Kho Ping Hoo, Bukek Siansu Jilid 18 Bagian 3

Senin, 10 April 2017 - 06:00 WIB
loading...
Kho Ping Hoo, Bukek...
Bukek Siansu, karya : Asmaraman S Kho Ping Hoo
A A A
Kho Ping Hoo, Bukek Siansu

Kui Tek Tojin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. Diam-diam dia dapat menduga bahwa dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa ini tentu ada hubungannya pula dengan Pulau Es! Akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, kemudian menceritakan betapa The Kwat Lin, yang merasa bekas murid Bu-tong-pai itu, dengan kekerasan merampas kedudukan ketua dan diam-diam mengatur pemberontakan terhadap Kaisar. Karena usahanya menyelundupkan muridnya ke istana gagal, dia menjadi seorang buruan pemerintah.

"Betapa pun lihainya, iblis betina itu tidak berani menghadapi pasukan pemerintah, maka dia lalu melarikan diri bersama para pengikutnya, meninggalkan Bu-tong-pai. Kami mengambil alihnya kembali dan belum lama ini, hampir saja kami menjadi sasaran penyerbuan pemerintah. Baiknya kami telah dapat menceritakan keadaan kami dan sekarang, mau tidak mau, untuk membuktikan bahwa Bu-tong-pai tidak bersekutu dengan pemberontak, terpaksa kami harus membantu pemerintah. Hari ini pun Bu-tong Cap-pwe Enghiong, murid-murid pinto, terpaksa akan berangkat ke utara melakukan tugas penyelidikan terhadap pemberontak An Lu Shan."

Mendengar ini, Sin Liong dan Swat Hong merasa kecewa sekali. Jauh-jauh mereka menyusul ke Bu-tong-san, hanya untuk mendengar bahwa The Kwat Lin tidak berada lagi di tempat itu dan sekarang telah menjadi orang buruan pemerintah.

"Aihhh... ke mana kita harus mencarinya?" Swat Hong berkata kesal sambil menoleh kepada Sin Liong.

"Nona, untuk menebus kesalahan kami tadi, baiklah kami beritahukan bahwa kalau tidak salah dugaan kami, The Kwat Lin melarikan diri ke tempat kediaman Kiam-mo Cai-li. Kalau ji-wi mencarinya ke sana, tentu akan setidaknya mendengar lebih jauh tentang wanita itu."

"Kiam-mo Cai-li? Siapa dia? Dan di mana tempat tinggalnya?" Swat Hong mendesak dan wajahnya berseri karena timbul pengharapan lagi di dalam hatinya. "Dia adalah seorang datuk kaum sesat, seorang wanita yang tinggi ilmunya dan telah bersekutu dengan The Kwat Lin untuk membantu pemberontak. Kiam-mo Cai-li tinggal di Rawa Bangkai, di kaki Pegunungan Lu-liang-san, tidak begitu jauh dari sini."

"Suheng, tunggu apalagi? Mari kita cepat pergi ke Lu-liang-san!" Swat Hong dengan penuh semangat sudah bangkit berdiri.

Sin Liong terpaksa juga bangkit berdiri, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai itu berkata, "Harap Ji-wi berhati-hati. Rawa Bangkai merupakan daerah yang sangat berbahaya dari selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam-mo Cai-li mempunyai banyak anak buah. Bahkan kaki tangan The Kwat tin yang tadinya berada di sini sekarang pun ikut pergi bersamanya."

"Terima kasih atas peringatan Locian-pwe," kata Sin Liong sambil memberi hormat dan karena dia pun merasa amat tidak enak telah mengganggu orang-orang tua di Bu-tong-pai ini, dia cepat mengajak sumoinya pergi dan situ.

Seteiah berpamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu lenyap. Kui Tek Tojin menghela napas dan mengelus jenggotnya, "Siancai... dua orang muda yang amat luar biasa. Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang-orang dari Pulau Es juga. Gerakan mereka aneh seperti gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau Pulau Es telah membuat Kwat Lin menjadi seperti iblis, dua orang muda itu seperti dewa!"

***

"Suheng, bukankah di lereng puncak yang sana itu tempatnya?"

"Kalau tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini kita melakukan pekerjaan yang amat berbahaya, maka kuharap Sumoi suka bersikap tenang dan sabar, tidak tergesa-gesa."

Swat Hong mengangguk, mengeluarkan saputangan sutera dan menghapus keringat dari leher dan dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya seperti buah tomat masak, matanya bersinar-sinar penuh semangat, rambutnya agak kusut dan anak rambut di dahinya basah oleh keringat. Sin Liong memandang sumoinya dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada sumoinya. Seorang dara muda seperti sumoinya sudah harus mengalami hidup merantau dan sengsara seperti ini!

Padahal, seorang dara muda seperti sumoinya itu sepatutnya berada di dalam rumah bersama keluarga, hidup aman tenteram dan penuh kegembiraan, bermain-main di dalam taman bunga yang indah, bersendau-gurau, tertawa, bernyanyi, membaca sajak, atau jari-jari tangan yang kecil meruncing itu menggerakkan alat-alat menyulam. Tidak seperti sekarang ini, setiap saat menghadapi bahaya, selalu bermain dengan pedang dan maut! Dia menarik napas panjang. (Bersambung)
(dwi)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
book/ rendering in 0.0514 seconds (0.1#10.140)