Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 5 Bagian 1
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu
"Soan Cu, tahukah engkau apa yang akan terjadi padamu kalau sampai Kong-kongmu mengetahui akan perbuatanmu ini?"
"Menolong engkau? Ah, paling-paling dia akan membunuhku!"
"Hemm, begitu ringan kau memandang akibat itu? Soan Cu, mengapa kau melakukan ini untukku? Mengapa kau menolongku dengan mempertaruhkan nyawa?"
"Sudah kukatakan tadi. Kau lain dari pada semua orang yang kulihat di pulau ini. Aku suka padamu dan aku tidak ingin mendengar apalagi melihat engkau mati. Sudahlah, hati-hati menjaga dirimu, Sin Liong!" Gadis itu meloncat dan berlari keluar.
Sin Liong berdiri termenung sejenak, kemudian kembali ke tengah kamar tahanan dan duduk bersila menenangkan hatinya. Andaikata tidak ada Soan Cu yang datang memberikan obat penawar dan pengusir binatang berbisa, dia pun tidak akan gentar dan belum tentu dia akan celaka oleh binatang-binatang itu, sungguhpun dia sendiri belum mau membayangkan apa yang akan dilakukannya kalau serangan itu tiba. Apalagi sekarang ada obat bubuk itu. Dia teringat betapa penghuni Pulau Neraka dapat menjelajahi hutan yang penuh binatang berbisa dengan enaknya karena tubuh mereka sudah memakai obat penawar. Agaknya inilah obat penawar itu. Dia membuka bungkusan dan melihat obat bubuk berwarna kuning muda yang tidak akan kentara kalau dioleskan di kulit tubuhnya. Sin Liong bersila dan mengatur pernapasan, melakukan siulian (samadhi) lagi.
Pendengarannya menjadi amat terang dan tajam sehingga dia dapat menangap suara mendesis dan suara yang dikenalnya sebagai suara lebah yang datang dari jauh, makin lama makin mendekat itu. Tahulah dia bahwa apa yang diceritakan oleh Soan Cu memang tidak bohong. Sekali ini agaknya anak itu tidak membohong! Maka dia lalu membuka bungkusan, menggosok kulit tubuhnya yang tidak tertutup pakaian dengan obat itu. Mukanya sampai ke leher, tangan dan kakinya, digosoknya sampai rata. Kemudian sambil membawa bungkusan yang terisi sisa obat itu, dia menanti.
Tak lama kemudian, suara itu menjadi makin dekat dan tiba-tiba saja muncullah mereka! Diam-diam Sin Liong bergidik juga. Tentu dia akan melompat kalau saja dia tidak mempunyai obat penolak itu. Dari bawah pintu, puluhan ekor ular kecil dan kelabang besar, kalajengking yang besarnya sebesar ibu jari, merayap dengan cepat memasuki kamar, berlumba dengan lebah-lebah putih yang beterbangan masuk melalui jendela.
Sin Liong cepat menyebarkan bubuk obat ke sekeliling di atas lantai, dan menaburkan sebagian ke atas, ke arah lebah-lebah yang beterbangan. Dia tersenyum kagum melihat akibatnya. Semua binatang berbisa itu, dari yang paling kecil sampai yang paling besar, tiba-tiba serentak membalik saling terjang dan saling timpa, lari cerai berai meninggalkan kamar. Lebah-lebah putih juga terbang dengan kacau, menabrak dinding dan banyak yang jatuh mati, yang sempat terbang keluar jendela saling tabrak seperti mabok, dan sebentar suara binatang-binatang itu sudah menjauh.
Akan tetapi mendadok Sin Liong meloncat berdiri ketika mendengar suara lain yang membuat jantungnya berdebar. Suara seorang wanita memaki-maki, "Iblis kalian semua! Manusia-manusia gila! Kalau tidak dapat membasmi kalian, jangan sebut aku Han Swat Hong!"
Sin Liong meloncat ke arah jendela, kedua tangannya bergerak dan terdengar suara keras ketika ruji-ruji jendela jebol semua. Dia meloncat dan keluar dari kamarnya, terus berlari keluar melalui lorong. Setibanya di luar, tampaklah olehnya Swat Hong berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, dua orang anggota Pulau Neraka roboh dan mengaduh-aduh di bawah sedangkan belasan orang lain mengurung gadis itu. Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sumoinya memang galak dan pemberani. Bukan main gagahnya. Dikurung oleh orang-orang Pulau Neraka itu masih enak-enak saja, bahkan tidak mencabut pedang, padahal semua yang mengurungnya memegang senjata.
Suasana menjadi hening dan akhirnya terpecah oleh suara Raja, "A Kiu, kau diperkenankan untuk bicara!"
Tubuh itu menggigil, muka yang tampan itu pucat sekeli ketika diangkat memandang Raja, kemudian melirik ke arah Liu Bwee yang masih bersikap tenang dan agung berlutut di sebelahnya. Ketika dia melirik ke arah Swat Hong yang berdiri dengan sikap angkuh kepadanya, A Kiu mengeluh lirih, kemudian menelungkup dan berkata suara mengandung isak, "Hamba tidak berdaya... hamba memang berada di kamar itu... tapi... tidak seperti Pangeran kecil... hamba terpaksa karena...."
"Berani kau mengatakan putaraku bohong?" Jeritan ini keluar dari mutut permaisuri dan hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar ketika permaisuri menggerakkan tangan kirinya ke areh A Kiu.
"Desss...! Augghhh...!" Tubuh A terlempar bergulingan dan rebah tak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah. Hebat sekali pukulan jarak jauh yang dilakukan permaisuri itu, mengenai kepala A Kiu yeng tentu saja tidak kuat menahannya.
Hakim dan Jaksa saling pandang, sedangkan Raja menegur Permaisurinya, "Kau terlalu lancang...."
"Apakah aku harus diam saja kalau seorang rendah macam dia menghina putera kita?" permaisuri membantah dengan suara agak ketus. Raja diam saja dan menarik napas panjang. Dia merasa bingung dan berduka sekali harus menghadapi perkara ini, lalu memberi isyarat kepada hakim sambil berkata, "Lanjutkan"
Hakim menelan ludah beberapa kali, kemudian berkata lantang. "Saksi utama yang menjadi pelaku penghinaan telah terbunuh karena berani menghina pangeran. Akan tetapi dia mengaku telah berada di kamar itu, maka sudah jelas dosa yang dilakukan oleh Liu Bwee. Karena itu, sudah adil kalau dia harus di jatuhi hukuman berat. Liu Bwee, pengandilan memutuskan hukuman buang ke pulau Neraka kepadamu!"
"Ibuuuuu...!!" Swat Hong meronta dan melepaskan diri dari Sin Liong, meloncat dan menubruk ibunya.
"Ssst, tenanglah, Hong-ji..." Ibunya berbisik dengan sikap masih tenang saja, sungguhpun wajahnya kelihatan makin berduka.
"Tenang? Tidak! Ibu tidak boleh dihina sampai begini!" Swat Hong lalu bangkit berdiri, menghadapi ayahnya dan berkata lantang. "Ibuku telah dijatuhi hukuman tanpa bukti dan saksi yang jelas. Akan tetapi keputusan telah dijatuhkan dan saya tidak rela melihat Ibu dibuang ke Pulau Neraka. Saya sebagai anak tunggalnya, yang takkan mampu membalas budinya dengan nyawa, saya yang akan mewakilinya, memikul hukuman itu. Saya yang akan menjadi penggantinya ke Pulau Neraka, maka harap Sribaginda tersikap bijaksana, membiarkan Ibu yang sudah mulai tua ini menghabiskan usianya di Pulau Es. Ibu, selamat tinggal!"
"Hong-ji...!" Ibunya memekik, akan tetapi Swat Hong sudah meloncat dan lari keluar dari tempat itu dangan cepat.
Sin Liong memandang dengan alis berkerut. Tak disangkanya bahwa hal yang dikhawatirkannya akan terjadi, sesuatu yang tidak menyenangkan, suatu akan meledak, ternyata sehebat ini.
"Hong-ji... ah, Hong-ji, Anakku.,,!" Liu Bwee tak dapat menahan lagi tangisnya. Dia maklum bahwa untuk mengejar anaknya dia tidak mungkin dapat karena kepandaian puterinya itu sudah tinggi sekali, juga dia sebagai seorang pesakitan, tentu saja tidak berani melanggar hukum dan lari dari tempat itu. "Aduh, anakku... Swat Hong... Swat Hong... apa yang mereka lakukan atas dirimu...?" ibu yang hancur hatinya ini meratap.
Hakim menjadi bingung dan beberapa kali menoleh ke arah Raja seolah-olah hendak minta keputusan Han Ti Ong. Raja ini mengigit bibir, jengkel dan marah karena tak disangkanya bahwa urusan akan berlarut-larut seperti ini. Ketika dia menerima laporan tentang isteri pertamanya, Liu Bwee, yang berjina dengan seorang pelayan muda, hatinya panas dan marah sekali. Akan tetapi dia masih hendak membawa perkara ini ke pengadilan agar diambil keputusan yang seadil-adilnya. Siapa mengira terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Permaisurinya membunuh pelayan muda, kemudian kini Swat Hong membela ibunya, bahkan menggantikan ibunya, "membuang diri" ke Pulau Neraka. Maka kini, melihat betapa Hakim menjadi bingung dan minta keputusannya, dia memukulkan kepalan kanan ke telapak kiri sambil berkata,
"Sudahlah, sudahlah! Biar kupenuhi permintaan Swat Hong. Anak yang keras kepala itu sudan menggantikan Ibunya ke Pulau Neraka. Sudah saja! Aku perkenankan Liu Bwe tinggal terus di sini!" Setelah berkata demikian, dia menggandeng tangan Bu Ong dan permaisurinya, bangkit berdiri dan hendak meninggalkan tempat yang tidak menyenangkan itu. Akan tetapi Liu Bwee juga bangkit bediri dan wanita ini berkata lantang, sambil menatap wajah suaminya dengan mata tajam.
"Biarpun anakku telah menebus dosa yang tidak kulakukan, dan aku telah diperbolehkan tinggal di sini, akan tetapi apa artinya hidup di sini bagiku setelah anakku pergi ke Pulau Neraka? Tidak, aku tidak akan sudi tinggal di sini lagi. Aku mulai saat ini tidak menganggap diriku sebagai penghuni Pulau Es. Aku juga mau pergi dari sini!" Setelah berkata demikian, Liu Bwee lalu meloncat dan pergi. Setelah dia bukan pesakitan lagi, setelah dia bukan terhukum, dia berani pergi, bahkan dengan sikap tidak menghormat lagi kepada Raja yang pernah menjadi suami dan pujaan hatinya selama bertahun-tahun itu.
"Hm, sesukamulah!" kata Han Ti Ong perlahan dan dengan wajah muram raja ini memasuki istana bersama permaisuri dan Pangeran Bu Ong.
Sampai ruangan persidangan itu kosong dan maya A Kiu dibawa pergi, Sin Liong masih duduk disitu. Di dalam hatinya, dia merasa menyesal melihat sikap Raja Han Ti Ong, gurunya yang dicintainya itu. Tahulah dia bahwa perubahan pada diri gurunya itu terutama sekali terjadi karena hadirnya The Kwat Lin yang kini telah menjadi permaisurinya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali. Bukankah dia sendiri yang dahulu minta kepada gurunya membawa pendekar wanita Bu-tong-pai itu ke Pulau Es? Kini, wanita itu menjadi selir gurunya, dan setelah The Kwat Lin menjadi permaisuri, kebahagiaan ibu Swat Hong menjadi musna! Bahkan kini berekor seperti ini, dengan larinya Swat Hong menggantikan ibunya ke Pulau Neraka sedang ibu dara itu sendiri pergi entah ke mana!
Dialah, langsung atau tidak, yang ikut bertanggung jawab. Akan tetapi, tidak mungkin dia menegur gurunya, juga permaisuri tidak dapat dipersalahkan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan tanggung jawabnya atas kerusakan hidup Swat Hong dan ibunya. Kalau dia mendiamkannya saja, seolah-olah dia ikut pula persekutuan untuk merusak hidup ibu dan anak itu.
"Pulau Neraka kabarnya merupakan tempat berbahaya sekali. Aku harua menyusul Swat Hong dan melindunginya." Demikian dia mengambil keputusan dalam dan dia tidak lagi berpamit kepada gurunya karena maklum bahwa sedang berada dalam kedukaan dan kepusingan. Pula, Sin Liong sudah biasa meninggalkan pulau itu mencari tetumbuhan obat, maka kepergiannya dengan sebuah perahu meninggalkan Pulau Es tidak ada yang menaruh curiga.
***
Dengan tenaganya yang amat kuat Sin Liong mendayung perahunya sehingga perahu meluncur amat cepatnya menuju ke Pulau Neraka. Dia sudah tahu di mana letaknya pulau itu, dari keterangan yang diperoleh ketika dia bertanya-tanya kepada para penghuni Pulau Es. Bahkan diam-diam dia pernah pula seorang diri mendayung perahu mendekati Pulau Neraka ini akan tetapi hanya melihat dari jauh dan dia merasa ngeri sekali. Pulau itu dari jauh tampak kehitaman seperti pulau yang hanya pantas dihuni oleh setan dan iblis. Pantainya penuh dengan batu-batu karang yang runcing dan tajam, amat berbahaya apalagi kalau ombak sedang besar. Sama sekali tidak tampak ada penghuninya sehingga ketika itu Sin Liong menduga-duga bahwa orang-orang buangan yang dibuang dari Pulau Es tentu telah tewas di jalan, tentu tewas di atas pulau itu. Maka dia menentang keras dalam hatinya kalau melihat di Pulau Es diadakan pengadilan dan diputuskan hukuman buang ke Pulau Neraka, karena baginya, dibuang ke Pulau Neraka sama dengan menghadapi kematian yang mengerikan, baik di dalam perjalanan menuju ke pulau itu atau setelah berhasil mendarat. Dan kini Swat Hong telah pergi ke Pulau Neraka mewakili ibunya! Dia kagum dan khawatir. Kagum akan keberanian dan kebaktian sumoinya terhadap ibunya, akan tetapi khawatir sekali akan keselamatan sumoinya yang belum dewasa benar itu. Sumoinya baru berusia empat belas tahun! Biarpun dia tahu bahwa ilmu kepandaian sumoinya sudah hebat dan cukup untuk dipakai menjaga diri, namun betapapun juga sumoinya itu masih kanak-kanak! Sin Liong sama sekali tidak ingat bahwa usianya sendiri hanya satu tahun lebih tua dari pada usia Swat Hong!
Perjalanan dari Pulau Es ke Pulau Neraka melalui lautan yang penuh dengan gumpalan-gumpalan es yang mengapung di permukaan laut, gumpalan es yang kadang-kadang sebesar gunung dan celakalah kalau sampai perahu tertumbuk oleh gumpalan es menggunung itu yang kadang-kadang bergerak, digerakan oleh angin. Celaka pula kalau sampai terjepit di antara dua gumpalan es yang begitu saling menempel tentu akan melekat dan membuat perahu terjepit di tengah-tengah. Akan tetapi, Sin Liong sudah banyak mendengar tentang ini maka dia tahu caranya menghindarkan perahunya dan tidak mendekat gumpalan-gumpalan es yang berbahaya, melainkan mencari jalan di celah-celah yang agak lebar. Kemudian dia tiba di daerah lautan yang penuh dengan ikan hiu. Ratusan ikan hiu yang hanya tampak siripnya itu di kanan kiri dan belakang perahunya. Betapapun juga tinggi ilmunya, ngeri juga hati Sin Liong karena dia tahu bahwa sekali perahunya terguling, kepandaiannya tidak akan berguna banyak dalam melawan ratusan ikan buas itu di dalam air! Cepat ia mengeluarkan bungkusan yang sudah dibewanya sebagai bekal, membuka bungkusan dan menaburkan sedikit bubuk hitam di kanan kiri, depan belakang perahunya. Tak lama kemudian, ikan-ikan hiu itu pergi berenang pergi dengan cepat seperti ketakutan. Dan memang ikan-ikan itu ketakutan setelah mencium bau bubukan hitam yang disebarkan oleh Sin Liong. Pemuda ini sudah mendengar akan bahaya ikan-ikan buas, maka dia telah membawa bekal racun bubukan hitam yang seringkali dipergunakan oleh para penghuni Pulau Es untuk mengusir ikan-ikan buas di waktu mereka mencari ikan.
Beberapa jam kemudian, kembali dia menghadapi ancaman ikan-ikan kecil yang banyak. sekali jumlahnya, mungkin laksaan, ikan-ikan sebesar ibu jari kaki, akan tetapi keganasannya melebihi ikan Hiu. Ikan-ikan ini bahkan berani menyerang orang di atas perahu dengan jalan meloncat dan menggigit. Sekali mulut yang penuh gigi runcing seperti gergaji itu mengenai tubuh, tentu sebagian daging dan kulit terobek dan terbawa moncongnya! Apalagi kalau sampai orang jatuh ke dalam air. Dalam waktu beberapa menit saja tentu sudah habis tinggal tulangnya di keroyok laksaan ikan buas ini. Kembali Sin Liong dengan cepat menyerbarkan bubuk hitam beracun itu dan ikan-ikan kecil itu pun lari cerai berai tidak berani lagi mendekati sampai perahu meluncur meninggalkan daerah berbahaya ini.
Setelah melalui perjalanan yang amat sulit akhirnya menjelang senja, sampai juga perahu Sin Liong di pantai Pulau Neraka. Tepat seperti dugaannya, pulau itu memang mengerikan sekali. Hutan yang terdapat di pulau itu amat besar dan liar, pohon-pohon aneh dan menghitam warnanya memenuhi hutan yang kelihatan sunyi dan mati. Namun, di balik kesunyian itu Sin Liong merasa seolah-olah banyak mata mengamatinya dan maut tersembunyi di sana-sini, siap untuk mencengkeram siapa pun yang berani mendarat!
Melihat keadaan pulau ini makin berdebar hati Sin Liong, penuh kekhawatiran terhadap keselamatan Swat Hong. Apakah dara itu sudah berhasil mendarat? Tentu Swat Hong dapat mencapai pulau ini, karena dara itupun tahu jalan ke situ dan mengerti pula akan tempat-tempat berbahaya yang dilaluinya tadi sehingga seperti juga dia, tentu Swat Hong telah membawa bekal obat pengusir ikan-ikan buas tadi dengan cukup.
Akan tetapi dia tidak melihat sebuah pun perahu di pantai Pulau Neraka. Apakah ada penghuninya? Atau semua orang buangan telah mati terkena racun yang kabarnya memenuhi pulau ini?
Karena khawatir kemalaman sebelum dapat menemukan Swat Hong. Sin Liong lalu meloncat ke darat dan menarik perahunya ke atas. Kemudian dia membalik dan memasuki hutan. Baru saja dia berjalan beberapa langkah, terdengar suara berdengung-dengung dan entah dari mana datangnya, tampak ratusan ekor lebah berwarna putih menyambar-nyambar dan mengeroyoknya! Dari bau yang tercium olehnya, tahulah Sin Liong bahwa lebah itu mengandung racun yang amat jahat maka tentu saja dia terkejut sekali! Cepat dia lari dari tempat itu, namun lebah-lebah itu mengejar terus, beterbangan sambil mengeluarkan suara berdengung-dengung yang mengerikan.
Sin Liong cepat menanggalkan jubah luarnya dan memutar jubah itu di sekeliling tubuhnya. Dari putaran jubah ini menyambar angin dahsyat dan lebah-lebah itu terdorong jauh oleh hawa yang menyambar dari putaran jubah. Sin Liong tidak tega untuk membunuh lebah-lebah itu maka dia hanya menggunakan hawa putaran jubahnya untuk mengusir. Namun, binateng-binatang kecil itu hanya tidak mampu mendekati dan menyerang tubuh Sin Liong, akan tetapi sama sekali tidak terusir, bahkan kini makin banyak dan terbang mengelilingi Sin Liong dari jarak jauh sehingga tidak terjangkau oleh hawa pukulan jubah. Melihat ini, Sin Liong kaget. Betapapun kuatnya tidak mungkin baginya untuk berdiri di situ sambil memutar jubahnya semalam suntuk, bahkan selamanya sampai lebah-lebah itu terbang pergi! Lalu teringatlah dia akan senjata yang paling ampuh. Api! Dengan tangan kiri terus memutar jubah melindungi tubuhnya, Sin Liong lalu mengumpulkan daun kering dan mencari batu yang keras. Dengan pengerahan tenaganya, dia menggosok dua batu itu sehingga timbul percikan bunga api yang membakar daun kering. Diambilnya sebatang ranting kering dan dibakarnya ranting ini.
Benar saja. Dengan ranting yang ujungnya bernyala ini dipegang tinggi di atas kepala, tidak ada lebah yang berani mendekatinya. Dia melanjutkan perjalanan, dan terus menerus menyalakan api di ujung ranting yang dikumpulkan dan dibawanya.
Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika melihat banyak sekali binatang berbisa di sepanjang jalan. Ular-ular kecil, kalajengking, lebah-lebah dan sebangsahya merayap-rayap lari ketika dia datang dengan obor di tangan. Untung dia membawa ranting bernyala. Semua binatang berbisa itu takut terhadap api. Andaikata dia tidak membawa api tentu dia telah dikeroyok oleh binatang-binatang kecil yang semuanya berbisa itu, dari atas dan bawah! Lebah-lebah itu terus mengikutinya, akan tetapi dari jarak jauh, terbukti dari suara yang berdengung-dengung itu masih terus berada di belakangnya.
Tiba-tiba terdengar suara bersuit panjang dan lebah-lebah itu beterbangan makin dekat, kembali mengurungnya dan kelihatan seperti marah. Bahkan ada beberapa ekor yang meluncur dekat sekali, akan tetapi menjauh lagi ketika Sin Liong menggunakan api di ujung ranting untuk mengusirnya. Suitan terdengar berkali-kali dan lebah-lebah itu makin marah dan mengamuk, juga tampak oleh Sin Liong betapa binatang kecil lainnya yang banyak terdapat di hutan itu mulai mendekatinya, namun masih takut-takut oleh api di ujung ranting.
"Siuuuttt..." tiba-tiba tampak benda hitam menyambar ke arah ujung rantingnya. Maklumlah Sin Liong bahwa sambitan yang amat kuat itu bermaksud memadamkan api di ujung ranting. Tentu saja dia tidak mau terjadi hal ini, maka cepat ia menarik ke bawah ranting terbakar itu dan menggunakan tangan kirinya menyambar benda yang diontarkan. kiranya segumpal tanah hitam! Mengertilah dia bahwa ada orang yang membokonginya dan orang itu agaknya yang bersuit-suit tadi. Suitan yang agaknya merupakan perintah kepada binatang-binatang itu untuk mengeroyoknya!
"Haiiii, Saudara penghuni Pulau Neraka! Harap jangan menyerang. Aku Kwa Sin Liong datang dengan maksud baik! Aku hanya mencari Sumoiku di sini!"
Hening sejenak. Suitan-suitan tidak terdengar lagi dan lebah-lebah itu kembali menjauh, demikian ular, kelabang dan lain binatang kecil. Terdengar bunyi tapak kaki menginjak daun-daun kering dan tak lama kemudian muncullah belasan orang yang bertelanjang kaki, berpakaian tidak karuan, bermuka menyeramkam itu kotor tidak terawat, mata mereka merah dan bergerak liar seperti mata orang-orang gila. Dengan gerakan perlahan, pandang mata penuh curiga, belasan orang itu menghampiri dan mengurung Sin Liong. Pemuda ini tersenyum ramah, bersikap tenang dan mengangkat ranting bernyala tinggi-tinggi untuk memperhatikan wajah mereka.
"Harap Cuwi (Anda Sekalian) sudi mamaafkan kedatanganku yang tiba-tiba ini. Akan tetapi sesungguhnya aku, Kwa Sin Liong, tidak berniat buruk terhadap Pulau Neraka apa lagi terhadap para penghuninya. Aku datang untuk mencari Sumoiku yang bernama Han Swat Hong, yang mungkin sudah mendarat di pulau ini."
Seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok sehingga yang tampak hanya matanya dan sedikit hidungnya, melangkah maju dan menegur, suaranya parau dan kasar. "Kau dari mana?"
"Dari Pulau Es...."
Belasan orang itu mendengus dan kelihatan marah sekali. Si Brewok itu mengangkat tinggi senjata golok besarnya dan membentak, "Kalau begitu kau harus mampus!"
"Nanti dulu, harap Cuwi bersabar." Sin Liong cepat berseru dan mengangkat tangan kirinya ke atas, "Aku bukan musuh dari Cuwi, sudah kukatakan bahwa aku datang bukan untuk bermusuh, mengapa Cuwi hendak membunuhku?"
Pada saat itu, muncul pula lima orang, dan terdengar seruan heran dari seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar, "Ehh, bukankah ini Kwa-kongcu dari Pulau Es?"
Sin Liong memandang dan merasa girang sekali ketika mengenal orang itu yang bukan lain adalah Bouw Tang Kui, penghuni Pulau Es yang dihukum buang ke Pulau Neraka karena telah mencuri batu mustika hijau!
"Bouw-lepek!" serunya girang. "Aku datang untuk mencari Swat Hong yang juga sudah dibuang ke sini!"
"Apa??" Bouw Tang Kui berteriak, lalu berkata kepada Si Brewok yang agaknya menjadi pemimpin rombangan itu. "Dia adalah seorang yang telah membelaku, membela Lu Kiat dan Sia Gin Hwa ketika kami dijatuhi hukuman buang. Dia seorang pemuda yang tak setuju dengan hukum di Pulau Es, biarpun dia adalah murid Raja Han Ti Ong sendiri."
"Apa...??" Mereka kelihatan terkejut mendengar ini. "Muridnya...?"
"Benar," jawab Bouw Tang Kui. "Dan kita bukanlah lawannya."
Si Brewok meragu. "Kalau begitu, kita bawa dia kepada To-cu (Majikan Pulau)!"
Bouw Tang Kui kini melangkah maju. "Harap Kongcu menurut saja kami hadapkan kepada To-cu sehingga Kongcu dapat bicara sendiri dengannya."
Sin Liong mengangguk. Memang n menghadapi orang-orang kasar ini akan berbahaya sekali karena mereka sukar diajak bicara. Kalau dia dapat bicara dengan Majikan Pulau yang tentu merupakan tokoh paling pandai, dia akan dapat minta keterangan apakah Swat Hong telah berada di pulau itu. Dia menggaruk dan beberapa orang penghuni Pulau Neraka lalu menyalakan obor. Sin Liong sendiri membuang rantingnya, mengenakan lagi jubahnya dan mengikuti rombongan belasan orang itu memasuki hutan. Di sepanjang jalan dia melihat tempat-tempat berbahaya, lumpur-lumpur tertutup rumput tinggi, pasir-pasir berpusing yang dapat menyedot apa saja yang menginjaknya, pohon-pohon yang aneh dengan buah-buah yang kelihatan lezat namun dari baunya dia tahu bahwa buah itu mengandung racun jahat, dan lain-lain. Benar-benar pulau yang amat aneh dan berbahaya, pikirnya. Pantas kalau disebut Pulau Neraka, dan diam-diam mencela kekejaman Kerajaan Pulau Es membuang orang-orang bersalah ke tempat seperti ini. Dari keadaan orang-orang yang menangkapnya ini, hanya Bouw Tang Kui seorang yang kelihatan masih normal. Hal ini mungkin karena raksasa ini baru beberapa bulan saja di buang ke sini, sedangkan yang lain-lain biarpun dapat mempertahankan hidupnya, namun telah berubah menjadi orang-orang liar yang agaknya telah berubah pula watak dan ingatannya! Dan selain menjadi orang-orang yang tidak normal agaknya mereka telah menguasai ilmu yang dahsyat dan mengerikan, yaitu ilmu menguasai binatang-binatang berbisa di pulau itu. Buktinya, biarpun mereka berjalan di hutan penuh binatang berbisa itu tanpa sepatu tidak ada seekorpun yang berani menyerang mereka. Akhirnya dengan menggunakan ketajaman pandang mata dan penciuman hidungnya Sin Liong maklum bahwa orang-orang ini telah menggunakan semacam obat yang agaknya digosok-gosokkan ke seluruh kaki mereka sehingga binatang itu menyingkir begitu mereka mendekat.
Tak disangkanya sama sekali, ketika mereka tiba di tengah jalan, di situ terdapat tanah lapang yang luas dan tampak sebuah rumah beaar, dikelilingi pondok-pondok kayu sederhana. Lampu-lampu dinyalakan terang dan Sin Liong dibawa ke sebuah ruangan yang luas di mana telah menanti ketua pulau itu yang disebut To-cu (Majikan Pulau).
Ruangan itu luasnya lebih dari sepuluh meter persegi, dikelilingi banyak orang yang memegang bermacam senjata dan yang sikapnya semua penuh curiga dan permusuhan, kecuali Bouw Tang Kui, Sia Gin Hwa, Lu Kiat dan belasan orang lagi yang belum lama dibuang kesitu sehingga mereka ini mengenal Sin Liong sebagai murid Han Ti Ong yang selalu baik kepada mereka, bahkan banyak di antara mereka yang pernah diobati oleh pemuda ini.
"Hayo berlutut di depan To-cu!" kata Si Brewok sambil mendorong Sin Liong ke depan. Akan tetapi Sin Liong dengan tenang berdiri di depan To-cu itu dan memandang penuh perhatian. Orang ini sudah tua, sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya. Kepalanya besar sekali, tubuhnya kurus kecil sehingga kelihatan lucu, seperti seekor singa jantan yang duduk di kursi! Sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya menyeringai. Sebetulnya wajahnya tampan, akan tetapi karena sikapnya yang ganas itu membuat wajahnya kelihatan menyeramkan dan menakutkan. Pakaiannya tidak seperti pakaian sebagian besar penghuni Pulau Neraka yang butut, melainkan pakaian dari kain yang baru dan bersih. Kursinya terbuat dari tulang-tulang berukir, dan di kedua lengan kursinya dihias dengan rangka ular dengan moncongnya ternganga lebar memperlihatkan gigi yang runcing melengkung. Di sebelah kanan ketua Pulau Neraka itu duduk seorang anak perempuan yang tadinya hampir membuat Sin Liong salah kira. Anak itu usianya sebaya dengan Swat Hong, seorang anak perempuan yang cantik dan tersenyum-senyum, sikapnya kelihatan gembira dan mungkin karena sebaya maka kelihatannya mirip dengan Swat Hong. Hampir saja Sin Liong tadi memanggilnya ketika mula-mula dia memasuki ruangan. Ketika melihat betapa pemuda tawanan itu memandangnya penuh perhatian, anak perempuan itu tersenyum-senyum.
Melihat Sin Liong tidak mau berlutut di depannya, kakek itu memandang tajam, kemudian berkata perlahan, suaranya rendah, "Hemm, kau tidak mau berlutut, ya? Hemitk kulihat kalau kedua lututmu patah, kau berlutut atau tidak?" Berkata demikian, tiba-tiba tangan kakek itu menyambar sebatang toya dari tangan seorang penjaga, menekuk toya itu sehingga patah tengahnya dan sekali dia menggerakkan tangan, sepasang potongan toya itu menyambar ke arah kedua kaki Sin Liong!
Pemuda itu terkejut, akan tetapi bersikap tenang. Dia maklum bahwa ketua Pulau Neraka itu bermaksud menggunakan lemparan tongkat untuk membikin sambungan lututnya terlepas. Maka dia cepat menggerakkan kedua kakinya, meloncat ke atas, kemudian setelah melihat kedua toya berkelebat ke bawah kaki dia menggunakan kedua kakinya menginjak. Sepasang tongkat pendek itu menancap di atas lantai dan pemuda itu berdiri di atas kedua ujung tongkat dengan tubuh tegak dan bersikap seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu!
"Waduhhh, dia hebat sekali, Kong-kong (Kakek)!" anak perempuan yang tadi tersenyum-senyum itu bersorak penuh kagum, padahal anak buah Pulau Neraka memandang marah karena menganggap bahwa pemuda itu mengejek ketua mereka.
"Hebat apa! Permainan kanak-kanak seperti itu!" Kakek berkepala besar itu mendengus marah.
"Kong-kong juga bisa? Ajarkan aku kalau begitu!" anak perempuan itu berkata dengan sikap dan suara manja.
"Hushh! Diamlah kau!" Kakek itu membentak dan sejak tadi matanya tidak pernah berpindah dari Sin Liong. Dibentak seperti itu, anak perempuan itu cemberut dan mukanya merah, menahan tangis. Sin Liong merasa kasihan lalu meloncat turun dan berkata menghibur,
"Adik yang manis, jangan berduka. Biarlah kalau ada kesempatan aku akan mengajarkannya kepadamu."
Anak perempuan itu memandang Sin Liong dengan mata terbelalak, kemudian lenyaplah kemuraman wajahnya yang menjadi berseri-seri kembali.
"Orang muda yang bersikap dan bermulut lancang! Siapa engkau yang mengandalkan sedikit kepandaian untuk mengacau Pulau Neraka?" kakek itu membentak, menahan kemarahannya karena dia merasa direndahkan sekali ketika serangan sepasang tongkatnya tadi gagal dan dihadapi oleh pemuda itu secara luar biasa.
Sin Liong cepat memberi hormat dengan menjura dalam-dalam, kemudian dia berkata dengan suara tenang, "Harap To-cu suka memaafkan kedatanganku ke Pulau Neraka ini. Seperti telah kukatakan kepada semua penghuni Pulau Neraka, kedatanganku sama sekali tidak mengandung niat buruk atau hendak bermusuhan. Aku bernama Kwa Sin Liong dan..."
"Dia murid Han Ti Ong!" tiba-tiba Si Brewok berkata lantang.
Ucapan ini disambut dengan suara berisik dari semua orang yang berada disitu karena mereka sudah menjadi marah sekali. Semua orang yang berada di situ adalah orang-orang buangan dari Pulau Es, semenjak raja pertama sehingga sudah tinggal di situ selama tiga keturunan, ada orang buangan baru dan ada pula yang merupakan turunan dari orang-orang buangan lama, akan tetapi kesemuanya mempunyai rasa benci dan dendam pada satu nama, yaitu Pulau Es! Maka begitu mendengar pemuda tampan dan tenang ini adalah murid Han Ti Ong, raja terakhir dari Pulau Es, dapat dibayangkan kemarahan hati mereka. Dengan pandang mata mereka yang liar mereka hendak mencabik-cabik dan membunuh pemuda itu yang dianggapnya seorang musuh besar, dan andaikata mereka itu tidak takut kepada ketua mereka, tentu mereka telah menyerbu untuk melaksanakan niat yang terbayang dalam pandang mata mereka itu.
"Akan tetapi dia selalu menentang Han Ti Ong, menentang pembuangan ke Pulau Neraka!" terdengar suara beberapa orang membela, yaitu suara Bouw Tang Kui, Lu Kiat, Sia Gin Hwa dan beberapa orang buangan baru yang lain.
"Bunuh saja dia!"
"Seret murid Han Ti Ong!"
"Jadikan dia mangsa ular!"
"Soan Cu, tahukah engkau apa yang akan terjadi padamu kalau sampai Kong-kongmu mengetahui akan perbuatanmu ini?"
"Menolong engkau? Ah, paling-paling dia akan membunuhku!"
"Hemm, begitu ringan kau memandang akibat itu? Soan Cu, mengapa kau melakukan ini untukku? Mengapa kau menolongku dengan mempertaruhkan nyawa?"
"Sudah kukatakan tadi. Kau lain dari pada semua orang yang kulihat di pulau ini. Aku suka padamu dan aku tidak ingin mendengar apalagi melihat engkau mati. Sudahlah, hati-hati menjaga dirimu, Sin Liong!" Gadis itu meloncat dan berlari keluar.
Sin Liong berdiri termenung sejenak, kemudian kembali ke tengah kamar tahanan dan duduk bersila menenangkan hatinya. Andaikata tidak ada Soan Cu yang datang memberikan obat penawar dan pengusir binatang berbisa, dia pun tidak akan gentar dan belum tentu dia akan celaka oleh binatang-binatang itu, sungguhpun dia sendiri belum mau membayangkan apa yang akan dilakukannya kalau serangan itu tiba. Apalagi sekarang ada obat bubuk itu. Dia teringat betapa penghuni Pulau Neraka dapat menjelajahi hutan yang penuh binatang berbisa dengan enaknya karena tubuh mereka sudah memakai obat penawar. Agaknya inilah obat penawar itu. Dia membuka bungkusan dan melihat obat bubuk berwarna kuning muda yang tidak akan kentara kalau dioleskan di kulit tubuhnya. Sin Liong bersila dan mengatur pernapasan, melakukan siulian (samadhi) lagi.
Pendengarannya menjadi amat terang dan tajam sehingga dia dapat menangap suara mendesis dan suara yang dikenalnya sebagai suara lebah yang datang dari jauh, makin lama makin mendekat itu. Tahulah dia bahwa apa yang diceritakan oleh Soan Cu memang tidak bohong. Sekali ini agaknya anak itu tidak membohong! Maka dia lalu membuka bungkusan, menggosok kulit tubuhnya yang tidak tertutup pakaian dengan obat itu. Mukanya sampai ke leher, tangan dan kakinya, digosoknya sampai rata. Kemudian sambil membawa bungkusan yang terisi sisa obat itu, dia menanti.
Tak lama kemudian, suara itu menjadi makin dekat dan tiba-tiba saja muncullah mereka! Diam-diam Sin Liong bergidik juga. Tentu dia akan melompat kalau saja dia tidak mempunyai obat penolak itu. Dari bawah pintu, puluhan ekor ular kecil dan kelabang besar, kalajengking yang besarnya sebesar ibu jari, merayap dengan cepat memasuki kamar, berlumba dengan lebah-lebah putih yang beterbangan masuk melalui jendela.
Sin Liong cepat menyebarkan bubuk obat ke sekeliling di atas lantai, dan menaburkan sebagian ke atas, ke arah lebah-lebah yang beterbangan. Dia tersenyum kagum melihat akibatnya. Semua binatang berbisa itu, dari yang paling kecil sampai yang paling besar, tiba-tiba serentak membalik saling terjang dan saling timpa, lari cerai berai meninggalkan kamar. Lebah-lebah putih juga terbang dengan kacau, menabrak dinding dan banyak yang jatuh mati, yang sempat terbang keluar jendela saling tabrak seperti mabok, dan sebentar suara binatang-binatang itu sudah menjauh.
Akan tetapi mendadok Sin Liong meloncat berdiri ketika mendengar suara lain yang membuat jantungnya berdebar. Suara seorang wanita memaki-maki, "Iblis kalian semua! Manusia-manusia gila! Kalau tidak dapat membasmi kalian, jangan sebut aku Han Swat Hong!"
Sin Liong meloncat ke arah jendela, kedua tangannya bergerak dan terdengar suara keras ketika ruji-ruji jendela jebol semua. Dia meloncat dan keluar dari kamarnya, terus berlari keluar melalui lorong. Setibanya di luar, tampaklah olehnya Swat Hong berdiri tegak dengan kedua tangan bertolak pinggang, dua orang anggota Pulau Neraka roboh dan mengaduh-aduh di bawah sedangkan belasan orang lain mengurung gadis itu. Sin Liong menggeleng-geleng kepala. Sumoinya memang galak dan pemberani. Bukan main gagahnya. Dikurung oleh orang-orang Pulau Neraka itu masih enak-enak saja, bahkan tidak mencabut pedang, padahal semua yang mengurungnya memegang senjata.
Suasana menjadi hening dan akhirnya terpecah oleh suara Raja, "A Kiu, kau diperkenankan untuk bicara!"
Tubuh itu menggigil, muka yang tampan itu pucat sekeli ketika diangkat memandang Raja, kemudian melirik ke arah Liu Bwee yang masih bersikap tenang dan agung berlutut di sebelahnya. Ketika dia melirik ke arah Swat Hong yang berdiri dengan sikap angkuh kepadanya, A Kiu mengeluh lirih, kemudian menelungkup dan berkata suara mengandung isak, "Hamba tidak berdaya... hamba memang berada di kamar itu... tapi... tidak seperti Pangeran kecil... hamba terpaksa karena...."
"Berani kau mengatakan putaraku bohong?" Jeritan ini keluar dari mutut permaisuri dan hawa pukulan yang dahsyat sekali menyambar ketika permaisuri menggerakkan tangan kirinya ke areh A Kiu.
"Desss...! Augghhh...!" Tubuh A terlempar bergulingan dan rebah tak bernyawa lagi, dari mulut, hidung dan telinganya mengalir darah. Hebat sekali pukulan jarak jauh yang dilakukan permaisuri itu, mengenai kepala A Kiu yeng tentu saja tidak kuat menahannya.
Hakim dan Jaksa saling pandang, sedangkan Raja menegur Permaisurinya, "Kau terlalu lancang...."
"Apakah aku harus diam saja kalau seorang rendah macam dia menghina putera kita?" permaisuri membantah dengan suara agak ketus. Raja diam saja dan menarik napas panjang. Dia merasa bingung dan berduka sekali harus menghadapi perkara ini, lalu memberi isyarat kepada hakim sambil berkata, "Lanjutkan"
Hakim menelan ludah beberapa kali, kemudian berkata lantang. "Saksi utama yang menjadi pelaku penghinaan telah terbunuh karena berani menghina pangeran. Akan tetapi dia mengaku telah berada di kamar itu, maka sudah jelas dosa yang dilakukan oleh Liu Bwee. Karena itu, sudah adil kalau dia harus di jatuhi hukuman berat. Liu Bwee, pengandilan memutuskan hukuman buang ke pulau Neraka kepadamu!"
"Ibuuuuu...!!" Swat Hong meronta dan melepaskan diri dari Sin Liong, meloncat dan menubruk ibunya.
"Ssst, tenanglah, Hong-ji..." Ibunya berbisik dengan sikap masih tenang saja, sungguhpun wajahnya kelihatan makin berduka.
"Tenang? Tidak! Ibu tidak boleh dihina sampai begini!" Swat Hong lalu bangkit berdiri, menghadapi ayahnya dan berkata lantang. "Ibuku telah dijatuhi hukuman tanpa bukti dan saksi yang jelas. Akan tetapi keputusan telah dijatuhkan dan saya tidak rela melihat Ibu dibuang ke Pulau Neraka. Saya sebagai anak tunggalnya, yang takkan mampu membalas budinya dengan nyawa, saya yang akan mewakilinya, memikul hukuman itu. Saya yang akan menjadi penggantinya ke Pulau Neraka, maka harap Sribaginda tersikap bijaksana, membiarkan Ibu yang sudah mulai tua ini menghabiskan usianya di Pulau Es. Ibu, selamat tinggal!"
"Hong-ji...!" Ibunya memekik, akan tetapi Swat Hong sudah meloncat dan lari keluar dari tempat itu dangan cepat.
Sin Liong memandang dengan alis berkerut. Tak disangkanya bahwa hal yang dikhawatirkannya akan terjadi, sesuatu yang tidak menyenangkan, suatu akan meledak, ternyata sehebat ini.
"Hong-ji... ah, Hong-ji, Anakku.,,!" Liu Bwee tak dapat menahan lagi tangisnya. Dia maklum bahwa untuk mengejar anaknya dia tidak mungkin dapat karena kepandaian puterinya itu sudah tinggi sekali, juga dia sebagai seorang pesakitan, tentu saja tidak berani melanggar hukum dan lari dari tempat itu. "Aduh, anakku... Swat Hong... Swat Hong... apa yang mereka lakukan atas dirimu...?" ibu yang hancur hatinya ini meratap.
Hakim menjadi bingung dan beberapa kali menoleh ke arah Raja seolah-olah hendak minta keputusan Han Ti Ong. Raja ini mengigit bibir, jengkel dan marah karena tak disangkanya bahwa urusan akan berlarut-larut seperti ini. Ketika dia menerima laporan tentang isteri pertamanya, Liu Bwee, yang berjina dengan seorang pelayan muda, hatinya panas dan marah sekali. Akan tetapi dia masih hendak membawa perkara ini ke pengadilan agar diambil keputusan yang seadil-adilnya. Siapa mengira terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan hatinya. Permaisurinya membunuh pelayan muda, kemudian kini Swat Hong membela ibunya, bahkan menggantikan ibunya, "membuang diri" ke Pulau Neraka. Maka kini, melihat betapa Hakim menjadi bingung dan minta keputusannya, dia memukulkan kepalan kanan ke telapak kiri sambil berkata,
"Sudahlah, sudahlah! Biar kupenuhi permintaan Swat Hong. Anak yang keras kepala itu sudan menggantikan Ibunya ke Pulau Neraka. Sudah saja! Aku perkenankan Liu Bwe tinggal terus di sini!" Setelah berkata demikian, dia menggandeng tangan Bu Ong dan permaisurinya, bangkit berdiri dan hendak meninggalkan tempat yang tidak menyenangkan itu. Akan tetapi Liu Bwee juga bangkit bediri dan wanita ini berkata lantang, sambil menatap wajah suaminya dengan mata tajam.
"Biarpun anakku telah menebus dosa yang tidak kulakukan, dan aku telah diperbolehkan tinggal di sini, akan tetapi apa artinya hidup di sini bagiku setelah anakku pergi ke Pulau Neraka? Tidak, aku tidak akan sudi tinggal di sini lagi. Aku mulai saat ini tidak menganggap diriku sebagai penghuni Pulau Es. Aku juga mau pergi dari sini!" Setelah berkata demikian, Liu Bwee lalu meloncat dan pergi. Setelah dia bukan pesakitan lagi, setelah dia bukan terhukum, dia berani pergi, bahkan dengan sikap tidak menghormat lagi kepada Raja yang pernah menjadi suami dan pujaan hatinya selama bertahun-tahun itu.
"Hm, sesukamulah!" kata Han Ti Ong perlahan dan dengan wajah muram raja ini memasuki istana bersama permaisuri dan Pangeran Bu Ong.
Sampai ruangan persidangan itu kosong dan maya A Kiu dibawa pergi, Sin Liong masih duduk disitu. Di dalam hatinya, dia merasa menyesal melihat sikap Raja Han Ti Ong, gurunya yang dicintainya itu. Tahulah dia bahwa perubahan pada diri gurunya itu terutama sekali terjadi karena hadirnya The Kwat Lin yang kini telah menjadi permaisurinya. Diam-diam dia merasa menyesal sekali. Bukankah dia sendiri yang dahulu minta kepada gurunya membawa pendekar wanita Bu-tong-pai itu ke Pulau Es? Kini, wanita itu menjadi selir gurunya, dan setelah The Kwat Lin menjadi permaisuri, kebahagiaan ibu Swat Hong menjadi musna! Bahkan kini berekor seperti ini, dengan larinya Swat Hong menggantikan ibunya ke Pulau Neraka sedang ibu dara itu sendiri pergi entah ke mana!
Dialah, langsung atau tidak, yang ikut bertanggung jawab. Akan tetapi, tidak mungkin dia menegur gurunya, juga permaisuri tidak dapat dipersalahkan. Betapapun juga, dia harus memperlihatkan tanggung jawabnya atas kerusakan hidup Swat Hong dan ibunya. Kalau dia mendiamkannya saja, seolah-olah dia ikut pula persekutuan untuk merusak hidup ibu dan anak itu.
"Pulau Neraka kabarnya merupakan tempat berbahaya sekali. Aku harua menyusul Swat Hong dan melindunginya." Demikian dia mengambil keputusan dalam dan dia tidak lagi berpamit kepada gurunya karena maklum bahwa sedang berada dalam kedukaan dan kepusingan. Pula, Sin Liong sudah biasa meninggalkan pulau itu mencari tetumbuhan obat, maka kepergiannya dengan sebuah perahu meninggalkan Pulau Es tidak ada yang menaruh curiga.
***
Dengan tenaganya yang amat kuat Sin Liong mendayung perahunya sehingga perahu meluncur amat cepatnya menuju ke Pulau Neraka. Dia sudah tahu di mana letaknya pulau itu, dari keterangan yang diperoleh ketika dia bertanya-tanya kepada para penghuni Pulau Es. Bahkan diam-diam dia pernah pula seorang diri mendayung perahu mendekati Pulau Neraka ini akan tetapi hanya melihat dari jauh dan dia merasa ngeri sekali. Pulau itu dari jauh tampak kehitaman seperti pulau yang hanya pantas dihuni oleh setan dan iblis. Pantainya penuh dengan batu-batu karang yang runcing dan tajam, amat berbahaya apalagi kalau ombak sedang besar. Sama sekali tidak tampak ada penghuninya sehingga ketika itu Sin Liong menduga-duga bahwa orang-orang buangan yang dibuang dari Pulau Es tentu telah tewas di jalan, tentu tewas di atas pulau itu. Maka dia menentang keras dalam hatinya kalau melihat di Pulau Es diadakan pengadilan dan diputuskan hukuman buang ke Pulau Neraka, karena baginya, dibuang ke Pulau Neraka sama dengan menghadapi kematian yang mengerikan, baik di dalam perjalanan menuju ke pulau itu atau setelah berhasil mendarat. Dan kini Swat Hong telah pergi ke Pulau Neraka mewakili ibunya! Dia kagum dan khawatir. Kagum akan keberanian dan kebaktian sumoinya terhadap ibunya, akan tetapi khawatir sekali akan keselamatan sumoinya yang belum dewasa benar itu. Sumoinya baru berusia empat belas tahun! Biarpun dia tahu bahwa ilmu kepandaian sumoinya sudah hebat dan cukup untuk dipakai menjaga diri, namun betapapun juga sumoinya itu masih kanak-kanak! Sin Liong sama sekali tidak ingat bahwa usianya sendiri hanya satu tahun lebih tua dari pada usia Swat Hong!
Perjalanan dari Pulau Es ke Pulau Neraka melalui lautan yang penuh dengan gumpalan-gumpalan es yang mengapung di permukaan laut, gumpalan es yang kadang-kadang sebesar gunung dan celakalah kalau sampai perahu tertumbuk oleh gumpalan es menggunung itu yang kadang-kadang bergerak, digerakan oleh angin. Celaka pula kalau sampai terjepit di antara dua gumpalan es yang begitu saling menempel tentu akan melekat dan membuat perahu terjepit di tengah-tengah. Akan tetapi, Sin Liong sudah banyak mendengar tentang ini maka dia tahu caranya menghindarkan perahunya dan tidak mendekat gumpalan-gumpalan es yang berbahaya, melainkan mencari jalan di celah-celah yang agak lebar. Kemudian dia tiba di daerah lautan yang penuh dengan ikan hiu. Ratusan ikan hiu yang hanya tampak siripnya itu di kanan kiri dan belakang perahunya. Betapapun juga tinggi ilmunya, ngeri juga hati Sin Liong karena dia tahu bahwa sekali perahunya terguling, kepandaiannya tidak akan berguna banyak dalam melawan ratusan ikan buas itu di dalam air! Cepat ia mengeluarkan bungkusan yang sudah dibewanya sebagai bekal, membuka bungkusan dan menaburkan sedikit bubuk hitam di kanan kiri, depan belakang perahunya. Tak lama kemudian, ikan-ikan hiu itu pergi berenang pergi dengan cepat seperti ketakutan. Dan memang ikan-ikan itu ketakutan setelah mencium bau bubukan hitam yang disebarkan oleh Sin Liong. Pemuda ini sudah mendengar akan bahaya ikan-ikan buas, maka dia telah membawa bekal racun bubukan hitam yang seringkali dipergunakan oleh para penghuni Pulau Es untuk mengusir ikan-ikan buas di waktu mereka mencari ikan.
Beberapa jam kemudian, kembali dia menghadapi ancaman ikan-ikan kecil yang banyak. sekali jumlahnya, mungkin laksaan, ikan-ikan sebesar ibu jari kaki, akan tetapi keganasannya melebihi ikan Hiu. Ikan-ikan ini bahkan berani menyerang orang di atas perahu dengan jalan meloncat dan menggigit. Sekali mulut yang penuh gigi runcing seperti gergaji itu mengenai tubuh, tentu sebagian daging dan kulit terobek dan terbawa moncongnya! Apalagi kalau sampai orang jatuh ke dalam air. Dalam waktu beberapa menit saja tentu sudah habis tinggal tulangnya di keroyok laksaan ikan buas ini. Kembali Sin Liong dengan cepat menyerbarkan bubuk hitam beracun itu dan ikan-ikan kecil itu pun lari cerai berai tidak berani lagi mendekati sampai perahu meluncur meninggalkan daerah berbahaya ini.
Setelah melalui perjalanan yang amat sulit akhirnya menjelang senja, sampai juga perahu Sin Liong di pantai Pulau Neraka. Tepat seperti dugaannya, pulau itu memang mengerikan sekali. Hutan yang terdapat di pulau itu amat besar dan liar, pohon-pohon aneh dan menghitam warnanya memenuhi hutan yang kelihatan sunyi dan mati. Namun, di balik kesunyian itu Sin Liong merasa seolah-olah banyak mata mengamatinya dan maut tersembunyi di sana-sini, siap untuk mencengkeram siapa pun yang berani mendarat!
Melihat keadaan pulau ini makin berdebar hati Sin Liong, penuh kekhawatiran terhadap keselamatan Swat Hong. Apakah dara itu sudah berhasil mendarat? Tentu Swat Hong dapat mencapai pulau ini, karena dara itupun tahu jalan ke situ dan mengerti pula akan tempat-tempat berbahaya yang dilaluinya tadi sehingga seperti juga dia, tentu Swat Hong telah membawa bekal obat pengusir ikan-ikan buas tadi dengan cukup.
Akan tetapi dia tidak melihat sebuah pun perahu di pantai Pulau Neraka. Apakah ada penghuninya? Atau semua orang buangan telah mati terkena racun yang kabarnya memenuhi pulau ini?
Karena khawatir kemalaman sebelum dapat menemukan Swat Hong. Sin Liong lalu meloncat ke darat dan menarik perahunya ke atas. Kemudian dia membalik dan memasuki hutan. Baru saja dia berjalan beberapa langkah, terdengar suara berdengung-dengung dan entah dari mana datangnya, tampak ratusan ekor lebah berwarna putih menyambar-nyambar dan mengeroyoknya! Dari bau yang tercium olehnya, tahulah Sin Liong bahwa lebah itu mengandung racun yang amat jahat maka tentu saja dia terkejut sekali! Cepat dia lari dari tempat itu, namun lebah-lebah itu mengejar terus, beterbangan sambil mengeluarkan suara berdengung-dengung yang mengerikan.
Sin Liong cepat menanggalkan jubah luarnya dan memutar jubah itu di sekeliling tubuhnya. Dari putaran jubah ini menyambar angin dahsyat dan lebah-lebah itu terdorong jauh oleh hawa yang menyambar dari putaran jubah. Sin Liong tidak tega untuk membunuh lebah-lebah itu maka dia hanya menggunakan hawa putaran jubahnya untuk mengusir. Namun, binateng-binatang kecil itu hanya tidak mampu mendekati dan menyerang tubuh Sin Liong, akan tetapi sama sekali tidak terusir, bahkan kini makin banyak dan terbang mengelilingi Sin Liong dari jarak jauh sehingga tidak terjangkau oleh hawa pukulan jubah. Melihat ini, Sin Liong kaget. Betapapun kuatnya tidak mungkin baginya untuk berdiri di situ sambil memutar jubahnya semalam suntuk, bahkan selamanya sampai lebah-lebah itu terbang pergi! Lalu teringatlah dia akan senjata yang paling ampuh. Api! Dengan tangan kiri terus memutar jubah melindungi tubuhnya, Sin Liong lalu mengumpulkan daun kering dan mencari batu yang keras. Dengan pengerahan tenaganya, dia menggosok dua batu itu sehingga timbul percikan bunga api yang membakar daun kering. Diambilnya sebatang ranting kering dan dibakarnya ranting ini.
Benar saja. Dengan ranting yang ujungnya bernyala ini dipegang tinggi di atas kepala, tidak ada lebah yang berani mendekatinya. Dia melanjutkan perjalanan, dan terus menerus menyalakan api di ujung ranting yang dikumpulkan dan dibawanya.
Dapat dibayangkan betapa ngeri hatinya ketika melihat banyak sekali binatang berbisa di sepanjang jalan. Ular-ular kecil, kalajengking, lebah-lebah dan sebangsahya merayap-rayap lari ketika dia datang dengan obor di tangan. Untung dia membawa ranting bernyala. Semua binatang berbisa itu takut terhadap api. Andaikata dia tidak membawa api tentu dia telah dikeroyok oleh binatang-binatang kecil yang semuanya berbisa itu, dari atas dan bawah! Lebah-lebah itu terus mengikutinya, akan tetapi dari jarak jauh, terbukti dari suara yang berdengung-dengung itu masih terus berada di belakangnya.
Tiba-tiba terdengar suara bersuit panjang dan lebah-lebah itu beterbangan makin dekat, kembali mengurungnya dan kelihatan seperti marah. Bahkan ada beberapa ekor yang meluncur dekat sekali, akan tetapi menjauh lagi ketika Sin Liong menggunakan api di ujung ranting untuk mengusirnya. Suitan terdengar berkali-kali dan lebah-lebah itu makin marah dan mengamuk, juga tampak oleh Sin Liong betapa binatang kecil lainnya yang banyak terdapat di hutan itu mulai mendekatinya, namun masih takut-takut oleh api di ujung ranting.
"Siuuuttt..." tiba-tiba tampak benda hitam menyambar ke arah ujung rantingnya. Maklumlah Sin Liong bahwa sambitan yang amat kuat itu bermaksud memadamkan api di ujung ranting. Tentu saja dia tidak mau terjadi hal ini, maka cepat ia menarik ke bawah ranting terbakar itu dan menggunakan tangan kirinya menyambar benda yang diontarkan. kiranya segumpal tanah hitam! Mengertilah dia bahwa ada orang yang membokonginya dan orang itu agaknya yang bersuit-suit tadi. Suitan yang agaknya merupakan perintah kepada binatang-binatang itu untuk mengeroyoknya!
"Haiiii, Saudara penghuni Pulau Neraka! Harap jangan menyerang. Aku Kwa Sin Liong datang dengan maksud baik! Aku hanya mencari Sumoiku di sini!"
Hening sejenak. Suitan-suitan tidak terdengar lagi dan lebah-lebah itu kembali menjauh, demikian ular, kelabang dan lain binatang kecil. Terdengar bunyi tapak kaki menginjak daun-daun kering dan tak lama kemudian muncullah belasan orang yang bertelanjang kaki, berpakaian tidak karuan, bermuka menyeramkam itu kotor tidak terawat, mata mereka merah dan bergerak liar seperti mata orang-orang gila. Dengan gerakan perlahan, pandang mata penuh curiga, belasan orang itu menghampiri dan mengurung Sin Liong. Pemuda ini tersenyum ramah, bersikap tenang dan mengangkat ranting bernyala tinggi-tinggi untuk memperhatikan wajah mereka.
"Harap Cuwi (Anda Sekalian) sudi mamaafkan kedatanganku yang tiba-tiba ini. Akan tetapi sesungguhnya aku, Kwa Sin Liong, tidak berniat buruk terhadap Pulau Neraka apa lagi terhadap para penghuninya. Aku datang untuk mencari Sumoiku yang bernama Han Swat Hong, yang mungkin sudah mendarat di pulau ini."
Seorang di antara mereka, yang mukanya penuh brewok sehingga yang tampak hanya matanya dan sedikit hidungnya, melangkah maju dan menegur, suaranya parau dan kasar. "Kau dari mana?"
"Dari Pulau Es...."
Belasan orang itu mendengus dan kelihatan marah sekali. Si Brewok itu mengangkat tinggi senjata golok besarnya dan membentak, "Kalau begitu kau harus mampus!"
"Nanti dulu, harap Cuwi bersabar." Sin Liong cepat berseru dan mengangkat tangan kirinya ke atas, "Aku bukan musuh dari Cuwi, sudah kukatakan bahwa aku datang bukan untuk bermusuh, mengapa Cuwi hendak membunuhku?"
Pada saat itu, muncul pula lima orang, dan terdengar seruan heran dari seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar, "Ehh, bukankah ini Kwa-kongcu dari Pulau Es?"
Sin Liong memandang dan merasa girang sekali ketika mengenal orang itu yang bukan lain adalah Bouw Tang Kui, penghuni Pulau Es yang dihukum buang ke Pulau Neraka karena telah mencuri batu mustika hijau!
"Bouw-lepek!" serunya girang. "Aku datang untuk mencari Swat Hong yang juga sudah dibuang ke sini!"
"Apa??" Bouw Tang Kui berteriak, lalu berkata kepada Si Brewok yang agaknya menjadi pemimpin rombangan itu. "Dia adalah seorang yang telah membelaku, membela Lu Kiat dan Sia Gin Hwa ketika kami dijatuhi hukuman buang. Dia seorang pemuda yang tak setuju dengan hukum di Pulau Es, biarpun dia adalah murid Raja Han Ti Ong sendiri."
"Apa...??" Mereka kelihatan terkejut mendengar ini. "Muridnya...?"
"Benar," jawab Bouw Tang Kui. "Dan kita bukanlah lawannya."
Si Brewok meragu. "Kalau begitu, kita bawa dia kepada To-cu (Majikan Pulau)!"
Bouw Tang Kui kini melangkah maju. "Harap Kongcu menurut saja kami hadapkan kepada To-cu sehingga Kongcu dapat bicara sendiri dengannya."
Sin Liong mengangguk. Memang n menghadapi orang-orang kasar ini akan berbahaya sekali karena mereka sukar diajak bicara. Kalau dia dapat bicara dengan Majikan Pulau yang tentu merupakan tokoh paling pandai, dia akan dapat minta keterangan apakah Swat Hong telah berada di pulau itu. Dia menggaruk dan beberapa orang penghuni Pulau Neraka lalu menyalakan obor. Sin Liong sendiri membuang rantingnya, mengenakan lagi jubahnya dan mengikuti rombongan belasan orang itu memasuki hutan. Di sepanjang jalan dia melihat tempat-tempat berbahaya, lumpur-lumpur tertutup rumput tinggi, pasir-pasir berpusing yang dapat menyedot apa saja yang menginjaknya, pohon-pohon yang aneh dengan buah-buah yang kelihatan lezat namun dari baunya dia tahu bahwa buah itu mengandung racun jahat, dan lain-lain. Benar-benar pulau yang amat aneh dan berbahaya, pikirnya. Pantas kalau disebut Pulau Neraka, dan diam-diam mencela kekejaman Kerajaan Pulau Es membuang orang-orang bersalah ke tempat seperti ini. Dari keadaan orang-orang yang menangkapnya ini, hanya Bouw Tang Kui seorang yang kelihatan masih normal. Hal ini mungkin karena raksasa ini baru beberapa bulan saja di buang ke sini, sedangkan yang lain-lain biarpun dapat mempertahankan hidupnya, namun telah berubah menjadi orang-orang liar yang agaknya telah berubah pula watak dan ingatannya! Dan selain menjadi orang-orang yang tidak normal agaknya mereka telah menguasai ilmu yang dahsyat dan mengerikan, yaitu ilmu menguasai binatang-binatang berbisa di pulau itu. Buktinya, biarpun mereka berjalan di hutan penuh binatang berbisa itu tanpa sepatu tidak ada seekorpun yang berani menyerang mereka. Akhirnya dengan menggunakan ketajaman pandang mata dan penciuman hidungnya Sin Liong maklum bahwa orang-orang ini telah menggunakan semacam obat yang agaknya digosok-gosokkan ke seluruh kaki mereka sehingga binatang itu menyingkir begitu mereka mendekat.
Tak disangkanya sama sekali, ketika mereka tiba di tengah jalan, di situ terdapat tanah lapang yang luas dan tampak sebuah rumah beaar, dikelilingi pondok-pondok kayu sederhana. Lampu-lampu dinyalakan terang dan Sin Liong dibawa ke sebuah ruangan yang luas di mana telah menanti ketua pulau itu yang disebut To-cu (Majikan Pulau).
Ruangan itu luasnya lebih dari sepuluh meter persegi, dikelilingi banyak orang yang memegang bermacam senjata dan yang sikapnya semua penuh curiga dan permusuhan, kecuali Bouw Tang Kui, Sia Gin Hwa, Lu Kiat dan belasan orang lagi yang belum lama dibuang kesitu sehingga mereka ini mengenal Sin Liong sebagai murid Han Ti Ong yang selalu baik kepada mereka, bahkan banyak di antara mereka yang pernah diobati oleh pemuda ini.
"Hayo berlutut di depan To-cu!" kata Si Brewok sambil mendorong Sin Liong ke depan. Akan tetapi Sin Liong dengan tenang berdiri di depan To-cu itu dan memandang penuh perhatian. Orang ini sudah tua, sedikitnya tentu ada enam puluh tahun usianya. Kepalanya besar sekali, tubuhnya kurus kecil sehingga kelihatan lucu, seperti seekor singa jantan yang duduk di kursi! Sepasang matanya bersinar-sinar, mulutnya menyeringai. Sebetulnya wajahnya tampan, akan tetapi karena sikapnya yang ganas itu membuat wajahnya kelihatan menyeramkan dan menakutkan. Pakaiannya tidak seperti pakaian sebagian besar penghuni Pulau Neraka yang butut, melainkan pakaian dari kain yang baru dan bersih. Kursinya terbuat dari tulang-tulang berukir, dan di kedua lengan kursinya dihias dengan rangka ular dengan moncongnya ternganga lebar memperlihatkan gigi yang runcing melengkung. Di sebelah kanan ketua Pulau Neraka itu duduk seorang anak perempuan yang tadinya hampir membuat Sin Liong salah kira. Anak itu usianya sebaya dengan Swat Hong, seorang anak perempuan yang cantik dan tersenyum-senyum, sikapnya kelihatan gembira dan mungkin karena sebaya maka kelihatannya mirip dengan Swat Hong. Hampir saja Sin Liong tadi memanggilnya ketika mula-mula dia memasuki ruangan. Ketika melihat betapa pemuda tawanan itu memandangnya penuh perhatian, anak perempuan itu tersenyum-senyum.
Melihat Sin Liong tidak mau berlutut di depannya, kakek itu memandang tajam, kemudian berkata perlahan, suaranya rendah, "Hemm, kau tidak mau berlutut, ya? Hemitk kulihat kalau kedua lututmu patah, kau berlutut atau tidak?" Berkata demikian, tiba-tiba tangan kakek itu menyambar sebatang toya dari tangan seorang penjaga, menekuk toya itu sehingga patah tengahnya dan sekali dia menggerakkan tangan, sepasang potongan toya itu menyambar ke arah kedua kaki Sin Liong!
Pemuda itu terkejut, akan tetapi bersikap tenang. Dia maklum bahwa ketua Pulau Neraka itu bermaksud menggunakan lemparan tongkat untuk membikin sambungan lututnya terlepas. Maka dia cepat menggerakkan kedua kakinya, meloncat ke atas, kemudian setelah melihat kedua toya berkelebat ke bawah kaki dia menggunakan kedua kakinya menginjak. Sepasang tongkat pendek itu menancap di atas lantai dan pemuda itu berdiri di atas kedua ujung tongkat dengan tubuh tegak dan bersikap seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu!
"Waduhhh, dia hebat sekali, Kong-kong (Kakek)!" anak perempuan yang tadi tersenyum-senyum itu bersorak penuh kagum, padahal anak buah Pulau Neraka memandang marah karena menganggap bahwa pemuda itu mengejek ketua mereka.
"Hebat apa! Permainan kanak-kanak seperti itu!" Kakek berkepala besar itu mendengus marah.
"Kong-kong juga bisa? Ajarkan aku kalau begitu!" anak perempuan itu berkata dengan sikap dan suara manja.
"Hushh! Diamlah kau!" Kakek itu membentak dan sejak tadi matanya tidak pernah berpindah dari Sin Liong. Dibentak seperti itu, anak perempuan itu cemberut dan mukanya merah, menahan tangis. Sin Liong merasa kasihan lalu meloncat turun dan berkata menghibur,
"Adik yang manis, jangan berduka. Biarlah kalau ada kesempatan aku akan mengajarkannya kepadamu."
Anak perempuan itu memandang Sin Liong dengan mata terbelalak, kemudian lenyaplah kemuraman wajahnya yang menjadi berseri-seri kembali.
"Orang muda yang bersikap dan bermulut lancang! Siapa engkau yang mengandalkan sedikit kepandaian untuk mengacau Pulau Neraka?" kakek itu membentak, menahan kemarahannya karena dia merasa direndahkan sekali ketika serangan sepasang tongkatnya tadi gagal dan dihadapi oleh pemuda itu secara luar biasa.
Sin Liong cepat memberi hormat dengan menjura dalam-dalam, kemudian dia berkata dengan suara tenang, "Harap To-cu suka memaafkan kedatanganku ke Pulau Neraka ini. Seperti telah kukatakan kepada semua penghuni Pulau Neraka, kedatanganku sama sekali tidak mengandung niat buruk atau hendak bermusuhan. Aku bernama Kwa Sin Liong dan..."
"Dia murid Han Ti Ong!" tiba-tiba Si Brewok berkata lantang.
Ucapan ini disambut dengan suara berisik dari semua orang yang berada disitu karena mereka sudah menjadi marah sekali. Semua orang yang berada di situ adalah orang-orang buangan dari Pulau Es, semenjak raja pertama sehingga sudah tinggal di situ selama tiga keturunan, ada orang buangan baru dan ada pula yang merupakan turunan dari orang-orang buangan lama, akan tetapi kesemuanya mempunyai rasa benci dan dendam pada satu nama, yaitu Pulau Es! Maka begitu mendengar pemuda tampan dan tenang ini adalah murid Han Ti Ong, raja terakhir dari Pulau Es, dapat dibayangkan kemarahan hati mereka. Dengan pandang mata mereka yang liar mereka hendak mencabik-cabik dan membunuh pemuda itu yang dianggapnya seorang musuh besar, dan andaikata mereka itu tidak takut kepada ketua mereka, tentu mereka telah menyerbu untuk melaksanakan niat yang terbayang dalam pandang mata mereka itu.
"Akan tetapi dia selalu menentang Han Ti Ong, menentang pembuangan ke Pulau Neraka!" terdengar suara beberapa orang membela, yaitu suara Bouw Tang Kui, Lu Kiat, Sia Gin Hwa dan beberapa orang buangan baru yang lain.
"Bunuh saja dia!"
"Seret murid Han Ti Ong!"
"Jadikan dia mangsa ular!"
(dwi)