Ini 2 Penyebab Kasus Stunting di Indonesia Masih Sangat Tinggi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Prevalensi stunting di Indonesia masih sangat tinggi. Per 2022 saja angkanya mencapai 21,6 persen, jauh sekali dibandingkan Jepang (5,5) dan Singapura (2,8).
Masalah ini dikhawatirkan akan memengaruhi terciptanya generasi emas Indonesia di masa depan. Sebab, anak stunting dinilai kurang bisa bersaing dengan yang sehat.
Lantas, apa yang membuat kasus stunting di Indonesia masih sangat tinggi? Apakah kemiskinan ada kaitannya?
Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu Anak Kementerian Kesehatan RI Lovely Daisy menerangkan, setidaknya ada 2 faktor penyebab stunting di Indonesia masih sangat tinggi prevalensinya.
Pertama adalah asupan gizi anak Indonesia banyak yang tidak cukup untuk memenuhi pertumbuhannya. Bahkan, untuk memenuhi asupan protein hewani saja masih terbilang kecil angkanya.
Berdasarkan riset di 49 negara yang dilakukan pada 130.000 anak usia 6-23 bulan, ditemukan bahwa stunting pada balita disebabkan oleh rendahnya asupan makanan sumber protein hewani. Dan ini terjadi di Indonesia.
"Masih banyak balita Indonesia yang tidak tercukupi asupan gizinya, termasuk asupan protein hewani seperti daging, telur, ikan, dan ayam," jelas Lovely saat ditemui di Kantor Kemenkes dalam memeringati Hari Gizi Nasional, Jakarta, Rabu (25/1/2024).
Padahal, semakin tercukupinya asupan gizi dalam hal ini makanan dari sumber protein hewani, itu terbukti dapat menekan risiko stunting pada balita. Protein hewani, katanya, mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan selama proses tumbuh.
"Asam amino esensial yang ada di protein hewani juga dapat membantu melindungi anak dari berbagai jenis penyakit," terangnya.
Ya, ketika anak tidak gampang sakit, maka penyerapan nutrisi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi bisa optimal. Beda cerita kalau si anak sakit, tubuhnya akan kurus karena kalau sakit berat badan anak pasti turun.
Dan ini adalah faktor kedua kenapa angka stunting Indonesia masih tinggi. Ya, masih banyak anak Indonesia yang sakit diare dan pneumonia.
"Ya, masih banyak kasus diare dan pneumonia yang menyerang balita. Ini memengaruhi kasus stunting masih tinggi di Indonesia," papar Lovely.
Lalu, apakah ada kaitannya antara stunting dengan kemiskinan?
Secara langsung tidak ada, karena anak dari keluarga berkecukupan juga masih mungkin mengalami stunting. Tapi, kemiskinan bisa membuat keluarga tidak memiliki jamban yang layak, sehingga penyakit diare gampang datang.
Hal ini yang terjadi di Kelurahan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Dijelaskan Kader Posyandu di Pondok Labu, Endang Rasawati, bahwa masih ada di Ibu Kota keluarga yang tidak punya jamban layak.
"Ada satu RT di Pondok Labu, misalnya saja anggap ada 60 KK, itu yang punya jamban layak cuma 7. Kebayang nggak gimana mereka buang air besar? Ya, pada akhirnya ngandelin sungai langsung," jelas Endang.
Selain itu, pemenuhan asupan gizi secara cukup juga akan terhambat jika orang tua anak ekonominya rendah, atau tidak memiliki pengetahuan akan hal ini. Padahal, kata Endang, untuk menyediakan makanan bergizi cukup bagi si kecil tak harus sesuatu yang mahal.
Menu yang bisa dijadikan referensi asupan gizi lengkap itu misalnya sarapan pagi dengan nasi, lauk telur rebus, dan buah. Lalu, makan siangnya nasi ditambah semur hati, cah wortel, tahu, dan perkedel. Kemudian, makan sorenya ada nasi pakai lele goreng tepung, ditambah sayur lodeh, serta buah.
"Orang tua sekarang harus buang jauh-jauh rasa malas. Jangan apa-apa beli, karena membuat makan untuk keluarga itu akan lebih baik bagi kesehatan," kata Endang.
Lihat Juga: Indonesia-Jepang Perkuat Transformasi Digital untuk Atasi Stunting dan Pelayanan Kesehatan Ibu-Anak
Masalah ini dikhawatirkan akan memengaruhi terciptanya generasi emas Indonesia di masa depan. Sebab, anak stunting dinilai kurang bisa bersaing dengan yang sehat.
Lantas, apa yang membuat kasus stunting di Indonesia masih sangat tinggi? Apakah kemiskinan ada kaitannya?
Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu Anak Kementerian Kesehatan RI Lovely Daisy menerangkan, setidaknya ada 2 faktor penyebab stunting di Indonesia masih sangat tinggi prevalensinya.
Pertama adalah asupan gizi anak Indonesia banyak yang tidak cukup untuk memenuhi pertumbuhannya. Bahkan, untuk memenuhi asupan protein hewani saja masih terbilang kecil angkanya.
Berdasarkan riset di 49 negara yang dilakukan pada 130.000 anak usia 6-23 bulan, ditemukan bahwa stunting pada balita disebabkan oleh rendahnya asupan makanan sumber protein hewani. Dan ini terjadi di Indonesia.
"Masih banyak balita Indonesia yang tidak tercukupi asupan gizinya, termasuk asupan protein hewani seperti daging, telur, ikan, dan ayam," jelas Lovely saat ditemui di Kantor Kemenkes dalam memeringati Hari Gizi Nasional, Jakarta, Rabu (25/1/2024).
Padahal, semakin tercukupinya asupan gizi dalam hal ini makanan dari sumber protein hewani, itu terbukti dapat menekan risiko stunting pada balita. Protein hewani, katanya, mengandung asam amino esensial yang dibutuhkan selama proses tumbuh.
"Asam amino esensial yang ada di protein hewani juga dapat membantu melindungi anak dari berbagai jenis penyakit," terangnya.
Ya, ketika anak tidak gampang sakit, maka penyerapan nutrisi dari makanan dan minuman yang dikonsumsi bisa optimal. Beda cerita kalau si anak sakit, tubuhnya akan kurus karena kalau sakit berat badan anak pasti turun.
Dan ini adalah faktor kedua kenapa angka stunting Indonesia masih tinggi. Ya, masih banyak anak Indonesia yang sakit diare dan pneumonia.
"Ya, masih banyak kasus diare dan pneumonia yang menyerang balita. Ini memengaruhi kasus stunting masih tinggi di Indonesia," papar Lovely.
Lalu, apakah ada kaitannya antara stunting dengan kemiskinan?
Secara langsung tidak ada, karena anak dari keluarga berkecukupan juga masih mungkin mengalami stunting. Tapi, kemiskinan bisa membuat keluarga tidak memiliki jamban yang layak, sehingga penyakit diare gampang datang.
Hal ini yang terjadi di Kelurahan Pondok Labu, Jakarta Selatan. Dijelaskan Kader Posyandu di Pondok Labu, Endang Rasawati, bahwa masih ada di Ibu Kota keluarga yang tidak punya jamban layak.
"Ada satu RT di Pondok Labu, misalnya saja anggap ada 60 KK, itu yang punya jamban layak cuma 7. Kebayang nggak gimana mereka buang air besar? Ya, pada akhirnya ngandelin sungai langsung," jelas Endang.
Selain itu, pemenuhan asupan gizi secara cukup juga akan terhambat jika orang tua anak ekonominya rendah, atau tidak memiliki pengetahuan akan hal ini. Padahal, kata Endang, untuk menyediakan makanan bergizi cukup bagi si kecil tak harus sesuatu yang mahal.
Menu yang bisa dijadikan referensi asupan gizi lengkap itu misalnya sarapan pagi dengan nasi, lauk telur rebus, dan buah. Lalu, makan siangnya nasi ditambah semur hati, cah wortel, tahu, dan perkedel. Kemudian, makan sorenya ada nasi pakai lele goreng tepung, ditambah sayur lodeh, serta buah.
"Orang tua sekarang harus buang jauh-jauh rasa malas. Jangan apa-apa beli, karena membuat makan untuk keluarga itu akan lebih baik bagi kesehatan," kata Endang.
Lihat Juga: Indonesia-Jepang Perkuat Transformasi Digital untuk Atasi Stunting dan Pelayanan Kesehatan Ibu-Anak
(tsa)