Makna Tradisi Nyadran Jelang Ramadan di Bantul, Ziarah hingga Bagi-Bagi Makanan
loading...
A
A
A
Pada 1600 Masehi Panembahan Bodho meninggal dan dimakamkan di Makam Sewu. Hariyadi juga menjelaskan mengapa kompleks pemakaman seluas 4 hektare ini bernama Makam Sewu bukan kompleks makam Panembahan Bodho.
Awalnya, kata dia, Panembahan Bodho adalah orang pertama yang dimakamkan di tempat tersebut. Karena areanya luas, makam tersebut digunakan untuk menguburkan keluarga Panembahan dan warga sekitar sehingga bertambah banyak.
"Kenapa sewu? Zaman dulu hitungan sewu itu sudah banyak banget, jadi semuanya yang istilahnya banyak dan tidak terbatas itu sewu, belum ada istilah juta maupun milyar. Makanya makam sewu itu makam yang banyak," imbuh Hariyadi.
Hariyadi mengatakan, tradisi nyadran sendiri merupakan penggabungan dari budaya Islam dan Hindu Jawa. Hal ini tampak pada jenis sesajian yang menyerupai orang Hindu namun memiliki makna atau filosofi Islam.
"Tapi maknanya tidak seperti mereka, kita maknanya untuk sedekah. Seperti nasi uduk, nasi putih, ada ingkung sebagai simbol dari pengorbanan diri, dipecah dan dinikmati bareng-bareng anak cucu," ujarnya.
"Selanjutnya ketan, kolak dan apem. Ketan itu kotokan, kotokan itu artinya kesalahan, apem itu afwan, afwan itu pengampunan. Jadi dengan ubo rampe itu diharapkan semua kesalahan yang sudah meninggal itu diampuni," kata dia lagi.
Sementara itu, Lasimin (65) mengatakan hampir setiap tahunnya ia ikut dalam acara nyadran ini. Sebab, salah satu anggota keluarganya juga dimakamkan di makam tersebut.
"Orangtua dari istri (mertua) yang dimakamkan di sini. Kalau setiap jelang puasa pasti nyekar," katanya.
Menurutnya, hal itu menjadi sesuatu yang lumrah dan selalu dilakukan oleh warga lainnya. Menurutnya, selain menjaga tradisi, nyadran atau ziarah makam juga dimaksudkan untuk merawat makam pendahulu-pendahulunya yang telah meninggal dunia.
Awalnya, kata dia, Panembahan Bodho adalah orang pertama yang dimakamkan di tempat tersebut. Karena areanya luas, makam tersebut digunakan untuk menguburkan keluarga Panembahan dan warga sekitar sehingga bertambah banyak.
"Kenapa sewu? Zaman dulu hitungan sewu itu sudah banyak banget, jadi semuanya yang istilahnya banyak dan tidak terbatas itu sewu, belum ada istilah juta maupun milyar. Makanya makam sewu itu makam yang banyak," imbuh Hariyadi.
Hariyadi mengatakan, tradisi nyadran sendiri merupakan penggabungan dari budaya Islam dan Hindu Jawa. Hal ini tampak pada jenis sesajian yang menyerupai orang Hindu namun memiliki makna atau filosofi Islam.
"Tapi maknanya tidak seperti mereka, kita maknanya untuk sedekah. Seperti nasi uduk, nasi putih, ada ingkung sebagai simbol dari pengorbanan diri, dipecah dan dinikmati bareng-bareng anak cucu," ujarnya.
"Selanjutnya ketan, kolak dan apem. Ketan itu kotokan, kotokan itu artinya kesalahan, apem itu afwan, afwan itu pengampunan. Jadi dengan ubo rampe itu diharapkan semua kesalahan yang sudah meninggal itu diampuni," kata dia lagi.
Baca Juga
Sementara itu, Lasimin (65) mengatakan hampir setiap tahunnya ia ikut dalam acara nyadran ini. Sebab, salah satu anggota keluarganya juga dimakamkan di makam tersebut.
"Orangtua dari istri (mertua) yang dimakamkan di sini. Kalau setiap jelang puasa pasti nyekar," katanya.
Menurutnya, hal itu menjadi sesuatu yang lumrah dan selalu dilakukan oleh warga lainnya. Menurutnya, selain menjaga tradisi, nyadran atau ziarah makam juga dimaksudkan untuk merawat makam pendahulu-pendahulunya yang telah meninggal dunia.