup hanya untuk mengejar kesenangan, apapun juga tentu tidak akan dipantangnya untuk dilakukan demi mencapai kesenangan!" kata Sin Liong.

"Huah-ha-ha, benar sekali, Sin-tong. Untuk mencapai kesenangan harus berani melakukan apapun juga, termasuk membunuh para tamu-tamu yang tiada harganya ini" Terdengar jawaban dan tahu-tahu di situ telah berdiri Pat-jiu Kai-ong! Sebagai lanjutan kata-katanya, tongkatnya ditekankan kepada tanah di depan kaki lalu lima kali ujung tongkat itu bergerak menerbangkan tanah dan kerikil ke depan. Tampak sinar hitam berkelebat menyambar lima kali, disusul jerit-jerit kesakitan dan robohlah berturut-turut lima orang dusun yang berada di depan Sin Liong, roboh dan berkelojotan kemudian tewas seketika karena tanah dan kerikil itu masuk ke dalam kepala mereka!

"Hi-hi-hik, kepandaian seperti itu saja dipamerkan di depan Sin-tong? Lihat ini!" Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik yang bukan lain adalah Kiam-mo Cai-li! Dia menudingkan payung hitamnya yang tertutup itu ke arah para penghuni dusun yang berwajah pucat dan dengan mata terbelalak memandang lima orang teman mereka yang telah tewas.

"Cuat-cuat-cuat...!" Dari ujung payung itu meluncur sinar-sinar hitam dan berturut-turut, enam orang dusun yang masih hidup menjerit dan roboh tak bergerak lagi, leher mereka ditembusi jarum-jarum hitam yang meluncur keluar dari ujung payung itu!

Sejenak Sin Liong terbelalak memandang kepada kedua orang itu yang berdiri di sebelah kanan dan kirinya. Kemudian dia memandang ke bawah, ke arah tubuh sebelas orang dusun yang telah menjadi mayat. Mukanya menjadi merah, air matanya berderai dan dengan suara nyaring dia berkata sambil menudingkan telunjuknya bergantian kepada Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, "Kalian ini manusia atau iblis? Kalian berdua amat kejam, perbuatan kalian amat terkutuk. Membunuh orang-orang tak berdosa seolah kalian pandai menghidupkan orang," Bocah itu memandang kapada sebelas buah mayat dan sesenggukan menangis.

"Hi-hi-hik Sin-tong yang baik apakah kau takut kubunuh? Jangan khawatir, aku datang bukan untuk membunuhmu," kata Kiam-mo Cai-li, agak kecewa melihat betapa bocah ajaib itu menangis dan menyangkanya ketakutan.

Sin Liong mengangkat muka memandang wanita itu, biarpun air matanya masih berderai turun namun pandang matanya sama sekali tidak membayangkan ketakutan. "Kau mau bunuh aku atau tidak, terserah. Aku tidak takut!"

"Ha-ha-ha!" Benar hebat! Sin-tong, kalau kau tidak takut kenapa menangis?" Pat-jiu Kai-ong menegur.

"Apa kau menangisi kematian orang-orang tak berharga itu?" Kiam-mo Cai-li menyambung.

"Mereka sudah mati mengapa ditangisi? Aku menangis menyaksikan kekejaman yang kalian lakukan, aku menangis karena melihat kesesatan dan kekejaman kalian."

Dua orang tokoh sesat itu terbelalak heran saling pandang kemudian mereka teringat kembali akan niat mereka terhadap anak ajaib ini, maka keduanya seperti dikomando saja lalu tertawa, dan keduanya dengan kecepatan kilat menyerbu ke depan hendak menubruk Sin Liong yang berdiri tegak dan memandang dengan sinar mata sedikit pun tidak membayangkan rasa takut!

"Dessss...!" Karena gerakan mereka berbareng, disertai rasa khawatir kalau-kalau keduluan oleh orang lain, maka melihat Pat-jiu Kai-ong sudah lebih dekat dengan Sin-tong, Kiam-mo Cai-li lalu merobah gerakannya, tidak hendak menangkap Sin-tong karena dia kalah dulu melainkan melakukan gerakan mendorong dengan kedua tangannya ke arah Pat-jiu Kai-ong! Pukulan jarak jauh yang dilakukan oleh wanita iblis ini dahsyat sekali, membuat Pat-jiu Kai-ong terkejut ketika ada angin panas menyambar, maka dia cepat menunda niatnya menangkap Sin-tong dan bergerak menangkis. Keduanya merasakan dahsyatnya tenaga lawan dan terpental ke belakang!

Sejenak mereka saling berpandangan dan Pat-jiu Kai-ong yang lebih dulu dapat menguasai dirinya lalu tertawa, "Ha-ha-ha, lama tidak jumpa, Kiam-mo Cai-li menjadi makin gagah saja!"

"Pat-jiu Kai-ong, selama ada aku di sini, jangan harap kau akan dapat merampas Sin-tong dari tanganku!" Wanita itu berkata dan memandang tajam, siap menghadapi kakek yang dia tahu merupakan lawan yang tangguh itu.

"Aha, Kiam-mo Cai-li, sekali ini kau mengalahlah kepadaku. Aku membutuhkannya untuk menyempurnakan ilmuku..."

"Hi-hik, Ilmu Hiat-ciang Hoat-sut, bukan? Kau sudah cukup tangguh, Kai-ong, dan betapa mudahnya bagimu untuk mencari seratus orang anak lagi untuk kau hisap darah, otak dan sumsumnya. Jangan Sin-tong!"

"Hemmm, kau mau menang sendiri. Apa kaukira aku tidak tabu mengapa kau menghendaki Sin-tong? Dia masih terlalu muda, Cai-li, tentu tidak akan memuaskan hatimu. Apa tukarnya baginu mencari orang-orang muda yang kuat dan menyenangkan?"

"Cukup! Kita mempunyai keinginan sama, dan jalan satu-satunya adalah untuk memperebutkennya dengan kepandaian!"

"Ha-ha-ha, bagus sekali. Memang aku ingin mencoba kepandaian Wanita Pandai dari Rawa Bangkai!"

Liok Si, Si Wanita Pandai Berpayung Pedang dari Rawa Bangkai sudah tak dapat menahan kemarahannya melihat ada orang berani merintanginya, maka sambil berteriak keras dia sudah menerjang maju dengan senjatanya yang istimewa, yaitu payung hitam yang tangkainya sebatang pedang runcing itu.

"Trakkk!" Pat-jiu Kai-ong sudah menggerakkan tongkatnya menangkis. Gempuran dua tenaga raksasa membuat keduanya terpental lagi ke belakang dan Pat-jiu Kai-ong cepat meloncat ke depan, tongkanya berubah menjadi segulung sinar hitam yang menyambar ganas,

"Trakk! Trakk!"

Dua kali senjata payung dan tongkat bertemu di udara dan keduanya terhuyung ke belakang. Diam-diam mereka berdua terkejut sekali dan maklum bahwa dalam hal tenaga sakti, kekuatan mereka berimbang. Sebelum mereka melanjutkan pertandingan mereka, tiba-tiba mereka melangkah mundur dan memandang tajam karena berturut-turut di tempat itu telah muncul lima orang kakek yang melihat cara munculnya dapat diduga tentu memiliki kepandaian tinggi. Mereka muncul seperti setan-setan, tidak dapat didengar atau dilihat lebih dulu, tahu-tahu sudah berdiri di situ sambil memandang ke arah Pat-Jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li dengan bermacam sikap. Ketika dua orang datuk kaum sesat atau golongan hitam ini melihat dengan penuh perhatian mereka terkejut sekali. Biarpun di antara lima orang itu ada yang belum pernah mereka jumpai, namun melihat ciri-ciri mereka, kedua orang datuk golongan hitam ini dapat mengenal mereka yang kesemuanya adalah orang-orang aneh di dunia kang-ouw yang masing-masing telah memiliki nama besar sebagai orang-orang sakti.

Sementara itu, ketika melihat dua orang kakek dan nenek tadi bertanding memperebutkan dirinya, Sin Liong menjadi makin berduka. Tak disangkanya bahwa di tempat yang penuh damai ini, di mana dia selama hampir tiga tahun tinggal penuh dengan ketenteraman dan kedamaian, yang membuat dia hampir melupakan kekejaman-kekejaman manusia ketika terjadi pembunuhan ayah-bundanya, kini dia menyaksikan kekejaman yang lebih hebat lagi di mana sebelas orang dusun yang sama sekali tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh dua orang itu. Maka dia lalu duduk di atas batu, bersila dan tak bergerak seperti arca, hatinya dilanda duka, dan dia memandang dengan sikap tidak mengacuhkan. Bahkan ketika muncul lima orang aneh itu, dia pun tidak membuat reaksi apa-apa kecuali memandang dengan penuh perhatian namun dengan sikap sama sekali tidak mengacuhkan.

Orang pertama adalah seorang kakek berusia enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan muka merah seperti tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam-kok, kelihatan gagah sekali, di punggungnya tampak dua batang pedang menyilang, matanya lebar alisnya tebal dan suaranya nyaring ketika dia tertawa, "Ha-ha-ha, kiranya bukan hanya orang gagah saja yang tertarik kepada Sin-tong, juga iblis-iblis berdatangan sungguhpun tentu mempunyai niat lain!"

Dengan ucapan yang jelas ditujukan kepada Kiam-mo Cai-li dan Pat-jiu Kai-ong ini, dia memandang dua orang itu dengan terang-terangan. Orang ini bukanlah orang sembarangan, namanya sendiri adalah Siang-koan Houw, akan tetapi dia lebih terkenal dengan sebutan Tee-tok (Racun Bumi) karena selain merupakan seorang ahli racun yang sukar dicari tandingannya, juga dia amat ganas menghadapi lawan, tidak mengenal ampun dan selain itu, juga dia amat jujur dan blak-blakan, bicara dan bertindak tanpa pura-pura lagi. Ilmu silatnya tinggi sekali, dan yang paling terkenal sehingga menggegerkan dunia persilatan adalah ilmu pukulannya yang disebut Pek-lui-kun (Ilmu Silat Tangan Kilat) dan ilmu Pedangnya Ban-tok Siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun)! Tidak ada orang yang tahu di mana tampat tinggalnya karena memang dia seorang perantau yang muncul di mana saja secara tidak terduga-duga seperti kemunculannya sekarang ini di Hutan Seribu Bunga.

"Huhh, bekas Suteku yang tetap goblok!" kata orang ke dua. "Masa masih tidak mengerti apa yang dikehendaki dua iblis ini. Jembel busuk itu tentu ingin Menghisap darah dan otak Sin-tong untuk menyempurnakan Ilmu Iblisnya Hiat-ciang Hoat-sut, sedangkan iblis betina genit ini apa lagi yang dicari kecuali sari kejantanan Sin-tong? Hayo kalian menyangkal, hendak kulihat apakah kalian begitu tak tahu malu untuk menyangkal!" Orang yang kata-katanya amat menusuk ini adalah seorang kakek yang beberapa tahun lebih tua daripada Tee-tok, bahkan menyebut Tee-tok sebagai bekas sutenya karena memang demikian. Dia bertubuh tinggi kurus dan mukanya seperti tengkorak mengerikan, di ketiaknya terselip sebatang tongkat panjang dan gerak-geriknya ketika bicara seperti seekor monyet tidak mau diam, bahkan kadang-kedang menggaruk-garuk kepala atau pantatnya, matanya liar memandang ke kanan kiri inliah dia tokoh besar yang berjuluk Thian-tok (Racun Langit), bekas suheng Tee-tok yang memiliki kepandaian khas. Selain lihai dalam hal racun sesuai dengan nama dan julukannya, dia adalah seorang pemuja Kauw Cee Thian atau Cee Thian Thaieeng, Si Raja Monyet, tokoh terhebat dalam cerita dongeng See-yu. Bahkan senjatanya juga meniru senjata Si Raja Monyet itu, yaitu sebatang tongkat yang dia beri nama Kim-kauw-pang seperti tongkat Si Raja Monyet, juga dia telah menciptakan ilmu silat tangan kosong yang meniru gerak-gerik seekor monyet yang diberinya natna Sin-kauw-kun (Ilmu Silat Monyet Sakti). Sepenti juga Tee-tok, dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, dan tidak ada yang tahu lagi nama aselinya, yaitu Bhong Sek Bin.

"Hemmm, setelah ada aku di sini, jangan harap segala macam iblis dapat berbuat sesuka hati sendiri!" kata orang ke tiga, suaranya kasar dan keras, pandang matanya seperti ujung pedang menusuk. Orang ini bernama Ciang Ham, Julukannya Thian-he Te-it Sedunia Nomor Satu! Usianya kurang lebih lima Puluh tahun, dan dia adalah ketua dari Perkumpulan Kang-jiu-pang (Perkumpulan Lengan Baja) yang didirikannya di Secuan. Di tangan kirinya tampak sebatang senjata tombak gagang panjang, dan selain terkenal sebagai seorang ahli bermain tombak, dia pun terkenal memiliki lengan sekuat baja! Pakaiannya ringkas seperti biasa dipakai oleh seorang ahli silat dan setiap gerak-geriknya menunjukkan bahwa dia telah mempunyai kepandaian silat yang sudah mendarah daging di tubuhnya.

Orang ke empat adalah seorang berpakaian sastrawan, sikapnya halus, usianya lima puluh tahun tapi masih nampak tampan, tubuhnya sedang dan dia sudah menjura ke arah kedua orang datuk golongan hitam itu. Di pinggangnya terselip sebatang suling perak dan sebatang mauwpit alat tulis pena bulu panjang. Kami berlima dengan tujuan yang sama datang ke tempat ini, tidak sangka bertemu dengan dua orang tokoh terkenal seperti Ji-wi (Anda Berdua) Pat-Jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, terutama sekali kepada Cai-li, terimalah hormatku."

Pat-jiu Kai-ong sudah segera dapat mengenal siapa orang ini, akan tetapi Kiam-mo Cai-li tidak mengenalnya. Hati wanita ini yang tadinya panas mendengar kata-kata menentang dari tiga orang pertama, merasa seperti dielus-elus oleh sikap dan kata-kata orang berpakaian sastrawan yang tampan ini. Maka dia pun membalas penghormatannya dan dengan lirikan mata memikat dan senyum simpul manis sekali dia bertanya, "Harap maafkan, akan tetapi siapa kali saudara yang manis budi dan yang tentu memiliki ilmu kepandaian bun dan bu (saftra dan silat) yang tinggi ini?"

Laki-iaki itu tersenyum dan menjawab halus, "Saya yang rendah dinamakan orang Gin-siauw Siucai (Pelajar Bersuling Perak), seoreng yang suka bersunyi di Beng-san."

Kiam-mo Cai-li kembali menjura, tersenyum dan berkata, "Aihh, sudah lama sekali saya telah mendengar nama besar Gin-siauw Siucai, sebagai seorang ahli silat tinggi, terutama sekali sebagai seorang peniup suling yang mahir, dan sudah lama pula mendengar akan keindahan tamasya alam di Beng-san.

Mudah-mudahan saja saya akan berumur panjang untuk mengunjugi Beng-san yang indah, menjadi tamu Gin-siauw Siucai yang ramah dan sopan, tidak seperti kebanyakan pria yang kasar tak tahu sopan santun!" Ucapan terakhir ini jelas ditujukannya kepada tiga orang tokoh pertama yang kasar-kasar tadi.

Orang ke lima dari rombongan itu seorang tosu berusia enam puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi kurus dan mukanya pucat, tangan kiri memegang sebuah hudtim (kebutan pendeta) dan tangan kanan memegang sebuah kipas yang tiada hentinya digoyang-goyang mengipasi lehernya seolah-olah dia kepanasan, padahal hawa di Hutan Seribu Bunga itu sejuk! Kini dia membuka mulut dan terdengarlah suaranya yang merdu menyanyikan sajak dalam kitab To-tek-kheng, kitab utama dari kaum tosu (pemeluk Agama To)!

Amat sempurna, namun tampak tak sempurna tampak tidak lengkap sungguhpun, kegunaannya tiada berkurang.

Terisi penuh, namun tampaknya meluap tumpah. tampaknya kosong, sungguhpun tak pernah kehabisan,

Yang paling lurus, kelihatan bengkok. Yang paling cerdas. Kelihatan bodoh. Yang paling fasih, kelihatan gagu. Api panaa dapat mengatasi dingin air sejuk dapat mengatasi panas Sang Budiman, murni dan tenang

dapat memberkati dunia!"

"Huah-ha-ha-ha! Anda tentulah Lam-hat Seng-jin (Manusia Sakti Laut Selatan), bukan? Sajak-sajak To-tek-kheng agaknya telah menjadi semacam cap Anda, ha-ha-ha!" kata Pat-Jiu Kai-ong sambil tertawa mengejek.

Tosu itu berkata, "Siancai! Pat-Jiu Kat-ong bermata tajam, dapat mengenal seorang tosu miskin dan bodoh."

"Ah, jahgan merendah, Totiang," Kate Kiam-mo Cai-li, "siapa orangnya yang tidak tahu bahwa biarpun anda seorang yang berpakaian tosu dan kelihatan miskin, namun memiliki sebuah istana dan menjadi majikan dari Pulau Kura-kura. Ini namanya menggunakan pakaian butut untuk menutupi pakaian indah di sebelah dalamnya."

"Sincai! Pujian kosong...!" Tosu itu berkata dan mukanya menjadi merah.

Tee-tok Siangkoan Mouw mengeluar-suara menggereng tidak sabar. "Apa semua kepura-puraan yang menjemukan? Pat-jiu Kai-ong dan Kiam-mo Cai-li, ketika kami berlima datang tadi, kami melihat kalian sedang bertanding. Jelas bahwa kalian berdua sedang memperebutkan Sin-tong dan tentu sebelas orang dusun ini kalian berdua yang membunuhnya!"

"Tee-tok, urusan itu adalah urusan kami sendiri. Perlu apa kau mencampuri?" Pat-jiu Kai-ong menjawab dengan senyum dan suara halus seperti kebiasaannya namun jejas bahwa dia merasa tak senang.

"Bukan urusanku, memang! Akan tetapi ketahuilah, kami berlima mempunyai maksud yeng sama, yaitu masing-masing menghendaki agar Sin-tong menjadi muridnya. Biarpun kami saling bertentangan dan berebutan, namun kami memperebutkan Sin-tong untuk menjadi murid atau seorang di antara kami. Sedangkan kalian berdua, mempunyai niat buruk!" kata pula Tee-tok yang terkenal sebagai orang yang tidak pernah menyimpan perasaan dan mengeluarkannya semua tanpa tedeng aling-aling lagi melaiui suaranya yang nyaring

"Tee-tok, jangan sombong kau! Mengenai kepentingan masing-masing memperebutkan Sin-tong, adalah urusan pribadi yang tak perlu diketahui orang lain. Yang jelas, kita bertujuh masing-masing hendak memiliki Sin-tong, untuk kepentingan pribadi masing-masing tentu saja. Sekarang bagaimana baiknya? Apakah kalian ini lima orang yang mengaku sebagai tokoh-tokoh sakti dan gagah dan dunia Kang-ouw hendak mengandalkan banyak orang mengeroyok kami berdua? Aku, Kiam-mo Cai-li sama sekali tidak takut biarpun aku saorang kalian keroyok berlima, akan tetapi betapa curang dan hinanya perbuatan itu. Terutama sekali Cin-siauw Siucai, tentu tidak begitu rendah untuk melakukan pengeroyokan!" kata Kiam-mo Cai-li yang cerdik.

"Perempuan sombong kau, Kiam-mo Cai-li!" Tee-tok membentak marah dan melangkah maju. "Siapa sudi mengeroyokmu? Aku sendiri pun cukup untuk mengenyahkan seorang iblis betina seperti engkau dari muka bumi!"

"Tee-tok, buktikan omonganmu!" Kiam-mo Cai-li membentak dan dia pun nelangkah maju.

"Eh-eh, nanti dulu! Apa hanya kalian berdua saja yang menghendaki Sin-tong? Kami pun tidak mau ketinggalan!" katq Pat-jiu Kai-ong mencela.

"Benar sekali! Perebutan ini tidak boleh dimonopoli oleh dua orang saja! Aku pun tidak takut menghadapi siapa pun untuk memperoleh Sin-tong!" Thian-te Te-it Ciang Ham membentak menggoyang tombak panjangnya melintang di depan dada.

"Siancai, siancai...!" Lam-hai Seng-jin melangkah maju, menggoyang kebutnya. "Harap Cuwi (Anda sekalian) suka bersabar dan tidak turun tangan secara kacau saling serang. Semua harus diatur seadilnya dan sebaiknya. Kita bukan lah sekumpulan bocah yang biasanya hanya saling hantam memperebutkan sesuatu. Sudah jelas bahwa kita bertujuan sama, yaitu ingin memperoleh Sin-tong. Akan tetapi kita lupa bahwa hal ini sepenuhnya terserah kepada pemilihan Sin-tong sendiri. Maka marilah kita berjanji. Kita bertanya kepada Sin-tong, kepada siapa ia hendak ikut dan kalau dia sudah menjatuhkan pilihannya, tidak seorangpun boleh melarang atau mencampuri. Bagaimana?"

"Hemm, tidak buruk keputusan itu. Aku setuju!" kata Tee-tok.

"Aku pun setuju!" kata Thian-tok dan yang lain pun tidak mempunyai alasan untuk tidak menyetujui keputusan yang memang adil ini, kemudian melanjutkan dengan kata-kata sengaja dibikin keras agar terdengar oleh Sin-tong. "Tentu saja harus jujur tidak membohongi Sin-tong akan maksud hati sebenarnya. Misalnya yang mau mengambil murid bilang hendak mengambil murid, yang hendak menghisap darahnya atau hendak memperkosa dan menghisap sari kejantanannya juga harus berterus terang!"

Tentu saja dua orang tokoh golongan hitam itu mendongkol sekali dan menyerang Thian-tok yang licik itu.

"Isi hati orang siapa yang tahu? Boleh saja kau bilang hendak mengambil murid, akan tetapi siapa tahu kalau kau menghendaki nyawanya?" Kiam-mo Cian-li mengejek Thian-tok.

"Kau...! Majulah, rasakan Kim-kauw-pang pusakaku ini!"

"Boleh! Siapa takut?" Wanita itu balas membentak.

"Siancai....!" Lam-hai Seng-jin mencela dan melangkah maju. "Apakah kalian benar-benar hendak menjadi kanak-kanak? Katanya tadi sudah setuju, nah, marilah mendengar sendiri siapa yang menjadi pilihan Sin-tong. "

Tujuh orang itu lalu menghampiri Sin-tong yang masih duduk bersila seperti sebuah arca, hatinya penuh kengerian menyaksikan tingkah laku tujuh orang itu.

"Sin-tong yang baik. Lihatlah, aku satu-satunya wanita di antara kami bertujuh Lihatlah aku, seorang wanita yang hidup kesepian dan merana karena tidak mempunyai anak, aku mendengar bahwa engkau pun sebatangkara, tidak mempunyai ayah bunda lagi. Marilah anakku, marilah ikut dengan aku, aku akan menjadi pengganti ayah ibumu, aku akan menjadi ibumu yang mencintaimu dengan seluruh jiwaku. Mari hidup sebagai puteraku dan sebagai seorang Pangeran di istanaku, di Rawa Bangkai, dan engkau akan menjadi seorang terhormat dan mulia. Marilah Sin-tong, Anakku!"

Sin Liong mengangkat muka memandang sejenak wajah wanita itu, kemudian dia menunduk dan tidak menjawab, juga tidak bergerak, hatinya makin sakit karena dia dengan jelas dapat melihat kepalsuan di balik bujuk rayu manis itu, apalagi kalau dia mengingat betapa wanita ini dengan tersenyum-senyum dapat begitu saja membunuh jiwa enam orang dusun yang tidak berdosa! Dia merasa ngeri dan tidak dapat menjawab.

"Sin-tong, aku adalah ketua dari Pat-Jiu Kai-pang di Pegunungan Hong-san. Sebagai seorang ketua perkumpulan pengemis, tentu saja aku kasihan sekali engkau seorang anak yang hidup sebatangkara. Kau ikutlah bersamaku, Sin-tong, dan kelak engkau akan menjadi raja pengemis. Bukankah kau suka sekali menolong orang? Orang yang paling perlu ditolong olehmu adalah golongan pengemis yang hidup sengsara, kau ikutlah dengan aku, dan Pat-jiu Kai-ong akan menjadikan engkau seorang yang paling gagah di dunia ini!"

Kembali Sin-tong memandang wajah itu dan diam-diam bergidik. Orang yang dapat membunuh lima orang dusun sambil tertawa-tawa seperti kakek ini sekarang menawarkan kepadanya untuk menjadi raja pengemis! Dia tidak menjawab juga, hanya kembali menundukkan mukanya.

"Anak ajaib, anak baik, Sin-tong, dengarlah aku. Aku adalah Gin-siauw Siucai, seorang sastrawan yang mengasingkan diri dan menjadi pertapa di Beng-san. Selama hidupku aku tidak pernah melakukan perbuatan jahat dan selama puluhan tahun aku teku menghimpun ilmu silat, ilmu sastra, dan ilmu meniup suling. Aku ingin sekali mengangkat engkau sebagai muridku, Sin-tong."

"Ha-ha-ha, kau turut aku saja, Sin-tong. Biarpun aku seorang yang kasar, namun hatiku lemah menghadapi anak-anak. Aku sendiri memiliki seorang anak perempuan sebaya denganmu. Biarlah kau menjadi saudaranya, kau menjadi muridku dan kau takkan kecewa menjadi murid Tee-tok. Pilihlah aku menjadi gurumu, Sin-tong."

"Tidak, aku saja! Aku Bhong Sek Bin, namaku tidak pernah kukatakan kepada siapa pun dan sekarang kukatakan di depanmu, tanda bahwa aku percaya dan suka sekali kepadamu. Akulah Thian-tok, akulah keturunan dari Dewa Sakti Cee Thian Thai-seng, akulah yang mewarisi ilmu Kim-kauw-pang. Kau jadilah murid Thian-tok dan kelak kau akan merajai dunia kang-ouw, Sin-tong."

"Lebih baik menjadi muridku. Aku Thian-he Te-it Ciang Ham, di kolong dunia nomor satu dan ketua dari Kang-jiu-pang di Secuan. Menjadi muridku berarti menjadi calon manusia terpandai di kolong langit!"

"Siancal... siancai...! Kau dengarlah mereka semua itu, Sin-tong. Semua hendak mengajarkan ilmu silat dan memamerkan kekayaan duniawi, tidak seorang pun yang hendak mengajarkan kebatinan kepadamu. Akan tetapi pinto (aku) ingin sekali mengambil murid kepadamu, hendak pinto jadikan engkau seorang calon Guru Besar Kebatinan. Kau berbakat untuk itu, siapa tahu, kelak engkau akan memiliki kebijaksanaan besar seperti Nabi Lo-cu sendiri, dan engkau menjadi seorang nabi baru. Kau jadilah murid Lam-hai Seng-jin, Sin-tong!"

Hening sejenak. Semua mata ditujukan kepada bocah yang masih duduk bersila seperti arca dan yang tidak pernah menjawab kecuali mengangkat muka sebentar memandang orang yang membujuknya. Kemudian terdengar suaranya, halus menggetar dan penuh duka. "Terima kasih kepada Cuwi Locianpwe. Akan tetapi saya tidak dapat ikut siapapun juga di antara Cuwi karena di balik semua kebaikan Cuwi terdapat kekerasan dan nafsu membunuh sesama manusia. Tidak saya tidak akan turut siapa pun, saya lebih senang tinggal di sini, di tempat sunyi ini. Harap Cuwi sekalian tinggalkan saya, saya akan mengubur mayat- mayat yang patut dikasihani ini."

"Wah, kepala batu! Kalau begitu, aku akan memaksamu!" kata Tee-tok yang berangasan dan kasar,

"Eh, nanti dulu! Siapa pun tidak boleh mengganggunya! " bentak Thian-tok.

"Siancai... sabar dulu semua! Jelas bahwa bocah ajaib ini tidak mau memilih seorang di antara kita secara suka dan rela. Karena itu, tentu, kita semua ingin merampasnya secara kekerasan. Maka harus diatur sebaik dan seadil mungkin. Kita bukan kanak-kanak, kita adalah orang-orang yang telah menghimpun banyak ilmu, maka sebaiknya kalau kita sekarang masing-masing mengeluarkan ilmu dan mengadu ilmu. Siapa yang keluar sebagai pemenang, tentu saja berhak memiliki Sin-tong," kata Lam-hai Seng-jin yang lebih sabar daripada yang lain.

"Mana bisa diatur begitu?" bantah Pat-jiu Kai-ong yang khawatir kalau-kalau lima orang itu akan mengeroyok dia dan Kiam-mo Cai-li. "Lebih baik seorang lawan seorang, yang kalah masuk kotak dan yang menang harus menghadapi yang lain setelah beristirahat. Begitu baru adil!"

"Tidak!" bantah Kiam-mo Cai-li, wanita yang cerdik ini dapat melihat kesempatan yang menguntungkannya kalau terjadi pertandingan bersama seperti yang diusulkan Lam-hai Seng-jin. Dalam pertempuran seperti itu, siapa cerdik tentu akan keluar sebagai pemenang. "Kalau diadakan satu lawan satu, terlalu lama. Sebaiknya kita bertujuh mengeluarkan ilmu dan saling serang tanpa memandang bulu. Dengan demikian, satu-satunya orang yang keluar sebagai pemenang, jelas dia lebih lihai daripada yang lain."

Akhirnya Pat-jiu Kai-ong kalah suara dan ketujuh orang itu telah mengeluarkan senjata masing-masing, membentuk lingkaran lebar dan bergerak perlahan lahan saling lirik, siap untuk menghantam siapa yang dekat dan menangkis serangan dari manapun juga! Benar-benar merupakan pertandingan hebat yang kacau balau dan aneh!

Sin Liong yang masih duduk bersila, memandang dengan mata terbelalak dan dia menjadi silau ketika tujuh orang itu sudah mulai menggerakkan senjata masing-masing untuk menyerang dan menangkis. Gerakan mereka demikian cepatnya sehingga bagi Sin Liong, yang kelihatan hanyalah gulungan-gulungan sinar senjata dan bayangan orang berkelebatan tanpa dapat dilihat jelas bayangan siapa.

Memang hebat pertandingan ini karena dipandang sepintas lalu, seolah-olah setiap orang melawan enam orang musuh dan kadang-kadang terjadi hal yang lucu. Ketika Tee-tok menyerang Pat-jiu Kai-ong dengan siang-kiamnyat sepasang pedangnya ini membabat dari kiri kanan. Pat-jiu Kai-ong terkejut karena pada saat itu dia sedang menyerang Lam-hai Seng-jin yang di lain pihak juga sedang menyerang Gin-siauw Siucai! Akan tetapi terdengar suara keras ketika sepasang pedang Tee-tok itu bertemu dengan tombak di tangan Thian-he Te-it dan tongkat thian-tok, sehingga seolah-olah dua orang ini melindungi Pat-jiu Kai-ong. Pertandingan kacau balau dan hanya Kiam-mo Cai-li yang benar-benar amat cerdiknya. Dia tidak melayani seorang ternentu, melainkan berlarian berputar-putar, selalu menghindarkan serangan lawan yang manapun juga dan dia pun tidak menyerang siapa-siapa, hanya menggerakkan pedang payungnya dan rambutnya untuk membuat kacau dan kadang-kadang juga menekan lawan apabila melihat ada seorang di antara mereka yang terdesak. Siasatnya adalah untuk merobohkan seorang demi seorang dengan jalan "mengeroyok" tanpa membantu siapa-siapa agar jumlah lawannya berkurang. Namun, mereka itu rata-rata adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, maka tidaklah mudah dibokong oleh Kiam-mo Cai-li, bahkan lama-lama akalnya ini ketahuan dan mulailah mereka menujukan senjata kepada wanita ini sehingga mau tidak mau wanita itu terseret ke dalam pertandingan kacau balau itu! Terpaksa dia mempertahahkan diri dengan pedang payungnya, dan membalas serangan lawan yang paling dekat dengan kemarahan meluap-luap.

Sin Liong menjadi bengong. Entah kapan datangnya, tahu-tahu dia melihat seorang laki-laki duduk ongkang-ongkang di atas cabang pohon besar yang dekat medan pertandingan itu memandang ke arah pertempuran dengan mata terbelalak penuh perhatian, tangan kiri memegang sehelai kain putih lebar, dan tangan kanan yang memegang sebatang alat tulis tiada hentinya mencoret-coret di atas kain putih itu, seolah-olah dia tidak sedang menonton pertandingan, melainkan sedang menonton pemandangan indah dan dilukisnya pemandangan itu! Sin Liong yang terheran-heran itu memperhatikan. Orang laki-laki itu kurang lebih empat puluh tahun usianya, pakaiannya seperti seorang pelajar akan tetapi di bagian dada bajunya yang kuning muda itu ada lukisan seekor Naga Emas dan seekor Burung Hong Merah. Indah sekali lukisan baju itu. Wajahnya tampan dan gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, pakaiannya juga bersih dan terbuat dari sutera halus, sepatu yang dipakai kedua kakinya masih baru atau setidaknya amat terpelihara sehingga mengkilap. Rambutnya memakai kopyah sasterawan dan sepasang matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia mencorat-coret melukis pertandingan antara tujuh orang sakti itu. Sin Liong makin bingung. Betapa mungkin melukis tujuh orang yang sedang berkelebatan hampir tak tampak itu?

Sin Liong tidak lagi memperhatikan pertandingan, hanya memandang ke arah orang itu. Dia mendengar bentakan-bentakan nyaring dan tidak tahu bahwa tujuh orang itu telah ada yang terluka. Thian-he Te-it telah terkena hantaman tongkat Thian-tok di pahanya sehingga terasa nyeri sekali. Pat-jiu Kai-ong juga kena serempet pundaknya sehingga berdarah oleh sebatang di antara siang-kiam di tangan Tee-tok, sedangkan Lam-hai Seng-jin dan Gin-siauw Siucai. juga telah mengadu tenaga dan keduanya tergetar sampai muntahkan darah namun berkat sinkang mereka, kedua orang ini tidak sampai mengalami luka dalam yang parah.

Sin Liong melihat betapa laki-laki di atas pohon itu tersenyum, menghentikan coretannya, menyimpan pensil dan menyambar jubah luar yang tadi tergantung di ranting pohon, memakainya, kemudian mengantongi gambar yang telah digulungnya dan tubuhnya melayang turun.

"Tontonan tidak bagus!" Terdengar dia berseru. "Tujuh orang tua bangka gila memperlihatkan tontonan di depan seorang anak kecil benar-benar tak tahu malu sama sekali!"

Tujuh orang itu terkejut ketika mendengar suara yang langsung menggetarkan jantung mereka itu. Mengertilah mereka bahwa yang datang ini memiliki khikang dan sinkang yang amat kuat, sehingga dapat mengatur suaranya, langsung dipergunakan untuk menyerang mereka dan sama sekali tidak mempengaruhi Sin-tong yang gagah masih duduk bersila dengan hati tegang mereka lalu meloncat mundur dan masing-masing melintangkan senjata di depan dada, memandang ke arah laki-laki gagah yang baru muncul itu. Namun, tidak ada seorang pun di antara mereka yang mengenalnya, maka ketujuh orang itu menjadi marah sekali.
(lop)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0503 seconds (0.1#10.140)