Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 1 Bagian 2

Selasa, 14 Februari 2017 - 03:14 WIB
loading...
Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 1 Bagian 2
Bukek Siansu, Karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu

Orang kasar itu menerima bungkusan obat dan kembali menghela napas panjang.

"Kalau saja aku dapat mempunyai seorang sahabat seperti engkau yang selalu berada di sampingku. Kalau saja aku dapat mempunyai seorang anak seperti engkau, kiranya aku tidak akan tersesat sejauh ini. Terima kasih, Sin-tong dan aku tidak dapat membalas apa-apa kecuali peringatan kepadamu bahwa engkau terancam bahaya besar."

Sin Liong mengangkat muka memandang wajah berkulit hitam itu dengan heran.

"Sin-tong, dunia kang-ouw telah geger dengan namamu. Orang-orang kang-ouw, termasuk aku, yang telah menerima pengobatanmu, membawa namamu di dunia kang-ouw dan terjadilah geger karena nama Sin-tong menjadi kembang bibir setiap orang kang-ouw. Banyak partai besar tertarik hatinya, menganggap engkau tentu penjelmaan dewa atau Sang Buddha dan kini celah banyak partai dan orang-orang gagah yang siap untuk datang ke sini dan untuk membujukmu menjadi anggauta mereka atau menjadi murid orang-orang kang-ouw yang terkenal. Celakanya, di antara mereka itu terdapat dua orang manusia iblis yang lain lagi maksudnya, bukan maksud baik seperti tokoh dan partai persilatan, melainkan maksud keji terhadap dirimu."

Sin Liong mengerutkan alisnya, sedikit pun dia tidak merasa takut karena memang dia tidak mempunyai niat buruk terhadap siapa pun di dunia ini. "Lo-enghiong, aku hanya seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, tidak mempunyai permusuhan dengan siapapun juga. Siapa orangnya yang akan menggangguku?"

Kakek itu memandahg terharu, "Ahh... kau benar-benar seorang yang aneh dan bersih hatimu. Kalau aku memiliki kepandaian, aku akan melindungimu dengan seluruh tubuh dan nyawaku, bukan hanya karena dua kali kau menolongku, melainkan karena tidak rela aku melihat orang mau merusak seorang bocah ajaib seperti engkau ini. Akan tetapi dua orang iblis itu...." Sin-hek-houw menggigil dan kelihatan jerih sekali.

"Siapakah mereka dan apa yang mereka kehendaki dari aku?"

"Di dunia kang-ouw, banyak terdapat golongan sesat, manusia-manusia iblis termasuk orang seperti aku. Akan tetapi dibandingkan dua orang yang kumaksudkan itu, mereka adalab dua ekor harimau buas sedangkan orang seperti aku hanyalah seekor tikus! Yang seorang adalah kakek berpakaian pengemis, kelihatan seperti orang miskin yang alim, namun dialah iblis nomor satu, ketua dari Pat-jiu Kai-pang, seorang yang memiliki rumah seperti istana dan wajahnya yang biasa dan alim menyembunyikan watak yang kejamnya melebihi iblis sendiri! Celakalah engkau kalau sudah berada di tangan kakek ini, Sin-tong."

"Hemmm, kuraaa seorang kakek seperti dia tidak membutuhkan seorang anak kecil seperti aku. Aku tidak khawatir dia akan menggangguku, Lo-enghiong!"

Tidak aneh kalau kau berpendapat demikian, karena kau seorang anak ajaib yang berhati dan berpikiran polos dan murni. Akan tetapi aku khawatir sekali, apa lagi iblis kedua yang tidak kalah kejamnya. Dia seorang wanita, cantik dan tak ada yang tahu berapa usianya. Kelihatannya cantik, rambutnya panjang harum dan selalu membawa sebuah payung, kelihatannya lemah dan membutuhkan perlindungan. Akan tetapi, seperti iblis pertama, semua kecantikan dan kelemah-lembutannya itu menyembunyikan watak yang sesungguhnya, watak yang lebih keji dan kejam daripada iblis sendiri."

"Lo-enghiong, harap saja Lo-enghiong tidak memburuk-burukkan orang lain seperti itu. Aku tidak percaya."

Kakek itu menarik napas panjang, lalu bangkit berdiri. "Aku sudah memberi peringatan kepadamu, Sin-tong. Dan kalau kau mau, marilah kau ikut aku bersembunyi di tempat aman sehingga tidak ada seorang pun yang tahu. Setelah keadaan benar aman barulah kau kembali ke sini. Aku mendengar berita angin bahwa dua iblis itu sedang menuju ke Jeng-hoa-san mencarimu."

Namun Sin Liong menggeleng kepala. "Aku dibutuhkan oleh penduduk pedusunan di sini, aku tidak pergi ke mana-mana, Lo-enghiong."

"Hemmm, sudahlah! Aku sudah berusaha memperingatkanmu. Mudah-mudahan saja benar-benar tidak terjadi seperti yang kukhawatirkan. Dan lebih-lebih lagi, mudah-mudahan aku tidak akan terluka lagi seperti ini, sehingga kalau kau benar-benar sudah tidak berada lagi di sini, aku payah mencari obat. Selamat tinggal, Sin-tong dan sekali lagi terima kasih."

"Selamat jalan, Lo-enghiong, semoga lekas sembuh."

Orang itu berjalan menyeret kakinya yang terluka, baru belasan langkah menoleh lagi dan berkata, "Benar-benar-kah kau tidak mau ikut bersamaku untuk bersembunyi, Sin-tong?"

Sin Liong terseyum dan menggeleng kepala tanpa menjawab.

"Sin-tong, siapakah namamu yang sesungguhnya?"

"Aku disebut Sin-tong, biarpun aku merasa seorang anak biasa, aku tidak tega menolak sebutan itu. Kau mengenalku sebagai Sin-tong, itulah namaku."

Sin hek-houw menggeleng kepala, melanjutkan perjalanannya dan masih bergeleng-geleng dan mulutnya mengomel, "Anak ajaib, anak ajaib.... sayang...!" Dan dia mengepal tinju, seolah-olah hendak menyerang siapa pun yang akan mengganggu bocah yang dikaguminya itu.

Beberapa hari kemudian semenjak Sin-hek-houw datang minta obat kepada Sin Hong, makin banyaklah orang yang datang membisikkan kepada anak itu tentang geger di dunia kang-ouw tentang dirinya. Bermacam-macam berita aneh yang didengar oleh Sin Liong tentang ancaman dan lain-lain mengenai dirinya, namun dia sama sekali tidak ambil peduli dan tetap saja bersikap tenang dan bekerja seperti biasa, tidak pernah gelisah, bahkan sama sekali tidak pernah memikirkan tentang berita yang didengarnya itu.

Beberapa pekan kemudian, pagi hari, dari arah timur kaki Pegunungan Jeng-hoa-san tampak berjalan seorang kakek seorang diri, menoleh ke kanan kiri seolah-olah menikmati pemandangan alam di sekitar tempat itu, Kakek ini usianya tentu sudah enam puluhan tahun, tubuhnya kurus kecil, pakaiannya penuh tambalan, dan wajahnya membayangkan kesabaran dan mulut yang ompong itu bahkan selalu menyungging senyum simpul keramahan. Dia melangkah perlahan-lahan memasuki hutan pertama di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, langkahnya dibantu dengan ayunan sebatang tongkat butut yang berwarna hitam, agaknya terbuat dari semacam kayu yang sudah amat tua sehingga seperti besi saja rupanya. Agaknya dia seorang pengemis tua yang hidupnya serba kekurangan namun yang dapat menyesuaikan diri sehingga tidak merasa kurang, bahkan kelihatannya gembira, menerima hidup apa adanya dan hatinya selalu senang. Buktinya ketika dia mendengar kicau burung-burung, kakek ini membuka mulutnya dari bernyanyi pula! Akan tetapi kata-kata dalam nyanyiannya itu tentu akan membuat setiap orang yang mendengarnya mengerutkan kening, karena selain aneh juga menyimpang dari ajaran kebatinan umumnya!

"Apa artinya hidup

kalau hati tak senang?

Apa artinya hidup

kalau segala keinginan tak terpenuhi?

Puluhan tahun mempelajari ilmu

bekal memenuhi segala kehendak

berenang dalam lautan kesenangan

matipun tidak penasaran."

Berkali-kali kakek pengemis ini bernyanyi dengan kata-kata yang itu-itu juga, suaranya halus dan cukup merdu dan sambil bernyanyi dia mengatur irama lagu dengan ketukan tongkatnya di atas tanah. Kalau orang memperhatikan, dia akan terkejut sekali karena di mana pun ujung tongkat kayu hitam itu diketukkan, baik di atas tanah lunak atau kebetulan mengenai batu yang keras, ujung tongkat itu tentu membuat lubang! Kedua kakinya yang bersepatu butut itu sendiri tidak meninggalkan jejak seolah-olah dia tidak menginjak tanah akan tetapi tongkat itu membuat jejak jelas karena setiap kali melubangi tanah maupun batu. Adapun kaki itu sendiri, biarpun menginjak tanah basah, sama sekali tidak meninggalkan bekas.

Beberapa menit kemudian setelah kakek aneh ini lewat, tampak berkelebat bayangan orang, juga datang dari arah timur melalui kaki bukit itu. Mereka itu terdiri dari dua belas orang laki-laki dari usia tiga puluh sampai empat puluh tahun, dan seorang wanita berusia dua puluh lima tahun, berwajah manis dan bertubuh bagus dengan pinggang ramping. Dua belas orang laki-laki itu kesemuanya kelihatan gagah dan pakaian mereka jelas menunjukkan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat, sedangkan gerakan mereka yang ringan cekatan membuktikan bahwa mereka bukanlah sembarangan orang kang-ouw, melainkan rombongan orang gagah yang berilmu. Hal ini memang tidak salah, karena mereka itulah yang terkenal dengan julukan Cap-sa-sin-hiap (Tiga Belas Pendekar Sakti). murid-murid utama dari Partai Besar Bu-tong-pai!

"Tahan dulu, para suheng!" Tiba-tiba wanita cantik itu mengangkat tangannya ke atas dan memperingatkan para suhengnya, kemudian dia menuding ke bawah dan berkata, "Lihat ini...!"

Tiga belas orang ini memperhatikan bekas tusukan tongkat pengemis tadi yang jaraknya teratur dan biarpun tiba di atas batu, tetap saja tampak batu itu berlubang.

"Siapa lagi kalau bukan dia?" kata gadis itu dengan alis berkerut.

"Tenaga tusukan tongkat yang hebat," kata seorang.

"Dan jejak kakinya tidak tampak. Tak salah lagi, Pat-jiu Kai-ong (Raja Pengemis Berlengan Delapan), tentu telah lewat di sini, dan baru saja. Hayo cepat kita mengejarnya! Jangan sampai dia mendahului kita memasuki Hutan Seribu Bunga!" kata orang tertua di antara mereka, seorang berusia empat puluh tahun yeng bermuka seperti harimau.

Karena kini merasa yakin bahwa jejak lubang-lubang itu tentu terbuat olen Pat-Jiu Kai-ong, maka tiga belas orang tokoh Bu-tong-pai itu mencabut masing-masing dan tampaklah senjata tajam itu meluncur ke depan ketika tiga belas orang itu mengerahkan ginkang mereka dan menggunakan ilmu berlari cepat melakukan pengejaran ke depan, ke arah jejak lubang itu menuju.

Tak lama kemudian terdengarlah oleh mereka bunyi nyanyian kakek pengemis tadi Tiga belas orang ini memperlambat larinya dan satu-satunya wanita di antara mereka mengomel lirih, "Hemm, dasar manusia iblis. Selama hidupnya mengejar kesenangan, dan demi kesenangan dia tidak segan melakukan hal-hal terkutuk yang kejamnya melebihi iblis sendiri!"

"Ssssttt, Sumoi, terhadap orang seperti dia kita harus berhati-hati. Semenjak dahulu, Bu-tong-pai tidak pernah bermusuhan dengan tokoh kang-ouw yang manapun juga, tidak pula mencampuri urusan mereka. Maka biarlah nanti kita bertanya dia secara baik-baik dan kalau tidak terpaksa sekali lebih baik kita menghindarkan pertempuran." kata twa-su heng (kakak seperguruan tertua) mereka. Semua sutenya mengangguk, akan tetapi sumoinya mengomel, "Siapakah yang takut kepadanya?" Dia melintangkan pedang nya. Memang nona yang bernama The Kwat Lin ini, terkenal berhati keras dan pemberani dan memang ilmu pedangnya hebat maka tidaklah mengherankan apabila dia terhitung seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang terkenal di dunia kang-ouw.

"Sumoi, kita harus mentaati perintah Suhu, agar tidak membawa Bu-tong-pai menanam bibit permusuhan dengan golongan lain, baik kaum bersih maupun kaum sesat. Karena itu, dalam pertemuan ini, serahkan saja kepadaku untuk mewakili kalian semua!"

Karena maklum bahwa dia tidak boleh melanggar perintah gurunya dan bahwa twa-suheng ini selain paling lihai juga merupakan seorang yang mewakili Suhu mereka, Kwat Lin mengangguk biarpun bibirnya yang merah tetap cemberut tidak puas. Dia merasa tidak puas melihat sikap jerih yang diperlihatkan para suhengnya. Cap-sha Sin-hiap mempunyai nama besar di dunia kang-ouw, disegani kawan ditakuti lawan, masa sekarang berhadapan dengan seorang tokoh sesat saja kelihatan gentar?

Suara nyanyian itu makin keras, tanda bahwa jarak di antara mereka dengan kakek itu makin dekat. Dengan ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna, tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu dan dapat menyusul dan berkelebatlah tubuh mereka, dari kanan kiri dan atas, tahu-tahu mereka telah berdiri menghadap di depan kakek pengemis dengan sikap keren dan gagah sekali.

Kakek pengemis itu masih melanjutkan nyanyiannya sambil berdiri memandang, dan ketika pandang matanya bertemu dengan wajah Kwat Lin, dia tidak menyembunyikan kekagumannya. Setelah nyanyiannya berhenti, barulah dia tersenyum dan berkata, "Eh-eh, apakah kalian ini serombongan pemain akrobat yang hendak menjual kepandaian? Aku seorang pengemis tidak mempunyai uang untuk membayar upah kalian!"

"Harap Locianpwe tidak berpura-pura lagi. Kami tahu bahwa Locianpwe adalah Pat-jiu-kai-pangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Delapan Lengan) yang terhormat. Locianpwe adalah tokoh terkenal yang berjuluk Pat-jiu Kai-ong, bukan?"

Kakek yang mukanya kelihatan sabar dan baik hati itu tersenyum, senyumnya juga simpatik dan ramah. Tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu yang hanya baru mengenal nama kakek sakti kaum sesat ini, diam-diam merasa heran bahkan sangsi apakah benar mereka berhadapan dengan Pat-jiu Kai-ong yang kabarnya kejamnya seperti iblis, karena kakek ini kelihatan halus tutur sapanya dan begitu ramah!

"Ha-ha-ha, sungguh sukar jaman sekarang ini untuk bersembunyi dan menyembunyikan diri. Orang-orang muda sekarang amat tajam penciumannya dan penglihatannya, biarpun belum pernah jumpa sudah mengenal orang. Orang-orang muda yang gagah dan cantik," dia memandang Kwat Lin lagi dengan kagum, "Tidak keliru dugaan kalian aku adalah Pat-jiu Kai-ong, seorang pengemis tua yang hanya memiliki sebatang tongkat butut ini. Tidak tahu siapakah kalian dan perlu apa kalian menghadang perjalananku?"

"Kami adalah Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai!" kata Kwat Lin dan karena sudah terlanjur, maka percuma saja twa-suhengnya mencegahnya dengan pandang matanya.

"Benar, kami adalah murid-murid Bu-tong-pai, Locianpwe," kata Twa-suheng itu dengan hati tidak enak karena sumoinya yang lancang itu ternyata telah membuka kartu dan mengaku bahwa mereka dari Bu-tong-pai, berarti membawa-bawa nama perkumpulan mereka.

"Ha-ha-ha, bagus. Memang Bu-tong-pai mempunyai banyak murid pandai, gagah dan cantik sepanjang kabar yang kudengar. Akan tetapi kalau tidak salah, aku tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai."

Melihat sikap kakek itu masih ramah dan kata-katanya juga halus dan tidak bermusuh, twa-suheng itu menjadi makin tidak enak. Akan tetapi karena dia maklum orang macam apa adanya kakek di depannya ini, dan betapa Sin-tong yang mereka dengar merupakan seorang anak ajaib yang luar biasa dan sudah menolong manusia dengan pengetahuannya yang tepat mengenai khasiat tetumbuhan yang mengandung obat, maka tetap saja dia merasa khawatir akan keselamatan Sin-tong itu kalau sampai kakek datuk sesat ini bertemu dengan anak itu.

"Apa yang Locianpwe katakan memang benar. Di antara Locianpwe dengan Bu-tong-pai, tidak pernah ada urusan. Dan sekali ini, kami orang-orang muda dari Bu-tong-pai juga tidak berniat untuk mengganggu Locianpwe yang terhormat. Hanya kami mendengar berita bahwa di antara banyak tokoh kang-ouw, Locianpwe juga berminat kepada anak kecil budiman yang terkenal dengan sebutan Sin- tong dan yang berdiam di dalam Hutan Seribu Bunga. Benarkah ini dan apakah Locianpwe sekarang sedang menuju ke hutan itu?"

Mulai berubah wajah kakek itu mendengar ucapan ini, senyumnya masih ada akan tetapi sepasang matanya yang tadinya berseri gembira itu kehilangan cahaya kegembiraannya dan berubah dengan sinar kilat yang mengejutkan mereka semua.

"Hemmm, orang-orang muda yang lancang. Kalau benar aku hendak pergi mengunjungi Sin-tong, kalian mau apakah?"

Tiga belas orang anak murid Bu-tong-pai itu sudah dapat "Mencium" keadaan yang membuat mereka semua siap siaga. Mereka melihat bahwa kakek yang kelihatannya halus budi itu dan ramah ini mulai memperlihatkan "tanduknya" atau watak sesungguhnya.

"Locianpwe, kalau benar demikian, kami hanya mohon kepada Locianpwe agar tidak mengganggu Sin-tong."

"Apamukah bocah itu?"

"Bukan apa-apa, Locianpwe. Namun mendengar betapa anak ajaib itu telah banyak menolong orang tanpa pandang bulu tanpa pamrih, maka sudahlah menjadi kewajiban semua orang gsgah di dunia kang-ouw untuk menjaga keselamatannya.

Makin nampak perubahan hebat pada diri kakek itu. Kini senyumnya bahkan lenyap dan mulutnya menyeringai penuh sikap mengejek, matanya berkilat-kilat dan suaranya berubah kaku, ketus dan memandang rendah. "Anak-anak kurang ajar! Apakah Si Tua Bangka Kui Bhok Sanjin yang mengutus kalian?"

"Guru kami tidak tahu-menahu tentang ini. Kami kebetulan berada di daerah ini dan mendengar akan Sin-tong yang terancam bahaya, maka kami melihat Locianpwe lalu sengaja hendak bertanya. Tentu saja kalau Locianpwe tidak menghendaki Sin-tong, kami pun sama sekali tidak kurang ajar dan kami mohon maaf sebanyaknya."

"Aku memang menuju ke Hutan Seribu Bunga. Mengapa kalian menyangka bahwa aku akan mencelakai Sin-tong?"

Tiga belas orang pendekar Bu-tong-pai itu makin tegang. Kakek ini sudah mulai berterus terang, maka tiada salahnya kalau mereka bersikap waspada dan berterus terang pula.

"Siapa yang tidak mendengar bahwa Pat-jiu Kai-ong sedang menyempurnakan ilmu iblis yang disebut Hiat-ciang-hoat-sut (Ilmu Hitam Tangan Darah)?" Tiba-tiba Kwat Lin berseru sambil menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu. Para suhengnya terkejut, akan tetapi ucapan telah terlanjur dikeluarkan dan memang dalam hati mereka terkandung tuduhan ini. Ilmu Hiat-ciang Hoat-sut adalah semacam ilmu hitam yang hanya dapat dipelajari oleh kaum sesat karena ilmu ini membutuhkan syarat yang amat keji, yaitu menghimpun kekuatan hitam dengan jalan menghisap dan minum darah, otak dan sumsum anak-anak yang masih bersih darahnya! Tentu saja bagi seorang yang sedeng menyempurnakan ilmu iblis ini, Sin-tong mempunyai daya tarik yang luar biasa, karena darah, otak dan sumsum seorang bocah seperti Sin-tong yang ajaib, lebih berharga dari darah, otak dan sumsum puluhan orang bocah biasa lainnya!

Tiba-tiba kakek itu tertawa lebar. "Hah-hah-hah-hah, memang benar! Dan satu-satunya bocah yang akan menyempurnakan ilmuku itu adalah Sin-tong! Dan aku bukan hanya suka minum dan menghisap darah, otak dan sumsum bocah yang bersih, juga aku bukannya tidak suka bersenang-senang dengan perawan cantik seperti engkau, Nona!"

"Singgg! Singgg...!!" Tampak sinar-sinar berkilauan ketika pedang yang tiga belas buah banyaknya itu bergerak secara berbareng dan tiga belas orang pendekar itu telah mengurung Si Kakek yang masih tertawa-tawa.

"Heh-heh, kalian mau coba-coba main-main dengan Pat-jiu Kai-ong? Sayang, kalian masih muda-muda harus mati, kecuali Nona manis. Andaikata Si Tua Bangka Kui Bhok Sanjin berada di sini sekalipun, dia juga tentu akan mampus kalau berani menentang Pat-jiu Kai-ong!"

"Serbu dan basmi iblis ini!" Twa-suheng itu berteriak dan mereka sudah menerjang maju dengan bermacam gerakan yang cepat dan dahsyat.

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkah suara pekik yang dahsyat, pekik yang disusul dengan suara tertawa menyeramkan. Suara ketawa ini bergema di seluruh hutan, sehingga terdengar suara ketawa menjawabnya dari semua penjuru, seolah-olah semua setan dan iblis penjaga hutan telah datang oleh panggilan kakek itu. Hebatnya, suara pekik dan tertawa itu membuat tiga belas orang pendekar itu seketika seperti berubah menjadi arca, gerakan mereka terhenti dan untuk beberapa detik mereka hanya bengong memandang kakek itu dan jantung mereka seolah-olah berhenti berdenyut.

Twa-suheng mereka yang bermuka gagah perkasa itu segera berseru, "Awas. Saicu-hokang (ilmu menggereng seperti singa berdasarkan khikang)!"

Seruan ini menyadarkan para sutenya dan sumoinya. Mereka cepat mengerahkan sinkang sehingga pengaruh Saicu-hokang itu membuyar. Pedang mereka melanjutkan gerakannya.

"Sing-sing... siuuuut... trang-trang-trang.... Heh-heh-heh!"

Gulungan sinar pedang-pedang yang menyambar ke arah tubuh kakek darl berbagai jurusan, dapat ditangkis oleh gulungan sinar tongkat hitam yang telah diputar dengan cepatnya oleh Pat-jiu Kai-ong. Para pendekar Bu-tong-pai itu terkejut ketika merasakan betapa telapak tangan mereka menjadi panas dan nyeri setiap kali pedang mereka tertangkis tongkat. Hai ini menandakan bahwa Si Kakek benar-benar amat lihai dan memiliki tenaga sakti yang amat kuat. Juga tongkatnya yang kelihatan butut dan hitam itu ternyata terbuat dari logam pilihan sehingga mampu menahan ketajaman pedang di tangan mereka, padahal semua pedang di tangan Cap-sha Sin-hiap adalah pedang-pedang pusaka yang ampuh.

"Ha-ha-ha, inikah Ngo-heng-kiam (Ilmu Pedang Lima Unsur) dari Bu-tong-pai yang terkenal? Ha-ha, tidak seberapa!" Sambil menggerakkan tongkatnya menangkis setiap sinar pedang yang meluncur datang, kakek itu tertawa dan mengejek.

"Bentuk Sin-kiam-tin (Barisan Pedang Sakti)!" Teriak Si Twa-suheng melihat betapa kakek itu benar-benar amat tangguh sehingga semua serangan pedang mereka dapat ditangkis dengan mudahnya.

Tiba-tiba tiga belas orang pendekar itu merobah gerakan. mereka, kini mereka tidak lagi menyerang dari kedudukan tertentu, melainkan mereka bergerak mengurung dan mengelilingi kakek itu, sambil bergerak berkeliling mereka menyusun serangan berantai yang susul menyusul dan yang datangnya dari arah yang tidak tertentu.

Diam-diam kakek itu terkejut. Sejenak dia menjadi bingung. Kalau tadi mereka itu menyerangnya dari kedudukan tertentu, biarpun gerakan mereka tadi berdasarkan Ngo-heng-kiam, namun dia sudah dapat mengenal dasar Ngo-heng-kiam dan dapat menggerakkan tongkat secara otomatis untuk menangkis semua pedang yang datang menyambar. Akan tetapi sekarang, sukar sekali menentukan dari mana serangan akan datang, dan gerakan mengelilinginya itu benar-benar mendatangkan rasa pusing.

Marahlah Pat-jiu Kai-ong. Tadi dia ingin mempeiajari ilmu pedang Bu-tong-pai dan memperhatikan para pengeroyoknya sebelum membunuh mereka. Akan tetapi setelah mereka menggunakan Sin-kiam-tin dia tahu bahwa kalau dia tidak cepat mendahului raereka, dia bisa terancam bahaya. Tidak disangkanya bahwa Si Tua Bangka Kui Bhok San-jin, ketua dari Bu-tong-pai dapat menciptakan barisan pedang yang demikian lihainya.

Tiba-tiba terjadi perubahan pada diri kakek ini. Tangan kirinya berubah menjadi merah sekali, merah darah!

"Hati-hati terhadap Hiat-ciang Hoat-sut!" Si Twa-suheng berseru keras ketika melihat perubahan warna tangan kiri kakek itu.

Pat-jiu Kai-ong tiba-tiba mengeluarkan pekik yang amat dahsyat, lebih dahsyat daripada tadi dan tubuhnya mendadak membalik, tongkatnya menyambar dibarengi tangan kiri merah itu mendorong ke depan.

"Prak-prak... desss!!"

Tiga orang pengeroyok menjerit dan roboh, dua orang dengan kepala pecah oleh tongkat, sedangkan seorang lagi terkena pukulan jarak jauh Hiat-ciang Hoat-sut, roboh dan tewas seketika dengan dadanya tampak ada bekas lima jari merah seperti terbakar, bahkan bajunya robek dan hangus. Itulah ciang Hoat-sut, pukulan maut yang mengerikan. Padalial ilmu itu masih belum sempurna, dapat dibayangkan betapa hebatnya kalau kakek ini berhasil menghisap darah, otak dan sumsum seorang bocah ajaib seperti Sin-tong!

Sepuluh orang pendekar Bu-tong-pai terkejut dan marah sekali. Mereka melanjutkan serangan dengan penuh semangat dan penuh dendam. Namun kembali Pat-jiu Kai-ong memekik dahsyat sambil bergerak menyerang, dan kembali tiga orang lawan roboh dan tewas. Serangan ini diulanginya terus, tidak memberi kesempatan kepada para pengeroyoknya untuk membebaskan diri. Empat kali terdengar dia memekik dahsyat seperti itu dan akibatnya, dua belas orang di antara Cap-sha Sin-hiap dari Bu-tong-pai itu tewas semua, tewas dalam keadaan masih mengurungnya, dan yang masih hidup tinggal The Kwat Lin seorang! Hal ini memang disengaja oleh Pat-jiu Kai-ong dan kini sambil tersenyum mengejek dia menghadap Kwat Lin. Dapat dibayangkan betapa perasaan dara itu dua belas orang suhengnya telah tewas semua! Dua belas orang suhengnya yang selama ini berjuang sehidup semati dengannya, kini telah menjadi mayat yang bergelimpangan di sekelilingnya, seolah-olah mayat dua belas orang itu mengurung dia dan Pat-jiu Kai-ong yang berdiri tersenyum di depannya.

"Iblis busuk, aku akan mengadu nyawa denganmu!" Kwat Lin berseru mengantung isak tertahan. "Haiiiit...!" tubuhnya melayang ke depan, pedangnya ditusukkan ke arah dada lawan dengan kebencian meluap-luap.

Namun dengan gerakan seenaknya kakek itu memukulkan tongkatnya dari damping menghantam pedang yang menusuknya. "Krekkk!" Pedang itu patah dan gagangnya terlepas dari pegangan Kwat Lin! Dara itu membelalakkan matanya dan melihat pandang mata kakek itu kepadanya, melihat senyum yang baginya amat mengerikan itu, tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya, dan melayang ke arah sebatang pohon besar, dengan niat untuk membenturkan kepatanya pecah pada batang pohon itu! Kwat Lin melihat ancaman bahaya yang lebih mengerikan daripada maut sendiri. maka setelah yakin bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan lawannya, dia mengambil kepusan nekad untuk membunuh diri dengan membenturkan kepalanya pada batang pohon.

"Bukkk!" Bukan batang pohon yang dibentur kepalanya, melainkan perut lunak dan tubuhnya berada dalam pelukan Pat-ju Kai-ong yang entah kapan telah berada di situ menghadangnya di depan pohon.

"Lepaskan aku!!" Kwat Lin berteriak dan tubuhnya tiba-tiba dilontarkan oleh kakek liu, jauh kembalike dalam lingkaran mayat-mayat suhengnya. Dengan langkah gontai kakek itu tersenyum-senyum memasuki lingkaran dan melangkahi mayat bekas para pengeroyoknya, menghampiri Kwat Lin yang sudah bangkit duduk dengan muka pucat dan mata terbelalak. Dia telah tersudut seperti seekor kelinci muda ketakutan menghadapi seekor harimau yang siap menerkamnya.

Perasaan ngeri yang luar biasa membuat Kwat Lin cepat menggerakkan tangan kanannya, dengan dua buah jari tangan dia menusuk ke arah ubun-ubun kepalanya sendiri sambil mengerahkan sinking. Batu karang saja akan berlubang terkena tusukan jari tanganya seperti itu apa lagi ubun-ubun kepalanya.

"Plakkk!"

"Aihhh...!" Kwat Lin menjerit ketika tangannya itu tertangkis dan setengah lumpuh. Ternyata kakek itu telah berdiri di depannya dan telah mencegah dia membunuh diri.

"Brettt... brettt...!" Tongkat kakek itu bergerak beberapa kali dan seperti disulap saja seluruh pakian yang membungkus tubuh Kwat Lin cabik-cabik dan cerai berai, membuatnya menjadi telanjana bulat sama sekali! Kwat Lin menjerit akan tetapi tiba-tiba, seperti seekor kucing menerkam tikus, sambil mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, kakek itu telah menubruk dan memeluknya sehingga mereka berdua bergulingan di atas rumput yang bernoda darah para korban keganasan kakek itu!

Kwat Lin melawan sekuat tenaga, namun sia-sia belaka. Untuk membunuh diri tidak ada jalan baginya, untuk melawan pun percuma, bahkan semua jeritan tangis dan permohonan, semua usaha meronta-ronta tiada gunanya sama sekali. Bahkan semua usaha ini malah menyenangkan hati si kakek. Seolah-olah seekor kucing yang menjadi gembira dapat mempermainkan seekor tikus yang telah tersudut dan tidak berdaya, mempermainkannya dan melihatnya tersiksa dan meronta sebelum menjadi mangsanya!

Selama tiga hari tiga malam Kwat Lin menderita siksaan yang amat hebat. Diperkosa, dihina, diejek. Pada hari ke tiga, pagi-pagi sekali dalam keadaan setengah sadar, rebah terlentang tak mampu bergerak, hanya matanya saja yang mendelik memandang kakek itu. Kwat Lin melihat kakek itu mengenakan pakaian, menyambar tongkatnya dan tertawa memandang kepadanya yang masih rebah terlentang dalam keadaan telanjang bulat di atas rumput berdarah.

"Ha-ha-ha, sekarang aku pergi, manis. Aku telah puas, dan kalau kau mau membunuh diri, silakan. Ha-ha-ha!"

Biarpun Kwat Lin berada dalam keadaan menderita hebat, kehabisan tenaga, hampir mati karena lelah, muak, jijik, malu, marah dan dendam tercampur aduk menjadi satu dalam benaknya, namun kebencian yang meluap-luap masih memberinya tenaga untuk berseru, "Jahanam, sekarang aku harus hidup! Aku harus hidup untuk melihat engkau mampus di tanganku!"

"Ha-ha-ha-ha! Kalau sewaktu-waktu kau merasa rindu kepadaku, manis, datanglah saja ke Hong-san. Sampai jumpa!" Kakek itu lalu melangkah pergi meninggalkan tempat itu, meninggalkan Kwat Lin yang masih rebah dan kini wanita yang bernasib malang ini menangis sesenggukan di antara mayat-mayat dua belas orang suhengnya yang sudah mulai membusuk dan berbau! Dapat dibayangkan betapa tersiksa rasa badan dan jiwa wanita muda ini. Dia dipaksa, diperkosa, dihina di antara mayat-mayat dua belas suhengnya, bahkan sewaktu keadaan mayat-mayat itu mulai membusuk dan menyiarkan bau yang hampir tak tertahankan, kakek itu masih saja enak-enak mempermainkannya. Benar-benar seorang manusia yang kejam melebihi iblis sendiri.
(lop)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.1010 seconds (0.1#10.140)