Nyaris Gulung Tikar, Kopi Aroma Bandung Tetap Laris Jelang Satu Abad
loading...
A
A
A
BANDUNG - Wangi kopi merebak saat MNC Portal Indonesia (MPI) memasuki Toko dan Pabrik Kopi Aroma yang legendaris di Kota Bandung. Pusat pengolahan dan penjualan kopi tersebut berdiri sejak 1930 dan tetap laris hingga kini. Penggemar fanatiknya ada di mana-mana. Wisatawan pun banyak yang menjadikan Kopi Aroma sebagai oleh-oleh.
Arsitektur bangunan Toko dan Pabrik Kopi Aroma bergaya art deco dari masa kolonial. Itu menjadikannya sebagai cagar budaya. Lokasi bangunan berada di sudut Jalan Banceuy dan Jalan Pecinan Lama, kawasan sibuk di pusat Kota Kembang. Terdapat tulisan besar “Aroma, Paberik - Kopi” pada bagian atas bangunan.
Pejalan kaki yang melintasi trotoar di depan toko bisa dengan jelas melihat kegiatan penimbangan dan pengemasan kopi dari balik kaca jendela.
Di antara timbangan dan mesin-mesin penggiling kopi tempo dulu dalam ruangan berukuran sekitar 6x6 meter itu, Widyapratama, 75 tahun, pemilik Kopi Aroma, menyambut MPI.
“Kami mempertahankan semua cara tradisional dalam pengolahan biji kopi di sini. Tanpa bahan kimia dan tambahan lain apalagi pewangi. Semua asli dan murni. Inilah tantangan sekaligus ciri khas Kopi Aroma,” tutur Widya yang setiap pagi masih terlibat dalam proses sangrai biji-biji kopi pilihan di pabriknya.
Dia menjelaskan, semua biji kopi di sana dierami hingga bertahun-tahun sebelum diolah untuk proses penuaan yang maksimal. Hasil penuaan ini sangat mempengaruhi mutu, rasa, dan aroma.
Kopi jenis mokka arabika, misalnya. Setelah dijemur hingga benar-benar kering, biji kopi arabika dari wilayah Priangan, Jawa, Aceh, Medan, Toraja, Flores dan Timur ini dierami hingga delapan tahun. Pada waktunya, biji-biji kopi tersebut kemudian disangrai menggunakan mesin roasting tua buatan Jerman. “Selain wangi yang khas, rasa asamnya lebih lembut dan rendah kafein,” jelas Widya.
Sementara itu, untuk jenis robusta, biji kopi yang dibeli langsung dari para petani langganannya dierami dulu selama lima tahun. Biji kopi robusta dipilih dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Bengkulu dan Lampung. Proses sangrainya juga dua jam menghasilkan kopi yang lebih unggul di rasa pahit dan memiliki kadar kafein tinggi.
Arsitektur bangunan Toko dan Pabrik Kopi Aroma bergaya art deco dari masa kolonial. Itu menjadikannya sebagai cagar budaya. Lokasi bangunan berada di sudut Jalan Banceuy dan Jalan Pecinan Lama, kawasan sibuk di pusat Kota Kembang. Terdapat tulisan besar “Aroma, Paberik - Kopi” pada bagian atas bangunan.
Pejalan kaki yang melintasi trotoar di depan toko bisa dengan jelas melihat kegiatan penimbangan dan pengemasan kopi dari balik kaca jendela.
Di antara timbangan dan mesin-mesin penggiling kopi tempo dulu dalam ruangan berukuran sekitar 6x6 meter itu, Widyapratama, 75 tahun, pemilik Kopi Aroma, menyambut MPI.
“Kami mempertahankan semua cara tradisional dalam pengolahan biji kopi di sini. Tanpa bahan kimia dan tambahan lain apalagi pewangi. Semua asli dan murni. Inilah tantangan sekaligus ciri khas Kopi Aroma,” tutur Widya yang setiap pagi masih terlibat dalam proses sangrai biji-biji kopi pilihan di pabriknya.
Dia menjelaskan, semua biji kopi di sana dierami hingga bertahun-tahun sebelum diolah untuk proses penuaan yang maksimal. Hasil penuaan ini sangat mempengaruhi mutu, rasa, dan aroma.
Kopi jenis mokka arabika, misalnya. Setelah dijemur hingga benar-benar kering, biji kopi arabika dari wilayah Priangan, Jawa, Aceh, Medan, Toraja, Flores dan Timur ini dierami hingga delapan tahun. Pada waktunya, biji-biji kopi tersebut kemudian disangrai menggunakan mesin roasting tua buatan Jerman. “Selain wangi yang khas, rasa asamnya lebih lembut dan rendah kafein,” jelas Widya.
Sementara itu, untuk jenis robusta, biji kopi yang dibeli langsung dari para petani langganannya dierami dulu selama lima tahun. Biji kopi robusta dipilih dari daerah Jawa Barat, Jawa Tengah, Bengkulu dan Lampung. Proses sangrainya juga dua jam menghasilkan kopi yang lebih unggul di rasa pahit dan memiliki kadar kafein tinggi.