Hati-hati Bahaya Kanker Paru Mengintai, Pertahun Ada 34 Ribu Kasus Baru
loading...
A
A
A
JAKARTA - Perubahan pola gaya hidup ikut berdampak pada peningkatan penyakit yang tak dapat terhindarkan. Salah satu penyakit tidak menular yang alami peningkatan di Indonesia dan mengkhawatirkan adalah kanker paru-paru.
Untuk memperingati Bulan Peduli Kanker Paru Sedunia, Roche Indonesia bersama dengan RSUP Persahabatan dan CISC mengadakan diskusi menyoroti pentingnya akses diagnosis yang saat ini belum ditanggung oleh BPJS Kesehatan, khususnya untuk pemeriksaan imunohistokimia dan molekuler.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid mengatakan kasus baru dilaporkan 34 ribu kasus baru pertahunnya.
“Dari sebanyak 34.783 orang terdiagnosis, 30.483 orang di antaranya meninggal sehingga angka orang yang bertahan usai terdiagnosis kanker paru-paru hanyalah 20 persen. Sejauh ini penelitian faktor risiko terjadinya kanker paru-paru berasal dari paparan rokok dan turunan lainnya.
Selain itu pekerja yang bersentuhan dengan zat kimia, asbes dan beberapa partikel juga berisiko. Ditambah dengan paparan polusi udara seperti 2,5 partikulat meter (PM) dan PM 10 dan masih banyak lagi.
Alhasil, tentu perlunya pemahaman masyarakat dan aksesibilitas terhadap pemeriksaan ini berperan penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kanker paru, menekan angka kasus kematian, dan beban pembiayaan kanker.
“Kami telah secara aktif menerapkan transformasi sistem kesehatan, salah satunya dengan mendorong upaya deteksi dini secara terus-menerus. Selain meningkatkan kualitas hidup pasien, upaya ini juga akan memudahkan identifikasi pengobatan yang tepat, sehingga beban pembiayaan perawatan kesehatan dapat tetap dikendalikan,” ujar dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid.
Lebih lanjut dr. Siti Nadia Tarmizi menambahkan, kesadaran masyarakat mengenai pentingnya deteksi dini sudah semakin meningkat. Meski demikian, pemahaman tentang pemeriksaan dengan metode Imunohistokimia (IHK), terutama bagi pasien kanker paru masih menemui tantangan.
Kepala Pelayanan Medik RSUP Persahabatan dr. Erlang Samoedro, Sp.P (K) menambahkan bahwa faktor risiko kanker paru tidak hanya terkait dengan kebiasaan merokok.
Menurutnya, walaupun rokok tetap menjadi penyebab utama kanker paru, tidak benar mengabaikan risiko bagi mereka yang tidak merokok.
"Apakah ada kanker paru yang karena tidak merokok? Ada. Jadi banyak faktor, ada faktor genetik, ada faktor lingkungan. Itu sudah kodrat, bukan sesuatu yang mungkin bisa dicegah, ada nasib. Jadi memang faktor genetik ada di situ," ucap dia.
Pakar Onkologi Toraks RSUP Persahabatan dan Ketua Indonesia Association Study of Thoraric Oncology Prof. dr. Elisna Syahruddin, PhD, Sp.P (K) menjelaskan terdapat tiga kelompok berisiko tinggi terkena kanker paru yang perlu melakukan skrining. "Pertama usia 45 sampai 71 kita masukkan dalam program skrining," katanya.
Dia mengatakan seseorang yang pernah menjadi perokok aktif atau bekas perokok dengan waktu berhenti kurang dari 15 tahun, termasuk perokok pasif, juga masuk dalam kelompok berisiko tinggi.
Selain itu, individu yang memiliki riwayat kanker paru dalam keluarganya, meski individu tersebut tidak merokok, juga masuk dalam kategori kelompok berisiko tinggi.
"Ternyata dari data evidence base itu, kalau di keluarganya itu punya riwayat kanker paru dia itu berisiko. jadi kerentanan seseorang di keluarga yang ada kanker paru dia lebih rentan, makanya dia perlu menskrining dirinya," ujar Elisna.
“Tiga faktor itu yang disebut dengan faktor kelompok risiko tinggi, maka dari itu perlu dilakukan skrining," sambung dia.
Lebih lanjut Elisna menjelaskan perbedaan antara skrining dan deteksi dini. Skrining dilakukan pada individu dalam keadaan sehat tetapi memiliki faktor risiko. Adapun deteksi dini dilakukan terhadap individu yang telah bergejala.
Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2022, kanker paru merupakan penyakit dengan prognosis paling buruk, yaitu rendahnya angka tahan hidup dibandingkan dengan jenis kanker lainnya.
Untuk pasien yang menjalani terapi kemoterapi pada stadium 4, proyeksi harapan hidupnya dapat mencapai 10 bulan, sedangkan tanpa pengobatan, diperkirakan hanya bertahan selama tiga bulan.
“Untuk meningkatkan angka harapan hidup ada tiga upaya, yang pertama skrining, kedua deteksi dini, yang ketiga pemberian terapi yang optimal," ucap Elisna.
Roche berkomitmen untuk mendukung upaya pemerintah dalam melakukan diagnosis dini kanker paru dan membantu dokter dengan keputusan klinis mengenai target terapi kanker untuk manajemen pasien yang lebih baik.
“Kami berkomitmen untuk memperkuat kolaborasi antar pemangku kepentingan terkait untuk mendorong akses yang lebih luas terhadap pasien kanker paru, memberikan mereka peluang lebih besar untuk bertahan hidup dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik.” tutur Director, Diagnostics Division, PT Roche Indonesia, Lee Poh-Seng.
Untuk memperingati Bulan Peduli Kanker Paru Sedunia, Roche Indonesia bersama dengan RSUP Persahabatan dan CISC mengadakan diskusi menyoroti pentingnya akses diagnosis yang saat ini belum ditanggung oleh BPJS Kesehatan, khususnya untuk pemeriksaan imunohistokimia dan molekuler.
Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid mengatakan kasus baru dilaporkan 34 ribu kasus baru pertahunnya.
“Dari sebanyak 34.783 orang terdiagnosis, 30.483 orang di antaranya meninggal sehingga angka orang yang bertahan usai terdiagnosis kanker paru-paru hanyalah 20 persen. Sejauh ini penelitian faktor risiko terjadinya kanker paru-paru berasal dari paparan rokok dan turunan lainnya.
Selain itu pekerja yang bersentuhan dengan zat kimia, asbes dan beberapa partikel juga berisiko. Ditambah dengan paparan polusi udara seperti 2,5 partikulat meter (PM) dan PM 10 dan masih banyak lagi.
Alhasil, tentu perlunya pemahaman masyarakat dan aksesibilitas terhadap pemeriksaan ini berperan penting untuk meningkatkan kualitas hidup pasien kanker paru, menekan angka kasus kematian, dan beban pembiayaan kanker.
“Kami telah secara aktif menerapkan transformasi sistem kesehatan, salah satunya dengan mendorong upaya deteksi dini secara terus-menerus. Selain meningkatkan kualitas hidup pasien, upaya ini juga akan memudahkan identifikasi pengobatan yang tepat, sehingga beban pembiayaan perawatan kesehatan dapat tetap dikendalikan,” ujar dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid.
Lebih lanjut dr. Siti Nadia Tarmizi menambahkan, kesadaran masyarakat mengenai pentingnya deteksi dini sudah semakin meningkat. Meski demikian, pemahaman tentang pemeriksaan dengan metode Imunohistokimia (IHK), terutama bagi pasien kanker paru masih menemui tantangan.
Kepala Pelayanan Medik RSUP Persahabatan dr. Erlang Samoedro, Sp.P (K) menambahkan bahwa faktor risiko kanker paru tidak hanya terkait dengan kebiasaan merokok.
Menurutnya, walaupun rokok tetap menjadi penyebab utama kanker paru, tidak benar mengabaikan risiko bagi mereka yang tidak merokok.
"Apakah ada kanker paru yang karena tidak merokok? Ada. Jadi banyak faktor, ada faktor genetik, ada faktor lingkungan. Itu sudah kodrat, bukan sesuatu yang mungkin bisa dicegah, ada nasib. Jadi memang faktor genetik ada di situ," ucap dia.
Pakar Onkologi Toraks RSUP Persahabatan dan Ketua Indonesia Association Study of Thoraric Oncology Prof. dr. Elisna Syahruddin, PhD, Sp.P (K) menjelaskan terdapat tiga kelompok berisiko tinggi terkena kanker paru yang perlu melakukan skrining. "Pertama usia 45 sampai 71 kita masukkan dalam program skrining," katanya.
Dia mengatakan seseorang yang pernah menjadi perokok aktif atau bekas perokok dengan waktu berhenti kurang dari 15 tahun, termasuk perokok pasif, juga masuk dalam kelompok berisiko tinggi.
Selain itu, individu yang memiliki riwayat kanker paru dalam keluarganya, meski individu tersebut tidak merokok, juga masuk dalam kategori kelompok berisiko tinggi.
"Ternyata dari data evidence base itu, kalau di keluarganya itu punya riwayat kanker paru dia itu berisiko. jadi kerentanan seseorang di keluarga yang ada kanker paru dia lebih rentan, makanya dia perlu menskrining dirinya," ujar Elisna.
“Tiga faktor itu yang disebut dengan faktor kelompok risiko tinggi, maka dari itu perlu dilakukan skrining," sambung dia.
Lebih lanjut Elisna menjelaskan perbedaan antara skrining dan deteksi dini. Skrining dilakukan pada individu dalam keadaan sehat tetapi memiliki faktor risiko. Adapun deteksi dini dilakukan terhadap individu yang telah bergejala.
Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2022, kanker paru merupakan penyakit dengan prognosis paling buruk, yaitu rendahnya angka tahan hidup dibandingkan dengan jenis kanker lainnya.
Untuk pasien yang menjalani terapi kemoterapi pada stadium 4, proyeksi harapan hidupnya dapat mencapai 10 bulan, sedangkan tanpa pengobatan, diperkirakan hanya bertahan selama tiga bulan.
“Untuk meningkatkan angka harapan hidup ada tiga upaya, yang pertama skrining, kedua deteksi dini, yang ketiga pemberian terapi yang optimal," ucap Elisna.
Roche berkomitmen untuk mendukung upaya pemerintah dalam melakukan diagnosis dini kanker paru dan membantu dokter dengan keputusan klinis mengenai target terapi kanker untuk manajemen pasien yang lebih baik.
“Kami berkomitmen untuk memperkuat kolaborasi antar pemangku kepentingan terkait untuk mendorong akses yang lebih luas terhadap pasien kanker paru, memberikan mereka peluang lebih besar untuk bertahan hidup dan memiliki kualitas hidup yang lebih baik.” tutur Director, Diagnostics Division, PT Roche Indonesia, Lee Poh-Seng.
(atk)