Kho Ping Hoo, Suling Emas Jilid 21

Rabu, 22 November 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Suling...
Suling Emas, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Suling Emas

TENTU saja gerakannya ini tidak terlepas daripada pendengaran para hwesio yang sedang berdoa. Namun, tepat seperti perhitungan Lu Sian, para hwesio itu tidak mau menunda sembahyang mereka, sungguhpun mereka merasa terkejut, heran dan juga marah sekali. Bagaimana ada seorang wanita muncul dari ruangan dalam kuil? Padahal sebuah di antara larangan yang amat keras dari Kuil Siauw-lim-si dimanapun juga, adalah hadirnya seorang wanita ke pedalaman kuil! Merupakan pantangan keras karena para tokoh hwesio maklum bahwa diantara segala godaan, yang paling mudah menjatuhkan keteguhan batin para pendeta adalah wanita.

Akan tetapi deretan anak murid Siauw-lim-pai yang berlutut paling belakang, yaitu golongan murid yang tidak menjadi pendeta, tidaklah setekun para hwesio itu. Melihat munculnya seorang wanita muda cantik berpedang dari balik arca, terkejutlah mereka dan bangkitlah kecurigaan mereka. Enam orang murid Siauw-lim-pai sudah melompat dengan gerakan ringan, menghadang di pintu tengah antara ruangan tengah dan ruangan depan. Para tamu yang hadir di ruangan depan juga menjadi heboh.

Melihat dirinya dihadang, Lu Sian tersenyum dingin. Ingin ia menyerbu keluar, akan tetapi maklum bahwa cara ini bukanlah cara yang bijaksana. Biarlah ia mempergunakan ketajaman lidahnya sebelum terpaksa mengandalkan ketajaman pedangnya, maka ia berhenti melangkah dan menanti, berdiri tegak dan tetap tersenyum dingin. Ia tahu bahwa murid-murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta itu, biarpun masih banyak di antara mereka yang muda-muda, rata-rata memiliki kepandaian tinggi, karena mereka ini pun merupakan murid-murid Kian Hi Hosiang ketua Siauw-lim.

Memang sesungguhnyalah dugaan Lu Sian ini. Di antara anak murid yang bukan pendeta, memang banyak yang langsung menjadi murid Kian Hi Hosiang, bahkan murid-murid bukan pendeta inilah yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi karena mereka ini adalah murid ilmu silat, bukan murid agama. Di antara para hwesio, kiranya hanya dua orang yang menonjol kepandaiannya, yaitu Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio, sungguhpun mereka itu sejak kecil hanya belajar agama dan kebatinan, dan baru setelah tua mempelajari ilmu silat. Bahkan tiga orang di antara para murid, yang kini berdiri menghadang, yang usianya di antara tiga puluh dan empat puluh tahun, terhitung suheng (kakak seperguruan) Cheng Han dan Cheng Hie Hwesio, sungguhpun kedua orang ini lebih tua usianya. Mengapa demikian? Karena tiga orang ini sudah lebih dulu menjadi murid mempelajari ilmu silat dari Kian Hi Hosiang.

Akan tetapi enam orang murid Siauw-lim-pai itu hanya berdiri menghadang dengan sinar mata tajam, tidak turun tangan karena memang mereka hanya bermaksud mencegah wanita cantik itu keluar dari situ. Mereka tidak akan mengganggu suasana hening dan penuh khidmat dalam upacara sembahyang itu.

Akhirnya selesailah pembacaan doa dan para hwesio itu bangkit berdiri. Segera Cheng Han Hwesio yang keras dan jujur itu membentak, "Wanita dari mana berani mati memasuki kuil kami tanpa ijin?"

Lu Sian menentang pandang mata hwesio itu sambil tersenyum mengejek, tanpa menjawab. Tak sudi ia menjawab. Pertanyaan begitu kasar. Pada saat itu, para tamu yang melihat sembahyangan selesai, banyak yang mendekat untuk melihat peristiwa aneh itu. Tiba-tiba seorang di antara mereka berseru.

"Ah, dia Tok-siauw-kwi...!!" Mendengar julukan Tok-siauw-kwi (Iblis Cilik Beracun) ini semua orang kaget sekali. Lu Sian dengan tenang mengerling dan melihat dandanan orang itu seperti piauwsu (pengawal) ia dapat menduga bahwa dia itu tentulah ada hubungannya dengan para piauwsu Hong-ma-piauwkiok yang telah menghancurkan pertalian asmara antara dia dengan Tan Hui.

Para pendeta mendengar julukan yang biarpun masih baru namun sudah terkenal itu, terkejut. Kian Hi Hosiang sendiri lalu berkata, "Omitohud...! Kiranya puteri Beng-kauwcu yang sengaja datang membikin geger! Nona, di antara kami kaum pendeta Siauw-lim-pai tidak pernah ada urusan dengan Beng-kauw, bahkan hubungan antara pinceng dan ayahmu, Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong, tak pernah dikotori oleh permusuhan, mengapa kau hari ini mengganggu upacara sembahyang kami?

Mendengar ucapan yang sopan dan sikap yang sabar dari kakek itu, Lu Sian lalu berlagak penuh kehalusan, menjura dengan penuh hormat dan suaranya lemah lembut dan merdu ketika ia menjawab.

"Harap Losuhu sudi memaafkan saya yang lancang. Karena mendengar dari Ayah bahwa Siauw-lim-pai paling benci kepada wanita dan memberi pantangan bahwa lantai pedalaman kuil Siauw-lim-pai tidak boleh diinjak kaki wanita, sekali terinjak kaki wanita akan dicuci dengan abu dapur, maka saya menjadi tertarik dan tidak percaya. Maka, menggunakan kesibukan di Siauw-lim-si ini, saya sengaja mencuri masuk untuk melihat-lihat. Kiranya tidak ada apa-apanya di dalam, yang macam begitu saja melarang terinjak kaki wanita. Sungguh keterlaluan! Akan tetapi, betapapun juga saya mohon maaf kepada Losuhu dan biarlah setelah pulang akan saya ceritakan kepada Ayah bahwa

biarpun para pendeta lain di Siauw-lim-si galak-galak dan benci wanita, namun ketuanya amat peramah dan baik hati."

Kian Hi Hosiang tertawa dan menggeleng-geleng kepalanya. "Sungguh cocok dengan Ayahnya. Pandai dan keji, baik tangan maupun mulutnya. Sudahlah, Nona cilik, melihat muka Ayahmu dan mengingat bahwa hari ini adalah hari baik, biarlah pinceng menganggap pelanggaran berat ini seperti tidak pernah ada. Kau boleh pergi." Ia menghela napas panjang.

"Suhu! Ijinkanlah teecu (murid) mengajukan pertanyaan lebih dulu. Munculnya wanita ini sungguh mencurigakan!"

Kian Hi Hosiang mengangguk. "Boleh, tapi jangan lupa, pinceng telah memberi ampun akan pelanggarannya."

"Pelanggaran memasuki kuil memang telah Suhu beri ampun. Akan tetapi siapa tahu ada pelanggaran lain yang lebih hebat. He, Tok-siauw-kwi, jawabanlah lebih dulu pertanyaan pinceng sebelum engkau pergi dari sini!"

Lu Sian membalikkan tubuh dan menghadapi hwesio itu dengan senyum mengejek. Panas dadanya mendengar ia disebut Setan Cilik Beracun, sebuah julukan yang diberikan orang kepadanya di luar kehendaknya. "Heh, setan tua busuk, kalau pertanyaanmu tidak busuk, baru akan kujawab!"

"Kurang ajar, berani kau memaki pinceng?" Cheng Han Hwesio membentak dan matanya melotot.

Lu Sian juga pelototkan matanya. "Kau menyebut aku Setan Cilik Beracun, aku pun menyebut engkau setan tua busuk, apa bedanya. Bukankah itu berarti antara kita sudah punah, satu-satu?"

Bukan main marahnya Cheng Han Hwesio. Ia adalah seorang di antara murid Siauw-lim-pai yang dipercaya suhunya, bahkan dialah calon ketua kelak, karena sejak saat gurunya mengundurkan diri untuk bertapa, Cheng Han Hwesiolah yang mewakilinya. Karena ini ia senantiasa bersikap penuh wibawa dan sungguh-sungguh, siapa nyana hari ini ia dipermainkan seorang wanita muda, di depan banyak tamu! Kalau ia tidak ingat akan pesan suhunya, tentu ia sudah turun tangan memberi hajaran kepada setan cilik ini!

"Baiklah akan kusebut Nona kepadamu. Nona, tadi Suhu sudah mengampunimu. Akan tetapi, kami tidak percaya engkau akan dapat memasuki pekarangan belakang kuil tanpa diketahui penjaga. Tentu ada yang membantumu masuk. Katakan, siapa dia yang membantumu?"

Diam-diam Lu Sian merasa heran. Para penjaga di belakang tadi sudah tahu agaknya akan perbuatan Kwan Bi, kenapa kepala gundul ini belum tahu? Ah, tentu saja. Mereka ini tadi sedang sibuk berdoa, tentu hal itu belum dilaporkan. Ia tersenyum lebar dan menjawab, "Losuhu, kuil ini adalah kuilmu, yang menjaga adalah penjagamu, bagaimana aku bisa tahu akan kelalaian penjagamu? Tentang bagaimana caranya aku masuk ke pekarangan belakang, ah, itu kewajibanmu untuk mencari tahu dan menyelidik. Sudah, aku mau pergi."

"Nanti dulu!" bentak Cheng Han Hwesio, suaranya mengguntur.

"Eh, hwesio tua, kau mau apa?" Lu Sian menoleh ke arah Kian Hi Hosiang dan berkata. "Losuhu yang mulia, muridmu yang satu ini benar-benar tak patut. Terpaksa saya berlaku kurang hormat kepadanya!"

"Cheng Han, mengapa menahan dia? Lebih baik lekas-lekas suruh dia pergi." Hwesio tua itu mengomel dan diam-diam ia mencela muridnya yang hanya mencari perkara saja menghadapi wanita ini. Di depan begini banyak orang, wanita berandalan ini tentu dapat membuat para hwesio Siauw-lim-si menjadi buah tertawaan orang banyak.

"Suhu," Cheng Han Hwesio memberi hormat kepada gurunya, "dia baru saja berkeliaran di dalam kuil, siapa tahu dia mengambil sesuatu?"

Mendengar ini, Lu Sian terkejut sekali. Tak disangkanya hwesio galak itu ternyata bukan orang bodoh. Ia lalu cepat melangkah maju, mengedikkan kepala membusungkan dadanya mendekati Kian Hi Hosian dan berkata nyaring, "Losuhu, apakah orang menyangka aku mencuri benda di kuil? Hayo geledahlah aku, geledahlah!!" Ia melangkah maju dan dadanya yang membusung itu menantang, agak berguncang ketika ia menghampiri Ketua Siauw-lim-si sampai dekat.

"Omitohud...!" Kian Hi Hosiang melangkah mundur, ngeri menyaksikan dada membusung itu begitu dekat. "Pinceng takkan menggeledah..."

"Kau, hwesio tua? Kau mau menggeledah? Kau menuduh aku mencuri? Hayo geledahlah! Tak tahu malu, geledahlah aku!" Kini ia menghampiri Cheng Han Hwesio yang juga mundur-mundur kewalahan, mukanya berubah merah sekali.

"Menuduh orang mencuri, disuruh menggeledah tidak mau. Cih, benar-benar menyebalkan. Aku tidak mau berdiam lebih lama lagi di sini!" Lu Sian melangkah lebar menuju ke pintu. Mendadak berkelebat bayangan putih dan seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih, pedangnya di punggung, kelihatan gesit dan gagah sudah menghadang di depan Lu Sian.

"Cheng Han Suheng benar. Kau harus digeledah!" Lu Sian memandang dengan mata bersinar marah.

"Kau? Hendak menggeledah? Berani kau begini menghinaku?"

Wanita itu adalah seorang anak murid Siauw-lim-si yang kepandaiannya sudah tinggi, bernama Tan Liu Nio. Ia memandang rendah Lu Sian yang kelihatan masih seperti seorang gadis muda, maka sambil tersenyum ia menjawab, "Mengapa tidak berani menggeledahmu?" kedua tangannya bergerak cepat sekali, hendak meraba tubuh Lu Sian.

Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya sudah mencelat jauh ke belakang, mukanya pucat karena hampir saja ia celaka. Ketika ia menggerakkan tangan tadi, Lu Sian juga bergerak dan tahu-tahu dua jalan darah maut di tubuhnya sudah diserang oleh Lu Sian secepat kilat sehingga jalan satu-satunya bagi Tan Liu Nio hanyalah melompat ke belakang secepat mungkin sehingga ia terhindar daripada malapetaka yang hebat.

Lu Sian tersenyum mengejek, "Siapa lagi hendak menggeledahku? Orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai memang hanya suka menghina seorang wanita! Hayo kalian hwesio-hwesio perkasa, siapa mau menggeledah? Siapa mau menggunakan kesempatan ini untuk menghina seorang wanita, meraba-raba badannya dengan dalih menggeledah? Tak tahu malu!" Semua hwesio dan murid Siauw-lim-pai tidak ada yang berani berkutik. Mereka memandang dengan muka merah dan serba salah. Tan Liu Nio merupakan seorang murid perempuan terpandai di Siauw-lim-pai, maka murid perempuan lain tidak ada yang berani maju. Tan Liu Nio sendiri hampir celaka menghadapi wanita berandalan yang lihai itu, apalagi mereka. Adapun murid-murid pria yang berkepandaian lebih tinggi, menjadi mati kutu setelah mendengar ucapan Lu Sian yang menantang. Memang serba susah kalau harus menggeledah tubuh seorang wanita secantik dan semuda itu, apalagi di depan banyak orang. Padahal ketua mereka sendiri sudah mengampuni wanita ini dan sudah memperkenankannya pergi.

Pada saat itu dari luar menerobos beberapa orang laki-laki, mengiringkan Yap Kwan Bi yang bermuka pucat sekali. Tiga orang laki-laki itu bersama Kwan Bi sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap Kian Hi Hosiang. Terdengar Kwan Bi berkata, suaranya gemetar. "Murid murtad Yap Kwan Bi menghadap Suhu, siap menerima hukuman."

"...apa...? Ada apa...?" Kian Hi Hosiang terheran dan bertanya dengan gagap karena ia benar-benar tidak pernah meragukan kesetiaan muridnya yang termuda dan tersayang ini.

Suhu, Yap-sute telah bersekutu dengan orang luar dan lancang menyelundupkan seorang wanita memasuki pekarangan belakang..."

"Keparat!" Cheng Han Hwesio yang membentak ini. Akan tetapi pada saat itu, cepat bagaikan seekor garuda menyambar, Lu Sian sudah bergerak ke depan dan menangkap lengan Yap Kwan Bi dan terus dibawa meloncat keluar. Pada saat itu, Cheng Han Hwesio yang melihat hal ini, cepat menyusul dengan pukulan maut dari Siaw-lim-pai.

Yap Kwan Bi juga terkejut dan hendak meronta dari tangkapan Lu Sian, namun tak berhasil dan pada saat itu pukulan Cheng Han Hwesio tiba, biarpun tidak menyentuh tubuhnya, namun tiba-tiba ia merasakan dadanya sesak dan muntah darah! Melihat Kwan Bi pingsan, Lu Sian lalu memanggulnya dan sambil meloncat ke depan, tangan kirinya bergerak menyambit ke belakang. Pada saat itu, tiga orang murid Siauwlim-pai tingkatan atas bersama seorang wanita, yaitu Tan Liu Nio sudah mengejar. Mereka berempat terkejut sekali dan cepat-cepat mereka lompat menghindarkan diri dari sambaran sinar merah senjata rahasia Lu Sian. Ketika mereka mengejar terus, mereka telah tertinggal jauh. Tentu saja sukar bagi mereka berempat untuk dapat menyusul Lu Sian karena Lu Sian telah mempergunakan gin-kangnya yang hebat, yang ia pelajari dari mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, yaitu Ilmu Lari Cepat Coan-in-hui (Terbang Menerjang Mega)!

Untung bagi Lu Sian, Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio yang hendak mengejar pula, dicegah oleh Kian Hi Hosiang yang berkata, "Omitohud... semoga Sang Buddha melimpahkan kesadaran kepada mereka yang sesat. Cheng Han dan Cheng Hie, tak usah mengejar. Ketiga Suhengmu dan seorang Sumoimu sudah cukup. Kita tidak perlu menanam bibit permusuhan dengan golongan lain. Kurasa empat orang muridku itu sudah maklum dan asal dapat menangkap kembali Kwan Bi dan membawanya ke sini untuk menerima hukuman, cukuplah."

Demikianlah, upacara sembahyang di Kuil Siauw-lim-si yang tadinya akan dibuat besar-besaran dan meriah, ternyata menjadi sunyi dan muram akibat peristiwa itu. Para tamu juga tahu diri, melihat keadaan tuan rumah tertimpa urusan yang tidak menyenangkan mereka lalu berpamit dan meninggalkan kuil itu dalam keadaan suram.

Lu Sian berlari cepat sekali dan setelah memasuki sebuah hutan tiga puluh lie jauhnya dari Kim-peng, ia berhenti dan meletakkan tubuh Kwan Bi di atas rumput, terlindung oleh pohon besar dari sinar matahari senja. Segera ia memeriksa keadaan kekasihnya itu. Ketika membuka bajunya, tampak kulit dada membayang biru, tanda bahwa Kwan Bi telah menderita luka pukulan yang cukup hebat. Cepat ia mencari air untuk membasahi kepala pemuda itu, lalu memberinya pula minum sedikit. Kwan Bi siuman kembali dan membuka matanya. Melihat Lu Sian, ia tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Lu-cici, aku telah membikin kau banyak susah..."

Lu Sian menggunakan pipinya menutup mulut pemuda itu dan berbisik di telinganya. "Hushhh, kau mengigau, bicara dibolak-balik. Akulah yang membuat kau menderita seperti ini. Akan tetapi jangan takut, selama ada aku di sini, tidak ada seorang pun boleh mengganggumu, siapapun juga dia!"

Kwan Bi tersenyum, akan tetapi berbareng dua titik air mata membasahi pipinya, lalu kembali dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang. "Tidak mungkin... dosaku terhadap Suhu dan Siauw-lim-pai tidak boleh kuhindari, aku harus kembali ke sana. Lu-cici kau pergilah, tinggalkan aku. Budimu sudah terlampau banyak. Cin...... cinta kasihmu takkan kulupakan selama hidupku. Kau tinggalkanlah aku, biar kuhadapi sendiri kemarahan Suhu."

Lu Sian menciumnya. Timbul rasa sayangnya kepada pemuda ini, rasa sayang yang terdorong rasa haru mendengar betapa pemuda ini amat mencintainya, cinta sungguh-sungguh, cinta yang membuat pemuda itu sanggup berkorban untuknya. Belum pernah ia dicinta orang seperti ini, kecuali.... kecuali agaknya..... cinta kasih Kwee Seng yang telah mati!

"Tidak, aku tidak akan pergi dari sampingmu. Mereka itu boleh saja datang dan mereka hanya akan dapat mengganggu dirimu jika aku sudah menjadi mayat!"

"Lu-cici.... ah, Lu-cici....!" Kwan Bi merangkul dan roboh pingsan pula. Guncangan jantungnya akibat rasa haru dan kasih ini membuat napasnya sesak dan luka itu menyerangnya lagi, membuatnya pingsan.

Lu Sian cepat menaruh telapak tangan kirinya ke atas dada yang terpukul, lalu sambil duduk bersila ia mengarahkan sin-kangnya untuk membantu kekasihnya memanaskan jalan darah memperkuat hawa sehingga luka itu akan cepat sembuh. Ia duduk dalam keadaan begini sampi senja terganti malam. Bulan sudah muncul sore-sore dan keadaan menjadi terang seperti siang.

Tiba-tiba Lu Sian terkejut oleh suara bentakan. "Perempuan tak bermalu! Kau serahkan murid Siauw-lim-pai yang murtad itu kepada kami!"

Lu Sian terkejut sekali, akan tetapi ia tidak melepaskan tangannya dari atas dada Kwan Bi. Ia hanya mengerling dan tampaklah olehnya empat orang berdiri tidak jauh dari pohon. Yang seorang adalah wanita yang tadi hendak menggeledahnya, maka ia memandang rendah. Yang tiga adalah laki-laki semua, yaitu murid-murid Siauw-lim-pai yang tadi ia lihat ikut menghadang di pintu. Dua orang berusia empat puluh lebih, yang seorang paling banyak empat puluh, mukanya putih halus seperti pemuda belasan tahun, tubuhnya kecil akan tetapi matanya berkilauan terkena cahaya bulan. Orang kedua berkumis kecil panjang bergantung kebawah, sedangkan orang ke tiga bermuka kurus sehingga tulang-tulang pipinya menonjol keluar, tampak menyeramkan.

"Cih, perempuan tak tahu malu. Menculik laki-laki!" Wanita yang bukan lain adalah Tan Liu Nio murid Siauw-lim-pai itu mencaci.

Panas hati Lu Sian dan wataknya yang nakal membuat ia sengaja memanaskan hati orang. Ia menunduk, merangkul leher dan mencium Kwan Bi yang masih pingasan dengan mesra dan lama! Dengan hati geli ia mendengar betapa Tan Liu Nio mengeluarkan suara menyumpah-nyumpah dan meludah, sedangkan laki-laki berkumis itu membentak lagi.

"Kami mengingat Ayahmu ketua Beng-kauw, dengan baik-baik minta kembalinya adik seperguruan kami. Akan tetapi bukan berarti kami takut kepadamu! Jangan sesalkan kami kalau kami menggunakan kekerasan apabila kau membangkang!"

Lu Sian tertawa mengejek dan ringan bagaikan seekor kupu-kupu ia melompat ke atas cabang pohon dan dari situ ia melayang turun. Indah sekali gerakannya, indah seperti seorang dewi kahyangan menari dan seperti seekor kupu-kupu terbang melayang mencari madu kembang. Dengan ringan sekali ia melompat pula ke depan empat orang murid Siauw-lim-pai itu sambil berkata.

"Betul kalian tidak takut kepadaku? Kalau tidak takut, kenapa kalian mau mengeroyokku berempat?" Lu Sian berkata sambil tersenyum manis.

"Siapa hendak mengeroyok? Tak tahu malu! Kami orang-orang Siauw-lim-pai bukanlah pengecut yang suka mengandalkan jumlah banyak mencari kemenangan!" bentak Si Muka Halus yang bernama Long Kiat.

"Aih, aih, begitukah? Jangan-jangan hanya untuk bersombong saja begitu, nanti kalau suah terdesak lalu melolong-lolong minta bantuan kawan dan sambil menebalkan muka kalian berempat maju berbareng!"

"Cukup, kami datang bukan untuk berdebat!" kata Si Kumis yang bernama Lo Keng Siong. "Kuulangi lagi, kami datang untuk membawa pulang Yap Kwan Bi, tidak ada sangkut-pautnya dengan kau!"

"Wah, jangan galak-galak. Bagaimana tidak ada sangkut-pautnya dengan aku? Kalian hendak membawa pulang dia untuk dipukul lagi? Untuk dihukum? Enak saja! Aku yang tidak suka membiarkan dia disiksa."

Si Muka Kurus yang bernama Tan Bhok, kakak misan Tan Liu Nio, tak sabar lagi. Sambil menudingkan telunjuknya yang hanya tulang terbungkus kulit itu ke arah muka Lu Sia ia membentak, "bocah setan banyak tingkah! Kami datang berurusan dengan Sute kami sendiri, mengapa kau turut campur? Kau berhak apakah mencampuri urusan dalam orang-orang Siauw-lim-pai seperti kami!"

"Huh, kalian berempat dan semua orang Siauw-lim-pai yang tak tahu malu! Kalian semua berhak apa mencampuri urusan pribadi Yap Kwan Bi dan aku? Kami saling mencinta, kalian tahu? Kami saling mencinta, dan kami berhak, sama-sama muda sama-sama suka, kalian mau apa? Tentu saja aku tidak membiarkan kalian membawa pergi Yap Kwan Bi yang sudah terluka oleh Si Keledai Gundul tadi!"

"Kurang ajar kau! Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kau mundur dan jangan mencampuri urusan Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng Siong marah.

"Tidak bisa tidak mencampuri urusan Yap Kwan Bi. Pendeknya, aku melarang kalian membawanya pergi, habis perkara!"

"Kau menantang?" kumis Lo Keng Siong bergerak-gerak.

"Terserah! Aku sudah berjanji bahwa orang hanya dapat membawa tubuh Yap Kwan Bi kalau aku sudah menjaadi mayat!"

"Iblis betina, kau sudah bosan hidup?"

"Hi-hik, kalian hendak mengeroyok?" Lu Sian mengejek. "Kunasihatkan kalian, kalau memang hendak memaksa dan hendak menyerangku, lebih baik kalian maju berempat mengeroyokku, karena kalau maju seorang demi seorang bererti mengantar nyawa dengan sia-sia!"

"Perempuan sombong!" Bentak Liong Kiat marah. "twa-suheng, biar siauwte mengusir iblis betina ini!"

"Eh, eh, benar-benar hendak maju satu-satu? Awas, aku sudah memberi peringatan. Karena Kwan Bi juga murid Siauw-lim-pai, aku tidak bermaksud memusuhi Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau kalian mendesak, jangan salahkan kaki tanganku yang tidak bermata."

"Sombong!" Liong Kiat sudah menerjang dengan Ilmu Silat Tangan Kosong Lo-han-kun yang terkenal tangguh itu. Dengan kuda-kuda terpentang dan langkah diseret hampir berbareng, ia melancarkan pukulan bertubi-tubi ke arah dada dan pusar. Berat dan mantap pukulan ini, mendatangkan angin pukulan yang mengeluarkan bunyi "werrrr-werrr!"

Lu Sian menggerakkan tangannya dengan jari terbuka. Dengan telapak tangannya ia menerima kedua kepalan tangan amatlah kuatnya. Ia tidak melawan, melainkan meminjam tenaga pukulan Liong Kiat, kedua kakinya diayun ke belakang sehingga tubuhnya dengan kedua tangan masih menempel pada kepalan lawan, terangkat naik ke atas. Selagi Liong Kiat terkejut sekali menyaksikan penyambutan lawan yang luar biasa ini, tiba-tiba Lu Sian sudah mengirim pukulan dengan sodokan jari tangan kanannya mengarah ubun-ubun kepalanya. Karena pada saat itu tubuh Lu Sian berada tepat di atasnya, maka serangan itu luar biasa dahsyat dan bahayanya, amat cepat datangnya sehingga sukar ditangkis lagi!

"Sute, awas....!" Lo Keng Siong berseru kaget sekali sambil melompat dekat diikuti Tan Bhok dan Tan Liu Nio. Pada saat yang amat berbahaya itu, Liong Kiat masih sempat mempelihatkan bahwa murid Siauw-lim-pai tidaklah semudah itu dirobohkan. Ia membuang tubuhnya ke belakang, roboh terjengkang bagaikan sepotong balok kayu akan tetapi begitu pundaknya menyentuh tanah, ia sudah melakukan poksai (salto) ke belakang, berjungkir balik sampai tiga kali. Ia berdiri dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya. Bergidik ia kalau teringat betapa dalam segebrakan saja ia tadi sudah hampir tercengkeram maut.

Lu Sian sudah berdiri sambil tersenyum manis. Memang kepandaian Lu Sian sekarang jauh bedanya dengan ketika ia mula-mula meninggalkan suaminya, Kam Si Ek. Sekarang ia telah memperoleh kemajuan yang amat hebat. Gin-kangnya sudah terlatih baik dan yang ia warisi dari Tan Hui adalah ilmu gin-kang yang terhebat di jaman itu. Juga ia telah mempelajari tiga macam kitab Sam-po-cin-keng dari ayahnya, maka baik ilmu silat tangan kosong maupun ilmu pedangnya sudah meningkat beberapa kali lipat, ditambah gerakan yang luar biasa cepatnya berkat gin-kang Coan-in-hui.

"Sudah kukatakan, lebih baik kalian mundur dan jangan ganggu aku dan Yap Kwan Bi. Atau kalau kalian nekad mengajak berkelahi, majulah berbareng. Kalau satu-satu, percuma, tidak akan ramai!"

Bukan main pedas dan tajamnya kata-kata ini memasuki dada keempat orang murid Siauw-lim-pai itu. Akan tetapi melihat kenyataan bahwa memang ilmu kepandaian wanita ini seperti iblis, bukan lawan mereka kalau maju seorang demi seorang. Bahkan seandainya Cheng Han Hwesio sendiri yang maju, belum tentu saudara seperguruan itu akan dapat menandingi Lu Sian.

"Kau menantang kami maju berempat?" kata Lo Keng Siong hati-hati. "Hi-hik, mengapa Tanya-tanya lagi? Majulah bersama, biar lebih asyik aku melayani kalian berempat."

"Bukan kami takut maju seorang demi seorang, akan tetapi kau menantang dan kau terlalu menghina. Ji-wi Sute (Kedua Adik Seperguruan) dan Sumoi, mari kita basmi iblis betina sombong ini!" seru Lo Keng Siong sambil mencabut senjatanya, sebatang ruyung berwarna hitam yang tadinya ia sembunyikan di bawah bajunya. Tan Liu Nio dan Liong Kiat mencabut pedang masing-masing, sedangkan Tan Bhok mengeluarkan senjatanya yang hebat, yaitu sehelai rantai baja. Mereka segera mengambil kedudukan empat penjuru, mengurung Lu Sian dengan gerakan perlahan dan langkah teratur, mata tak berkedip memandang lawan yang terkurung di tengah-tengah!

Lu Sian masih tersenyum, kedua kakinya membuat kuda-kuda menyilang, tubuhnya miring, kedua lengannya diangkat ke atas, melengkung di atas kepala dengan jari-jari tangan terbuka. Pasangan kuda-kudanya ini amat manis seperti orang menari, akan tetapi menyembunyikan kesiapsiagaan yang lengkap dan gagah.

"Keluarkan senjatamu!" Bentak Lo Keng Siong yang menjadi pimpinan sambil mengangkat ruyungnya ke atas.

"Aku sudah siap, seranglah. Mengeluarkan senjata tak usah kauperintah!" jawab Lu Sian seenaknya.

"Ciuuuttt.... siiing... weeerrrr!!" keempat senjata itu sudah menyambar ganas. Sinarnya tertimpa cahaya bulan menyilaukan mata. Akan tetapi keempatnya hanya mengenai angin karena tibuh Lu Sian sudah lenyap menjadi bayangan yang berkelebatan dan menyelinap di antara sinar keempat senjata itu. Bukan main hebatnya gin-kang Coan-in-hui itu! Makin hebat empat senjata itu menyambar dan mengikuti gerakan bayangannya, makin cepat pula Lu Sian bergerak dan mendadak "cranggg..... cringgg.... tranggg-trang!" Bunga api berpijar dan berhamburan. Tanpa dapat diikuti pandang mata lawan, tahu-tahu Lu Sian sudah memegang Toa-hong-kiam di tangan kanannya dan sekaligus ia telah menangkis keempat buah senjata lawan.

Hanya Tan Liu Nio seorang yang merasa betapa tangan kanannya yang memegang pedang serasa lumpuh karena ia kalah tenaga. Akan tetapi tiga orang murid Siauw-lim-pai yang lain dengan girang mendapat kenyataan bahwa biarpun dalam gin-kang mereka kalah jauh oleh Lu Sian, namun mengenai tenaga sin-kang, setidaknya mereka dapat mengimbangi. Maka mereka mendesak makin hebat, mengerahkan tenaga dan berusaha mengadu senjata agar pedang di tangan puteri Beng-kauwcu itu terpukul lepas.

Namun Lu Sian adalah seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa tidak menguntungkan baginya kalau ia mengadu tenaga kekerasan dengan tiga orang laki-laki yang memiliki lwee-kang hampir sempurna ini, maka ia lebih mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak dan balas menyerang. Karena ia lebih banyak mengelak inilah maka empat orang pengeroyoknya mengira bahwa ia terdesak. Orang-orang Siauw-lim-pai amat berdisiplin dan selalu mentaati guru mereka. Karena tadi mereka berempat sudah mendengar sendiri betapa suhu mereka, Kian Hi Hosiang, tidak menghendaki permusuhan dengan Beng-kauw, bahkan sudah mengampuni Lu Sian, kini mereka merasa tidak enak sekali kalau sampai membunuh Lu Sian.

"Tok-siauw-kwi, kami mentaati guru kami mengampunkan engkau. Pergilah dari sini dan jangan mencampuri urusan Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng Siong dengan suara keras.

Inilah salahnya. Tadinya Lu Sian hanya ingin mempermainkan mereka saja, mengalahkan mereka dengan ilmunya kemudian lari lagi membawa pergi Yap Kwan Bi. Akan tetapi mendengar ucapan ini, bangkit kemarahan dan keangkuhannya. Dia memang seorang yang keras hati, pantang dikatakan kalah. Mendengar ini, darahnya bergolak dan ia mengeluarkan seruan nyaring, merupakan lengking lebih mirip suara iblis siluman. Akan tetapi pedangnya kini bergerak secara luar biasa, bergelombang dan berubah menjadi gulungan sinar yang membentuk lingkaran-lingkaran besar lalu berubah lagi menjadi gelombang-gelombang yang datang menerjang ganas. Inilah Toa-hong Kiam-sut yang kini telah menjadi ganas dan luar biasa dahsyatnya. Di tengah-tengah lengkingnya yang belum putus, terdengar teriakan ngeri dan tampak Liong Kiat terguling roboh dalam keadaan mengerikan karena pundaknya telah terbabat putus berikut lengan kanannya. Ia bergelimpangan mandi darah, berlojotan dan tak dapat mengeluarkan suara lagi.

"Tok-siauw-kwi, hutang jiwa harus dibayar jiwa!" teriak Lo Keng Siong marah sekali. "Tok-siauw-kwi, berani kau membunuh Suteku?" Tan Bhok juga membentak dan rantainya berdesing-desing menyambar.

Lu Sian tertawa bergelak, lalu melompat mundur. Ketika ketiga orang pengeroyoknya yang menyangka dia hendak kabur itu mendesaknya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan... sinar merah menyambar ke arah mereka!

"Celaka....!" Tan Liu Nio berseru. Karena dia berada paling belakang, maka ia sempat melihat gerakan ini dan dapat mengelak. Akan tetapi dua orang suhengnya yang jaraknya terlalu dekat, terlambat mengelak. Mereka dapat melindungi tubuh atas dengan putaran senjata, akan tetapi paha kanan masing-masing telah terkena jarum Siang-tok-ciam! Seketika hidung mereka mencium bau amis akan tetapi harum, maka maklumlah mereka bahwa mereka terkena senjata beracun. Namun keduanya masih belum roboh dan masih memutar senjata. Lu Sian tidak berhenti sampai di situ, begitu tangan kirinya menyambitkan jarum, ia telah menerjang maju lagi mainkan pedangnya dengan jurus dari Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-sut yang dahsyat. Dua kali pedangnya berkelebat dan robohlah Lo Keng Siong yang tertembus pedang lehernya, dan Tan Bhok yang hampir putus pinggangnya, perutnya robek dan isi perutnya keluar. Mereka berdua tidak menderita lama, cepat menghembuskan napas terakhir menyusul arwah Liong Kiat yang tewas lebih dulu.

"Tok-siauw-kwi, kau benar keji dan ganas...!" Tan Liu Nio marah sekali dan menjadi nekat, menyerbu dengan pedangnya. Sambil tersenyum Lu Sian menangkis dan mengerahkan tenaga.

"Tranggg...!" pedang Tan Liu Nio terlepas dari tangannya. Dengan kakinya Lu Sian menendang, membuat tubuh Tan Liu Nio roboh terguling, kemudian matanya yang sudah menjadi beringas itu berkilat ketika pedangnya ditusukkan ke bawah.

"Trangggg!" Lu Sian meloncat ke belakang, wajahnya pucat, matanya terbelalak memandang kepada Yap Kwan Bi yang ternyata telah menangkis pedangnya.

"Kau...... kau Tok-siauw-kwi.....??" dengan pedangnya Kwan Bi menuding kepada kekasihnya.

"Orang menamakan aku begitu, namaku Lu Sian, kau tahu...." "Kau.... kau perempuan hina...! Kau telah membunuh tiga orang Suhengku dan hendak membunuh Suciku? Keparat jahanam! Kubunuh engkau....!"

Yap Kwan Bi menyerang, akan tetapi karena tubuhnya masih lemah, sekali ditangkis ia roboh terguling, dan Lu Sian yang mukanya menjadi pucat itu tiba-tiba meludah. "Cih, kiranya kau pun sama saja! Laki-laki berhati palsu! Mual perutku melihatmu!" setelah berkata demikian, sekali berkelebat Lu Sian lenyap dari tempat itu.

Yap Kwan Bi menangis menggerung-gerung ketika menyaksikan keadaan tiga orang suhengnya yang tewas dalam keadaan demikian mengerikan. ia menjambaki rambutnya dan memukuli kepalanya sendiri seperti orang gila. Percuma saja Tan Liu Nio menghiburnya. Akhirnya murid wanita Siauw-lim-pai itu berlari cepat melaporkan ke kuil Siauw-lim-si. Tentu saja berita ini menimbulkan geger. Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio sendiri bersama beberapa orang sute berlari-lari ke arah hutan itu dan apa yang mereka dapatkan? Yap Kwan Bi telah tewas di samping ketiga orang suhengnya, lehernya hampir putus dan tangan kanan penuh darahnya sendiri. Ia telah membunuh diri karena telah menyesal!

Sementara itu, Lu Sian sudah mempergunakan Ilmu Coat-in-hui untuk berlari cepat sekali. Ia merasa kecewa dan menyesal. Ia benar-benar muak mengingat kepalsuan cinta kasih Kwan Bi yang tadinya dikira benar-benar suci murni. Bahkan pengalaman ini membuat ia makin muak terhadap laki-laki, makin tidak percaya, dan makin sakit hati. Di samping kekecewaannya, ia pun merasa girang bahwa ia berhasil mengambil kitab Ilmu Im-yang-tiam-hoat dari Siauw-lim-pai. Ia gemas kepada orang-orang Siauw-lim-pai yang telah menghancurkan ikatan cinta kasihnya dengan Kwan Bi, maka kini pikirannya tertuju kepada Su Pek Hong atau Su-nikouw di Kuil Kwanim-bio. Ia harus dapat merampas kepandaian nikouw itu, ilmu yang membuat ia selamanya takkan menjadi tua! Ia akan memaksa pendekar wanita Siauw-lim-pai itu untuk menyerahkan rahasia kepandaiannya!

Hari telah malam ketika ia tiba di Kuil Kwan-im-bio. Kuil itu telah menutup daun pintu depan, akan tetapi sebuah lampu gantung menerangi ruangan depan, Lu Sian menghampiri pintu dan mengetuk. Terdengar suara langkah kaki dari dalam menuju pintu dan sebelum daun pintu dibuka, suara lembut seorang pendekar wanita bertanya.

"Siapakah yang datang di luar dan ada keperluan apa malam-malam mengunjungi Kwan-im-bio?"

"Aku Lu Sian, mohon bertemu dengan Su-nikouw!"

Ketika Su-nikouw keluar dan melihat Lu Sian, ia tersenyum ramah dan menegur. "Eh, kiranya Lu-lihiap yang datang. Keperluan apakah gerangan yang membawa Li-hiap malam-malam datang mengunjungi tempatku yang buruk? Dan dimana adanya Kwan Bi?"

Akan tetapi nikouw ini mengerutkan keningnya ketika melihat pandang mata Lu Sian amat berlainan dengan beberapa hari yang lalu, bahkan ia melihat Lu Sian membanting kaki lalu berkata tak manis. "Tak perlu kita berpanjang kata, Su-nikouw. Kedatanganku ini hanya perlu minta kepadamu agar kau membuka rahasiamu tentang ilmu awet muda!" Lu Sian mengancam dengan suara dan pandang matanya. Kalau kemarin dulu ketika datang ke sini bersama Kwan Bi ia merasa suka kepada pendeta wanita yang awet muda ini, sekarang ia memandangnya dengan mata benci dan Su-nikouw kelihatan tidak menyenangkan hatinya lagi. Memang pengaruh rasa benci amat jahat, membutakan mata. Karena ia merasa sakit hati kepada Siauw-lim-pai, menimbulkan benci di hatinya dan siapa pun orangnya yang sudah mabok rasa benci, pandang matanya akan berbalik!

Akan tetapi Su-nikouw orangnya sabar. Ia sudah mampu menguasai batinnya dan ia memandang Lu Sian dengan senyum wajar. "Li-hiap, biarpun pinni merasa heran sekali atas perubahan sikapmu ini, namun penolakan pinni bukan disebabkan oleh sikapmu, melainkan karena rahasia ini kalau terjatuh ke tangan wanita yang belum sadar akan kebenaran, hanya akan merugikan dirinya sendiri saja. Kemudaan dan kecantikan pada usian tua hanya akan menyelewengkan hati, membesarkan nafsu, dan percayalah, kelak di waktu kau sudah berusia tua, kecantikan dan kemudaan yang disertai nafsu itu akan menyeretmu ke lembah kesengsaraan belaka.

"Tak usah banyak cerewet!" Lu Sian membentak. Lajim, orang yang sudah membenci seorang yang lain, apa pun yang keluar dari mulut orang yang di benci itu selalu diterima keliru dan tak dipercaya. "Kauserahkan secara baik-baik atau dengan paksaan, aku harus mendapatkan rahasia itu!"

Su-nikouw menghela napas. "Lu-lihiap, pikiranmu sedang kacau, batinmu sedang gelap. Biarlah lain kali kau datang kembali bersama Yap Kwan Bi, kita bicarakan hal ini perlahan-lahan secara baik-baik."

Alis yang hitam kecil itu bergerak, disusul gerakan tangan kiri dan Su-nikouw cepat mengelak dengan menjatuhkan diri ke belakang. Namun terlambat. Jalan darah di pundak kirinya tertusuk sebatang Siang-tok-ciam! Nikouw itu terhuyung lalu menjatuhkan dirinya di atas sebuah kursi, memandang pada Lu Sian dengan mata terbuka lebar saking heran dan kagetnya.

Sambil tersenyum dingin Lu Sian berkata perlahan. "Kau sudah terluka Siang-tok-ciam, obat pemunahnya hanya padaku. Lekas kau keluarkan rahasia ilmu awet muda untuk ditukar dengan obat pemunahku."

Su-nikouw yang masih duduk di atas kursi kelihatan tenang-tenang saja. "Omitihud.... kau ini wanita muda sungguh ganas, kasihan sekali kau tersesat jauh tanpa kausadari! Seorang pertapa seperti aku ini, menganggap kematian sebagai pembebasan jiwa daripada kurungan raga yang banyak kehendak dan lemah. Racun jarummu yang mengancam nyawaku sama sekali tidak membikin pinni takut."

Diam-diam Lu Sian menjadi kecewa sekali. Celaka, pikirnya. Ia tidak bermaksud membunuh, hanya mengancam, akan tetapi kalau wanita gundul ini nekat menghadapi kematian, tidak mau menukar obat pemunah dengan rahasia ilmu awet muda, bagaimana?

"Nikouw bandel! Mengapa hendak kaukangkangi sendiri ilmu itu? Apakah kau hanya ingin muda sendiri dan cantik sendiri? Ilmu seperti itu saja mengapa kau hargai daripada nyawamu?"

Su-nikouw menggeleng kepala. "Ilmu ini adalah ilmu yang bersumber pada ilmu dari Siauw-lim-pai, ilmu menguatkan tubuh pelajaran Siauw-lim-pai yang kuperkembangkan. Merupakan rahasia Siauw-lim-pai, tak boleh sembarangan diajarkan orang luar, apalagi untuk maksud buruk. Tidak, biarlah kau pergi, pinni akan mati tanpa mengeluh!"

Tiba-tiba Lu Sian tertawa. "Hi-hik, enak saja kau ingin mati. Mana aku membiarkan kau mati begitu saja kalau kau tidak mau membuka rahasia itu? Ketahuilah, Su-nikouw, racun jarumku itu memiliki daya pembangkit nafsu berahi! Racun Ngo-tok-hwa (Lima Bunga Beracun) telah mengalir di dalam jalan darahmu. Tidak terasakah olehmu Nikouw tolol, betapa ujung hidungmu mencium bau wangi dan tulang punggungmu berdenyut keras? Sebelum mati oleh racun, kau terserang oleh rangsangan berahi dan aku akan mengerammu dalam kamar bersama seorang laki-laki yang kupaksa menemanimu. Hendak kulihat, bagaimana malunya jiwamu kalau pada saat kematianmu engkau melakukan pelanggaran yang paling besar bagi seorang pendeta wanita!"

Napas Su-nikouw terengah-engah, mukanya pucat dan matanya memandang penuh kengerian. "Ah, jangan.... jangan....! sebenarnya siapakah engkau ini, begini keji?"

"Orang menyebutku Tok-siauw-kwi." "Aahhh... kiranya engkau Tok-siauw-kwi...?" Nikouw itu makin ketakutan, karena ia mendengar nama julukan ini sebagi seorang tokoh kang-ouw yang amat keji dan ganas, maka ancaman tadi bukan tak mungkin dilakukan oleh Tok-siauw-kwi yang terkenal kejam. Pula, ia memang sejak terluka tadi mencium bau harum yang aneh dan memang betul tulang punggungnya berdenyutan keras! Tentu saja sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lebih mementingkan pelajaran batin, nikouw ini tidak tahu tentang segala racun, dan ia tidak tahu bahwa Lu Sian sebenarnya membohong. Siang-tok-ciam yang merah itu memang berbahaya dan racunnya cukup jahat untuk merampas nyawa korbannya, akan tetapi sekali-kali tidak akan menimbulkan gejala nafsu berahi segala. Dia sengaja mengeluarkan ancaman ini karena dengan tepat ia menduga bahwa hal seperti itu jauh lebih mengerikan daripada kematian bagi seorang wanita pertapa yang saleh!

"Bagaimana? Aku mengenal seorang kepala rampok dalam hutan, usianya tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan kaki tangan serta dadanya juga penuh bulu seperti monyet. Dia tunduk kepadaku dan dia amat suka kepada wanita yang wajahnya bersih. Tentu dia akan senang sekali mendapatkan engkau yang masih kelihatan muda dan cantik ini!"

Su-nikouw bergidik. Meremang bulu tengkuknya mendengar gambaran tentang laki-laki itu. Tak tertahan lagi ia menangis, hal yang selama sepuluh tahun lebih tak pernah ia lakukan. "Baiklah, baiklah...., kuberikan rahasia ilmu itu kepadamu." Ia lalu masuk ke dalam kamar dan keluar lagi membawa sebuah kitab tipis tulisan tangan hasil pekerjaannya sendiri.

"Tidak mudah mencapai tingkat seperti aku." katanya. "Untuk dapat mengalahkan kerusakan kulit daging dan tulang, kau harus memiliki dasar ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum) dan untuk pelajaran itu, menyesal pinni tidak dapat memberi karena kitabnya tersimpan di Siauw-lim-pai. Akan tetapi seorang berkepandaian tinggi seperti engkau ini tentu akan dapat mempelajarinya dengan mudah. Hanya saja, ilmu I-kin-swe-jwe yang paling hebat di dunia ini hanyalah dari Go-bi-pai, di samping Siauw-lim-pai tentu saja. Nah, setelah kau memiliki ilmu itu, engkau pelajari samadhi seperti tertunjuk dalam kitab ini, dan makan akar dan daun yang sudah tertulis lengkap pula di situ."

Cepat Lu Sian menyambar kitab itu dan membuka-bukanya sebentar. Ia percaya bahwa nikouw itu tidak akan membohonginya, maka ia pun lalu mengeluarkan obat pemudah dari sakunya sambil tertawa. "Siang-tok-ciam senjata rahasiaku memang mematikan, akan tetapi mana bisa membangkitakan nafsu berahi?"

Nikouw itu marah sekali, bangkit berdiri dan menahan diri sedapatnya untuk tidak memaki-maki. Akan tetapi setelah memberikan obat pemunahnya, Lu Sian sudah melompat keluar dan menghilang di tempat gelap sambil membawa kitab yang amat diinginkannya itu.

Su-nikouw kembali menjatuhkan diri di atas kursi dan menarik napas panjang berkali-kali. "Su Pek Hong... Su Pek Hong..... inilah hukumannya kalau orang tidak mentaati nasehat guru! Mendiang Suhu dahulu pernah bilang bahwa ilmu awet muda ini mengandung sifat berbahaya dan tidak baik marena menentang hukum alam! Betul kau hanya menghendaki awet muda demi kesehatan, namun wanita lain tentu akan menganggapku pesolek dan ingin cantik selalu.

Dan wanita yang selalu ingin cantik seperti ingin mendapat perhatian dan pujian laki-laki. Ah, betapa memalukan. Su Pek Hong, kau sudah tua, mengapa tidak mau menerima kekuasaan alam? Jadilah nenek-nenek yang penerima, hadapilah kematian usia tua yang sewajarnya, dan tentu tidak akan mengalami hal yang begini memalukan..." Dengan wajah duka pendeta wanita ini lalu mempergunakan obat pemunah racun yang ditinggalkan Lu Sian.

***

Harta benda, kepandaian, dan kekuasaan duniawi adalah anugerah, bukti kemurahan Tuhan kepada manusia. Namun, dalam anugerah ini terbawa pula ujian yang amat berat. Siapa yang kuat menerima anugerah ini, ia akan dapat menikmatinya lahir batin. Sebaliknya, mereka yang tidak kuat menghadapi ujian ini, hanya akan menikmati pada lahirnya saja, sedangkan pada batinnya mereka akan mengalami kemunduran yang akan membawa mereka kepada kesengsaraan.

Namun diantara tiga macam anugerah itu, yang paling berbahaya akibatnya bagi mereka yang tidak kuat adalah kekuasaan. Harta benda dapat menjadikan orang menjadi hamba nafsunya sendiri, kepandaian dapat menjadikan orang menjadi sombong, tinggi hati dan memandang rendah orang lain. Akan tetapi kekuasaan yang timbul dari kekuatan ataupun kedudukan, amatlah berbahaya karena dapat menjadikan orang sewenang-wenang terhadap orang lain, mau menangnya sendiri saja tanpa menhiraukan tatasusila dan perikemanusiaan.

Liu Lu Sian termasuk orang yang mendapat anugerah kekuatan, hasil dari pada banyaknya macam ilmu silat yang ia kuasai. Makin pandai, makin kuatlah dia dan makin besar kekusaannya terhadap orang lain mentaati kehendaknya.

Ia menjadi mabok akan kekuatan sendiri, ingin menang sendiri dan tidak peduli akan perikemanusiaan. Makin ia turuti nafsunya makin hebatlah nafsu menggulung dirinya. Makin ia turuti kemurkaannya akan ilmu, ia makin tidak puas dan menghendaki lebih. Sepak terjangnya makin liar menjadi-jadi, sehingga beberapa tahun kemudian nama Tok-siauw-kwi menggemparkan dunia persilatan sebagai seorang tokoh yang ganas, liar, kejam dan ditakuti.

Untuk mematangkan ilmu yang dirampasnya dari Su-nikouw, seorang diri Lu Sian memasuki Go-bi-pai dan berhasil mencuri kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Ilmu Tiga Belas Bintang) yang selain mengajarkan latihan lwee-kang dan langkah-langkah kaki, juga Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Mencuci Sum-sum) seperti yang ia butuhkan. Ilmu kepandaiannya meningkat cepat sekali dan kini Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian benar-benar menjadi seorang wanita sakti yang sukar dicari tandingannya. Di Go-bi-pai ia dikeroyok para hwesio, akan tetapi sanggup melarikan diri dengan hanya menderita luka ringan setelah merobohkan banyak hwesio Go-bi-pai yang terkenal konsen!

Bukan hanya Go-bi-pai yang ia serbu, juga ia naik ke Puncak Hoa-san, mencuri pedang pusaka Pek-giok-kiam (Pedang Pusaka Kumala Putih) yang menjadi pedang pusaka Hoa-san-pai. Dalam pertempuran ia dikeroyok dan berhasil merobohkan lima orang anak murid Hoa-san-pai yang tewas oleh pedangnya yang ganas dan dahsyat. Kemudian ia lari lagi sehingga semenjak saat itu ia menjadi seorang buruan dicari dan dikejar oleh orang-orang Siauw-lim-pai, Go-bi-pai dan Hoa-san-pai! Namun berkat gerakannya yang lincah, gin-kangnya yang tinggi serta kecerdikannya yang seperti setan, ia selalu berhasil meloloskan diri.

Bukan hanya itu semua kehebohan yang ia perbuat di dunia kang-ouw. Banyak golongan persilatan yang sengaja ia datangi untuk diajak bertanding, mengalahkan ketuanya dan merobohkan banyak sekali tokoh kenamaan sehingga namanya menjulang tinggi, bahkan melewati nama besar ayahnya sendiri, Pat-jiu Sin-ong! Yang paling hebat adalah ketika ia mendatangi Kong-thong-pai karena mendengar berita bahwa Ilmu Pedang Kong-thong-pai amat lihai. Ia datang sengaja hanya untuk menantang ketua Kong-thong-pai bertanding ilmu pedang! Juga di Kong-thong-pai ini Lu Sian merobohkan banyak tokoh, sungguhpun ia belum sanggup mengalahkan ilmu pedang Ketua Kong-thong-pai yang bernama Kim Leng Tosu. Namun ia menang cekatan dan lincah sehingga kekalahannya dalam ilmu pedang dapat ia atasi dengan kelincahannya.

Demikianlah selama sepuluh tahun Lu Sian malang-melintang di dunia kang-ouw, ilmu kepandaiannya makin hebat, akan tetapi berkat ilmunya awet muda, wajahnya masih tetap cantik jelita, tubuhnya menyiarkan keharuman yang khas sedangkan bentuk tubuhnya masih menggairahkan seperti seorang gadis remaja.

Betapa pun liar dan ganas watak Lu Sian, sebagai seorang ibu kadang-kadang ia merasa rindu kepada puteranya, Bu Song. Rasa rindu inilah yang akhirnya membawa kedua kakinya melangkah menuju propinsi Shansi. Pada waktu itu, Kerajaan Cin Muda telah roboh, terganti dengan kerajaan baru yang disebut Kerajaan Han Muda. Propinsi Shan-si telah berdiri sendiri dan menjadi Kerajaan Hou-han. Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendengar kabar bahwa bekas suaminya, Kam Si Ek, telah meletakkan jabatan dan telah pindah. Tak seorang pun tahu ke mana pindahnya Kam Si Ek, bekas suaminya. Hatinya menjadi dingin kembali dan ia hanya percaya bahwa puteranya, Bu Song, tentu saja hidup aman sentausa disamping bekas suaminya.

Sambil makan di sebuah rumah makan di kota raja Hou-han, Lu Sian termenung. Kalau teringat akan puteranya, ingin ia menangis. Namun hatinya yang keras mencegahnya berduka lebih lama lagi.

"Lebih baik dia tidak mengenal aku sebagai ibunya," demikian pikirnya. Bagaimana kalau puteranya itu bertemu dengannya dan mengenalnya sebagai seorang ibu yang meninggalkan anaknya? Apalagi kalau mengenal bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi, iblis betina yang ditakuti orang? Lu Sian tersenyum dan dengan gemas ia meneguk cawan araknya yang ke sembilan kalinya. Cara ia menuangkan arak ke mulut dan langsung ke perut melalui tenggorokan menandakan bahwa ia sudah biasa dengan minuman keras ini dan memang jarang sekali ada wanita yang dapat minum arak seperti dia itu. Cara ia minum adalah cara seorang "setan arak" benar-benar.

Tiba-tiba Lu Sian menengok ke kiri. Perasaannya yang tajam membuat ia tahu bahwa ia diperhatikan orang dari arah kiri. Pemuda yang sedang memandangnya itu nampak gugup, hendak menundukkan muka atau pura-pura tidak melihat, namun pandang matanya seakan-akan lekat pada wajah ayu itu. Lu Sian tersenyum, membuang muka akan tetapi matanya yang tajam mengerling, tajam melebihi pedang. Hatinya pun tergetar. Betapa tidak? Pemuda itu tampan bukan main. Tubuhnya tinggi tegap, mukanya halus putih seperti muka wanita, namun alisnya hitam tebal, matanya lebar bercahaya terang dan tajam seperti mata harimau. Wajah tampan dan tubuh tegap seorang pria ganteng selalu masih menggerakkan hati Lu Sian, biarpun usianya sudah empat puluh tahun! Semenjak hatinya yang mengalami cinta kasih telah dikecewakan oleh Kam Si Ek, Tan Hui dan yang terakhir murid Siauw-lim-pai Yap Kwan Bi, ia menganggap pria hanya manusia jenis lain yang menarik, dan hanya tepat dijadikan permainan belaka untuk memuaskan nafsunya. Semenjak ia merantau, banyak sudah pria yang jatuh bertekuk lutut oleh kecantikannya yang luar biasa, akan tetapi setelah Lu Sian mempermainkannya dan laki-laki itu benar-benar telah roboh hatinya, selalu Lu Sian meninggalkannya pergi dan tertawa puas melihat bekas kekasih ini menjadi patah hati, menjadi gila atau setengah gila!

Selagi Lu Sian berdebar hatinya bertemu dengan seorang pemuda tampan remaja paling tinggi berusia dua puluh dua tahun ini, tiba-tiba terdengar angin mendesir dan pandang mata Lu Sian yang tajam berkelebatnya senjata rahasia halus menyambar ke arah Si Pemuda Tampan! Melihat sikap pemuda itu yang seorang pemuda pelajar yang tak mengerti ilmu silat, Lu Sian merasa khawatir sekali, maka ia lalu menjemput nasi dengan sumpitnya dan sekali menggerakkan tangan, nasi itu menyambar ke arah sinar senjata rahasia menjadi butiran-butiran nasi dan runtuh ke bawah tanpa mengeluarkan suara!!

Pemuda itu masih enak-enak minum araknya dan memang ia tidak tahu akan adanya bahaya yang tadi mengancam nyawanya. Setelah senjata-senjata rahasia jarum itu runtuh terdengar orang berseru di luar rumah makan, "Biar ada yang melindungi, kita harus bunuh pangeran ini!" Dan muncullah tiga orang laki-laki tinggi besar yang membawa golok telanjang di tangan. Pemilik rumah makan dan dua orang pelayannya ketakutan, juga dua orang lain yang sedang duduk makan di situ lari keluar. Pemuda tampan itu pun kelihatan terkejut sekali mendengar ucapan ini, bangkit berdiri dari kursinya dan mukanya pucat. Gerakan ini saja menyakinkan Lu Sian bahwa pemuda yang diserang tadi benar-benar tak pandai silat, maka ia melirik ke arah tiga orang tinggi besar itu. Orang-orang yang kasar akan tetapi tidak seperti penjahat. Betapapun juga, melihat mereka menyerbu ke arah pemuda yang kini berteriak, "Tolong! Tolong!" itu, Lu Sian tidak mau tinggal diam saja. Tangan kirinya bergerak tanpa ia bangkit dari kursinya. Terdengar tiga orang itu berteriak kesakitan dan roboh bergulingan menabrak meja kursi. Mata mereka mendelik, dari dalam hidung dan telinga keluar darah dan nyawa mereka sudah putus!

"Keparat dari mana berani membunuh murid-murid keponakanku?" Terdengar bentakan keras dan melayanglah tubuh seorang tosu yang bersenjata pedang, langsung menghantamkan pedangnya dari atas ke bawah tepat di atas kepala Lu Sian! Wanita sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak menoleh, akan tetapi tiba-tiba kursi yang didudukinya mencelat ke samping dan ia masih enak-enak duduk di atasnya. Pedang itu menyambar terus ke bawah dan "crakkkkk!!" meja yang tadi berada di depan Lu Sian terbelah menjadi dua potong! Pemuda yang sebenarnya seorang pangeran yang menyamar itu menggigil ketakutan, juga tiga orang pengurus rumah makan kini berjongkok bersembunyi di balik meja.

Si Tosu ternyata bertubuh tinggi kurus, usianya hampir lima puluh tahun, wajahnya pucat seperti orang berpenyakitan. Namun menyaksinkan betapa sekali bacok ia dapat membelah meja yang tebal, dapat dibayangkan betapa besar tenaganya dan betapa tajam pedangnya. Hampir ia tidak percaya ketika pedangnya hanya mengenai meja sedangkan wanita muda yang ia bacok itu masih enak-enak duduk di atas kursi dekat sebuah meja lain. Ia membalikkan tubuh, mengeluarkan seruan marah dan melompat ke arah Lu Sian, menerjang dengan pedang diputar cepat.

"Trakkk!" Pedang itu berhenti di tengah-tengah dan kiranya telah terjepit sepasang sumpit yang berada di tangan Lu Sian, Si Tosu mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia karena pedangnya seakan-akan terjepit oleh jepitan baja yang amat kuat. Mendadak Lu Sian melepaskan jepitannya sehingga Si Tosu terhuyung mundur. Sepasang sumpit itu melayang ke arah lambung dan leher. Namun Si Tosu ternyata cukup gesit karena ia mampu membuang diri ke samping dan bergulingan menyelamatkan diri. Akan tetapi baru saja ia melompat bangun, sinar merah menyambarnya. Tosu itu memutar pedang dan banyak jarum runtuh, namun sebatang jarum masih dapat menerobos dan menancap di dadanya. Tosu itu mengeluh dan terguling roboh. Ia mencabut jarum di dadanya dan melihat jarum merah serta mencium bau harum, matanya terbelalak memandang Lu Sian, telunjuknya menuding dan mulutnya berseru, "Kau... Tok-siauw-kwi....!" Namun ia tak dapat bicara lebih lanjut karena racun jarum telah mencapi jantungnya dan ia mati dengan mata mendelik. Lu Sian hanya tersenyum dan masih duduk menghadapi meja.

Tiga orang pemilik dan pengurus rumah makan itu segera keluar dari tempat sembunyi mereka dan berlutut di depan Si Pemuda Tampan. "Syukur bahwa Tuhan masih melindungi Paduka...."

"Sssst, sudah jangan banyak ribut. Lebih baik lekas laporkan kepada penjaga keamanan kota dan mengurus empat mayat penjahat itu." Kata Si Pemuda, kini sikapnya agung dan sudah tenang kembali. Ia lalu melangkah menghampiri Lu Sian, merangkap kedua tangan di depan dada sambil membungkuk memberi hormat.

"Li-hiap (Nona Perkasa) telah menolong nyawa saya, sungguh merupakan budi amat besar dan membuat saya bingung bagaimana saya akan dapat membalas budi itu." Ucapannya halus dan tutur katanya sopan menyenangkan.

Lu Sian segera bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang, bibirnya tetap tersenyum manis kerling matanya benar-benar mengiris jantung. "Ah, urusan kecil seperti itu bukan berarti menghutangkan budi. Ada orang-orang jahat hendak membunuh Kong-cu, bagaimana saya dapat berpeluk tangan saja?"

Pemuda itu memandang penuh kagum dan ia tidak menyembunyikan rasa kagum ini, bukan hanya kagum akan kehebatan kepandaian wanita ini, namun juga kagum akan kecantikannya yang luar biasa, akan bau harum semerbak yang memabokkannya, yang keluar dari tubuh wanita itu. "Hebat sekali, Li Hiap! Kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri, mana mungkin saya percaya di dunia ini ada seorang yang kepandaiannya seperti dewi, sedangkan Li-hiap begini can... eh, muda? Tadi pun merupakan teka-teki bagi saya siapa gerangan yang membuat tiga orang penyerang saya jatuh tersungkur dan tewas seketika. Kalau tidak ada penyerang ke empat tadi, sampai mati pun saya mungkin tidak percaya bahwa Li-hiap yang telah menolong saya."

Berdebar jantung Lu Sian. Laki-laki ini sungguh menarik hati dan menyenangkan. Rasa kagum yang terpancar dari matanya dan pujian yang keluar dari mulutnya sama sekali bukanlah kosong dan menjilat sifatnya, melainkan langsung keluar dari hati. Ia dapat membedakan hal ini. Sambil menjura lagi dan memperlebar senyumnya sehingga sedikit deretan gigi putih berkilau tampak, ia berkata, "Ah, Kongcu terlalu memuji dan membesar-besarkan. Bukankah Kongcu seorang Pangeran, kalau tidak salah pendengaran saya? Inilah yang mengagumkan, melihat seorang pangeran berada di luar istananya dengan berpakaian seperti rakyat biasa, benar-benar jarang sekali dapat ditemui pada jaman kini."

Pemuda itu tersenyum. "Apa sih bedanya pangeran dan orang biasa? Li-hiap, sekali lagi, katakanlah bagaimana saya harus membalas budimu?"

"Telah saya katakan tadi, tidak ada penghutangan budi. Kalau Kong-cu hendak melakukan sesuatu untuk menuruti permintaanku, saat ini tidak ada keinginan lain di hatiku kecuali keterangan mengapa Kongcu sebagai pangeran diserang oleh empat orang ini dan siapakah mereka?"

Pemuda itu menggerakan kipasnya untuk mengipas leher, padahal ia menggunakan benda itu untuk menutup mulutnya dari orang lain agar kata-katanya tidak terdengar orang lain kecuali Lu Sian, kemudian berkata perlahan, "Li-hiap disini bukan tempat kita bicara tentang itu. Saya persilakan Li-hiap singgah di gedung kami, sudikah Li-hiap memberi penghormatan itu?"

"Ayaaa....! Kong-cu benar-benar terlalu merendah! Undangan itu justru merupakan kehormatan besar sekali bagiku. Terima kasih Kongcu, tentu saja saya bersedia memenuhi undangan Kongcu."
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0451 seconds (0.1#10.140)