Pelayanan Kesehatan Aritmia di Indonesia Perlu Ditingkatkan, Penting demi Kualitas Hidup Pasien
loading...
A
A
A
JAKARTA - Aritmia atau gangguan irama jantung bisa berupa denyut jantung yang terlalu cepat, terlalu lambat, atau bahkan tidak teratur. Kelainan ini dapat bergejala ringan seperti berdebar, pusing, dan kliyengan, tetapi juga bisa berakibat fatal, yaitu terjadinya stroke, gagal jantung, maupun pingsan. Hal yang paling fatal dari gangguan irama jantung ini adalah kematian jantung mendadak (KJM).
Meskipun jumlah pasien aritmia di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu, namun sampai saat ini penanganannya masih menjadi salah satu tantangan besar dalam bidang kesehatan.
Dewan Penasehat InaHRS/PERITMI Dr. dr. Dicky Armein Hanafy, Sp.JP (K),FIHA, FAsCC membeberkan, berdasarkan data 2023, prevalensi aritmia secara umum diperkirakan 1,5%-5% pada populasi global.
"Aritmia yang paling sering terjadi adalah fibrilasi atrium (FA), dengan prevalensi global mencapai 46,3 juta kasus. Diperkirakan pada 2050, prevalensi FA akan terus meningkat hingga mencapai 6-16 juta kasus di Amerika Serikat, 14 juta kasus di Eropa, dan 72 juta kasus di Asia. Untuk di Indonesia diperkirakan mencapai 3 juta," ungkap dr. Dicky dalam konferensi pers Satu Dekade InaHRS: An Overview and Outlook di Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Individu dengan FA, lanjut dr Dicky, mempunyai risiko lima kali lebih tinggi untuk mengalami stroke dibandingkan individu tanpa FA.
Foto/Istimewa
“Orang dengan aritmia biasanya menunjukkan gejala seperti jantung berdetak cepat dari normal (takikardia), jantung berdetak lebih lambat dari normal (bradikardia), pusing, pingsan, cepat lelah, sesak napas, dan nyeri dada. Kadang gejala aritmia tidak dirasakan dan tak didapatkan pada beberapa orang, sehingga sering tidak disadari oleh penderitanya," papar dr. Dicky.
"Gejala-gejala aritmia dapat menimbulkan komplikasi yang membahayakan seperti stroke, gagal jantung, dan kematian mendadak. Meskipun aritmia bisa terjadi pada siapa saja, munculnya sering sporadis dan pada sebagian kecil pasien karena bawaan, tetapi terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan seseorang untuk terkena penyakit aritmia," tambahnya.
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang menderita aritmia yaitu usia, penyakit jantung koroner, penggunaan narkoba atau zat-zat tertentu, konsumsi alkohol berlebihan, mengonsumsi obat-obatan tertentu, merokok, serta mengonsumsi kafein berlebihan.
Sementara itu, penanganan aritmia dapat dilakukan dengan tindakan kateter ablasi yaitu tindakan untuk detak jantung yang tidak teratur dan terlalu cepat dengan menggunakan kateter yang dimasukkan melalui pembuluh darah ke jantung.
"Karena keberhasilan tindakan semakin tinggi, tindakan ablasi sudah menjadi pilihan pertama. Obat-obatan hanya dapat meredam kemunculan aritmia tetapi tidak menyembuhkannya,” terang dr Dicky.
Penanganan aritmia juga dapat dilakukan dengan pemasangan alat Implantable Cadioverter Defibrillator (ICD) untuk mencegah kematian jantung mendadak. Fungsi ICD pada dasarnya untuk mengembalikan fungsi jantung dengan cara memberikan kejut listrik ketika terjadi gangguan irama jantung.
ICD adalah sebuah alat berukuran kecil yang ditanam di dalam dada untuk mengembalikan irama jantung yang tidak normal. Perangkat ICD mempunyai baterai yang dapat bertahan hingga 8 tahun, bergantung pada frekuensi kerja alat tersebut.
Tantangan yang dihadapi dalam pelayanan kesehatan aritmia di Indonesia, menurut dr. Sunu Budhi Raharjo, Sp.JP (K), PhD selaku Ketua InaHRS/PERITMI, yaitu terkait kurangnya jumlah dokter spesialis di bidang ini dibandingkan dengan kebutuhan.
"Hanya terdapat 46 dokter spesialis jantung dan pembuluh darah ahli aritmia di Indonesia sampai tahun 2023," imbuh dr Sunu.
Tantangan kedua, lanjut dr Sunu, adalah akses masyarakat terhadap tatalaksana penyakit aritmia yang masih sangat buruk.
Sementara terkait layanan Ablasi FA dan ICD di Indonesia saat ini, dr Sunu menjelaskan, itu sangat membantu masyarakat yang mengidap aritmia.
Namun sayang, berdasarkan data tahun 2021, hanya ada 84 tindakan Ablasi FA yang dilakukan di Indonesia. Demikian pula untuk tindakan ICD di tahun yang sama, baru ada 66 tindakan.
Hal itu menunjukkan masih minimnya akses yang diperoleh pasien-pasien aritmia di Indonesia untuk mendapat pelayanan yang standar buat penyakit mereka. Padahal, kedua tindakan tersebut terbukti bisa meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia pasien.
Meskipun jumlah pasien aritmia di Indonesia terus meningkat dari waktu ke waktu, namun sampai saat ini penanganannya masih menjadi salah satu tantangan besar dalam bidang kesehatan.
Dewan Penasehat InaHRS/PERITMI Dr. dr. Dicky Armein Hanafy, Sp.JP (K),FIHA, FAsCC membeberkan, berdasarkan data 2023, prevalensi aritmia secara umum diperkirakan 1,5%-5% pada populasi global.
"Aritmia yang paling sering terjadi adalah fibrilasi atrium (FA), dengan prevalensi global mencapai 46,3 juta kasus. Diperkirakan pada 2050, prevalensi FA akan terus meningkat hingga mencapai 6-16 juta kasus di Amerika Serikat, 14 juta kasus di Eropa, dan 72 juta kasus di Asia. Untuk di Indonesia diperkirakan mencapai 3 juta," ungkap dr. Dicky dalam konferensi pers Satu Dekade InaHRS: An Overview and Outlook di Jakarta, Selasa (29/8/2023).
Individu dengan FA, lanjut dr Dicky, mempunyai risiko lima kali lebih tinggi untuk mengalami stroke dibandingkan individu tanpa FA.
Foto/Istimewa
“Orang dengan aritmia biasanya menunjukkan gejala seperti jantung berdetak cepat dari normal (takikardia), jantung berdetak lebih lambat dari normal (bradikardia), pusing, pingsan, cepat lelah, sesak napas, dan nyeri dada. Kadang gejala aritmia tidak dirasakan dan tak didapatkan pada beberapa orang, sehingga sering tidak disadari oleh penderitanya," papar dr. Dicky.
"Gejala-gejala aritmia dapat menimbulkan komplikasi yang membahayakan seperti stroke, gagal jantung, dan kematian mendadak. Meskipun aritmia bisa terjadi pada siapa saja, munculnya sering sporadis dan pada sebagian kecil pasien karena bawaan, tetapi terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan seseorang untuk terkena penyakit aritmia," tambahnya.
Beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan seseorang menderita aritmia yaitu usia, penyakit jantung koroner, penggunaan narkoba atau zat-zat tertentu, konsumsi alkohol berlebihan, mengonsumsi obat-obatan tertentu, merokok, serta mengonsumsi kafein berlebihan.
Sementara itu, penanganan aritmia dapat dilakukan dengan tindakan kateter ablasi yaitu tindakan untuk detak jantung yang tidak teratur dan terlalu cepat dengan menggunakan kateter yang dimasukkan melalui pembuluh darah ke jantung.
"Karena keberhasilan tindakan semakin tinggi, tindakan ablasi sudah menjadi pilihan pertama. Obat-obatan hanya dapat meredam kemunculan aritmia tetapi tidak menyembuhkannya,” terang dr Dicky.
Penanganan aritmia juga dapat dilakukan dengan pemasangan alat Implantable Cadioverter Defibrillator (ICD) untuk mencegah kematian jantung mendadak. Fungsi ICD pada dasarnya untuk mengembalikan fungsi jantung dengan cara memberikan kejut listrik ketika terjadi gangguan irama jantung.
ICD adalah sebuah alat berukuran kecil yang ditanam di dalam dada untuk mengembalikan irama jantung yang tidak normal. Perangkat ICD mempunyai baterai yang dapat bertahan hingga 8 tahun, bergantung pada frekuensi kerja alat tersebut.
Tantangan yang dihadapi dalam pelayanan kesehatan aritmia di Indonesia, menurut dr. Sunu Budhi Raharjo, Sp.JP (K), PhD selaku Ketua InaHRS/PERITMI, yaitu terkait kurangnya jumlah dokter spesialis di bidang ini dibandingkan dengan kebutuhan.
"Hanya terdapat 46 dokter spesialis jantung dan pembuluh darah ahli aritmia di Indonesia sampai tahun 2023," imbuh dr Sunu.
Tantangan kedua, lanjut dr Sunu, adalah akses masyarakat terhadap tatalaksana penyakit aritmia yang masih sangat buruk.
Sementara terkait layanan Ablasi FA dan ICD di Indonesia saat ini, dr Sunu menjelaskan, itu sangat membantu masyarakat yang mengidap aritmia.
Namun sayang, berdasarkan data tahun 2021, hanya ada 84 tindakan Ablasi FA yang dilakukan di Indonesia. Demikian pula untuk tindakan ICD di tahun yang sama, baru ada 66 tindakan.
Hal itu menunjukkan masih minimnya akses yang diperoleh pasien-pasien aritmia di Indonesia untuk mendapat pelayanan yang standar buat penyakit mereka. Padahal, kedua tindakan tersebut terbukti bisa meningkatkan kualitas hidup dan memperpanjang usia pasien.
(tsa)