Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 9 Bagian 4
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Dua orang pemikul itu kini menghampiri Si Kakek Lumpuh. Mereka itu dengan wajah takut sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Seorang yang lebih tua berkata. "Ong-ya, hamba berdua mohon pembebasan, sampai di sini saja hamba berdua dapat melayani Ong-ya, harap beri perkenan kepada kami untuk mengambil jalan sendiri."
Kong Lo Sengjin memandang mereka dan diam-diam Liu Lu Sian sudah menduga bahwa dua orang pemikul itu tentu akan mampus di tangan kakek sakti itu!
"Hemm, kenapa? Apakah kalian takut?"
"Sesungguhnya, Ong-ya, hamba berdua takut menyaksikan sepak terjang Ong-ya yang mudah dan suka membunuh orang banyak, Ong-ya berkepandaian tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi pembalasan mereka, akan tetapi hamba berdua yang bodoh, mana dapat melindungi diri sendiri kalau kelak orang-orang gagah datang kepada kami?"
"Hemm, apakah kalian juga hendak menakluk kepada pemerintah pemberontak?" pertanyaan ini dilakukan dengan suara penuh ancaman.
"Ahh, bagaimana Ong-ya masih dapat menyangsikan kami? Tidak sudi kami menjadi anjing penjilat mengekor kepada raja pemberontak! Hamba berdua malah akan masuk hutan menjadi perampok, mengacaukan wilayah kerajaan Liang!"
"Bagus! Nah, kauperhatikan baik-baik ilmu ini untuk bekal!" Kakek itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil tiada hentinya memberi petunjuk bagaimana kedudukan dan perubahan kaki harus dilakukan. Agaknya kedua orang bekas pemikul itu sudah pernah menerima pelajaran ini dan sekarang mereka mendapatkan petunjuk tentang rahasia-rahasianya, maka dalam waktu setengah malam, mereka sudah berhasil menyelesaikan pelajaran ilmu silat yang luar biasa itu.
Liu Lu Sian demikian tertariknya sehingga ia bertahan untuk mengintai terus sampai semalam suntuk. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang diwariskan kakek lumpuh itu kepada dua orang bekas pemikulnya, merupakan ilmu pilihan yang termasuk tingkat tinggi. Ia percaya bahwa biarpun baginya sendiri ilmu itu masih tidak usah mendatangkan kuatir, namun menghadapi orang lain, dua orang bekas pemikul ini tentu merupakan dua orang perampok yang amat tangguh dan berbahaya.
Ilmu silat tadi gerakan-gerakannya seperti ilmu silat Sin-coa-kun, agaknya ciptaan Si Kakek Lumpuh mengambil contoh ular pula. Teringat ini, ia membayangkan betapa hebatnya kepandaian Si Kakek Lumpuh, dan kalau dibanding dengan ayahnya, agaknya mereka itu seimbang. Dia sendiri terang tidak akan dapat menangkan Kong Lo Sengjin, akan tetapi kalau di situ ada Kwee Seng, tentu ia akan berani keluar mencoba-coba. Hanya ayahnya, atau Kwee Seng, yang agaknya akan dapat menandingi kakek ini dalam pertandingan yang luar biasa tegang dan ramainya.
Menjelang pagi, pada saat ayam ramai berkokok menyambut munculnya matahari yang sudah mengirim lebih dulu cahaya merahnya, dua orang bekas pemikul itu berpamit, kemudian berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu. Kong Lo Sengjin lalu merenggut lepas dua batang bambu bekas pikulan, kemudian ia... berjalan dengan langkah-langkah lebar, dengan kedua kaki masih bersila, tergantung di antara dua batang bambu yang menggantikan sepasang kakinya.
Biarpun kedua kakinya terganti bambu yang terpegang kedua tangannya, namun dibandingkan dengan orang yang tidak lumpuh, jalannya jauh lebih sigap dan cepat. Bahkan dibandingkan dengan ahli-ahli ilmu lari cepat, kakek lumpuh ini masih menang jauh! Sebentar saja bayangannya lenyap ke arah timur dari mana malam tadi muncul.
Liu Lu Sian menarik napas panjang. Sayang tidak ada Kwee Seng di situ. Kalau ada, agaknya pemuda sakti itu tidak akan mau melepaskan kakek lumpuh itu begitu saja. Berbeda sekali dengan dia. Andaikata dia selihai Kwee Seng, ia akan mengajak kakek itu bertempur, bukan sekali-kali untuk membalaskan kematian sekian banyaknya pengungsi yang menjadi korban, melainkan untuk diukur kepandaiannya, karena ia memang mempunyai watak tidak mau kalah oleh siapapun juga. Kalau Kwee Seng tentu lain, tentu menggempur kakek itu karena telah membunuhi orang tak bersalah.
Teringat akan Kwee Seng, wajah Lu Sian menjadi muram dan agaknya ia kecewa. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang pemuda tampan dan menyenangkan, apalagi amat mencintainya, merupakan seorang teman seperjalanan yang lumayan, daripada sekarang ini berjalan tanpa teman! Akan tetapi setelah wajah Kam Si Ek terbayang lenyaplah segala kekecewaan dan pemikiran tentang Kwee Seng, dan tiba-tiba ia teringat akan keadaan Kam Si Ek yang berbahaya, timbul kekhawatirannya dan segera ia meninggalkan tempat itu untuk cepat-cepat pergi ke kota raja dari Kerajaan Liang, yaitu kota raja Lok-yang yang terletak di Propinsi Honan. (Bersambung)
Dua orang pemikul itu kini menghampiri Si Kakek Lumpuh. Mereka itu dengan wajah takut sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. Seorang yang lebih tua berkata. "Ong-ya, hamba berdua mohon pembebasan, sampai di sini saja hamba berdua dapat melayani Ong-ya, harap beri perkenan kepada kami untuk mengambil jalan sendiri."
Kong Lo Sengjin memandang mereka dan diam-diam Liu Lu Sian sudah menduga bahwa dua orang pemikul itu tentu akan mampus di tangan kakek sakti itu!
"Hemm, kenapa? Apakah kalian takut?"
"Sesungguhnya, Ong-ya, hamba berdua takut menyaksikan sepak terjang Ong-ya yang mudah dan suka membunuh orang banyak, Ong-ya berkepandaian tinggi, tentu saja tidak takut menghadapi pembalasan mereka, akan tetapi hamba berdua yang bodoh, mana dapat melindungi diri sendiri kalau kelak orang-orang gagah datang kepada kami?"
"Hemm, apakah kalian juga hendak menakluk kepada pemerintah pemberontak?" pertanyaan ini dilakukan dengan suara penuh ancaman.
"Ahh, bagaimana Ong-ya masih dapat menyangsikan kami? Tidak sudi kami menjadi anjing penjilat mengekor kepada raja pemberontak! Hamba berdua malah akan masuk hutan menjadi perampok, mengacaukan wilayah kerajaan Liang!"
"Bagus! Nah, kauperhatikan baik-baik ilmu ini untuk bekal!" Kakek itu lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya sambil tiada hentinya memberi petunjuk bagaimana kedudukan dan perubahan kaki harus dilakukan. Agaknya kedua orang bekas pemikul itu sudah pernah menerima pelajaran ini dan sekarang mereka mendapatkan petunjuk tentang rahasia-rahasianya, maka dalam waktu setengah malam, mereka sudah berhasil menyelesaikan pelajaran ilmu silat yang luar biasa itu.
Liu Lu Sian demikian tertariknya sehingga ia bertahan untuk mengintai terus sampai semalam suntuk. Ia mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang diwariskan kakek lumpuh itu kepada dua orang bekas pemikulnya, merupakan ilmu pilihan yang termasuk tingkat tinggi. Ia percaya bahwa biarpun baginya sendiri ilmu itu masih tidak usah mendatangkan kuatir, namun menghadapi orang lain, dua orang bekas pemikul ini tentu merupakan dua orang perampok yang amat tangguh dan berbahaya.
Ilmu silat tadi gerakan-gerakannya seperti ilmu silat Sin-coa-kun, agaknya ciptaan Si Kakek Lumpuh mengambil contoh ular pula. Teringat ini, ia membayangkan betapa hebatnya kepandaian Si Kakek Lumpuh, dan kalau dibanding dengan ayahnya, agaknya mereka itu seimbang. Dia sendiri terang tidak akan dapat menangkan Kong Lo Sengjin, akan tetapi kalau di situ ada Kwee Seng, tentu ia akan berani keluar mencoba-coba. Hanya ayahnya, atau Kwee Seng, yang agaknya akan dapat menandingi kakek ini dalam pertandingan yang luar biasa tegang dan ramainya.
Menjelang pagi, pada saat ayam ramai berkokok menyambut munculnya matahari yang sudah mengirim lebih dulu cahaya merahnya, dua orang bekas pemikul itu berpamit, kemudian berlari cepat sekali meninggalkan tempat itu. Kong Lo Sengjin lalu merenggut lepas dua batang bambu bekas pikulan, kemudian ia... berjalan dengan langkah-langkah lebar, dengan kedua kaki masih bersila, tergantung di antara dua batang bambu yang menggantikan sepasang kakinya.
Biarpun kedua kakinya terganti bambu yang terpegang kedua tangannya, namun dibandingkan dengan orang yang tidak lumpuh, jalannya jauh lebih sigap dan cepat. Bahkan dibandingkan dengan ahli-ahli ilmu lari cepat, kakek lumpuh ini masih menang jauh! Sebentar saja bayangannya lenyap ke arah timur dari mana malam tadi muncul.
Liu Lu Sian menarik napas panjang. Sayang tidak ada Kwee Seng di situ. Kalau ada, agaknya pemuda sakti itu tidak akan mau melepaskan kakek lumpuh itu begitu saja. Berbeda sekali dengan dia. Andaikata dia selihai Kwee Seng, ia akan mengajak kakek itu bertempur, bukan sekali-kali untuk membalaskan kematian sekian banyaknya pengungsi yang menjadi korban, melainkan untuk diukur kepandaiannya, karena ia memang mempunyai watak tidak mau kalah oleh siapapun juga. Kalau Kwee Seng tentu lain, tentu menggempur kakek itu karena telah membunuhi orang tak bersalah.
Teringat akan Kwee Seng, wajah Lu Sian menjadi muram dan agaknya ia kecewa. Betapapun juga, Kwee Seng adalah seorang pemuda tampan dan menyenangkan, apalagi amat mencintainya, merupakan seorang teman seperjalanan yang lumayan, daripada sekarang ini berjalan tanpa teman! Akan tetapi setelah wajah Kam Si Ek terbayang lenyaplah segala kekecewaan dan pemikiran tentang Kwee Seng, dan tiba-tiba ia teringat akan keadaan Kam Si Ek yang berbahaya, timbul kekhawatirannya dan segera ia meninggalkan tempat itu untuk cepat-cepat pergi ke kota raja dari Kerajaan Liang, yaitu kota raja Lok-yang yang terletak di Propinsi Honan. (Bersambung)
(dwi)