Masyarakat Usia di Atas 54 Tahun Paling Rentan Terpapar Misinformasi Pandemi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Sebanyak 9 dari 10 responden Klinik Misinformasi terpapar berita bohong dan menyesatkan. Temuan ini merupakan hasil uji keterpaparan lebih dari 5.000 responden terhadap misinformasi yang beredar selama pandemi Covid-19 .
(Baca juga: Inilah Obyek Wisata Alam #DiIndonesiaAja yang Sayang Dilewatkan )
Adapun responden dari kuis edukatif ini secara umum menggambarkan para pengguna media sosial di Indonesia dari berbagai kategori usia, tingkat pendidikan dan dan geografis.
Temuan tersebut dibahas dalam sebuah diskusi bertajuk Refleksi Infodemi di Masa Pandemi yang diinisiasi sebuah koalisi organisasi masyarakat sipil yang bergerak bersama dalam menghadapi infodemi di Indonesia. Infodemi merupakan tumpah ruahnya beragam informasi yang kebanyakan di antaranya tidak benar atau tidak dapat diverifikasi.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mensejajarkan bahaya infodemi dengan pandemi. Pasalnya, informasi yang salah dan tidak akurat akan berpengaruh besar pada kesehatan dan pengambilan keputusan masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19 .
Pemeriksa fakta dari Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Bentang Febrylian mengungkapkan, informasi yang menyesatkan telah menjadi bagian dari dinamika bermediasosial. Temuan bahwa 90% responden Klinik Misinformasi telah terpapar infodemi mengonfirmasi tingkat keterpaparan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap misinformasi.
"Selama pandemi, Mafindo menemukan lebih dari 500 hoax terkait Covid-19 yang beredar di masyarakat. Maka dari itu dibutuhkan keseriusan dari pemerintah, elemen masyarakat, dan media massa untuk bersama meredam infodemi. Tentunya hal tersebut juga harus diikuti oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya berpikir kritis," papar Bentang dalam Webinar Refleksi Infodemi di Masa Pandemi, Rabu (26/8).
(Baca juga: ASI Eksklusif, Fondasi Awal Kesehatan Anak )
Temuan lain dari responden Klinik Misinformasi, dalam segi usia, tingkat keterpaparan paling tinggi terjadi pada kelompok usia di atas 54 tahun, dengan jumlah responden yang terpapar misinformasi mencapai 100%. Kategori usia yang terpapar sangat tinggi lainnya adalah pengguna media sosial di rentang usia 0-17 tahun di mana tingkat keterpaparan mencapai 94%.
Dokter Spesialis Paru, dr. Jaka Pradipta, mengatakan, hoaks yang beredar di masyarakat menyasar pada isu pencegahan dan pengobatan Covid-19. Membaca dan mendengar berita yang tidak terklasifikasi bisa menyebabkan seseorang keliru dalam mengambil tindakan pencegahan, sehingga membahayakan kesehatan dirinya dan orang lain, atau bahkan terlambat mendapatkan penanganan medis.
"Jadi, masyarakat perlu sangat waspada dengan berita seperti klaim penemuan obat dan pencegahan Covid-19 yang tidak didukung dengan bukti ilmiah," ungkap dr Jaka.
Untuk mengajak masyarakat waspada dan mengambil peran dalam mencegah penyebaran misinformasi Covid-19 di media sosial dan aplikasi pesan instan, Klinik Misinformasi melakukan berbagai kampanye dan edukasi bersama mitra. Selain itu, Klinik Misinformasi juga menghadirkan sebuah seri stiker WhatsApp yang dapat diunduh secara gratis di bit.ly/StickerAntiHoax.
Produk kreatif itu merupakan kerjasama Klinik Misinformasi dengan illustrator muda @shirohyde sebagai upaya memberikan dukungan kepada generasi muda untuk berani bersuara dan mengajak keluarga terdekat, komunitas dan lingkungan mereka menghindari penyebaran berita bohong dan menyesatkan.
(Baca juga: Waspada jika Anak Telat Bicara )
"Untuk mengurangi penyebaran hoaks di sosial media dan platform mainstream, dibutuhkan sikap kritis terdapat informasi apapun yang didapatkan. Kita perlu mempertanyakan validitas informasi tersebut sehingga dapat mencegah penyebarannya. Mari kita sadari bahaya penyebaran infodemi dan berkontribusi dengan menjadi 'polisi' di grup WhatsApp atau bahkan bersuara di media sosial kita dengan turut menyebarkan konten positif," tutup artis dan penggiat Gerakan Siberkreasi, Yosi Mokalu.
(Baca juga: Inilah Obyek Wisata Alam #DiIndonesiaAja yang Sayang Dilewatkan )
Adapun responden dari kuis edukatif ini secara umum menggambarkan para pengguna media sosial di Indonesia dari berbagai kategori usia, tingkat pendidikan dan dan geografis.
Temuan tersebut dibahas dalam sebuah diskusi bertajuk Refleksi Infodemi di Masa Pandemi yang diinisiasi sebuah koalisi organisasi masyarakat sipil yang bergerak bersama dalam menghadapi infodemi di Indonesia. Infodemi merupakan tumpah ruahnya beragam informasi yang kebanyakan di antaranya tidak benar atau tidak dapat diverifikasi.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mensejajarkan bahaya infodemi dengan pandemi. Pasalnya, informasi yang salah dan tidak akurat akan berpengaruh besar pada kesehatan dan pengambilan keputusan masyarakat dalam menghadapi pandemi Covid-19 .
Pemeriksa fakta dari Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia), Bentang Febrylian mengungkapkan, informasi yang menyesatkan telah menjadi bagian dari dinamika bermediasosial. Temuan bahwa 90% responden Klinik Misinformasi telah terpapar infodemi mengonfirmasi tingkat keterpaparan masyarakat Indonesia yang sangat tinggi terhadap misinformasi.
"Selama pandemi, Mafindo menemukan lebih dari 500 hoax terkait Covid-19 yang beredar di masyarakat. Maka dari itu dibutuhkan keseriusan dari pemerintah, elemen masyarakat, dan media massa untuk bersama meredam infodemi. Tentunya hal tersebut juga harus diikuti oleh kesadaran masyarakat akan pentingnya berpikir kritis," papar Bentang dalam Webinar Refleksi Infodemi di Masa Pandemi, Rabu (26/8).
(Baca juga: ASI Eksklusif, Fondasi Awal Kesehatan Anak )
Temuan lain dari responden Klinik Misinformasi, dalam segi usia, tingkat keterpaparan paling tinggi terjadi pada kelompok usia di atas 54 tahun, dengan jumlah responden yang terpapar misinformasi mencapai 100%. Kategori usia yang terpapar sangat tinggi lainnya adalah pengguna media sosial di rentang usia 0-17 tahun di mana tingkat keterpaparan mencapai 94%.
Dokter Spesialis Paru, dr. Jaka Pradipta, mengatakan, hoaks yang beredar di masyarakat menyasar pada isu pencegahan dan pengobatan Covid-19. Membaca dan mendengar berita yang tidak terklasifikasi bisa menyebabkan seseorang keliru dalam mengambil tindakan pencegahan, sehingga membahayakan kesehatan dirinya dan orang lain, atau bahkan terlambat mendapatkan penanganan medis.
"Jadi, masyarakat perlu sangat waspada dengan berita seperti klaim penemuan obat dan pencegahan Covid-19 yang tidak didukung dengan bukti ilmiah," ungkap dr Jaka.
Untuk mengajak masyarakat waspada dan mengambil peran dalam mencegah penyebaran misinformasi Covid-19 di media sosial dan aplikasi pesan instan, Klinik Misinformasi melakukan berbagai kampanye dan edukasi bersama mitra. Selain itu, Klinik Misinformasi juga menghadirkan sebuah seri stiker WhatsApp yang dapat diunduh secara gratis di bit.ly/StickerAntiHoax.
Produk kreatif itu merupakan kerjasama Klinik Misinformasi dengan illustrator muda @shirohyde sebagai upaya memberikan dukungan kepada generasi muda untuk berani bersuara dan mengajak keluarga terdekat, komunitas dan lingkungan mereka menghindari penyebaran berita bohong dan menyesatkan.
(Baca juga: Waspada jika Anak Telat Bicara )
"Untuk mengurangi penyebaran hoaks di sosial media dan platform mainstream, dibutuhkan sikap kritis terdapat informasi apapun yang didapatkan. Kita perlu mempertanyakan validitas informasi tersebut sehingga dapat mencegah penyebarannya. Mari kita sadari bahaya penyebaran infodemi dan berkontribusi dengan menjadi 'polisi' di grup WhatsApp atau bahkan bersuara di media sosial kita dengan turut menyebarkan konten positif," tutup artis dan penggiat Gerakan Siberkreasi, Yosi Mokalu.
(nug)