Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 18 Bagian 6
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Seorang pertapa berarti mengikatkan diri dengan pertapaannya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari segala-galanya."
"Suheng kita... kita... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?"
Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat Hong akan menyinggung masalah ini. Dia hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoinya penuh selidik. Apa lagi yang akan dikemukakan sumoinya ini?
"Dahulu kita sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya dapat mengikat jodoh jika saling mencinta. Suheng..., apakah... apakah engkau tidak mencinta seorang wanita?"
Sin Liong cepat menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...."
"Tidak, Sumoi, kalau yang kaumaksudkan adalah cinta berahi."
"Akan tetapi Suheng menolongnya, membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng mencintainya?"
"Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain, akan tetapi bukanlah cinta umum yang mendorong orang untuk menikah, kemudian setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga timbullah siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan bahkan mungkin cemburu dan kebencian. Tidak, aku tidak mencinta Soan Cu seperti yang kaumaksudkan itu."
"Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali dan dia terang-terangan mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah engkau tidak ingin mengambilnya sebagai isteri?"
"Hemmm, sama sekali tidak. Apalagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain."
"Jadi tidak ada wanita yaitg kaupilih untuk menjadi isterimu, Suheng?"
Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak membicarakan soal ini.
"Tidak ada dara yang kaucinta?"
Sin Liong menggeleng lagi.
"Termasuk aku....?"
Sin Liong terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoinya ini. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat sumoinya juga sedang memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoinya yang biasanya tajam lebar dan amat indahnya itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk, sinar matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya tersenyum tipis akan tetapi seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak kembang kempis dan jelas tampak dadanya naik turun diburu pernapasan.
"Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti seorang sahabat dan aku rela untuk mempertaruhkan nyawa membela dan melindungimu, aku merasa sebagai pengganti ayah bundamu, aku akan merasa berbahagia, Sumoi, karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan meninggalkanmu sebelum...."
"Sudahlah... sudahlah...! Mari kita melanjutkan perjalanan, tugas kita masih belum selesai!" Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat mendaki puncak yang menjulang tinggi itu.
"Sumoi, perlahan dulu...! Hati-hatilah...!" Sin Liong melompat dan terpaksa harus mengerahkan ilmunya untuk menyusul sumoinya yang lari seperti setan itu.
Karena agaknya Swat Hong berlari secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak, untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya, maka mereka tersesat jalan, bukan menuju ke Rawa Bangkai yang berada di lereng timur, melainkan memasuki hutan lebat di lereng barat! Mereka tidak tahu bahwa ada banyak pasang mata mengintai ketika mereka memasuki hutan itu dan tiba-tiba bermunculan banyak orang yang mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring.
Sin Liong dan Swat Hong berdiri tegak memandang ke sekeliling dan Swat Hong membelalakkan matanya saking herannya. Mereka berdua telah dikurung oleh puluhan orang yang tubuhnya katai, pendek sekali. Yang tertinggi di antara mereka hanyalah setinggi dada Swat Hong! Kalau saja tidak melihat muka orang-orang itu, tentu Swat Hong mengira bahwa mereka berdua dikurung oleh serombongan anak nakal. (Bersambung)
Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Seorang pertapa berarti mengikatkan diri dengan pertapaannya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari segala-galanya."
"Suheng kita... kita... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?"
Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat Hong akan menyinggung masalah ini. Dia hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoinya penuh selidik. Apa lagi yang akan dikemukakan sumoinya ini?
"Dahulu kita sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya dapat mengikat jodoh jika saling mencinta. Suheng..., apakah... apakah engkau tidak mencinta seorang wanita?"
Sin Liong cepat menggelengkan kepalanya.
"Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...."
"Tidak, Sumoi, kalau yang kaumaksudkan adalah cinta berahi."
"Akan tetapi Suheng menolongnya, membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng mencintainya?"
"Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain, akan tetapi bukanlah cinta umum yang mendorong orang untuk menikah, kemudian setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga timbullah siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan bahkan mungkin cemburu dan kebencian. Tidak, aku tidak mencinta Soan Cu seperti yang kaumaksudkan itu."
"Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali dan dia terang-terangan mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah engkau tidak ingin mengambilnya sebagai isteri?"
"Hemmm, sama sekali tidak. Apalagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain."
"Jadi tidak ada wanita yaitg kaupilih untuk menjadi isterimu, Suheng?"
Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak membicarakan soal ini.
"Tidak ada dara yang kaucinta?"
Sin Liong menggeleng lagi.
"Termasuk aku....?"
Sin Liong terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoinya ini. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat sumoinya juga sedang memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoinya yang biasanya tajam lebar dan amat indahnya itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk, sinar matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya tersenyum tipis akan tetapi seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak kembang kempis dan jelas tampak dadanya naik turun diburu pernapasan.
"Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti seorang sahabat dan aku rela untuk mempertaruhkan nyawa membela dan melindungimu, aku merasa sebagai pengganti ayah bundamu, aku akan merasa berbahagia, Sumoi, karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan meninggalkanmu sebelum...."
"Sudahlah... sudahlah...! Mari kita melanjutkan perjalanan, tugas kita masih belum selesai!" Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat mendaki puncak yang menjulang tinggi itu.
"Sumoi, perlahan dulu...! Hati-hatilah...!" Sin Liong melompat dan terpaksa harus mengerahkan ilmunya untuk menyusul sumoinya yang lari seperti setan itu.
Karena agaknya Swat Hong berlari secara ngawur saja, asal cepat dan naik ke puncak, untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya, maka mereka tersesat jalan, bukan menuju ke Rawa Bangkai yang berada di lereng timur, melainkan memasuki hutan lebat di lereng barat! Mereka tidak tahu bahwa ada banyak pasang mata mengintai ketika mereka memasuki hutan itu dan tiba-tiba bermunculan banyak orang yang mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring.
Sin Liong dan Swat Hong berdiri tegak memandang ke sekeliling dan Swat Hong membelalakkan matanya saking herannya. Mereka berdua telah dikurung oleh puluhan orang yang tubuhnya katai, pendek sekali. Yang tertinggi di antara mereka hanyalah setinggi dada Swat Hong! Kalau saja tidak melihat muka orang-orang itu, tentu Swat Hong mengira bahwa mereka berdua dikurung oleh serombongan anak nakal. (Bersambung)
(dwi)