Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 12 Bagian 6
loading...
A
A
A
Kho Ping Hoo, Suling Emas
Akan tetapi pada saat itu. Bayisan sudah mengerahkan pasukannya, siap mengurung dan menyerang dua orang ini yang dianggapnya mengacau dan hendak membikun rusuh. Melihat ini, kakek cebol tertawa bergelak.
"Aha-ha-ha! Sudah cukup main-main hari ini, jembel muda bau, kakekmu tidak ada waktu lagi, sudah lapar dan mengantuk. Biarlah lain hari aku akan mencarimu dan tak mau sudah sebelum kau terkencing-kencing oleh pukulanku!" Setelah berkata demikian, kakek itu melompat-lompat, makin lama makin tinggi lompatannya yang modelnya seperti katak melompat.
Akhirnya ia melompat demikian tingginya sampai melewati kepala orang-orang banyak. Celaka bagi mereka yang terinjak kepala atau pundaknya oleh kaki itu, karena ia lalu dipergunakan seperti batu loncatan oleh Si Kakek Aneh sehingga kepala dan pundak mereka menjadi kotor oleh debu dan lumpur, malah hebat dan lucunya, sambil menjejak kepala dan pundak orang, kadang-kadang Si Kakek melepas kentut yang nyaring sekali sambil tertawa terbahak-bahak!
Kwee Seng juga segera melompat, melampaui kepala banyak orang, kemudian mempercepat larinya menjauhkan diri dari tempat itu dan lenyap di antara pohon-pohon yang lebat tumbuh di lembah Sungai Huang-ho. Gegerlah keadaan di situ dan Bayisan cepat mengatur pasukannya untuk melakukan penjagaan keras pada hari itu dan seterusnya.
Kalisani mendekatinya dan berkata, "Bayisan, mengapa kau ribut-ribut sendiri? Jelas bahwa dua orang sakti itu adalah petualang-petualang yang tidak mempunyai niat buruk terhadap kita, bahkan agaknya mereka berdua itu pun tidak saling mengenal. Menghadapi orang-orang seperti itu, lebih baik kita menyambut mereka sebagai tamu agung untuk dijadikan sahabat. Mengapa kita harus menjaga dan mengejar-ngejar mereka seperti maling?"
Dengan wajah berkerut, Bayisan menjawab, "Paman Kalisani, pandangan kita dalam hal ini berbeda. Betapapun juga, aku tidak bisa mengabaikan kewajibanku menjaga keamanan Sribaginda. Malam ini harus aku sendiri yang melakkukan perondaan di dalam istana. Siapa tahu, mereka itu akan datang dengan niat busuk, dan mereka amatlah lihai."
Setelah berkata demikian, Bayisan meninggalkan Kalisani yang masih terpengaruh oleh kepandaian dua orang itu dan kadang-kadang tertawa sendiri mengingat akan kelucuan sepak terjang mereka. Juga diam-diam ia ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka. Kalisani biarpun seorang tokoh Khitan, namun pengalamannya sudah luas sekali. Sudah bertahun-tahun ia merantau ke selatan, mengenal baik ilmu silat selatan, bahkan ia seorang ahli silat yang pandai pula. Namun belum pernah ia mendengar tentang seorang pemuda gila dan kakek cebol yang begitu aneh.
***
Malam itu indah sekali. Tiada angin mengusik daun. Alam tenang tentram pada malam hari itu setelah siangnya tadi terdengar sorak-sorai menggetarkan air sungai. Bulan purnama memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang tenang redup, membuat air Sungai Huang-ho berkilauan seperti kaca. Agaknya sudah terlalu letih semua penduduk Paoto setelah sehari penuh tadi berpesta dan menonton keramaian, sehingga malam ini mereka tidak mempunyai nafsu lagi untuk menikmati keindahan sinar bulan. Kecuali, tentu saja anak-anak dan orang-orang muda yang masih selalu haus akan kesenangan.
Di tepi sungai sebelah barat kota yang sunyi, terdapat dua orang menunggang kuda perlahan-lahan, menyusuri tepi pantai sungai yang amat lebar itu. Mereka itu sepasang orang muda, yang perempuan cantik jelita dengan rambut disanggul ke atas, kudanya berwarna kuning, yang pria tampan gagah, memakai topi terhias bulu, kudanya berbulu seputih salju. Mereka ini adalah Salinga dan Tayami.
"Betapa bahagianya hatiku, hanya bulan yang mengetahuinya, Dinda Tayami," terdengar pemuda itu berkata, suaranya seperti orang bersyair. "Lihat bulan selalu tersenyum-senyum kepadaku!"
"Sudah semestinya kita berbahagia, Kanda Salinga, setelah tadi kita merasa gelisah dan bimbang. Oh, kau tidak tahu betapa tadi aku menggigil ketika kau mengajukan permintaanmu kepada ayah. Aku tahu bahwa yang akan kau minta tentulah diriku namun aku amat kuatir kalau-kalau ayah merubah pendiriannya selama ini. Setelah ayah mengabulkan permintaanmu, barulah hatiku lega sekali." Mereka menghentikan kuda di bawah pohon di tepi sungai, saling pandang penuh mesra.
"Sesungguhnyalah Adinda, aku pun tadi merasa betapa jantungku berdebar, serasa hendak pecah menanti keputusan Sribaginda. Memang kesempatan yang amat bagus. Aku diterima menjadi calon panglima, kemudian disuruh memilih pahala. Di depan semua panglima dan ponggawa, tentu saja aku segera memilih tanganmu sehingga persetujuan Sribaginda merupakan keputusan Sang Ayah, banyak saksinya. Alangkah bahagia hatiku..."
Akan tetapi wajah Tayami membayangkan kekuatiran. "Betapapun juga Kanda Salinga, kita harus waspada terhadap Kanda Panglima Bayisan. Kau lihat tadi sinar matanya ketika mendengar keputusan ayah menerima kau sebagai calon mantunya? Aku masih merasa ngeri kalau mengingat sinar matanya, seolah-olah memancarkan cahaya berapi." (Bersambung)
Akan tetapi pada saat itu. Bayisan sudah mengerahkan pasukannya, siap mengurung dan menyerang dua orang ini yang dianggapnya mengacau dan hendak membikun rusuh. Melihat ini, kakek cebol tertawa bergelak.
"Aha-ha-ha! Sudah cukup main-main hari ini, jembel muda bau, kakekmu tidak ada waktu lagi, sudah lapar dan mengantuk. Biarlah lain hari aku akan mencarimu dan tak mau sudah sebelum kau terkencing-kencing oleh pukulanku!" Setelah berkata demikian, kakek itu melompat-lompat, makin lama makin tinggi lompatannya yang modelnya seperti katak melompat.
Akhirnya ia melompat demikian tingginya sampai melewati kepala orang-orang banyak. Celaka bagi mereka yang terinjak kepala atau pundaknya oleh kaki itu, karena ia lalu dipergunakan seperti batu loncatan oleh Si Kakek Aneh sehingga kepala dan pundak mereka menjadi kotor oleh debu dan lumpur, malah hebat dan lucunya, sambil menjejak kepala dan pundak orang, kadang-kadang Si Kakek melepas kentut yang nyaring sekali sambil tertawa terbahak-bahak!
Kwee Seng juga segera melompat, melampaui kepala banyak orang, kemudian mempercepat larinya menjauhkan diri dari tempat itu dan lenyap di antara pohon-pohon yang lebat tumbuh di lembah Sungai Huang-ho. Gegerlah keadaan di situ dan Bayisan cepat mengatur pasukannya untuk melakukan penjagaan keras pada hari itu dan seterusnya.
Kalisani mendekatinya dan berkata, "Bayisan, mengapa kau ribut-ribut sendiri? Jelas bahwa dua orang sakti itu adalah petualang-petualang yang tidak mempunyai niat buruk terhadap kita, bahkan agaknya mereka berdua itu pun tidak saling mengenal. Menghadapi orang-orang seperti itu, lebih baik kita menyambut mereka sebagai tamu agung untuk dijadikan sahabat. Mengapa kita harus menjaga dan mengejar-ngejar mereka seperti maling?"
Dengan wajah berkerut, Bayisan menjawab, "Paman Kalisani, pandangan kita dalam hal ini berbeda. Betapapun juga, aku tidak bisa mengabaikan kewajibanku menjaga keamanan Sribaginda. Malam ini harus aku sendiri yang melakkukan perondaan di dalam istana. Siapa tahu, mereka itu akan datang dengan niat busuk, dan mereka amatlah lihai."
Setelah berkata demikian, Bayisan meninggalkan Kalisani yang masih terpengaruh oleh kepandaian dua orang itu dan kadang-kadang tertawa sendiri mengingat akan kelucuan sepak terjang mereka. Juga diam-diam ia ingin sekali bertemu dan berkenalan dengan mereka. Kalisani biarpun seorang tokoh Khitan, namun pengalamannya sudah luas sekali. Sudah bertahun-tahun ia merantau ke selatan, mengenal baik ilmu silat selatan, bahkan ia seorang ahli silat yang pandai pula. Namun belum pernah ia mendengar tentang seorang pemuda gila dan kakek cebol yang begitu aneh.
***
Malam itu indah sekali. Tiada angin mengusik daun. Alam tenang tentram pada malam hari itu setelah siangnya tadi terdengar sorak-sorai menggetarkan air sungai. Bulan purnama memenuhi permukaan bumi dengan sinarnya yang tenang redup, membuat air Sungai Huang-ho berkilauan seperti kaca. Agaknya sudah terlalu letih semua penduduk Paoto setelah sehari penuh tadi berpesta dan menonton keramaian, sehingga malam ini mereka tidak mempunyai nafsu lagi untuk menikmati keindahan sinar bulan. Kecuali, tentu saja anak-anak dan orang-orang muda yang masih selalu haus akan kesenangan.
Di tepi sungai sebelah barat kota yang sunyi, terdapat dua orang menunggang kuda perlahan-lahan, menyusuri tepi pantai sungai yang amat lebar itu. Mereka itu sepasang orang muda, yang perempuan cantik jelita dengan rambut disanggul ke atas, kudanya berwarna kuning, yang pria tampan gagah, memakai topi terhias bulu, kudanya berbulu seputih salju. Mereka ini adalah Salinga dan Tayami.
"Betapa bahagianya hatiku, hanya bulan yang mengetahuinya, Dinda Tayami," terdengar pemuda itu berkata, suaranya seperti orang bersyair. "Lihat bulan selalu tersenyum-senyum kepadaku!"
"Sudah semestinya kita berbahagia, Kanda Salinga, setelah tadi kita merasa gelisah dan bimbang. Oh, kau tidak tahu betapa tadi aku menggigil ketika kau mengajukan permintaanmu kepada ayah. Aku tahu bahwa yang akan kau minta tentulah diriku namun aku amat kuatir kalau-kalau ayah merubah pendiriannya selama ini. Setelah ayah mengabulkan permintaanmu, barulah hatiku lega sekali." Mereka menghentikan kuda di bawah pohon di tepi sungai, saling pandang penuh mesra.
"Sesungguhnyalah Adinda, aku pun tadi merasa betapa jantungku berdebar, serasa hendak pecah menanti keputusan Sribaginda. Memang kesempatan yang amat bagus. Aku diterima menjadi calon panglima, kemudian disuruh memilih pahala. Di depan semua panglima dan ponggawa, tentu saja aku segera memilih tanganmu sehingga persetujuan Sribaginda merupakan keputusan Sang Ayah, banyak saksinya. Alangkah bahagia hatiku..."
Akan tetapi wajah Tayami membayangkan kekuatiran. "Betapapun juga Kanda Salinga, kita harus waspada terhadap Kanda Panglima Bayisan. Kau lihat tadi sinar matanya ketika mendengar keputusan ayah menerima kau sebagai calon mantunya? Aku masih merasa ngeri kalau mengingat sinar matanya, seolah-olah memancarkan cahaya berapi." (Bersambung)
(dwi)