Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 4 Bagian 1

Jum'at, 17 Februari 2017 - 09:52 WIB
loading...
Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 4 Bagian 1
Bukek Siansu, karya: Asmaraman S. Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu

TERIAKAN Swat Hong ini mengejutkan hatinya. Dia menengok dan melihat tubuh anaknya meluncur turun. Dia kaget dan baru sadar bahwa ketegangan mendengar suaminya pulang membuat dia lupa kepada puterinya. Sungguhpun Swat Hong telah memiliki ginkang yang cukup baik akan tetapi meluncur turun dan tempat tinggi seperti itu ada bahayanya patah atau setidaknya salah urat. Untuk meloncat sudah tidak ada waktu lagi, maka cepat dia menyambar sebuah ranting kayu di dekat kakinya, melontarkan kayu itu dengan tepat melayang di bawah kaki Swat Hong dan anak ini juga tidak menyia-nyiakan pertolongan ibunya. Dia menginjak kayu itu dan tenaga luncuran kayu itu dapat menahan dan mengurangi tenaga luncuran tunuhnya sendiri dari atas sehingga dia dapat meloncat ke bawah dengan aman. Seperti tidak pernah mengalami bahaya apa-apa, anak itu lalu lari ke arah ibunya dan berteriak girang,

"Ayah datang, Ibu?"

Ibunya hanya mengangguk tanpa menoleh, tetap memandang ke arah perahu yang makin mendekat pantai.

"Heii, Ayah bukan dateng sendiri! Ada seorang wanita dan anak laki-laki bersama Ayah di dalam perahu!"

Liu Bwe tetap tidak menjawab akan tetapi memandang tajam penuh selidik ke arah perahu.

"Wah, jangan-jangan itu selir dan putera Ayah!" Swat Hong yang memang berwatak terbuka itu berkata mengomel. Dia pun sudah tahu akan kebiasaan para pangeran untuk mengambil selir, maka dia tidak akan merasa heran pula kalau ayahnya juga mempunyai selir di luar Pulau Es, biarpun hatinya merasa tidak senang dan penuh iri memandang kepada anak laki-laki di dalam perahu itu.

Mendengar ucapan yang tanpa disengaja oleh Swat Hong merupakan benda tajam menusuk hatinya itu, Liu Bwee menjawab, "Perempuan itu masih terlalu muda untuk menjadi ibu unuk laki-laki itu, sungguhpun bukan tidak mungkin dia adalah selir Ayahmu karena dia memang cantik." Jawaban ini keluar dari lubuk hati Liu Bwee sehingga keluar melalui mulutnya seperti tidak disadarinya. Barulah dia kaget ketika kalimat itu telah terucapkan. Cepat dia menoleh ke arah puterinya dan merasa menyesal telah mengeluarkan kata-kata yang penuh cemburu tadi. Segera digandengnya tangan anaknya dan untuk menghapus kata-katanya dari hati anaknya dia berkata riang, "Ehh, kenapa kita di sini saja? Hayo kita sambut Ayahmu!" Berlari-larianlah mereka menuruni tebing untuk menyambut kedatangan Pangeran Han Ti Ong di pantai pasir. Sikap wanita yang penuh kegembiraan ini menyembunyikan semua perasaannya sehingga Swat Hong sudah lupa lagi akan kedukaan ibunya tadi.

Sebenarnya, memang amat giranglah hati Liu Bwee melihat kembalinya suaminya sungguhpun kegembiraannya itu akan lebih besar andaikata suaminya pulang sendirian saja. Semenjak suaminya pergi beberapa bulan yang lalu dia mengalami penderitaan batin yang hebat. Memang dia maklum bahwa dirinya tidak disukai oleh keluarga kerajaan, karena dianggap seorang wanita berdarah rendah. Kebencian keluarga itu menjadi-jadi ketika mendapat kenyataan betapa Han Ti Ong tidak mau mengambil selir. Hal ini dianggap oleh mereka bahwa Liu Bwee menggunakan daya upaya untuk mengikat suaminya! Apalagi karena Liu Bwee tidak mempunyai anak laki-laki, maka kebencian mereka makin bertambah. Sudah tentu saja, yang merasa paling benci adalah mereka yang mengharap agar Han Ti Ong pangeran calon raja itu memperisterikan puteri mereka!

Pada waktu itu, raja yang sudah tua menderita sakit dan sudah menjadi dugaan umum bahwa usianya takkan bertahan lama lagi. Agaknya raja itu hanya menantikan kembalinya puteranya yang menjadi putera mahkota, yaitu Pangeran Han Ti Ong untuk mewariskan singgasana kepada puteranya ini, Akan tetapi, karena keadaan Han Ti Ong yang lain daripada para pangeran lain, suka merantau, isterinya orang rendah dan hanya satu, tidak punya selir, tidak punya putera, maka Liu Bwee maklum bahwa di antara keluarga raja terdapat persekutuan yang menentang diangkatnya suaminya menjadi calon raja! Hal inilah yang mendukakan hatinya. Dia menganggap bahwa dirinya menjadi penghalang bagi suaminya dan hal inilah yang paling merusak hatinya. Maka dapat dibayangkan betapa gembira. hatinya melihat suaminya pulang!

Ketika ibu dan anak ini tiba di pantai, ternyata pasukan kehormatan telah berbaris dan siap menyambut pulangnya pangeran yang dihormati itu. Tentu saja Liu Bwee dan Swat Hong mendapat tempat kehormatan paling depan dan ketika akhirnya perahu itu menempel di pantai dan Han Ti Ong melompat keluar sambil tersenyum lebar, Swat Hong menjadi orang pertama yang berlari menyambut.

"Ayahhh...,!!"

"Ha-ha, Hong-ji, kau makin cantik saja!" Han Ti Ong menerima puterinya itu dan mengangkatnya tinggi-tinggi, lalu melemparkan tubuh anaknya ke udara. Sambil tertawa-tawa Swat Hong melayang turun dan langsung menyerang ayahnya dengan Jurus Kek-seng-jip-hai (Bintang Terompet Meluncur ke Laut) seperti yang dilakukannya kepada ibunya tadi.

"Ha-ha-ha, bagus juga!" Ayahnya tertawa, menyambar kedua lengan yang mencengkeram ubun-ubunnya, lalu memondong puterinya, dan mencium dahinya. Sambil memondong puterinya Han Ti Ong menghampiri isterinya yang sudah maju menyambutnya, memandang penuh kemesraan dan berkata halus, "Harap kau baik-baik saja selama aku pergi."

Liu Bwee memandang suaminya, tersenyum akan tetapi di balik senyum itu tampak oleh Han Ti Ong ada yang menggelisahkan hati isterinya, apa lagi ketika mendengar suara isterinya lirih. "Ayahanda raja sedang menderita sakit parah."

Han Ti Ong mengangguk. Ucapan yang pendek itu sudah mencakup semua isi hati isterinya. Dia sudah mengenal hati isterinya yang tercinta itu dan tahu dia bahwa menjelang kemaatian ayahnya, ada hal-hal yang menggelisahkan isterinya. Tentu saja tentang warisan tahta kerajaan dan isterinya yang datang dari keluarga berdarah "rendah" itu tentu saja mengkhawatirkan bahwa keturunan isterinya itu akan menjadikan persoalan bagi pengangkatan raja! Maka dia memandang isterinya dengan sinar mata menghibur, kemudian seperti teringat dia berkata, "Ahh, hampir aku lupa. Aku datang bersama seorang muridku, namanya Sin Liong akan tetapi di daratan besar sana dia dikenal sebagai Sin-tong."

"Hai, seorang sin-tong (anak ajaib)? Hemm, ingin aku tahu sampai di mana keajaibannya!"

"Hong-ji, jangan!" ibunya menegur, akan tetapi anak itu meloncat ke depan dan pada saat itu, Sin Liong sudah turun dari atas perahu. Baru saja dia berjalan menghampiri gurunya, tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang gadis cilik dengan gerakan seperti seeker burung garuda menyambar telah menyerangnya dari depan, sebuah kaki kecil telah menghantam dadanya.

"Bukk!!" Tanpa dapat ditahannya lagi, Sin Liong roboh terjengkang, dadanya terasa nyeri dan napasnya sesak. Akan tetapi dia bangkit berdiri, mengebutkan pakaiannya yang menjadi kotor, memandang anak perempuan yang lebih muda daripada dia itu, menggeleng kepala dan berkata tenang, "Sungguh sayang sekali, seorang anak-anak yang masih bersih dikotori kebiasaan buruk mempergunakan kekerasan untuk memukul orang tanpa sebab."

"Aihhh..." Swat Hong tertegun, lalu menoleh kepada ayahnya yang terdengar tertawa keras, "Ayah, dia tidak bisa apa-apa, mengapa disebut Sin-tong? Serangan biasa saja membuatnya roboh terjengkang!"

"Ha-ha-ha, kaulihat dia roboh, akan tetapi apakah kau tidak melihat sesuatu yang ajaib? Dia tidak marah malah menyayangkan dirimu, bukankah itu ajaib?"

"Anak yang luar biasa dia..." terdengar Liu Bwee berkata lirih dan kini Swat Hong juga memandang Sin Liong. Akan tetapi dia masih merasa tidak puas dan berkata,

"Dia tidak marah karena takut dan pengecut, Ayah!"

"He, Sin Liong, apakah engkau takut kepada Swat Hong ini?" Han Ti Ong berteriak kepada Sin Liong.

Anak ini menggeleng kepala. "Suhu mengerti bahwa teecu tidak takut terhadap apa pun dan siapa pun."

Swat Hong membusungkan dadanya yang masib gepeng itu, menegakkan kepalanya dan menantang,

"Bocah sombong, kalau kau tidak takut, hayo kaulawan aku" Dia sudah siap memasang kuda-kuda.

Sin Liong menggeleng kepalanya. "Adik yang baik, aku tidak akan gunakan kepandaian apapun juga tidak melakukan kekerasan terhadap orang lain, apalagi terhadap seorang anak-anak seperti engkau."

Gadis cilik itu sudah menerjang maju, dipandang oleh Sin Liong dengan sikap tenang saja, berkedip pun tidak menghadapi serangan anak perempuan itu. Tiba-tiba tubuh Swat Hong terhuyung ke belakang dan ternyata lengannya sudah ditangkap oleh ibunya dan ditarik ke belakang.

"Swat Hong, kau terlalu sekali! Seharusnya kau minta maaf kepada Suhengmu itu!"

Swat Hong menoleh, melihat ayahnya tersenyum, melihat pandang mata semua orang dari perajurit sampai perwira penuh kagum terhadap Sin Liong. Barulah dia ingat bahwa dia telah melanggar pelajaran pertama dari ayahnya, bahkan dari semua penghuni pulau bahwa ilmu silat Pulau Es tidak boleh sembarangan dikeluarkan untuk menyerang orang tanpa alasan! Dan dia telah menyerang Sin Liong tanpa sebab apa-apa, padahal Sin Liong adalah murid ayahnya atau suhengnya (kakak seperguruannya). Biarpun dia berwatak keras dan tidak mengenal takut, akan tetapi sifatnya yang gembira dan mudah berubah membuat Swat Hong dapat mengusir semua rasa penasaran dan sambil tersenyum dan muka ramah dia menjura ke arah Sin Liong sambil berkata, "Suheng, harap maafkan aku yang kurang ajar terhadap murid Ayah."

Sin Liong terkejut. Kiranya bocah ini puteri suhunya! Dia pun menjura dan berkata, Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Kepandaianmu memang hebat, tentu saja aku bukan tandinganmu."

"Hi-hik, wah, dia baik sekali, Ayah!" Swat Hong lalu meloncat menghampiri Sin Liong, menggandeng tangannya dan diajak lari ke pinggir di mana dia menghujani Sin Liong dengan pertanyaan-pertanyaan.

"Siapakah nama lengkapmu, Suheng? Dari mana kau datang? Bagaimana kau dapat menjadi murid Ayah? Apa saja yang sudah diajarkannya kepadamu? Mengapa pula kau disebut Sin-tong?"

Payah juga Sin Liong menghadapi hujan pertanyaan dari anak perempuan yang baru saja menyerangnya seperti seekor burung garuda akan tetapi yang kini sudah bersikap demikian ramah dan baik terhadapnya ini. Akan tetapi baru saja dia memperkenalkan namanya, yaitu Kwa Sin Liong dan belum sempat menjawab pertanyaan yang lain, perhatiannya, juga Swat Hong dan semua orang yang berada di situ tertarik oleh keributan yang terjadi ketika Kwat Lin turun dari atas perahu.

Begitu Kwat Lin turun dari perahu, wanita yang masih belum sadar betul dari gangguan ingatannya karena malapetaka hebat yang menimpa dirinya, menjadi perhatian semua orang. Wanita ini memang berwajah manis dan gagah, apalagi ketika turun dari perahu itu rambutnya yang awut-awutan berkibar tertiup angin, pakaiannya yang terlalu longgar itu membuat dia kelihatan makin aneh dan penuh rahasia. Kwat Lin turun dengan sikap tenang, akan tetapi matanya bergerak liar menyapu semua orang yang memandangnya, kemudian mate itu terhenti memandang kepada Liu Bwee yang telah melangkah menghampirinya.

"Dia ini siapakah?" Liu Bwee bertanya tanpa mengalihkan pandang matanya dari wajah pucat itu sambil di dalam hatinya menduga-duga dan menanti jawaban yang diharapkan dari suaminya karena pertanyaan itu sesungguhnya dia ajukan kepada suaminya.

Akan tetapi sebelum Han Ti Ong menjawab, tiba-tiba Kwat Lin, wanita itu membentak, "Manusia-manusia busuk! Kubunuh engkau!" Dan dia sudah meloncat ke depan dan menyerang Liu Bwee dengan pukulan yang dahsyat.

"He, Twanio! Jangan begitu,..!!" Sin Liong berteriak mencegah, namun terlambat karena Kwat Lin sudah menyerang dengan cepatnya. Sedangkan para penghuni Pulau Es, termasuk Swat Hong dan Pangeran Han Ti Ong sendiri, hanya memandang dengan tenang-tenang saja!

"Wuuuutttt... plak-plak...!"

Tubuh Kwat Lin terpelanting ketika pukulannya tertangkis oleh Liu Bwee dan wanita ini sudah menampar pundaknya sebagai serangan balasan. Hal ini membuat Kwat Lin yang memang belum sadar benar itu makin marah. Dengan nekat dia melompat bangun dan menerjang lagi, Pangeran Han Ti Ong sudah mendahuluinya, menotok pundaknya sambil berkata, "Tenanglah, Nona,"

Kwat Lin kembali roboh, akan tetapi tubuhnya disambar oleh Han Ti Ong. Ternyata dia telah ditotok lemas. Dengan lambaian tangan, Pangeran itu memanggil empat orang wanita pelayan yang kelihatan tangkas-tangkas.

"Dia sedang sakit ingatannya tidak sewajarnya." Ucapan ini ditujukan kepada istrinya yang memandang marah. Mendengar ini, Liu Bwe menganggu-angguk dan kemarahannya di wajahnya berubah menjadi iba.

"Bawa dia ke kamar tamu dan rawat dia baik-baik," kata Liu Bwee kepada empat orang pelayan itu yang segera menggotong tubuh Kwat Lin pergi dari situ.

Barulah Pangeran Han Ti Ong kini mempedulikan sambutan resmi dari para pangeran dan pasukan penghormatan. Tadi dia seolah-olah menganggap mereka semua itu seperti patung belaka. Dengan megah Pangeran itu lalu langsung diantar ke kamar ayahnya Sang Raja yang sedang sakit dan yang telah lama menanti kedatangan puteranya ini sedangkan Sin Liong langsung diajak oleh Swat Hong ke bagian istana di mana dia dan ibunya tinggal, yaitu di bagian kiri istana besar.

***

Tepat seperti telah diduga oleh semua penghuni Pulau Es, tiga hari kemudian setelah pulangnya Pangeran Han Ti Ong, raja tua meninggal dunia setelah sempat menyaksikan Han Ti Ong dinobatkan menjadi penggantinya, merajai Pulau Es dalam upacara yang amat sederhana. Dapat dibayangkan betapa tidak puas dan penasaran rasa hati para pangeran yang membenci Han Ti Ong karena usaha mereka memanaskan hati mendiang ayah mereka tentang keadaan Han Ti Ong tidak dipedulikan oleh raja tua itu. Dan untuk memberontak secara terang-terangan, tentu saja mereka tidak berani karena di dalam pulau itu, pada waktu itu Han Ti Ong merupakan orang yang paling sakti. Maka, mereka itu hanya diam saja biarpun tidak pernah lengah barang seharipun untuk mencari peluang dan kesempatan yang baik untuk menjatuhkan Han Ti Ong, atau lebih tepat lagi, menjatuhkan Liu Bwee yang mereka anggap sebagai biang keladi dari "penyelewengan" Han Ti Ong dari kebiasaan keluarga raja di Pulau Es!

Setengah bulan kemudian, berkat perawatan yang baik dari Liu Bwee dan para pelayan, juga dengan pengobatan tusuk jarum oleh Raja Han Ti Ong sendiri, ditambah obat-obat berupa daun-daun yang dicari para anak buah Pulau Es atas petunjuk Sin Liong, gangguan ingatan yang diderita oleh The Kwat Lin menjadi sembuh.

Pada suatu pagi, wanita yang bernasib malang ini duduk seorang diri di dalam taman istana, taman yang bukan berisi bunga-bunga hidup, melainkan terisi ukir-ukiran bunga dari batu-batu beraneka warna, dihias salju dan patung-patung kayu. Sudah berhari-hari, dia duduk di taman ini dan didiamkan saja karena menurut Raja Han Ti Ong, wanita malang ini barus dibiarkan pulih kembali ingatannya dan tidak boleh diganggu. Namun, diam-diam dia sendiri melakukan pengawasan karena entah bagaimana, makin lama dia menjadi makin tertarik dan tahu bahwa dia jatuh hati kepada gadis ini!"

Tiba-tiba Kwan Lin melompat bangun karena mendengar gerakan di belakangnya. Sebagai seorang ahli silat kelas tinggi, sedikit suara saja cukup membuat dia siap waspada. Ketika dia membalik, dia melihat Han Ti Ong yang berdiri di situ sambil memandangnya dengan senyum ramah.

The Kwat Lin yang kini sudah sembuh sama sekali, memandang penuh keheranan lalu menegur,

"Siapakah engkau? Dan mengapa aku bisa berada di tempat aneh ini?"

Melihat sikap gadis ini dan mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, legalah hati Raja Han Ti Ong. Sikap dan kata-kata. itu sudah cukup membuktikan bahwa Kwat Lin telah sembuh sama sekali, telah kembali kepada keadaan sebelum mengalami tekanan batin hebat, maka tentu saja tidak mengenalnya dan tidak mengerti mengapa dan bagaimana bisa berada di pulau itu.

"Nona, girang hatiku mendapat tenyataan bahwa Nona telah sembuh dari lupa ingatan yang Nona derita belasan hari ini."

"Lupa ingatan? Sekaranglah aku kehilangan ingatan karena aku tidak mengenal engkau dan tidak tahu mengapa dan bagaimana aku bisa berada di tempat ini."

"Memang begitulah. Tadinya Nona lupa ingatan, dan baru sekarang Nona sadar sehingga Nona lupa lagi apa yang telah Nona alami selama belasan hari ini. Sungguh aku ikut merasa berduka dan terharu akan nasib Ca-sha Sin-hiap yang amat malang...."

Tiba-tiba wajah itu menjadi merah sekali dan kemudian berubah pucat, "Kau... kau tahu apa yang terjadi kepada kami...?"

Raja Han Ti Ong tersenyum dan memandang wajah yang mengguncangkan hatinya itu dengan senyum mesra. Tentu saja, Nona. Aku dan muridkulah yang mengubur jenazah dua belas orang Suhengmu, dan aku dan muridku pula yang menolongmu membawa ke sini kemudian mengobatimu sehingga sembuh hari ini. Aku adalah Raja Han Ti Ong, raja pulau ini dan kau berada di Pulau Es.

Mata yang indah itu terbelalak. "Apa...? Di... di Pulau Es... dan aku telah mendengar nama besar Pangeran Han Ti Ong...."

"Sekarang telah menjadi Raja Han Ti Ong, raja sebuah pulau kecil tak berarti. Nona, dan aku belum mengetahui namamu karena selama ini kau tidak menyebut namamu."

Kwat Lin menjatuhkan diri berlutut menahan isaknya. "Saya menghatur banyak terima kasih atas pertolongan Paduka, dan maafkan kalau saya tidak mengenal penolong saya. Saya bernama Kwat Lin, orang termuda Cap-she dan... kalau Paduka menaruh kasihan kepada saya, saya ingin segera pergi dari sini... sekarang juga...."

"Nona The, aku adalah seorang yang biasa menyimpan rahasia hati. Ketahuilah, semenjak pertama kali melihatmu dan melihat penderitaanmu, timbul rasa iba dan sayang di dalam hatiku. Karena itu, kalau kiranya engkau suka aku akan merasa berbahagia sekali kalau mau tinggal di dalam istanaku ini, sebagai seorang isteriku, isteri ke dua."

Kwat Lin terkejut sekali. Dia telah berhutang budi kepada raja ini, dan sekarang raja ini secara demikian terus terang menyatakan cintanya dan ingin mengambil dia sebagai isteri! Dia menjadi isteri raja? Dia yang telah dinodai oleh Pat-jiu Kai-ong?

"Tidak! Maaf... saya... saya harus pergi sekarang juga. Hanya satu tujuan hidup saya, dan Paduka tentu tahu... yaitu untuk membunuh iblis Pat-jiu Kai-ong."

Han Ti Ong mengangguk-angguk. "Aku mengerti dan aku sudah menduga bahwa seorang dara perkasa seperti engkau tentu saja tidak akan mau menerima tawaranku dan tidak mungkin aku mengharapkan seorang dara seperti Nona akan jatuh cinta begitu saja kepadaku. Akan tetapi aku pun tidak terlalu mengharapkan yang ajaib. Aku jatuh cinta kepadamu, Nona, dan adanya aku berani meminangnya secara terang-terangan, karena aku yakin Nona akan menerimanya berdasarkan cita-cita tunggal Nona itulah. Bagaimana mungkin Nona akan membalas dendam kepada Pat-jiu Kai-ong, sedangkan Cap-sha Sin-hiap saja tidak mampu mengalahkannya. Akan tetapi kalau engkau menjadi isteriku, hemm... soal membalas dendam kepada Pat-jiu Kai-ong sama mudahnya dengan membalikkan telapak tangan."

Ucapan ini berkesan mendalem, membuat Kwat Lin termangu-mangu. Dia bukan gadis lagi dan tak mungkin dia menjadi isteri orang, dan baginya setelah berhasil membalas dendam, hanya kematianlah yang akan mengakhiri noda yang diderita. Akan tetapi, menjadi isteri ke dua Raja Han Ti Ong yang sakti, lain lagi halnya, apa pula kalau orang sakti itu sendiri udah tahu akan keadaannya.

"Apakah... apakah Paduka akan mengajarkan ilmu kesaktian kepada saya?" tanyanya dan kini dia menganggkat muka, memandang raja itu, diam-diam harus mengakui bahwa laki-laki ini gagah dan tampan, sungguhpun usianya tentu tidak kurang dari empat puluh tahun.

"Terserah kepadamu, kalau engkau suka memenuhi hasrat hatiku yang ingin memperistrimu, aku pun tentu akan memenuhi permintaanmu. Kalau kau menghendaki, dalam waktu pendek saja aku dapat menangkap musuhmu itu dan menyeretnya ke depan kakimu. Atau, engkau boleh mempelajari ilmu dan aku berani tanggung bahwa selama setahun saja engkau akan mengalahkan musuhmu itu."

"Be... benarkah itu?"

"Nona The Kwat Lin. Han Ti Ong bukan orang yang biasa membohong, pula aku tidak ingin mendapatkan dirimu dengan jalan membohong. Aku telah bicara terus terang dan andaikata engkau menolak sekalipun, aku tidak akan memaksamu. Sekarang juga, kalau engkau menolak, akan kusediakan perahu untukmu. Nah, engkau yang memutuskan."

Tentu saja timbul keraguan hebat di dalam hati Kwat Lin. Dia mengerti betapa lihainya Pat-jiu Kai-ong. Tentu saja dapat pergi ke Bu-tong-pai dan melaporkan malapetaka yang menimpa Cap-sha Sin-hiap itu kepada gurunya, ketua Bu-tong-pai, Kui Bhok Sianjin. Akan tetapi, gurunya sudah tua sekali, dan belum tentu gurunya mau mencampuri urusan dunia, biarpun murid-muridnya terbunuh. Mengandalkan para saudara seperguruan, agaknya akan sukar mengalahkan Pat-jiu Kai-ong, dan terutama sekali yang memperberat hatinya, kalau dia pergi ke Bu-tong-pai, tentu semua orang akan tahu tentang malapetaka yang menimpa dirinya, bahwa dia telah diperkosa oleh Pat-jiu Kai-ong, Ke mana akan menaruh mukanya kalau semua orang mengetahui akan hal itu? Sebaliknya, kalau dia berada di Pulau Es, selain tak seorang pun akan tahu tentang hal memalukan itu, juga dia akan punyai kesempatan besar untuk melakukan balas dendam itu? Akan tetapi, benarkah pria di depannya ini akan mampu mengajarnya sehingga dalam waktu setahun dia akan lebih pandai dari Pat-jiu Kai-ong? Dia tidak akan puas kalau tidak dapat membunuh jembel iblis itu dengan tangannya sendiri. Biarpun dia sudah banyak mendengar nama besar Pangeran dari Pulau Es yang kini menjadi raja itu, namun bagaimana dia dapat buktikan kesaktiannya? Apakah ini lebih lihai dari gurunya dan terutama sekali, lebih lihai dari Pat-jiu Kai-ong?

Perlahan-lahan Kwat Lin bangkit berdiri dan sejenak memandang kepada Han Ti Ong yang juga sedang memandangi. Keduanya berpandangan dan akhirnya Kwat tin berkata, "Saya ingin sekali dapat membalas dendam dengan tangan saya sendiri. Akan tetapi, bagaimanakah saya dapat yakin bahwa dalam setahun saya dapat belajar di sini dan mengalahkan iblis itu?"

Han Ti Ong tersenyum dan mengeluarkan sebatang pedang dari balik jubahnya. "Inilah pedang yang kutemukan ketika aku dan muridku menolongmu."

Kwat Lin menerima pedang itu dan air matanya turun bertitik akan tetapi segera dihapusnya. Itulah Ang-bwe-kiam pedang dari twa-suhengnya!

"Engkau meragu, baiklah. Kaupergunakan pedangmu dan kauserang aku untuk menguji apakah aku dapat melatihmu selama setahun sehingga engkau lebih lihai daripada Pat-jiu Kai-ong."

Kwat Lin menimang-nimang pedang Ang-bwe-kiam di tangannya. Pat-jiu Kai-ong telah di keroyok oleh dia dan dua belas orang suhengnya. Mereka telah mainkan Ngo-heng-kiam, bahkan telah membentuk barisan Sin-kiam-tin ketika mengeroyok kakek iblis itu namun akhirnya mereka semua kalah, sungguhpun sejenak kakek itu terdesak. Kini, kalau hanya dia seorang diri menyerang raja ini, mana bisa dipakai ukuran apakah dia lebih lihai dari Pet-jiu Kai-ong?

"Nona, jangan ragu-ragu. Percayalah, kalau engkau benar rajin belajar, dalam waktu setahun engkau pasti akan dapat mengalahkdn dia, Hiat-ciang Hoat-sut dan Pat-mo-tung-hoat dari kakek itu sebetulnya kosong saja," kata raja itu, seolah-olah dapat membaca isi hati Kwat Lim. Dara itu terkejut, kemudian mengambil keputusen untuk menguji orang ini sebelum dia menyerahkan dirinya yang sudah ternoda itu menjadi isterinya sebagai penebus latihan ilmu untuk membalas dendam.

"Baiklah, saya akan menguji kepandaian Paduka, harap Paduka bersiap dan mengeluarkan sunjata."

"Ha-ha-ha, Pat-jiu Kai-ong membutuhkan tongkatnya dan pukulan beracunnya untuk mengalahkan Cap-sha Sin-hiap, akan tetapi aku cukup menggunakan ini," Dia meraih ke bawah dan tangannya sudah membentuk batu karang sedemikian rupa sehingga batu karang itu berbentuk panjang seperti pedang!

"Harap Paduka siap!" Kwat tin berseru dan tiba-tiba pedangnya menyambar dengan cepat, melakukan tusukan ke arah leher sedang tangan kirinya sudah memukul ke arah dada. Serangan berganda dengan pedang dan pukulan tangan kiri ini merupakan jurus ampuh dari Ngo-heng-kiam-sut.

Tiba-tiba tubuh raja itu bergerak, serangan Kwat Lin telah dapat dielakkan dan pada detik berikutnya, leher dara itu tersentuh ujung batu karang dan dadanya juga tersentuh kepalan tangan kiri Han Ti Ong. Kwat Lin menjerit lirih karena maklum bahwa kalau tusukan batu dan pukulan tadi dilanjutkan oleh Han Ti Ong tentu dia telah roboh dan tewas seketika. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hatinya adalah gerakan raja itu.

"Paduka... Paduka menggunakan jurus Hui-po-liu-hong (Air Tumpah Muncrat Pelangi Melengkung) dari Ngo-heng-kiam-sut Bu-tong-pai!"

Han Ti Ong tersenyum, "Persis sekali dengan seranganmu tadi, akan tetapi jauh lebih lihai karena sekali serang berhasil, bukan? Nah, kalau engkau memiliki kesempurnaan dalam jurus ini tadi, bukankah mudah kau mengalahkan musuhmu?"

Kwat Lin tertegun, akan tetapi dia masih belum puas. "Saya ingin mencoba lagi!"

"Boleh, boleh. Kauseranglah aku sepuluh jurus yang paling lihai dan aku tanggung bahwa engkau akan kukalahkan dengan jurusmu yang sama."
(lop)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.4167 seconds (0.1#10.140)