Kho Ping Hoo : Bukek Siansu Jilid 1 Bagian 1

Selasa, 14 Februari 2017 - 02:43 WIB
loading...
Kho Ping Hoo : Bukek...
bukek siansu jilid 1 bagian 1
A A A
Kho Ping Hooo: Bukek Siansu

PAGI itu bukan main indahnya di dalam hutan di lereng Pegunungan Jeng-hoa-san (Gunung Seribu Bunga). Matahari muda memuntahkan cahayanya yang kuning keemasan ke permukaan bumi, menghidupkan kembali rumput-rumput yang hampir lumpuh oleh embun, pohon-pohon yang tenyap ditelan kegelapan malam, bunga-bunga yang menderita semalaman oleh hawa dingin menusuk. Cahaya kuning emas membawa kehangatan, keindahan, penghidupan itu mengusir halimun tebal, dan halimun lari pergi dari cahaya raja kehidupan itu, meninggalkan butiran-butiran embun yang kini menjadi penghias ujung-ujung daun dan rumput membuat bunga-bunga yang beraneka warna itu seperti dara-dara muda jelita sehabis mandi, segar dan berseri-seri.

Cahaya matahari yang lembut itu tertangkis oleh daun dan ranting pepohonan hutan yang rimbun, namun kelembutannya membuat cahaya itu dapat juga menerobos di antara celah-celah daun dan ranting sehingga sinar kecil memanjang yang tampak jelas di antara bayang-bayang pohon meluncur ke bawah, di sana-sini bertemu dengan pantulan air membentuk warna pelangi yang amat indahnya, warna yang dibentuk oleh segala macam warna, terutama oleh warna dasar merah kuning dan biru. Indah! Bagi mata yang bebas dari segala ikatan, keindahan itu makin terasa, keindahan yang baru dan yang senantiasa akan nampak baru biarpun andaikata dilihatnya setiap bari.

Sebelum cahaya pertama yang kemerahan dari matahari pagi tampak, keadaan sunyi senyap. Yang mula-mula membangunkan hutan itu adalah kokok ayam hutan yang pendek dan nyaring sekali, kokok yang tiba-tiba dan mengejutkan, susul-menyusul dari beberapa penjuru. Kokok ayam jantan inilah yang menggugah para burung yang tadinya diselimuti kegelapan malam, menyembunyikan muka ke bawah selimut tebal dan hangat dari sayap mereka, kini terjadilah gerakan-gerakan hidup di setiap pohon besar dan terdengar kicau burung yang sahut menyahut, bermacam-macam suaranya, bersaing indah dan ramai namun kesemuanya memiliki kemerduan yang khas. Sukar bagi telinga untuk menentukan mana yang lebih indah, karena suara yang bersahut-sahutan itu merupkan kesatuan, seperti kesatuan seperangkat alat musik yang dibunyikan bersama. Yang ada pada telinga hanya indah! Sukar dikatakan mana yang lebih indah, suara burung-burung itu sendiri ataukah keheningan kosong yang terdapat di antara jarak suara-suara itu.

Anak laki-laki itu masih amat kecil. Tidak akan lebih dari tujuh tahun usianya. Dia berdiri seperti sebuah patung, berdiri di tempat datar yang agak tinggi di hutan Gunung Seribu Bunga itu, menghadap ke timur dan sudah ada setengah jam lebih dia berdiri seperti itu, hanya matanya saja yang bergerak-gerak mata lebar yang penuh sinar ketajaman dan kelembutan, seperti biasa mata kanak-kanak yang hidupnya masih bebas dan bersih, namun di antara kedua matanya, kulit di antara alis itu agak terganggu oleh garis-garis lurus. Aneh melihat seorang anak kecil seperti itu sudah ada keriput di antara kedua alisnya! Anak itu pakaiannya sederhana sekali, biarpun amat bersih seperti bersihnya tubuhnya, dan rambut sampai ke kuku jari tangannya yang terpelihara dan bersih, wajahnya biasa saja, seperti anak-anak lain dengan bentuk muka yang tampan, hanya matanya dan keriput di antara matanya itulah yang jarang terdapat pada anak-anak dan membuat dia menjadi seorang anak yang mudah mendatangkan kesan pada hati pemandangnya sebagai seorang anak yang aneh dan tentu memiliki sesuatu yang luar biasa!

Sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh seri kehidupan ketika dia tadi melihat munculnya bola merah besar di balik puncak gunung sebelah timur, bola merah yang amat besar dan yang mula-mula merupakan pemandangan yang amat menarik hati, akan tetapi lambat laun merupakan benda yang tak kuat lagi mata memandangnya karena cahaya yang makin menguning dan berkilauan. Maka dia mengalihkan pandangannya, kini menikmati betapa cahaya yang tiada terbatas luasnya itu menghidupkan segala sesuatu, dari puncak pegunungan sampai jauh di sana, di bawah kaki gunung.

Anak itu lalu menanggalkan pakaiannya, satu demi satu dengan gerakan sabar dan tidak tergesa-gesa, tanpa menengok ke kanan kiri karena selama ini dia tahu bahwa di pagi hari seperti itu tidak akan ada seorang pun manusia kecuali dirinya sendiri berada di situ. Dengan telanjang bulat dia lalu menghampiri sebuah batu dan duduk bersila, menghadap matahari. Duduknya tegak lurus, kedua kakinya bersilang, dan napasnya masuk keluar dengan halus tanpa diatur, tanpa paksaan seperti pernapasan seorang bayi sedang tidur nyenyak. Sudah beberapa tahun dia melakukan ini setiap hari, duduk sambil mandi cahaya matahari selama dua tiga jam sampai semua tubuhnya bermandi peluh dan terasa panas barulah dia berhenti. Juga di waktu malam terang bulan, dia duduk pula di batu itu, telanjang bulat, mandi cahaya bulan purnama selama tujuh malam, kadang-kadang sampai lupa diri dan duduk bersila sampai setengah tidur, dan barulah dia berhenti kalau tubuh sudah hampir membeku dan bulan sudah lenyap bersembunyi di balik puncak di barat.

Anak yang luar biasa! Memang. Demikian pula penduduk di sekitar Pegunungan Jeng-hoa-san menyebutnya Sin-tong (Anak Ajaib), demikianlah nama anak ini yang diketahui orang. Anak ajaib, anak sakti, dan lain-lain sebutan lagi. Karena semua orang menyebutnya Sin-tong dan memang dia sendiri tidak pernah mau menyatakan siapa namanya, maka anak itu sudah menjadi terbiasa dengan sebutan ini dan menganggap namanya Sin-tong!

Mengapakah orang-orang dusun, penghuni semua dusun di sekitar lereng dan kaki Pegunungan Jeng-hoa-san menyebutnya anak ajaib? Hal ini ada sebabnya, yaitu karena anak berusia tujuh tahun itu pandai sekali mengobati penyakit dengan memberi daun-daun, buah-buah, dan akar-akar obat yang benar-benar manjur sekali! Hampir semua penduduk yang terkena penyakit datang ke lereng Hutan Seribu Bunga, yaitu nama hutan di mana anak itu tinggal karena di antara sekalian hutan di Pegunungan Seribu Bunga, hutan inilah yang benar-benar tepat disebut Hutan Seribu Bunga dengan tetumbuhan beraneka warna, penuh dengan bunga-bunga indah, terutama sekali dimusim semi. Dan anak ini memberi daun atau akar obat dengan hati terbuka, dengan tulus iklas, suka rela dan selalu menolak kalau diberi uang! Maka berduyun-duyun orang dusun datang kepadanya dan diam-diam memujanya sebagai seorang anak ajaib, sebagai dewa yang menjelma menjadi seorang anak-anak yang menolong dusun-dusun itu dari malapetaka. Bahkan ketika terjangkit penyakit menular, penyakit demam hebat yang menimbulkan banyak korban tahun lalu, bocah ajaib inilah yang membasminya dengan memberi akar-akar tertentu yang harus diminum airnya setelah dimasak. Dengan akar itu, yang sakit banyak tertolong dan yang belum terkena penyakit tidak akan ketularan.

Ketika orang-orang dusun itu, terutama yang wanita, datang membawa pakaian baru yang sudah dijahit rapi, anak itu tak dapat menolak, dan menyatakan terima kasihnya dengan butiran air mata menetes di kedua pipinya akan tetapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Karena jasa orang-orang dusun ini, maka anak itu selalu berpakaian bersih biarpun sederhana sekali, potongan "dusun".

Siapakah sebetulnya anak kecil ajaib yang menjadi penghuni Hutan Seribu Bunga seorang diri saja itu? Benarkah dia seorang dewa yang turun dari kahyangan menjadi seorang anak-anak untuk menolong seorang manusia, seperti kepercayaan para penduduk di Pegunungan Tibet sehingga banyak terdapat Lama yang dianggap sebagai Sang Buddha sendiri yang "menjelma" menjadi anak-anak dan menjedi calon Lama?

Sebetulnya tentu saja tidak seperti ketahyulan yang dipercaya oleh orang-orang yang memang suka akan ketahyulan dan suka akan yang ajaib-ajaib itu. Anak itu dahulunya adalah anak tunggai dari keluarga Kwa di kota Kun-leng, sebuah kota kecil di sebelah timur Pegunungan jeng-hoa-san. Dia bernama Kwa Sin Liong, dan name Sin Liong (Naga Sakti) ini diberikan kepadanya karena ketika mengandungnya, ibunya mimpi melihat seekor naga beterbangan di angkasa di antara awan-awan. Adapun ayah Sin Liong adalah seorang pedagang obat yang cukup kaya di kota Kun-leng.

Akan tetapi malapetaka menimpa keluarga ini ketika malam hari tiga orang pencuri memasuki rumah mereka. Tadinya tiga orang penjahat ini hendak melakukan pencurian terhadap keluarga kaya ini, akan tetapi ketika mereka memasuki kamar ayah dan ibu Sin Liong mempergoki mereka. Karena khawatir di kenal, tiga orang itu lalu membunuh ayah-bunda Sin Liong dengan bacokan-bacokan golok. Ketika itu Sin Liong baru berusia lima tahun, dan di tempat remang-remang itu melihat betapa ayah-bundanya dihujani bacokan golok dan roboh mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak. Saking ngeri dan takutnya, Sin Liong seperti berubah menjadi gagu, matanya melotot dan dia tidak bisa mengeluarkan suara. Karena ini, tiga orang pencuri itu tidak melihat anak kecil di kamar yang gelap itu. Mereka terutama sibuk mengumpulkan barang-barang berharga dan mereka itu juga panik, ingin lekas-lekas pergi karena mereka telah terpaksa membunuh tuan dan nyonya rumah.

Setelah para penjahat itu keluar dari kamar, barulah Sin Liong dapat menjerit, menjerit sekuat tenaganya sehingga malam hari itu terkoyak oleh jeritan anak ini. Para tetangga mereka terkejut dan semua pintu dibuka, semua laki-laki berlari keluar dan melihat tiga orang yang tidak dikenal keluar dari rumah keluarga Kwa membawa buntalan-buntalan besar, segera terdengar teriakan "maling! Maling!" dan orang-orang itu mengurung tiga penjahat ini.

Beberapa orang lari memasuki rumah keluarga Kwa yang dapat dibayangkan betapa ngeri dan kaget hati mereka melihat suami-isteri itu tewas dalam keadaan mandi darah, sedangkan Sin Liong menangisi kedua orang tuanya, memeluki mereka sehingga muka, tangan dan pakaian anak itu penuh dengan darah ayah bundanya.

"Pembunuh! Mereka membunuh kelarga Kwa!" Orang yang menyaksikan mayat kedua orang itu segera lari keluar dan berteriak-teriak.

"Manusia kejam! Tangkap mereka!"

"Tidak! Bunuh saja mereka!"

"Tubuh suami-isteri Kwa hancur mereka cincang!"

"Bunuh!"

"Serbu...!"

Dan terjadilah pergumulan atau pertandingan yang berat sebelah. Tiga orang itu terpaksa melakukan perlawanan untuk membela diri, akan tetapi mana mereka itu, maling-maling biasa, mampu menahan serbuan puluhan, bahkan ratusan orang yang marah dan haus darah?

Anak laki-laki itu, ketika pengeroyokan di luar rumahnya sedang terjadi, keluar dari dalam, mukanya penuh darah, kedua tangannya dan pakaiannya juga. Dia melangkah keluar seperti dalam mimpi, mukanya pucat sekali dan matanya yang lebar itu terbelalak penuh kengerian. Dia berdiri di depan pintu rumahnya, matanya makin terbelalak memandanang apa yang terjadi di depan rumahnya. Jelas tampak olehnya betapa para tetangganya itu, seperti sekumpulan serigala buas, menyerang dan memukuli tiga orang pencuri tadi, para pembunuh ayah bundanya. Terdengar olehnya pencuri-pencuri itu mengaduh-aduh, merintih-rintih, minta-minta ampun dan terdengar pula suara bak-bik-buk ketika kaki tangan dan senjata menghantami mereka. Mereka bertiga itu roboh, dan terus digebuki, dibacok, dihantam dan darah muncrat-muncrat, tubuh tiga orang itu berkelojotan, suara yang aneh keluar dari tenggorokan mereka. Akan tetapi orang-orang yang marah dan haus darah itu, yang menganggap bahwa apa yang mereka lakukan ini sudah baik dan adil, terus saja menghantami tiga orang manusia sial itu sampai tubuh mereka remuk dan tidak tampak seperti tubuh manusia lagi, patutnya hanya onggokan-onggokan daging hancur dan tulang-tulang patah!

Ketika semua orang sudah merasa puas, juga mulai ngeri melihat hasil perbuatan mereka, menghentikan pengeroyokan terhadap tiga mayat itu dan mereka memasuki rumah keluarga Kwa, Sin Liang tidak berada di situ! Kiranya bocah ini, yang baru saja tergetar jiwanya, tergores penuh luka melihat ayah bundanya dibacoki dan dibunuh, ketika melihat tiga orang pembunuh itu dikeroyok dan disiksa, jiwanya makin terhimpit, luka-luka di hatinya makin banyak dan dia tidak kuat menahan lagi. Dilihatnya wajah orang-orang itu semua seperti wajah iblis, dengan mata bernyata-nyala penuh kebencian dan dendam, penuh nafsu membunuh, dengan mulut ternganga seolah-olah tampak taring dan gigi meruncing, siap untuk menggigit lawan dan menghisap darahnya. Dia merasa ngeri, merasa seolah-olah berada di antara sekumpulan iblis, maka sambil menangis tersedu-sedu Sin Liong lalu lari meninggalkan tempat itu, meninggalkan rumahnya, meninggalkan kota Kun-leng, terus berlari ke arah pegunungan yang tampak dari jauh seperti seorang manusia sedang rebahan, seorang manusia dewa yang sakti, yang akan melindunginya dari kejaran iblis itu!

Seperti orang kehilangan ingatan, semalam itu Sin Liong terus berlari sampai pada keesokan harinya, saking lelahnya, dia tersaruk-saruk di kaki Pegunungan Jeng-hoa-san, kadang-kadang tersandung kakinya dan jatuh menelungkup, bangun lagi dan lari lagi, terhuyung-huyung dan akhirnya, pada keesokan harinya, pagi-pagi dia terguling roboh pingsan di dalam sebuah hutan di lereng bagian bawah Pegunungan Jeng-hoa-san!

Setelah siuman, anak kecil berusia lima tahun ini melanjutkan perjalanannya, dan beberapa hari kemudian tibalah dia di sebuah hutan penuh bunga karena kebetulan pada waktu itu adalah musim semi. Di sepanjang jalan mendaki pegunungan, kalau perutnya sudah mulai lapar, anak ini memetik buah-buah dan makan daun-daun, memilih yang rasanya segar dan tidak pahit sehingga dia tidak sampai kelaparan.

Di dalam Hutan Seribu Bunga itu Sin Liong terpesona, merasa seperti hidup di alam lain, di dunia lain. Tempat yang hening dan bersih, tidak ada seorang pun manusia. Kalau dia teringat akan manusia, dia bergidik dan menangis saking takut dan ngerinya. Dia telah menyaksikan kekejaman-kekejaman yang amat hebat. Bukan hanya kekejaman orang-orang yang merenggut nyawa ayah bundanya, yang memaksa ayah bundanya berpisah darinya dan mati meninggalkannya, akan tetapi juga melihat kekejaman puluhan orang tetangga yang menyiksa tiga orang itu sampai mati dan hancur tubuhnya. Dia bergidik dan ketakutan kalau teringat akan hal itu. Di dalam Hutan Seribu Bunga itulah dia merasakan keamanan, kebersihan, keheningan yang menyejukkan perasaan.

Mula-mula Sin Liong tidak mempunyai niat untuk kembali ke kotanya karena ia masih terasa ngeri, tidak ingin melihat ayah bundanya yang berlumuran darah, tak ingin melihat mayat tiga orang pencuri yang rusak hancur. Ketika dia tiba di hutan Jeng-hoa-san itu dan melihat betapa tubuh dan pakaiannya ternoda darah yang baunya amat busuk, dia cepat mandi dan mencuci pakaian di anak sungai yang terdapat di hutan itu, anak sugai yang airnya keluar dari sumber, jernih dan sejuk sekali. Mula-mula memang dia tidak ingin pulang karena kengerian hatinya, akan tetapi setelah dua tiga bulan "bersembunyi" di tempat itu, timbul rasa cintanya terhadap Hutan Seribu Bunga dan dia kini tidak ingin pulang sama sekali karena dia telah menganggap hutan itu sebagai tempat tinggalnya yang baru! Di dekat pohon pek yang besar, terdapat bukit batu dan di situ ada guanya yang cukup besar untuk dijadikan tempat tinggal, dijadikan tempat berlindung dari serangan hujan dan angin. Guha ini dibersihkannya dan menjadi sebuah tempat yang amat menyenangkan baginya.

Demikianlah, anak ini tidak tahu sama sekali bahwa harta kekayaan orang tuanya yang tidak mempunyai keluarga dan sanak kadang lainnya, telah dijadikan perebutan antara para tetangga sampai habis ludas sama sekali! Dengan alasan "mengamankan" barang-barang berharga dari rumah kosong itu, para tetangga telah memperkaya diri sendiri. Mereka ini tetap tidak tahu, atau tidak mengerti bahwa mereka telah mengulangi perbuatan tiga orang pencuri yang mereka keroyok dan bunuh bersama itu. Mereka juga melakukan pencurian, sungguhpun caranya tidak "sekasar" yang dilakukan para pencuri. Jika dinilai, pencurian yang dilakukan para tetangga dan "sahabat" ini jauh lebih kotor dan rendah daripada yang dilakukan oleh tiga orang pencuri dahulu itu, karena para pencuri itu melakukan pencurian dengan sengaja dan terang-terangan mereka itu adalah pencuri, tidak berselubung apa-apa, dan kejahatannya itu memang terbuka, sebagai orang-orang yang mengambil barang orang lain di waktu Si Pemilik sedang lengah atau tertidur. Namun, apa yang dilakukan oleh para tetangga itu adalah pencurian terselubung, dengan kedok "menolong" sehingga kalau dibuat takaran, kejahatan mereka itu berganda, pertama jahat seperti Si Pencuri biasa karena mengambil dan menghaki milik orang lain, ke dua jahat karena telah bersikap munafik, melakukan kejahatan dengan selubung "kebaikan".

Demikianlah sampai dua tahun lamanya anak berusia lima tahun ini tinggal seorang diri di dalam Hutan Seribu Bunga. Sebagai putera seorang ahli pengobatan, biarpun ketika usianya baru lima tahun, sedikit banyak Sin Liong tahu akan daun-daun dan akar obat, bahkan sering dia ikut ayahnya mencari daun-daun obat di gunung-gunung. Setelah kini dia hidup seorang diri di dalam hutan, bakatnya akan ilmu pengobatan mendapat ujian dan pemupukan secara alam. Dia harus makan setiap hari itu untuk keperluan ini, dia telah pandai memilih dari pengalaman, mana daun yang berkhasiat dan mana yang enak, mana pula yang beracun dan sebagainya. Selama dua tahun itu, dengan pakaian cabik-cabik tidak karuan, sering pula dia terserang sakit dan dari pengalaman ini pula dia dapat memilih daun-daun dan akar-akar obat, bukan dari pengetahuan, melainkan dari pengalaman. Mungkin karena tidak ada sesuatu lainnya yang menjadikan bahan pemikiran, maka anak ini dapat mencurahkan semua perhatiannya terhadap pengenalan akan daun dan akar serta buah dan kembang yang mengandung obat ini sehingga penciumannya amat tajam terhadap khasiat daun dan akar obat. Dengan menciumnya saja dia dapat menentukan khasiat apakah yang terkandung dalam suatu daun, bunga, buah atau pun akar! Tidak kelirulah kata-kata orang bahwa pengalaman adalah guru terpandai. Tentu saja kata-kata itu baru terbukti kebenarannya kalau seorang memiliki rasa kasih terhadap yang dilakukannya itu. Dan memang di lubuk hati Sin Liong, dia mempunyai rasa kasih yang menimbulkan suka, dan suka ini menimbulkan kerajinan untuk mempelajari khasiat bunga-bunga dan daun-daun yang banyak sekali macamnya dan tumbuh di dalam Hutan Seribu Bunga itu.

Selain mempelajari khasiat tumbuh-tumbuhan, bukan hanya untuk menjadi makanan sehari-hari akan tetapi juga untuk pengobatan, Sin Liong mempunyai kesukaan lain lagi yang timbul dari rasa kasihannya kepada alam, kasih yang sepenuhnya dan yang mungkin sekali timbul karena dia merasa hidup sebatangkara dan juga timbul karena melihat kekejaman yang menggores di kalbunya akan perbuatan manusia ketika ayah ibunya dan tiga orang pencuri itu tewas. Di tempat itu dia melihat kedamaian yang murni, kewajaran yang indah, dan tidak pernah melihat kepalsuan-kepalsuan, tidak melihat kekejaman. Rasa kasih kepada alam ini membuat dia amat peka terhadap keadaan sekelilingnya, membuat perasaannya tajam sekali sehingga dia dapat merasakan betapa hangat dan nikmatnya sinar matahari pagi, betapa lembut dan sejuk segarnya sinar bulan purnama sehingga tanpa ada yang memberi tabu dan menyuruh hampir setiap pagi dia bertelanjang mandi cahaya matahari pagi dan setiap bulan purnama dia bertelanjang mandi sinar bulan purnama. Tanpa disadarinya, tubuhnya telah menerima dan menyerap inti tenaga mujijat dari bulan dan matahari, dan membuat darahnya bersih, tulangnya kuat dan tenaga datam di tubuhnya makin terkumpul di luar kesadarannya.

Setelah keringat membasahi seluruh tubuh dan beberapa kati memutar tubuhnya yang duduk bersila di atas batu, kadang-kadang membiarkan punggungnya yang tertimpa cahaya, kadang-kadang dadanya, Sin Liong turun dari batu itu, menghapus peluh dengan saputangan lebar, kemudian setelah tubuhnya tidak berkeringat lagi, setelah dibelai bersilirnya angin pagi, dia mengenakan lagi pakaiannya dan pergi mengeluarkan bunga, daun, buah dan akar obat dari dalam guha untuk dijemur di bewah sinar matahari. Inilah yang menjadi pekerjaannya sehari-hari, selain mencangkok, memperbanyak dan menanam tanaman-tanaman yang berkhasiat.

Menjelang tengah hari, mulailah berdatangan penduduk yang membutuhkan obat. Di antara mereka terdapat pula beberapa orang kang-ouw yang kasar dan yang menderita luka beracun dalam pertempuran. Untuk mereka semua, tanpa pandang bulu, Sin Liong memberikan obatnya setelah memeriksa luka-luka dan penyakit yang mereka derita.

Lebih dari lima belas orang datang berturut-turut minta obat dan yang datang terakhir adalah seorang laki-laki setengah tua bertubuh tinggi besar, di punggungnya tergantung gotok dan dia datang terpincang-pincang karena pahanya terluka hebat, luka yang membengkak dan menghitam.

"Sin-tong, kautolonglah aku...." Begitu tiba di depan guha di mana Sin Liong duduk dan memotong-motong akar basah dengan sebuah pisau kecil, laki-laki bermuka hitam dan bertubuh tinggi besar itu menjatuhkan diri dan merintih kesakitan.

Sin Liong mengerutkan alisnya. Di antara orang-orang yang minta pengobatan, dia paling tidak suka melihat orang kang-ouw yang dapat dikenal dari sikap kasar dan senjata yang selalu mereka bawa. Namun, belum pernah dia menolak untuk mengobati mereka, bahkan diam-diam dia menilai mereka itu sebagai orang-orang yang berwatak srigala, yang haus darah, yang selalu saling bermusuhan dan saling melukai, sehingga mereka ini merupakan manusia-manusia yang patut dikasihani karena tidak mengenal apa artinya ketenteraman, kedamaian, dan kasih antar manusia yang mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan.

"Orang tua gagah, bukankah dua bulan yang lalu kau pernah datang dan minta obat karena luka di lengan kirimu yang keracunan?" tanyanya sambil menatap wajah berkulit hitam itu.

"Benar, benar sekali, Sin-tong. Aku adalah Sin-hek-houw (Macan Hitam Sakti) yang dahulu terkena senjata jarum beracun di lenganku. Akan tetapi sekarang, aku menderita luka lebih parah lagi. Pahaku terbacok pedang lawan dan celakanya, pedang itu mengandung racun yang hebat sekali. Kalau kau tidak segera menolongku, aku akan mati, Sin-tong."

Sin Liong tidak berkata apa-apa lagi, menghampiri orang yang di atas tanah itu, memeriksa luka menganga di balik celana yang ikut terobek. Luka yang lebar dan dalam, luka yang tertutup oleh darah yang menghitam dan membengkak, seluruh kaki terasa panas tanda keracunan hebat! Sin Liong menarik napas panjang. "Lo-enghiong, mengapa engkau masih saja bertempur dengan orang lain, saling melukai dan saling membunuh? Bukankah dahulu ketika kau datang ke sini pertama kali, pernah kau berjanji tidak akan lagi bertanding dengan orang lain?"

Mata yang lebar itu melotot kemudian pandang matanya melembut. Tak mungkin dia dapat marah kepada anak ajaib ini. Seorang anak kecil berusia tujuh tahun dapat bicara seperti itu kepadanya, seolah-olah anak itu adalah seorang kakek yang menjadi pertapa dan hidup suci!

"Sin-tong, aku adalah Sin-hek-houw,dan jangan kau menyebut Lo-enghiong (Orang tua Gagah) kepadaku. Aku adalah seorang perampok, mengertikah kau? Seorang perampok tunggal yang mengandalkan hidup dari merampok orang lewat! Kalau aku tidak butuh barang, aku tentu tidak akan mengganggu orang, dan kalau orang yang kumintai barangnya itu tidak melawan, aku tentu tidak akan menyerangnya. Akan tetapi, dua kali aku keliru menilai orang. Dahulu, aku menyerang seorang nenek yang kelihatan lemah, dan akibatnya lenganku terluka hebat. Sekarang, aku merampok seorang kakek yang kelihatan lemah, yang membawa barang berharga, dan akibatnya pahaku hampir buntung dan kini keracunan hebat. Kau tolonglah, aku akan berterima kasih kepadamu, Sin-tong dan akan mengabarkan sesuatu yang amat penting bagimu."

"Lo-enghiong, aku tidak membutuhkan terima kasih dan balasan. Aku mengenal khasiat tetumbuhan di sini, tetumbuhan itu tumbuh di sini begitu saja, mempersilakan siapapun juga yang mengerti untuk memetik dan mempergunakannya, tanpa membeli, tanpa merampas dan tanpa menggunakan kekerasan. Aku hanya memetik dan menyerahkan kepadamu, perlu apa aku minta terima kasih dan balasan? Lukamu ini hebat, seluruh kaki sudah panas berarti darahmu telah keracunan. Untuk mengeluarkan racunnya yang masih mengeram di sekitar luka, sebaiknya luka itu di buka agar dapat di obati, tidak seperti sekarang ini di tutup oleh darah beracun yang mongering. Dapatkah kau membuka lukamu itu, Lo-enghiong?"

Orang setengah tua itu mebelalakan mata dan kembali dia kagum mendengar bocah itu bicara, akan tetapi keheranannya lenyap ketika dia teringat bahwa ini adalah Sin-tong, anak ajaib! Maka dia lalu menghunus golok-nya dan melihat berkelebatnya sinar golok, Sin Liong memejamkan matanya. Terbayang kembali tiga batang golok yang membacoki tubuh ayah bundanya, dan banyak golok yang kemudian membacoki tubuh tiga orang pencuri itu.

Sin-hek-houw menggunakan ujung goloknya untuk menusuk dan membuka kembali luka di pahanya. Dia mengeluh keras, akan tetapi lukanya sudah terbuka dan darah hitam mengucur keluar. Dengan siksaan rasa nyeri yang hebat, Sin-hek-houw melemparkan goloknya dan menggunakan kedua tangannya memijit-mijit paha yang terasa nyeri itu.

Sin Liong berlutut, menggunakan jari tangannya yang halus untuk bantu memijat sehingga darah makin banyak keluar. Darah hitam dan baunya membuat orang mau muntah! Akan tetapi Sin Liong yang melakukan hal itu dengan rasa kasih sayang di hati, dengan rasa iba yang mendalam dan tidak dibuat-buat dan tidak pula disengaja, menerima bau itu dengan perasaan makin terharu. Betapa sengsara dan menderitanya orang ini, hanya demikian bisikan hatinya. Dia lalu mengambil bubukan akar tertentu, menabur bubukan itu ke dalara luka yang meganga.

"Aduhhhh... mati aku...!!" Kakek itu berseru keras ketika merasa betapa obat itu mendatangkan rasa nyeri seperti ada puluhan ekor lebah menyengat-nyengat bagian yang terluka itu.

"Harap kaupertakankan, Lo-enghiong, sebentar juga akan hilang rasa nyerinya. Jangan lawan rasa nyeri itu, hadapilah sebagai kenyataan dan ketahuilah bahwa bubuk itu adalah obat yang akan mengusir penyakit ini." Sambil berkata demikian, Sin Liong lalu menggunakan empat helai daun yang sudah diremas sehingga daun itu menjadi basah dan layu, kemudian ditutupnya luka itu dengan empat helai daun.

Benar saja, rintihan orang itu makin perlahan tanda bahwa rasa nyerinya berkurang dan akhirnya orang itu menarik napas panjang karena rasa nyerinya kini dapat ditahannya.

"Harap Lo-enghiong membawa akar ini, dimasak dan airnya diminum. Khasiatnya untuk membersihkan racun yang masih berada di kakimu. Dengan demikian maka luka itu tidak akan membusuk dan akan lekas tumbuh. Obat bubuk dan daun-daun ini untuk mengganti obat setiap hari sekali, kiranya cukup untuk sepekan sampai luka itu sembuh sama sekali." Sin Liong berkata sambil membungkus obat-obat itu dengan sehelai daun yang lebar dan menyerahkannya kepada Sin-hek-houw. (Bersambung)
(lop)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0456 seconds (0.1#10.140)