Kisah Perjuangan Al Rizhal Tisma Wahid Maulana Jadi Imam di UEA dengan Hafal Al-Quran 30 Juz
loading...
A
A
A
"Yang tersulit di nguji hafalan, kalau nguji hafalan (Al-Quran) acak banget. Kalau dari Kemenag itu disuruh baca dari awal diteruskan. Kalau dari syeikhnya acak banget, bisa dari tengah, atau dari belakang, atau dari depan, enggak bisa memprediksi. Kalau yang dari Kemenag di tahap pertama kan bisa diprediksi, surat ini, disuruh baca awal surat. Kalau di tengah-tengah surat susah," paparnya.
Belum lagi kebiasaan Wahid yang membaca Al-Quran hafalan dengan mikrofon membuat dia sedikit grogi saat Syeikh meminta membacanya tanpa mikrofon.
"Ketika membaca ternyata ada yang sesuatu yang enggak pas di telinga syeikhnya, karena selama ini kan di Indonesia biasanya terbiasa membaca dengan mik (mikrofon) kalau tanpa mik kurang pede. Tapi mereka nggak mau, sempat nervous, sempat down juga, ada satu huruf yang dikoreksi juga oleh beliau," terangnya.
Namun, dia mengaku beruntung, materi seleksi lain berupa khutbah dan pemahaman fikih Islam bisa lancar. Bahkan dengan kemampuan bahasa Arabnya, yang didapat dari kampus UM bisa memperlancar seleksi di khutbah dengan bahasa Arab.
Wahid sejak awal mengaku berharap bisa lolos meski dia sebenarnya belum pernah mengeyam pendidikan pondok pesantren. Dirinya belajar menghafal Al-Quran dan agama secara otodidak saat berkuliah di UM. Saat kuliah itu dia bergabung dengan salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang fokus menunjang keinginannya belajar menghafal Al-Quran dan memahami agama Islam.
"Saya mondok itu ketika SD kelas 4 SD karena waktu ikut kakek saja, orang tua background-nya bukan pondok, ikut mbah di sana. Cuma sekolah MI, MTS, masuk SMA, akhirnya masuk Sastra Arab UM itu. Dari masuk kuliah itu baru punya keinginan hafalan Al-Quran 30 juz. Kebetulan ada fasilitasnya, ada UKM-nya, ada pembinanya juga. Termasuk membangun kompetensinya di UKM itu juga," jelasnya.
Kini dia bersyukur bisa lolos menjadi satu dari 27 orang yang lolos seleksi imam masjid dari Indonesia. Pengorbanan waktunya untuk belajar menghafal Al-Quran selama kuliah dan memperdalam ilmu agama membuahkan hasil.
"Kalau kita ingin sesuatu, kita harus punya waktu khusus untuk latihan khusus, kalau kita punya keinginan ingin bisa basket ya kita alokasikan waktu luang untuk belajar berlatih basket. Kalau kita ingin menghafal Al-Quran ya konsekuensinya harus ada waktu untuk membaca dan menghafal Al-Quran. Main dan nongkrong itu dimanfaatkan untuk membangun kompetensi kita. Sekiranya masih muda kita harus bisa belajar dan memberi manfaat ke orang lain," pesannya.
Saat ini, Wahid masih harap-harap cemas menunggu kepastian kapan keberangkatannya ke UEA, mengingat kepengurusan visa yang masih berlangsung. "Wacana awal katanya Juni setelah Lebaran, tapi sampai sekarang belum ada kejelasan. Kalau dari pengalaman imam-imam di sana katanya enggak pasti, enggak bareng, jadi ketika dipanggil pihak sana langsung berangkat," ungkapnya.
"Karena memang kita ngikuti dari Emirat-nya kemungkinan kata imam-imam sebelumnya diberangkatkan Juni. Insya Allah kemungkinan besar, soalnya Juni-Juli jadwalnya cuti imam di sana, nanti masih magang di sana sebelum jadi imam tetap," tuturnya.
Belum lagi kebiasaan Wahid yang membaca Al-Quran hafalan dengan mikrofon membuat dia sedikit grogi saat Syeikh meminta membacanya tanpa mikrofon.
"Ketika membaca ternyata ada yang sesuatu yang enggak pas di telinga syeikhnya, karena selama ini kan di Indonesia biasanya terbiasa membaca dengan mik (mikrofon) kalau tanpa mik kurang pede. Tapi mereka nggak mau, sempat nervous, sempat down juga, ada satu huruf yang dikoreksi juga oleh beliau," terangnya.
Namun, dia mengaku beruntung, materi seleksi lain berupa khutbah dan pemahaman fikih Islam bisa lancar. Bahkan dengan kemampuan bahasa Arabnya, yang didapat dari kampus UM bisa memperlancar seleksi di khutbah dengan bahasa Arab.
Wahid sejak awal mengaku berharap bisa lolos meski dia sebenarnya belum pernah mengeyam pendidikan pondok pesantren. Dirinya belajar menghafal Al-Quran dan agama secara otodidak saat berkuliah di UM. Saat kuliah itu dia bergabung dengan salah satu unit kegiatan mahasiswa (UKM) yang fokus menunjang keinginannya belajar menghafal Al-Quran dan memahami agama Islam.
"Saya mondok itu ketika SD kelas 4 SD karena waktu ikut kakek saja, orang tua background-nya bukan pondok, ikut mbah di sana. Cuma sekolah MI, MTS, masuk SMA, akhirnya masuk Sastra Arab UM itu. Dari masuk kuliah itu baru punya keinginan hafalan Al-Quran 30 juz. Kebetulan ada fasilitasnya, ada UKM-nya, ada pembinanya juga. Termasuk membangun kompetensinya di UKM itu juga," jelasnya.
Kini dia bersyukur bisa lolos menjadi satu dari 27 orang yang lolos seleksi imam masjid dari Indonesia. Pengorbanan waktunya untuk belajar menghafal Al-Quran selama kuliah dan memperdalam ilmu agama membuahkan hasil.
"Kalau kita ingin sesuatu, kita harus punya waktu khusus untuk latihan khusus, kalau kita punya keinginan ingin bisa basket ya kita alokasikan waktu luang untuk belajar berlatih basket. Kalau kita ingin menghafal Al-Quran ya konsekuensinya harus ada waktu untuk membaca dan menghafal Al-Quran. Main dan nongkrong itu dimanfaatkan untuk membangun kompetensi kita. Sekiranya masih muda kita harus bisa belajar dan memberi manfaat ke orang lain," pesannya.
Saat ini, Wahid masih harap-harap cemas menunggu kepastian kapan keberangkatannya ke UEA, mengingat kepengurusan visa yang masih berlangsung. "Wacana awal katanya Juni setelah Lebaran, tapi sampai sekarang belum ada kejelasan. Kalau dari pengalaman imam-imam di sana katanya enggak pasti, enggak bareng, jadi ketika dipanggil pihak sana langsung berangkat," ungkapnya.
"Karena memang kita ngikuti dari Emirat-nya kemungkinan kata imam-imam sebelumnya diberangkatkan Juni. Insya Allah kemungkinan besar, soalnya Juni-Juli jadwalnya cuti imam di sana, nanti masih magang di sana sebelum jadi imam tetap," tuturnya.