Mengenal Trigeminal Neuralgia, Nyeri Saraf Wajah yang Sakitnya Melebihi Melahirkan
loading...
A
A
A
“Sebenarnya TN bukan penyakit yang mengancam nyawa secara langsung, tapi sungguh mengganggu kualitas hidup seseorang karena nyeri hebat yang dialami. Nyeri luar biasa hilang-timbul, minum pereda nyeri tidak hilang, mau bekerja juga nggak bisa,” papar Tyo melalui siaran di kanal YouTube Kata Dokter.
Jadi, sambung Tyo, secara psikologis dan biologis memang pasien mengalami penderitaan luar biasa. Ditambah lagi kadang orang sekitar menganggap lebay alias berlebihan karena penderita TN tampilan luarnya seperti orang normal pada umumnya.
“Penderitaan luar biasa itu yang membuat putus asa sehingga muncul ide mengakhiri hidup mereka,” ujarnya.
Hal ini dialami oleh Rianty dan Edi. Rianty bercerita, sebelum didiagnosis TN pada 1997, dirinya mengalami sakit gigi.
“Saya cabut gigi tahun 1994. Kata dokter ada akar gigi yang ketinggalan, harus dioperasi, saya diperlihatkan dan percaya. Tahun 1996 kok sakit lagi dan lebih dahsyat,” tuturnya.
Dokter Mustaqim Prasetya dan sang pasien, Rianty. Foto/SINDOnews/Inda Susanti
Rianty curiga dirinya terkena malpraktik dan sempat ingin mengajukan tuntutan. Selama setahun dia mengunjungi banyak klinik dan puluhan rumah sakit di Jakarta untuk mencari kebenaran. Hingga akhirnya dokter menyimpulkan biang keladi nyerinya bukan dari gigi melainkan saraf trigeminal.
“Kata dokter, kalau orang giginya sakit itu diketok-ketok bakal terasa ngilu, tapi saya nggak. Jadi, ini masalahnya bukan pada gigi dan mau keliling ke dokter gigi mana pun nggak akan sembuh,” bebernya.
“Ibu itu kena saraf, trigeminal neuralgia. Minum aja obat saraf,” tambah Rianty, menirukan perkataan dokter yang menanganinya.
Edi juga sangat awam, bahkan tak pernah mendengar istilah trigeminal neuralgia. Pria 71 tahun itu mengira rasa sakit di bagian rahang yang muncul pada akhir tahun lalu akibat kondisi giginya yang rusak dan menyisakan akar gigi.
Dia pun mendatangi dokter gigi dan pada pertemuan kedua dilakukan pencabutan gigi. Namun, hal itu tak menyelesaikan masalah.
Jadi, sambung Tyo, secara psikologis dan biologis memang pasien mengalami penderitaan luar biasa. Ditambah lagi kadang orang sekitar menganggap lebay alias berlebihan karena penderita TN tampilan luarnya seperti orang normal pada umumnya.
“Penderitaan luar biasa itu yang membuat putus asa sehingga muncul ide mengakhiri hidup mereka,” ujarnya.
Sering Dikira Sakit Gigi
Gejala pada TN bisa serupa dengan yang disebabkan oleh masalah gigi. Sering kali orang dengan TN yang tidak terdiagnosis mencoba melakukan beberapa prosedur gigi untuk mengendalikan rasa sakit.Hal ini dialami oleh Rianty dan Edi. Rianty bercerita, sebelum didiagnosis TN pada 1997, dirinya mengalami sakit gigi.
“Saya cabut gigi tahun 1994. Kata dokter ada akar gigi yang ketinggalan, harus dioperasi, saya diperlihatkan dan percaya. Tahun 1996 kok sakit lagi dan lebih dahsyat,” tuturnya.
Dokter Mustaqim Prasetya dan sang pasien, Rianty. Foto/SINDOnews/Inda Susanti
Rianty curiga dirinya terkena malpraktik dan sempat ingin mengajukan tuntutan. Selama setahun dia mengunjungi banyak klinik dan puluhan rumah sakit di Jakarta untuk mencari kebenaran. Hingga akhirnya dokter menyimpulkan biang keladi nyerinya bukan dari gigi melainkan saraf trigeminal.
“Kata dokter, kalau orang giginya sakit itu diketok-ketok bakal terasa ngilu, tapi saya nggak. Jadi, ini masalahnya bukan pada gigi dan mau keliling ke dokter gigi mana pun nggak akan sembuh,” bebernya.
“Ibu itu kena saraf, trigeminal neuralgia. Minum aja obat saraf,” tambah Rianty, menirukan perkataan dokter yang menanganinya.
Edi juga sangat awam, bahkan tak pernah mendengar istilah trigeminal neuralgia. Pria 71 tahun itu mengira rasa sakit di bagian rahang yang muncul pada akhir tahun lalu akibat kondisi giginya yang rusak dan menyisakan akar gigi.
Dia pun mendatangi dokter gigi dan pada pertemuan kedua dilakukan pencabutan gigi. Namun, hal itu tak menyelesaikan masalah.