Pentingnya Peduli Penyakit Gagal Jantung, Ini Kata Dokter Spesialis Kardiovaskular
loading...
A
A
A
JAKARTA - Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan, lebih dari 17 juta orang di dunia meninggal akibat penyakit kardiovaskular . Penyakit yang berkaitan dengan jantung dan pembuluh darah ini masih menjadi ancaman dunia (global threat) dan merupakan penyakit yang berperan utama sebagai penyebab kematian nomor satu di seluruh dunia.
Selain itu, penyakit kardiovaskular juga paling sering menyerang kelompok usia produktif, sehingga mortalitasnya menyebabkan beban ekonomi dan sosial terhadap masyarakat.
Penyakit jantung yang cukup menjadi beban ekonomi dan sosial, salah satunya adalah gagal jantung. Sebanyak 64 juta pasien orang dewasa di seluruh dunia hidup dengan gagal jantung, jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat dengan tingkat rawat inap berulang dan kematian yang masih cukup tinggi.
Di Indonesia sendiri penyakit jantung menempati posisi pertama dengan jumlah kasus 12,9 juta. Hal it terungkap dalam acara talkshow “Kenapa kita harus peduli gagal jantung?” baru-baru ini.
Ketua Pokja Gagal Jantung Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), dr. Siti Elkana Nauli, Sp.JP (K), berpendapat bahwa angka rawat inap berulang karena gagal jantung masih cukup tinggi dan dapat menurunkan angka bertahan hidup, padahal semakin sering pasien dirawat inap maka angka kelangsungan hidup pasien menjadi semakin rendah.
"Hal ini sesuai dengan data InaHF National Registry 2018 yang menyatakan bahwa sebesar 17% pasien gagal jantung di Indonesia akan mengalami rawat inap berulang," papar dr. Siti.
Menurutnya, 17,2% pasien gagal jantung meninggal pada saat rawat inap dan 11,3% pasien gagal jantung akan meninggal dalam satu tahun pengobatan.
"Tingginya angka tersebut disebabkan oleh beberapa tantangan dalam mengobati pasien dengan gagal jantung, terutama karena perjalanan pasien gagal jantung bisa sangat bervariasi, tanda dan gejala awal dapat ringan kemudian memburuk secara bertahap atau tiba-tiba tergantung berbagai faktor.
"Dia juga menyebutkan bahwa penyakit komorbid menjadi faktor utama yang mempersulit pengobatan gagal jantung dan karenanya seringkali penderita gagal jantung dengan komorbid membutuhkan tim multidisplin untuk menangani penyakit ini secara holistik," paparnya.
Kondisi ini adalah alasan kenapa penanganan gagal jantung harus cepat dilakukan, dengan harapan pasien tidak sampai mengalami komorbiditas, yang dapat menyebabkan terbatasnya pilihan pengobatan, memperberat gagal jantung, dan luaran pasien gagal jantung lebih buruk.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum PP PERKI, Dr. dr Isman Firdaus, Sp.JP (K), menjelaskan bahwa kesulitan pengobatan gagal jantung juga disebabkan oleh keterlambatan penanganan.
Selain itu adanya hambatan untuk mengakses layanan kesehatan, karena berbagai faktor penentu; sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesadaran kesehatan masyarakat juga menjadi pemicunya.
"Oleh karena itu, penyediaan akses obat-obatan penyakit kardiovaskular sangat penting dan perlu diprioritaskan ke dalam agenda nasional maupun global," ungkap Dr. Isman.
Ia juga menambahkan, PERKI dengan Kelompok Kerja (Pokja) gagal jantungnya senantiasa konsisten berusaha memperbaiki tatalaksana gagal jantung, melalui pengobatan, pencegahan, dan edukasi.
Dalam mendukung pengobatan penyakit gagal jantung, saat ini telah terdapat temuan baru tentang penggunaan obat yang dapat digunakan untuk penyakit gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi (HFrEF).
Pengobatan terbaru ini menggunakan golongan SGLT2-inhibitor yang merupakan salah satu dari 4 pilar utama pengobatan HFrEF. Salah satu obat SGLT2-inhibitor yang ada di Indonesia adalah Empagliflozin, yang pada 4 Maret 2022 lalu, telah mendapatkan persetujuan dari Badan POM untuk indikasi: pengobatan pasien dewasa dengan gagal jantung kronik yang bergejala akibat fraksi ejeksi yang menurun atau yang lebih dikenal dengan Heart Failure with reduced Ejection Fraction/HFrEF," jelasnya.
Menurutnya, Empagliflozin dapat menjadi harapan baru dalam pengobatan penyakit gagal jantung HFrEF, karena telah lulus melalui uji klinis dan disetujui oleh BPOM RI.
Persetujuan BPOM ini didasarkan pada hasil studi empagliflozin untuk pengobatan HFrEF, yaitu studi EMPEROR-Reduced yang dipublikasikan pada tahun 2020.
"Hasil dari studi tersebut menemukan bahwa empagliflozin yang diberikan dengan pengobatan standar HFrEF lainnya, terbukti dapat menurunkan risiko relatif kematian kardiovaskular atau rawat inap akibat gagal jantung sebesar 25%, menurunkan risiko rawat inap berulang akibat gagal jantung sebesar 30% dan membantu memperlambat penurunan fungsi ginjal pada pasien HFrEF," jelasnya.
Menurutnya, Empagliflozin dapat menjadi harapan baru dalam pengobatan penyakit gagal jantung HFrEF, karena telah lulus melalui uji klinis dan disetujui oleh BPOM RI.
Persetujuan BPOM ini didasarkan pada hasil studi empagliflozin untuk pengobatan HFrEF, yaitu studi EMPEROR-Reduced yang dipublikasikan pada tahun 2020.
"Hasil dari studi tersebut menemukan bahwa empagliflozin yang diberikan dengan pengobatan standar HFrEF lainnya, terbukti dapat menurunkan risiko relatif kematian kardiovaskular atau rawat inap akibat gagal jantung sebesar 25%, menurunkan risiko rawat inap berulang akibat gagal jantung sebesar 30% dan membantu memperlambat penurunan fungsi ginjal pada pasien HFrEF," jelasnya.
Sementara itu, Head of Medical Zuellig Pharma Therapeutics Indonesia dr. Constantine Heryawan menyatakan kedepannya masih banyak penelitian empagliflozin dalam bidang kardiovaskular yang dapat memberikan harapan baru bagi pasien-pasien dengan penyakit jantung.
“Kami berkomitmen dan berharap dapat terus berkolaborasi dengan asosiasi medis seperti PERKI dan Pokja Gagal Jantung, begitu juga dengan dokter-dokter di Indonesia untuk mengembangkan tatalaksana gagal jantung, melalui edukasi, program untuk pasien, atau bahkan penelitian klinis,” ucapnya.
Turut memberikan pernyataan dalam acara tersebut, Aylie Widjaja, Chief Operating Officer Zuellig Pharma Therapeutics menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran tentang penyakit jantung, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga untuk orang-orang di sekitar kita.
Menurunkan beban penyakit kardiovaskular di Indonesia tidak hanya tugas salah satu pihak, namun peran semua lapisan masyarakat (pasien, dokter, keluarga pasien, dan pembuat kebijakan).
"Kami berharap dengan adanya terapi baru dalam penanganan gagal jantung ini dapat memberikan dampak positif pada kualitas hidup dan kepercayaan diri pasien maupun calon pasien yang akan datang, dan tentunya kami tetap berkomitmen untuk membantu pasien terhadap akses obat-obatan dalam penanganan gagal jantung,” pungkasnya.
Selain itu, penyakit kardiovaskular juga paling sering menyerang kelompok usia produktif, sehingga mortalitasnya menyebabkan beban ekonomi dan sosial terhadap masyarakat.
Penyakit jantung yang cukup menjadi beban ekonomi dan sosial, salah satunya adalah gagal jantung. Sebanyak 64 juta pasien orang dewasa di seluruh dunia hidup dengan gagal jantung, jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat dengan tingkat rawat inap berulang dan kematian yang masih cukup tinggi.
Di Indonesia sendiri penyakit jantung menempati posisi pertama dengan jumlah kasus 12,9 juta. Hal it terungkap dalam acara talkshow “Kenapa kita harus peduli gagal jantung?” baru-baru ini.
Ketua Pokja Gagal Jantung Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI), dr. Siti Elkana Nauli, Sp.JP (K), berpendapat bahwa angka rawat inap berulang karena gagal jantung masih cukup tinggi dan dapat menurunkan angka bertahan hidup, padahal semakin sering pasien dirawat inap maka angka kelangsungan hidup pasien menjadi semakin rendah.
"Hal ini sesuai dengan data InaHF National Registry 2018 yang menyatakan bahwa sebesar 17% pasien gagal jantung di Indonesia akan mengalami rawat inap berulang," papar dr. Siti.
Menurutnya, 17,2% pasien gagal jantung meninggal pada saat rawat inap dan 11,3% pasien gagal jantung akan meninggal dalam satu tahun pengobatan.
"Tingginya angka tersebut disebabkan oleh beberapa tantangan dalam mengobati pasien dengan gagal jantung, terutama karena perjalanan pasien gagal jantung bisa sangat bervariasi, tanda dan gejala awal dapat ringan kemudian memburuk secara bertahap atau tiba-tiba tergantung berbagai faktor.
"Dia juga menyebutkan bahwa penyakit komorbid menjadi faktor utama yang mempersulit pengobatan gagal jantung dan karenanya seringkali penderita gagal jantung dengan komorbid membutuhkan tim multidisplin untuk menangani penyakit ini secara holistik," paparnya.
Kondisi ini adalah alasan kenapa penanganan gagal jantung harus cepat dilakukan, dengan harapan pasien tidak sampai mengalami komorbiditas, yang dapat menyebabkan terbatasnya pilihan pengobatan, memperberat gagal jantung, dan luaran pasien gagal jantung lebih buruk.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum PP PERKI, Dr. dr Isman Firdaus, Sp.JP (K), menjelaskan bahwa kesulitan pengobatan gagal jantung juga disebabkan oleh keterlambatan penanganan.
Selain itu adanya hambatan untuk mengakses layanan kesehatan, karena berbagai faktor penentu; sosial, ekonomi, pendidikan, dan kesadaran kesehatan masyarakat juga menjadi pemicunya.
"Oleh karena itu, penyediaan akses obat-obatan penyakit kardiovaskular sangat penting dan perlu diprioritaskan ke dalam agenda nasional maupun global," ungkap Dr. Isman.
Ia juga menambahkan, PERKI dengan Kelompok Kerja (Pokja) gagal jantungnya senantiasa konsisten berusaha memperbaiki tatalaksana gagal jantung, melalui pengobatan, pencegahan, dan edukasi.
Dalam mendukung pengobatan penyakit gagal jantung, saat ini telah terdapat temuan baru tentang penggunaan obat yang dapat digunakan untuk penyakit gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi (HFrEF).
Pengobatan terbaru ini menggunakan golongan SGLT2-inhibitor yang merupakan salah satu dari 4 pilar utama pengobatan HFrEF. Salah satu obat SGLT2-inhibitor yang ada di Indonesia adalah Empagliflozin, yang pada 4 Maret 2022 lalu, telah mendapatkan persetujuan dari Badan POM untuk indikasi: pengobatan pasien dewasa dengan gagal jantung kronik yang bergejala akibat fraksi ejeksi yang menurun atau yang lebih dikenal dengan Heart Failure with reduced Ejection Fraction/HFrEF," jelasnya.
Menurutnya, Empagliflozin dapat menjadi harapan baru dalam pengobatan penyakit gagal jantung HFrEF, karena telah lulus melalui uji klinis dan disetujui oleh BPOM RI.
Persetujuan BPOM ini didasarkan pada hasil studi empagliflozin untuk pengobatan HFrEF, yaitu studi EMPEROR-Reduced yang dipublikasikan pada tahun 2020.
"Hasil dari studi tersebut menemukan bahwa empagliflozin yang diberikan dengan pengobatan standar HFrEF lainnya, terbukti dapat menurunkan risiko relatif kematian kardiovaskular atau rawat inap akibat gagal jantung sebesar 25%, menurunkan risiko rawat inap berulang akibat gagal jantung sebesar 30% dan membantu memperlambat penurunan fungsi ginjal pada pasien HFrEF," jelasnya.
Menurutnya, Empagliflozin dapat menjadi harapan baru dalam pengobatan penyakit gagal jantung HFrEF, karena telah lulus melalui uji klinis dan disetujui oleh BPOM RI.
Persetujuan BPOM ini didasarkan pada hasil studi empagliflozin untuk pengobatan HFrEF, yaitu studi EMPEROR-Reduced yang dipublikasikan pada tahun 2020.
"Hasil dari studi tersebut menemukan bahwa empagliflozin yang diberikan dengan pengobatan standar HFrEF lainnya, terbukti dapat menurunkan risiko relatif kematian kardiovaskular atau rawat inap akibat gagal jantung sebesar 25%, menurunkan risiko rawat inap berulang akibat gagal jantung sebesar 30% dan membantu memperlambat penurunan fungsi ginjal pada pasien HFrEF," jelasnya.
Sementara itu, Head of Medical Zuellig Pharma Therapeutics Indonesia dr. Constantine Heryawan menyatakan kedepannya masih banyak penelitian empagliflozin dalam bidang kardiovaskular yang dapat memberikan harapan baru bagi pasien-pasien dengan penyakit jantung.
“Kami berkomitmen dan berharap dapat terus berkolaborasi dengan asosiasi medis seperti PERKI dan Pokja Gagal Jantung, begitu juga dengan dokter-dokter di Indonesia untuk mengembangkan tatalaksana gagal jantung, melalui edukasi, program untuk pasien, atau bahkan penelitian klinis,” ucapnya.
Turut memberikan pernyataan dalam acara tersebut, Aylie Widjaja, Chief Operating Officer Zuellig Pharma Therapeutics menekankan pentingnya meningkatkan kesadaran tentang penyakit jantung, tidak hanya bagi diri sendiri tetapi juga untuk orang-orang di sekitar kita.
Menurunkan beban penyakit kardiovaskular di Indonesia tidak hanya tugas salah satu pihak, namun peran semua lapisan masyarakat (pasien, dokter, keluarga pasien, dan pembuat kebijakan).
"Kami berharap dengan adanya terapi baru dalam penanganan gagal jantung ini dapat memberikan dampak positif pada kualitas hidup dan kepercayaan diri pasien maupun calon pasien yang akan datang, dan tentunya kami tetap berkomitmen untuk membantu pasien terhadap akses obat-obatan dalam penanganan gagal jantung,” pungkasnya.
(hri)