Berbeda dengan PSBB, PPKM Darurat Tak Begitu Berimbas pada Kualitas Udara

Kamis, 29 Juli 2021 - 16:07 WIB
loading...
Berbeda dengan PSBB,...
Berdasarkan data pantauan dari aplikasi pemantau udara Nafas, kualitas udara di wilayah Jabodetabek justru menurun selama PPKM Darurat. / Foto: ilustrasi/dok. SINDOnews
A A A
JAKARTA - Ketika diberlakukan PSBB pada tahun lalu, langit di wilayah Jakarta beberapa kali tampak membiru. Hal itu dinilai bisa terjadi karena penggunaan transportasi yang menurun. Pembatasan aktivitas sendiri telah membawa dampak dalam meningkatkan kualitas udara di 84% negara di seluruh dunia.

Baca juga: Lindungi Diri dari Varian Covid-19 Apapun dengan Prokes dan Vaksinasi

Namun, pemandangan tersebut tidak terlihat pada saat pemerintah menerapkan PPKM Darurat sejak awal Juli 2021. Berdasarkan data pantauan dari aplikasi pemantau udara Nafas, kualitas udara di wilayah Jabodetabek justru menurun. Ini terlihat dari berkurangnya jam dengan kategori kualitas udara "Moderate" dan meningkatnya jam dengan kategori "Tidak Sehat untuk Kelompok Sensitif (UHSG)".

"Dengan dilakukannya pembatasan mobilitas dan aktivitas masyarakat, kami memperkirakan akan terjadi penurunan dalam kategori 'Tidak Sehat' dan 'UHSG', sekaligus peningkatan dalam kategori 'Moderate'. Ternyata yang terjadi malah sebaliknya," ujar Co-founder dan Chief Growth Officer Nafas, Piotr Jakubowski dalam keterangan persnya, Kamis (29/7).

Piotr menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa kualitas udara di wilayah Jabodetabek malah menurun di masa penerapan PPKM Darurat. Pertama, transportasi bukanlah satu-satunya sumber dari polusi udara.

"Di masa lalu, laporan yang diterbitkan kerap menyoroti bahwa sebagian besar polusi udara Jakarta disebabkan oleh transportasi. Ya, Jabodetabek memang memiliki jumlah mobil, truk, dan sepeda motor yang sangat banyak, tetapi banyak dari kendaraan tersebut tidak ada di jalanan selama masa PPKM. Lalu kenapa kualitas udara tak juga ikut membaik?" kata Piotr.

Artinya, hal ini membuktikan bahwa pencemaran udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya ternyata turut disebabkan aspek lain, dan cukup signifikan. Faktor yang dimaksud adalah energi (pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas), industri (pabrik dan manufaktur), pembakaran limbah industri, industri ilegal, pembakaran sampah pinggir jalan, dan pembakaran lahan pertanian.

Faktor kedua, lanjutnya, adalah sedikitnya hujan dan angin di musim kemarau. Karena pada kenyataannya faktor hujan, angin, kekuatan angin dan juga arah angin sangat berkontribusi pada kualitas udara. Faktor tersebut turut membawa dan memindahkan polusi dari satu tempat ke tempat lain.

"Sejak bulan Mei, jumlah hari dengan cuaca hujan telah berkurang secara signifikan, dan hal tersebut membuat polusi udara yang dihasilkan di wilayah Jabodetabek tidak ke mana-mana," bebernya.

Ketiga, menurut Piotr, adalah tingginya aktivitas pembakaran sampah yang terjadi. Seperti diketahui, pembakaran sampah industri dan pribadi merupakan isu yang berperan cukup besar dalam masalah pencemaran udara di Jabodetabek.

Menurutnya, ada beberapa daerah di mana tumpukan sampah lebih banyak dibakar karena kurangnya sumber daya pengelolaan sampah. Adanya plastik dan elemen lain dalam pembakaran sampah ini juga dapat menghasilkan asap yang sangat beracun.

Baca juga: Jaga Kesehatan Mental, Ini Empat Langkah Mengatasi Burnout

"Sebagian besar pembakaran sampah di Jabodetabek terjadi di tengah malam saat asap tidak terlihat, dan menyebabkan kualitas udara Jakarta menjadi yang terburuk antara pukul 8 malam hingga 9 pagi. Berolahraga antara jam 4 sampai 9 pagi sebenarnya bisa jadi tidak menyehatkan karena alasan tersebut," pungkasnya.
(nug)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2307 seconds (0.1#10.140)